Friday, 3 July 2015

Tulip Merah : 8

Haloooooyyyy! Tulip Merah apdet neh! 
hahahaha XD
selamat membaca ceman-ceman cemuaaaah :*
.
.
.
.
.
.
.




Nina’s POV

Saat ini aku dan Gracia sudah berada di Rumah Sakit tempat Kak Ve dan Kak Kinal bekerja. Ini adalah satu-satunya rumah sakit di kota kami.

“permisi, Tuan. Apakah Anda melihat dokter Kinal?” tanya Gracia kepada seorang pria paruh baya dengan jas putih dan stetoskop melingkar di lehernya.

“…..”

“emm- sore, Sir. Anda kenal Kinal? Ia dokter muda disini.”  Sekali lagi, Gracia melontarkan pertanyaanya. “atau Veranda? Anda tahu?”

“…..”

Pria itu masih diam. Sibuk entah dengan lembaran kertas apa yang digelutinya.

Gracia mendengus kesal. Ia memutar bola matanya. Sepertinya kesabarannya mulai diuji. Aku suka saat ia mulai jengah dengan seseorang. Ekspresinya sangat langka. Aku hanya menaikan bahu menanggapi tatapan yang ia lemparkan padaku.

Gracia menarik tangan kananku. Ia langkahkan kakinya menerobos rumah sakit yang cukup ramai meninggalkan pria tadi. Aku mengekor dibelakangnya.

Ini kali pertamaku masuk ke rumah sakit di kota ini. Keluargaku sangat menjaga kesehatan kami, jadi yaaa…. begitu. Bangunan ini terlihat tua. Mungkin rumah sakit ini adalah konstruksi paling tua di kota. Dibandingkan dengan bangunan lain, nuansa peninggalan masa renaissance sangat kental terasa.

Rumah sakit ini memiliki banyak lorong yang menurutku menyeramkan. Beberapa lukisan – lukisan tua menggantung di dindingnya. Sepertinya belum ada banyak perubahan berarti sejak didirikan.

Aku terus mengekor mengikuti langkah Gracia. Ia sepertinya sudah sangat hafal setiap inchi dari rumah sakit ini. Tangannya terus menggandeng tanganku. Menuntun langkah kami melewati lorong demi lorong.

“C-4. Ini dia!” gumam Gracia.

Sebuah papan dengan tulisan C-4 membuatku masuk lebih dalam ke dalam sebuah lorong dengan bau yang tidak mengenakkan.

“Gre, kau yakin akan menemukan Kak Kinal disini?”

“mungkin.” Gracia memelankan kecepatan berjalannya. Sekarang posisiku sejajar. “kau tidak suka bau nya, ya?”

“baunya sangat menyengat. Bagaimana kau bisa yakin?”

Aku bukannya tidak percaya dengan Gracia, tapi ini hanya obrolan basa-basi agar ada pembicaraan ditengah lorong yang temaram ini. Disini pengap.

“kak Ve pernah bilang, Kak Kinal punya ruangan pribadi di Rumah sakit ini. Seperti tempat eksperimen gitu deh. Hanya orang-orang tertentu yang tau. Kalau tidak salah di ujung lorong C-4.” Kata Gracia.

“maksudmu ‘kalau tidak salah’ itu apa?!”

Aku menghentikan langkahku. Gracia menatapku dengan datarnya.

“ya kalau salah, setidaknya itu hanya kamar mayat. Kukira kamar mayat antara C-4 dan C-5 sih.” Ucapnya ringan.

Apa? Kamar mayat? Gila! Tubuhku mendadak gemetar. Kakiku terasa berat untuk melangkah. Entah aku tidak yakin dengan tujuan kami. Bukan bau anyir, tapi bau bahan kimia yang menyengat. Bukan hawa mengerikan, tapi atmosfernya seakan menekan nyaliku.

“kau takut, Nina?”

Ayolah, Gre! Tak perlu kau tanyakan lagi. Bahkan lentera-lentera temaram yang menggantung ini mendengarkan debaran jantungku. Aku hanya diam dan mengeratkan genggaman tangan kami.

Sedetik kemudian Gracia tertawa. Wajahnya menyebalkan. Disaat seperti ini ia sempat-sempatnya mengerjaiku? Oh untung cantik.

Tawa gracia mulai meredam saat kami menemukan ujung dari lorong ini. Sebuah pintu dari logam seperti baja memutus panjangnya lorong ini. Gracia mengetuk pintu itu. Oh, bukan. Lebih tepatnya menggedor.

“Kak? Kak Kinal? Ini aku, Gracia!”

Suara gesekan besi terdengar dari balik pintu. Decitan karat yang berputar berlawanan arah menambah suasana mencekam disini.

Pintu terbuka.

“ah, Gracia. Masuk!” Kak Kinal melebarkan pintunya mempersilahkan kami masuk. Ia melihatku datang bersama Gracia lalu tersenyum dengan kedua alis ia naikkan menyusul senyumnya yang hangat. Seperti sedang bertanya ‘ada apa?’ kepadaku.

Ini bukan seperti ruangan, melainkan seperti bunker. Bau berbagai macam bahan kimia bercampur bahkan berputar-putar di atmosfer ruangan pribadi milik Kak Kinal ini. Ruangan ini berbentuk seperti trapesium siku-siku. Jajaran buku-buku tersusun rapi di rak yang sejajar dengan pintu masuk. Di sisi miringnya terdapat banyak alat-alat laboratorium. Di seberang pintu ada sebuah meja besar dengan peta Denmark di dindingnya dan sebuah perapian. Terakhir, sisi yang tegak lurus dengan siku-siku jika dilihat mendatar. Bersih. Dindingnya kosong. Hanya ada sebuah rak gelas dari kayu dan 2 botol minuman diatasnya.

Aku duduk di sebuah sofa panjang ditengah ruangan ini. Kak Kinal menjamu kami. Ada banyak makanan di meja. Mungkin untuk tamu nya Kak Kinal. Aku tidak berpikir macam-macam, mungkin saja memang makanan-makanan ini untuk dokter-dokter disini. Sementara orang-orang di kota mulai kesulitan mendapatkan makanan karena musim dingin dan ekonomi perang, huh! tidak adil.

“ada apa, Gracia? Kalau kamu mencari kakakmu, Ve sedang sibuk sekarang. Aku lihat tadi ia bersama seorang kolonel ‘penindas’ itu saat jam makan siang.” Kak Kinal menekankan intonasinya di kata penindas. Raut wajahnya terlihat sedang……. cemburu.

“persediaan makanan keluarga Nina habis. Seekor rubah mengacaukannya. Dan Nenek sakit!” Aku salut dengan jiwa social Gracia. Ia terlihat sangat mengkhawatirkan Nenekku.

Aku menjelaskan gejala-gejala yang dialami Nenek. Kata Kak Kinal itu hanya demam biasa. Aku tak tahu.

“aku tidak bisa ke hutan sekarang. Maaf, aku sedang sibuk.” Kata Kak Kinal pelan. Ia menunjukan meja kerjanya yang penuh dengan kertas-kertas dan tumpukan buku. Ia bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju lemari obat-obatan. “tapi, bawalah ini. Sudah ada aturan konsumsinya.”

Aku bangkit dari posisiku lalu mendekatinya. Ia memberiku 2 botol kecil berukuran 200ml obat untuk Nenek.

“dan itu. Ambil semua makanan yang ada di meja. Maaf, aku hanya bisa beri itu. Pasokan bahan pangan sedang sulit akhir-akhir ini.” Lanjutnya.

“Terimakasih, Kak. ini sudah lebih dari cukup.”

Aku dan Gracia bergegas memasukkan makanan yang ada diatas meja ke sebuah tas belanja cukup besar yang diberikan Kak Kinal.

“Jika sudah tidak ada kepentingan lagi, kalian bisa pergi. Sekali lagi, maaf. Aku sedang sibuk.” Ucapnya yang sudah berkutat lagi dengan buku-buku tebal di meja kerjanya.

Aku hanya tersenyum. Gracia berjalan di depanku sambil membetulkan syal nya.

“oh iya, Nina! Sampaikan salamku untuk Nenek!” cengiran khas seorang dokter muda itu kami balas anggukan. Gracia sudah berdiri di ambang pintu dengan senyumannya yang sangat manis.

***

Hari sudah mulai beranjak gelap. Sunyinya hutan saat malam sudah mulai terbiasa dengan mentalku. Udara yang berhembus malam ini tidak begitu dingin. Salju pun tidak setebal malam-malam biasanya. Mungkin sudah menuju musim semi. Ah, aku tidak sabar dengan hutan ini saat musim semi.

Aku dan Gracia berjalan menyusuri hutan yang gelap. Tak ada penerangan lain selain satu buah senter di tangan Gracia. Satu kantung besar makanan Gracia jinjing di tangannya yang bebas, dan dua kantung besar makanan berada di tanganku.

“bagaimana keadaan sekolah? Sofia masih sering mengganggumu?” ucapku ditengah-tengah bahan obrolan yang mulai habis karena sejak siang kami banyak berbincang.

“buruk. Aku sulit fokus akhir-akhir ini. Tentang Sofia, Hmmm…. Ia banyak diam sekarang. Aku tak perduli.” Jawabnya santai. “kenapa kamu tak masuk sekolah saja? Okta dan ‘yang lainya’ masih belajar disana. Ayolaaah! Aku kesepian.”

“dengan emblem bintang kuning itu? hahahaha jangan bercanda, Gre. Itu sama saja bunuh diri namanya.”
“mereka masih hidup tenang, Nina. Ayolaaah, kamu akan baik-baik saja. Emblem itu hanya sebagai pembeda!”

Gracia tidak tahu apa-apa tentang emblem itu. Aku terkekeh mendengar ucapannya yang konyol.

“hahahaha…. itu hanya masalah waktu, Gre. Aku pernah mengalaminya. Dan aku tidak mau melihat keluargaku diseret ke kamp konsentrasi untuk yang kedua kalinya.”

Ingatanku kembali ke saat terkelam dalam hidupku. Norwegia sekitar hampir 3 tahun lalu. Saat itu tentara NAZI memerintahkan semua kaum jews untuk memasang emblem bintang dengan 6 sudut itu. Ya, benar. Awalnya memang hanya sebagai pembeda. Kami masih hidup normal. Hak-hak kami masih dilindungi oleh hukum. Anak-anak bebas bermain di taman bermain. Namun setelah setahun berlalu sejak peraturan emblem itu, kami diperlakukan seperti boneka. Peraturan-peraturan yang tidak masuk akal, diskriminasi, pengurangan hak, dan kekerasan yang tentara lakukan kepada kaum kami mulai merusak tatanan hidupku.

“memangnya bagaimana sesuatu yang disebut Kamp Konsentrasi itu? sebegitu menyeramkannya kah sampai seorang Nina sangat tidak ingin mendekat?” tanyanya.

“aku sendiri belum tahu, wanna try it?” jawabku sambil terkekeh.

“uh, tidak terimakasih. Sepertinya aku punya alergi dengan Jerman. Hahahaha….”

so do i. hahahaha….”

Tawa kami mungkin menggema di hutan ini. Ah, tidak. Itu berlebihan. Kami hanya tertawa kecil sebagai pemecah kesunyian. Setidaknya bukan hanya jangkrik yang bersuara. *btw, jangkrik bisa hidup ditengah hutan musim dingin gaksih?*

Kami sudah sampai setengah perjalanan. Di sekitar sini katanya dulu sering terjadi pembunuhan. Mungkin bukan pembunuhan ya, hanya kecelakaan saja. Atau memang ini tempat favorit untuk memanipulasi suatu pembunuhan?

Di tempat ini masih sama dengan sisi lain hutan, tanah tertutup salju yang masuk lewat celah ranting pohon yang gundul. Hanya saja sedikit lebih terjal dan licin. Bentuk permukaanya juga tidak landai, melainkan seperti cekungan dengan bebatuan yang atasnya tertutup es.

Kami jalan dengan sangat berhati-hati. Menapaki setiap jengkal tanah dengan perhatian ekstra dari sang mata. Sebenarnya aku sudah biasa melewati turunan ini karna memang ini akses menuju pondok yang kutinggali. Jadi bisa dibilang sudah menguasai. Berbeda dengan Gracia, meski sudah beberapa kali melewati tempat ini, ia masih terlihat takut.

Gracia mungkin agak lengah, ia sedikit tergelincir saat menapaki sebuah batu yang licin. Ia terjatuh namun aku reflek memegang tangannya. Ya, dia memang sempat menyentuh tanah tapi setidaknya aku mencegahnya berguling-guling (?)

“kamu gakpapa, kan?” tanyaku dengan perasaan yang khawatir.

Jarak kami sangat dekat. Tangan kiriku menopang tubuhnya. Tangan kananku memegang tangan kanannya yang menggenggam erat senter. Satu-satunya pencahayaan yang ada adalah senter ini, dan sekarang cahaya itu terarah lurus ke wajah cantik Gracia. Nikmat tuhan mana lagi yang sanggup kau dustakan?

Gracia masih tetap dalam posisinya. Nafasnya terburu tak beraturan. Degup jantungnya bergenderang seirama dengan milikku. Buliran keringat keluar dari pelipisnya. Mungkin ia sangat kaget? Atau karena jarak kami sangat dekat?

“e-em, a-aku… I’m good.” Katanya.

Mata coklatnya yang selalu menyulut senyum tersipu seakan lekat dengat mataku. Tatapan ini terkunci. Aku terpatri.

“Nin? Nina?”

Aku masih bisu. Terpaku oleh matanya yang bagai buah kepayang, memabukkan.

“a-ah, iya? Kenapa, Gre?”

Tidak, aku tidak melamunkan hal yang aneh-aneh. Hanya…. satu ruang dalam jiwaku memaksaku untuk menatap ketakutanku. Aku takut jiwaku lepas dengan jiwanya. Jiwa Gracia, my Gresya.

Kami melanjutkan langkah kami. Namun sejurus kemudian aku seperti mendengar langkah berat seseorang. Suara itu berasal dari timur kami.

“ada apa, Nina? Kenapa berhenti?” tanya Gracia yang masih dalam genggaman tanganku. Ya, sejak insiden kecil tadi, kami bergandengan tangan. Tangan kiriku menggenggam tangan kanannya. Hangat.

Aku mendekatkan jari telunjukku yang bebas ke depan mulut. Ia hanya mengangguk.

***

Gracia’s POV

Ditengah perjalanan, tiba-tiba nina menghentikan langkahnya. Ia mendekatkan jari telunjuknya yang bebas ke depan mulutnya sebagai jawaban atas pertanyaanku. Aku hanya mengangguk.

Kami mengikuti kemana arah suara itu. Sebenarnya penyebab hilangnya konsentrasiku hingga tergelincir di bebatuan tadi karena sebuah suara. Ya, aku juga mendengar suara itu. Suara sebuah langkah yang berjalan mengendap-endap seakan sedang mencari mangsa.

woah! Ada domba yang belum masuk kandang rupanya!”

Kali ini suara itu jelas ditelingaku.

hahahahaha! Bagus! Kau tahu? Sersan bodoh itu mengumpat kepadaku di depan prajurit junior!”

Nina menarikku ke balik sebuah pohon besar.

kau punya wine? Atau apapun yang bisa memabukkan?”

“jawab bodoh!”

BUGHH!

Sebuah pukulan kali ini. Dari pukulan itu, yang aku tahu ia tidak sendirian.

“untuk apa kayu-kayu ini, huh? Kau bersembunyi dari kami?!”

Orang itu terus saja berbicara dengan nada yang kasar. Dari suaranya kira-kira ia adalah seorang prajurit bawahan berusia sekitar 35 tahun. Nina berusaha mengintip dari balik pohon.

“kau bisu, ya?!”

BUGGHHH!!!

Beberapa batang kayu berukuran tidak besar terdengar jatuh ke tanah. Nina masih terus mengintip. Ah, kali ini melihat. Bukan mengintip.

“thou!”

BUGH!

“are! Such! A mothafucka!”

BUGH!

“jew!”

BUGH!

“Must! Die!”

Prajurit NAZI itu terus menghajar orang yang ia sebut jew di setiap kalimat yang terpenggal. Ia terus melakukan kekerasan tanpa perlawanan dari seorang yang disebut jew itu. Jew? Tunggu?!

Aku reflek melihat ke ‘pertunjukan’ yang sedang berlangsung itu. Prajurit yang membelakangi kami itu terus menendang ke seorang pria yang terkulai lemah di tanah dengan kayu bakar disekitarnya. Nina menggenggam tanganku erat. Sangat erat.

Aku tidak tahu pasti siapa yang menjadi korban tindak kekerasan prajurit itu. Disini sangat gelap. Senter yang tadi ku pegang sudah ku matikan.

Sejurus kemudian Nina berlari menubruk prajurit itu. Mendapat tubrukan dari tubuh Nina, prajurit itu oleng dan jatuh. Tak mau menyianyiakan kesempatan, Nina mengambil sebuah balok kayu dan memukuli prajurit itu secara brutal.

Adu otot antara prajurit NAZI dengan seorang gadis kurus jangkung memang tidak sebanding. Beberapa saat kemudian Nina menjadi korban selanjutnya. Ia sudah tak sanggup berdiri dengan tegak lagi. Sementara itu, orang yang sebelumnya kami ‘tonton’ sedang dipukuli dengan liar oleh prajurit itu adalah Kakek. Kakek terkulai lemah di tanah sambil terbatuk.

“oh! Hahahaha ini kejutan! Masih ada lagi rupanya domba yang belum masuk kandang?!” prajurit itu tertawa sambil mengeluarkan sebuah pistol dari sakunya.

DOR!

Sebuah tembakan dilesakkan. Hanya ada suara kosong.

“aku suka benda klasik. Seperti gambling. Hanya ada satu peluru di dalamnya. Salah satu dari kalian akan merasakan timah panas ini. Tinggal berapa kesempatan lagi ya?” prajurit itu mengarahkan pistolnya ke kepala Kakek.

DORR!

“Ah, sepertinya kau beruntung pak tua! Mari kita lihat keberuntungan gadis pemberani ini!” kali ini ia mengarahkan tepat ke kening Nina.

Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku memaku. Rasanya kakiku sudah tenggelam di dalam tanah. Aku memejamkan mataku. Aku tak sanggup melihatnya.

DORR!

“woah?! Belum juga rupanya? Baiklah kembali ke orang tua ini lagi.”

Aku membuka mataku. Tidak ada yang terjatuh. Keduanya masih berdiri dengan keseimbangan yang kecil. Jantungku rasanya mau copot. Aku bahkan tidak bisa membayangkan jika peluru itu bersarang di kepala Nina.

Prajurit itu kembali mengarahkan pistolnya ke Kakek.

“hei, hei! Easy, kid. Easy…. Kau ingin Kakekmu mati cepat, hah?! Jika kau maju selangkah saja, peluru ini akan menembus kepalanya!” ucap prajurit itu saat Nina akan melakukan perlawanan.

DORR!

Tetes darah pertama.

BRUKK!

Peluru itu melesak ke leher Kakek. Ia jatuh. Lututnya menopang tubuhnya. Nina mendorong prajurit itu menjauh dari Kakek. Nina membantu menopang Kakeknya.

“seharusnya kalian tidak perlu bersembunyi seperti ini….”

Prajurit itu mengeluarkan pisau lipat dari jaketnya. Nina masih sibuk menghentikan pendarahan dari leher Kakek.

Aku berjalan perlahan mendekati mereka.

“kau seumuran anakku, mungkin. Di Berlin sana.”

Prajurit itu masih mengoceh tak jelas kepada Nina. Aku makin mendekat.

“ia juga cantik dan tinggi, sama sepertimu.”

Suara ocehannya menyamarkan langkah kakiku. Kini aku selangkah dibelakangnya. Aku bisa dengan jelas mendengar suaran tarikan nafas orang sekarat dan isakkan Nina dari jarak sedekat ini.

Aku mengeluarkan revolver ku dari mantel lalu mengarahkannya ke belakang kepalanya. Tepat menjurus ke otak.

“aku merindukannya. Aku bahkan belum sempat membalas suratnya.”

Aku mengatur nafasku.

“hei…. Sudahlah. Tidak perlu mengangis sep—”

KLEKK!

Aku menarik hammer revolverku. Suara peluru yang bersiap melesak ini memotong kalimatnya. Ini kali kedua aku menariknya setelah menodongkan ke dahi Sofia waktu itu. Jariku sudah siap menyentuh pelatuk.

“whoa! Masih ada lagi rupanya? Apa disini ada satu desa yang bersembunyi?” ucap prajurit itu.

“jangan berani-berani menunjukkan wajah busuk itu kepadaku, Sir!” hardikku saat prajurit itu akan memutar kepalanya.

Tubuhku bergetar. Tapi kali ini adrenalinku memacu lebih cepat untuk menekan pelatuk.

“cara berdirimu sudah benar. Tapi seharusnya—”

“diam! Aku tidak ingin mendengar ocehanmu!” potongku. Ia sempat melihat kebawah dan mendapati posisi berdiriku dengan satu kaki didepan dan kaki lainnya dibelakang.

Aku terus mengatur nafas. Aku tidak menoleh sedikitpun ke arah Nina dan Kakek. Itu hanya akan membuyarkanku. Nina sangat pemaaf. Biar kutebak, pasti ekspresinya seakan memintaku untuk berhenti menodongkan revolverku dari kepala prajurit ini kan?

Prajurit itu menangkat kedua tangannya. Ia malah terkekeh masih memunggungiku.

“SHUT THE FUCK UP!”

Aku berteriak. Teriakan ini seakan menghantarkan aliran darahku seratus kali lebih cepat dari biasanya. Jantungku memompanya lebih liar.

“hahahahah! Ini menggelikan! Aku berani bertaruh kau tidak ak—”

DORR!

Tetes darah kedua.

“sudah ku bilang jangan banyak bicara. Kebiasaan orang Jerman. Suka menyombongkan diri. Bahkan ketika nyawanya sedang dipertaruhkan.”

Selongsong peluru terakhir dan satu-satunya dari revolverku ini terlepas begitu saja memotong kalimat prajurit itu. Tubuhnya ambruk seketika.

Aku terpaku sesaat. Tatapanku kosong entah kemana fokusnya. Tanganku bergetar hebat. Desingan peluru dan suara dari tembakan pertamaku masih terasa memekakan gendang telinga. Aku masih tidak percaya tanganku yang telanjang ini dengan beraninya menarik pelatuk dari belakang kepala seseorang.

Kau tidak salah, Gracia. Kau membunuh penjahat perang. Kau menyelamatkan banyak jiwa. Itu yang hatiku katakan. Aku harap hatiku tidak salah. Aku harap ini adalah langkah tepat. Tuhan, jika aku memang salah, aku mohon maafkan aku.

Hanya suara itu yang saat ini terdengar dan diterima oleh syaraf otakku. Hutan seketika hening. Aku mencoba mengambil alih fokusku. Terdengar suara orang yang tak asing lagi. Nina!

“Gre!”

Suara itu masih samar.

“Gre! Gresya! Gresya!”

Aku mengumpulkan fokusku. Suara Nina terdengar lebih jelas kali ini. Sejurus kemudian aku tersadar dari detik-detik kehampaan. Aku menoleh ke Nina yang masih berusaha menghentikan pendarahan dari leher Kakek.

“Gre, bantu aku! Tolong ambil morfin dari kantung besar itu!”

Aku mengangguk. Aku tak tahu bagaimana menangani ini, Kak Ve belum pernah mengajariku hal ini. Setahuku hanya harus menghentikan pendarahan dan dibawa secepatnya ke rumah sakit untuk penanganan selanjutnya. Kak Kinal memberikan kami morfin yang biasa digunakan prajurit saat terluka di medan perang untuk mengurangi rasa sakit.

Saat aku akan bangkit, Kakek menahan tanganku. Ia memejamkan matanya menahan sakit. Ia melepaskan tangan Nina yang berbalut syal tebal. Tangan Nina yang sedari tadi menunda sekaratnya. Ia seperti ingin mengucapkan sesuatu namun tersedak oleh darahnya sendiri.

Nina masih terisak. Tangan Nina memegang erat tangan Kakek diatas dadanya(dada Kakek). Suara hembusan kasar nafas-nafas terakhir membuatku ngeri. Suara tarikan nafas yang bercampur dengan darah yang mengalir memaksa keluar saat sekarat membuatku takut. Ketakutan membuatku sakit. Ingin rasanya aku menginjeksikan morfin ke dalam tubuhku sendiri.

Kakek menatap kami bergantian. Nafasnya mulai memelan. Ajalnya datang. Genggamannya melemah. Ia pergi ke pelukan Tuhan dengan senyum tulus merekah dari wajahnya yang menenangkan.

Nina menangis sejadi-jadinya. Tangannya yang berlumur darah tak berhenti mengelus wajah Kakek yang memucat. Tubuhnya ia rekatkan ke pelukan Kakek yang sudah terbujur kaku.

Aku tahu ia sangat terpukul. Kakek adalah orang terdekatnya selain aku. Aku bisa merasakannya. Kehilangan seseorang yang amat disayangi. Sama dengan saat-saat Ibuku menyerah dengan penyakitnya dan memutuskan untuk pergi ke pelukan Tuhan. Aku tahu rasanya. Sakit. Sangat sakit.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya terdiam untuk beberapa saat sampai Nina benar-benar ikhlas menerima kepergian Kakek. []

Tak seberapa lama, Nina mengangkat kepalanya. Ia bangkit dari posisinya lalu berjalan ke jasad prajurit yang sudah kaku itu. Nina menyeret tubuh tanpa jiwa itu ke tepian dekat dengan pohon besar. Mayat itu ia dudukan bersandar ke pohon. Topi khas prajurit NAZI yang jatuh saat Nina menabrakan tubuhnya itu ia pasangkan kembali ke kepala mayat itu.

“apa yang kamu lakukan?” tanyaku.

“kebaikan masih ada dalam dirinya. Ia pantas diperlakukan baik walaupun hanya jasadnya.” Nina ini manusia atau malaikat? Ia masih memikirkan kemanusiaan bahkan kepada orang yang membunuh Kakeknya?

“lalu, apa yang kamu cari?” lagi. Nina membuatku bertanya-tanya akan tingkahnya. Ia mencari sesuatu dari tiap saku yang ada di pakaian prajurit itu.

“Surat. Setiap prajurit perang pasti menyimpan sebuah surat terakhir yang mereka persiapkan pada saatnya gugur.” Nina menemukan sepucuk surat dari salah satu saku seragam prajurit itu. “suatu hari nanti jika umurku panjang, aku akan ke Berlin dan memberikan surat ini kepada anaknya yang seumuran denganku. Aku tahu betul bagaimana rasanya kehilangan, seperti keluarga Mr. Schmidt ini.”

Nina tersenyum simpul ke arahku yang terpaku beberapa langkah dibelakangnya. Ia kembali merapikah pakaian prajurit itu.

Aku mendekatkan tubuhku ke arahnya. Ku raih tubuhnya yang lebih tinggi dariku. Ku lingkarkan tanganku ke tubuhnya dari belakang. Sebuah pelukan. Ku sandarkan wajah sampingku di bagian belakang pundaknya. Nyaman. Sangat nyaman. Untuk beberapa saat ku harap ini bisa sedikit mengobati kerisauannya.

TBC~

.
.
.

segitu dulu ya, gimana nih part 8 ini? sorry ya lama (banget) update nya. hehehe. tunggu lanjutannya yang....... gatau kapan ya. soalnya jujur deh enakan bikin OS daripada ff. jadi maafkeun kalo Tulip Merah ini kayak gak keurus hahaha XD

kritik, saran, dan komentar ditunggu lohhhh
luvluv :* - @satepadang48 -

2 comments:

  1. Banyak awal dialog yang ga ditulis pake kapital wkwk. Beberapa nama juga nga pake kapital. Btw biasanya panjamg kok jadi pendeq :( huftvin wkwk

    ReplyDelete