Haloooooyyyy! Tulip Merah apdet neh!
hahahaha XD
selamat membaca ceman-ceman cemuaaaah :*
.
.
.
.
.
.
.
Nina’s POV
hahahaha XD
selamat membaca ceman-ceman cemuaaaah :*
.
.
.
.
.
.
.
Nina’s POV
Saat ini aku
dan Gracia sudah berada di Rumah Sakit tempat Kak Ve dan Kak Kinal bekerja. Ini
adalah satu-satunya rumah sakit di kota kami.
“permisi,
Tuan. Apakah Anda melihat dokter Kinal?” tanya Gracia kepada seorang pria paruh
baya dengan jas putih dan stetoskop melingkar di lehernya.
“…..”
“emm- sore,
Sir. Anda kenal Kinal? Ia dokter muda disini.”
Sekali lagi, Gracia melontarkan pertanyaanya. “atau Veranda? Anda tahu?”
“…..”
Pria itu
masih diam. Sibuk entah dengan lembaran kertas apa yang digelutinya.
Gracia
mendengus kesal. Ia memutar bola matanya. Sepertinya kesabarannya mulai diuji.
Aku suka saat ia mulai jengah dengan seseorang. Ekspresinya sangat langka. Aku
hanya menaikan bahu menanggapi tatapan yang ia lemparkan padaku.
Gracia
menarik tangan kananku. Ia langkahkan kakinya menerobos rumah sakit yang cukup
ramai meninggalkan pria tadi. Aku mengekor dibelakangnya.
Ini kali
pertamaku masuk ke rumah sakit di kota ini. Keluargaku sangat menjaga kesehatan
kami, jadi yaaa…. begitu. Bangunan ini terlihat tua. Mungkin rumah sakit ini
adalah konstruksi paling tua di kota. Dibandingkan dengan bangunan lain, nuansa
peninggalan masa renaissance sangat kental terasa.
Rumah sakit
ini memiliki banyak lorong yang menurutku menyeramkan. Beberapa lukisan –
lukisan tua menggantung di dindingnya. Sepertinya belum ada banyak perubahan
berarti sejak didirikan.
Aku terus
mengekor mengikuti langkah Gracia. Ia sepertinya sudah sangat hafal setiap
inchi dari rumah sakit ini. Tangannya terus menggandeng tanganku. Menuntun
langkah kami melewati lorong demi lorong.
“C-4. Ini
dia!” gumam Gracia.
Sebuah papan
dengan tulisan C-4 membuatku masuk lebih dalam ke dalam sebuah lorong dengan
bau yang tidak mengenakkan.
“Gre, kau
yakin akan menemukan Kak Kinal disini?”
“mungkin.”
Gracia memelankan kecepatan berjalannya. Sekarang posisiku sejajar. “kau tidak
suka bau nya, ya?”
“baunya
sangat menyengat. Bagaimana kau bisa yakin?”
Aku bukannya
tidak percaya dengan Gracia, tapi ini hanya obrolan basa-basi agar ada
pembicaraan ditengah lorong yang temaram ini. Disini pengap.
“kak Ve
pernah bilang, Kak Kinal punya ruangan pribadi di Rumah sakit ini. Seperti
tempat eksperimen gitu deh. Hanya
orang-orang tertentu yang tau. Kalau tidak salah di ujung lorong C-4.” Kata
Gracia.
“maksudmu
‘kalau tidak salah’ itu apa?!”
Aku
menghentikan langkahku. Gracia menatapku dengan datarnya.
“ya kalau
salah, setidaknya itu hanya kamar mayat. Kukira kamar mayat antara C-4 dan C-5 sih.” Ucapnya ringan.
Apa? Kamar
mayat? Gila! Tubuhku mendadak gemetar. Kakiku terasa berat untuk melangkah.
Entah aku tidak yakin dengan tujuan kami. Bukan bau anyir, tapi bau bahan kimia
yang menyengat. Bukan hawa mengerikan, tapi atmosfernya seakan menekan nyaliku.
“kau takut,
Nina?”
Ayolah, Gre!
Tak perlu kau tanyakan lagi. Bahkan lentera-lentera temaram yang menggantung
ini mendengarkan debaran jantungku. Aku hanya diam dan mengeratkan genggaman
tangan kami.
Sedetik
kemudian Gracia tertawa. Wajahnya menyebalkan. Disaat seperti ini ia
sempat-sempatnya mengerjaiku? Oh untung cantik.
Tawa gracia
mulai meredam saat kami menemukan ujung dari lorong ini. Sebuah pintu dari
logam seperti baja memutus panjangnya lorong ini. Gracia mengetuk pintu itu.
Oh, bukan. Lebih tepatnya menggedor.
“Kak? Kak
Kinal? Ini aku, Gracia!”
Suara gesekan
besi terdengar dari balik pintu. Decitan karat yang berputar berlawanan arah
menambah suasana mencekam disini.
Pintu
terbuka.
“ah, Gracia.
Masuk!” Kak Kinal melebarkan pintunya mempersilahkan kami masuk. Ia melihatku
datang bersama Gracia lalu tersenyum dengan kedua alis ia naikkan menyusul
senyumnya yang hangat. Seperti sedang bertanya ‘ada apa?’ kepadaku.
Ini bukan
seperti ruangan, melainkan seperti bunker. Bau berbagai macam bahan kimia bercampur
bahkan berputar-putar di atmosfer ruangan pribadi milik Kak Kinal ini. Ruangan
ini berbentuk seperti trapesium siku-siku. Jajaran buku-buku tersusun rapi di
rak yang sejajar dengan pintu masuk. Di sisi miringnya terdapat banyak
alat-alat laboratorium. Di seberang pintu ada sebuah meja besar dengan peta
Denmark di dindingnya dan sebuah perapian. Terakhir, sisi yang tegak lurus
dengan siku-siku jika dilihat mendatar. Bersih. Dindingnya kosong. Hanya ada
sebuah rak gelas dari kayu dan 2 botol minuman diatasnya.
Aku duduk di
sebuah sofa panjang ditengah ruangan ini. Kak Kinal menjamu kami. Ada banyak
makanan di meja. Mungkin untuk tamu nya Kak Kinal. Aku tidak berpikir
macam-macam, mungkin saja memang makanan-makanan ini untuk dokter-dokter
disini. Sementara orang-orang di kota
mulai kesulitan mendapatkan makanan karena musim dingin dan ekonomi perang,
huh! tidak adil.
“ada apa,
Gracia? Kalau kamu mencari kakakmu, Ve sedang sibuk sekarang. Aku lihat tadi ia
bersama seorang kolonel ‘penindas’ itu saat jam makan siang.” Kak Kinal
menekankan intonasinya di kata penindas. Raut wajahnya terlihat sedang…….
cemburu.
“persediaan
makanan keluarga Nina habis. Seekor rubah mengacaukannya. Dan Nenek sakit!” Aku
salut dengan jiwa social Gracia. Ia terlihat sangat mengkhawatirkan Nenekku.
Aku
menjelaskan gejala-gejala yang dialami Nenek. Kata Kak Kinal itu hanya demam
biasa. Aku tak tahu.
“aku tidak
bisa ke hutan sekarang. Maaf, aku sedang sibuk.” Kata Kak Kinal pelan. Ia
menunjukan meja kerjanya yang penuh dengan kertas-kertas dan tumpukan buku. Ia
bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju lemari obat-obatan. “tapi, bawalah
ini. Sudah ada aturan konsumsinya.”
Aku bangkit
dari posisiku lalu mendekatinya. Ia memberiku 2 botol kecil berukuran 200ml
obat untuk Nenek.
“dan itu.
Ambil semua makanan yang ada di meja. Maaf, aku hanya bisa beri itu. Pasokan
bahan pangan sedang sulit akhir-akhir ini.” Lanjutnya.
“Terimakasih,
Kak. ini sudah lebih dari cukup.”
Aku dan
Gracia bergegas memasukkan makanan yang ada diatas meja ke sebuah tas belanja
cukup besar yang diberikan Kak Kinal.
“Jika sudah
tidak ada kepentingan lagi, kalian bisa pergi. Sekali lagi, maaf. Aku sedang
sibuk.” Ucapnya yang sudah berkutat lagi dengan buku-buku tebal di meja
kerjanya.
Aku hanya
tersenyum. Gracia berjalan di depanku sambil membetulkan syal nya.
“oh iya,
Nina! Sampaikan salamku untuk Nenek!” cengiran khas seorang dokter muda itu
kami balas anggukan. Gracia sudah berdiri di ambang pintu dengan senyumannya
yang sangat manis.
***
Hari sudah
mulai beranjak gelap. Sunyinya hutan saat malam sudah mulai terbiasa dengan
mentalku. Udara yang berhembus malam ini tidak begitu dingin. Salju pun tidak
setebal malam-malam biasanya. Mungkin sudah menuju musim semi. Ah, aku tidak
sabar dengan hutan ini saat musim semi.
Aku dan
Gracia berjalan menyusuri hutan yang gelap. Tak ada penerangan lain selain satu
buah senter di tangan Gracia. Satu kantung besar makanan Gracia jinjing di
tangannya yang bebas, dan dua kantung besar makanan berada di tanganku.
“bagaimana
keadaan sekolah? Sofia masih sering mengganggumu?” ucapku ditengah-tengah bahan
obrolan yang mulai habis karena sejak siang kami banyak berbincang.
“buruk. Aku
sulit fokus akhir-akhir ini. Tentang Sofia, Hmmm…. Ia banyak diam sekarang. Aku
tak perduli.” Jawabnya santai. “kenapa kamu tak masuk sekolah saja? Okta dan ‘yang
lainya’ masih belajar disana. Ayolaaah! Aku kesepian.”
“dengan
emblem bintang kuning itu? hahahaha jangan bercanda, Gre. Itu sama saja bunuh
diri namanya.”
“mereka masih
hidup tenang, Nina. Ayolaaah, kamu akan baik-baik saja. Emblem itu hanya
sebagai pembeda!”
Gracia tidak
tahu apa-apa tentang emblem itu. Aku terkekeh mendengar ucapannya yang konyol.
“hahahaha….
itu hanya masalah waktu, Gre. Aku pernah mengalaminya. Dan aku tidak mau
melihat keluargaku diseret ke kamp konsentrasi untuk yang kedua kalinya.”
Ingatanku
kembali ke saat terkelam dalam hidupku. Norwegia sekitar hampir 3 tahun lalu.
Saat itu tentara NAZI memerintahkan semua kaum jews untuk memasang emblem bintang dengan 6 sudut itu. Ya, benar.
Awalnya memang hanya sebagai pembeda. Kami masih hidup normal. Hak-hak kami
masih dilindungi oleh hukum. Anak-anak bebas bermain di taman bermain. Namun
setelah setahun berlalu sejak peraturan emblem itu, kami diperlakukan seperti
boneka. Peraturan-peraturan yang tidak masuk akal, diskriminasi, pengurangan
hak, dan kekerasan yang tentara lakukan kepada kaum kami mulai merusak tatanan
hidupku.
“memangnya
bagaimana sesuatu yang disebut Kamp Konsentrasi itu? sebegitu menyeramkannya
kah sampai seorang Nina sangat tidak ingin mendekat?” tanyanya.
“aku sendiri
belum tahu, wanna try it?” jawabku
sambil terkekeh.
“uh, tidak
terimakasih. Sepertinya aku punya alergi dengan Jerman. Hahahaha….”
“so do i. hahahaha….”
Tawa kami
mungkin menggema di hutan ini. Ah, tidak. Itu berlebihan. Kami hanya tertawa
kecil sebagai pemecah kesunyian. Setidaknya bukan hanya jangkrik yang bersuara.
*btw, jangkrik bisa hidup ditengah hutan
musim dingin gaksih?*
Kami sudah
sampai setengah perjalanan. Di sekitar sini katanya dulu sering terjadi
pembunuhan. Mungkin bukan pembunuhan ya, hanya kecelakaan saja. Atau memang ini
tempat favorit untuk memanipulasi suatu pembunuhan?
Di tempat ini
masih sama dengan sisi lain hutan, tanah tertutup salju yang masuk lewat celah
ranting pohon yang gundul. Hanya saja sedikit lebih terjal dan licin. Bentuk
permukaanya juga tidak landai, melainkan seperti cekungan dengan bebatuan yang
atasnya tertutup es.
Kami jalan
dengan sangat berhati-hati. Menapaki setiap jengkal tanah dengan perhatian
ekstra dari sang mata. Sebenarnya aku sudah biasa melewati turunan ini karna
memang ini akses menuju pondok yang kutinggali. Jadi bisa dibilang sudah
menguasai. Berbeda dengan Gracia, meski sudah beberapa kali melewati tempat
ini, ia masih terlihat takut.
Gracia
mungkin agak lengah, ia sedikit tergelincir saat menapaki sebuah batu yang
licin. Ia terjatuh namun aku reflek memegang tangannya. Ya, dia memang sempat
menyentuh tanah tapi setidaknya aku mencegahnya berguling-guling (?)
“kamu
gakpapa, kan?” tanyaku dengan perasaan yang khawatir.
Jarak kami
sangat dekat. Tangan kiriku menopang tubuhnya. Tangan kananku memegang tangan
kanannya yang menggenggam erat senter. Satu-satunya pencahayaan yang ada adalah
senter ini, dan sekarang cahaya itu terarah lurus ke wajah cantik Gracia.
Nikmat tuhan mana lagi yang sanggup kau dustakan?
Gracia masih
tetap dalam posisinya. Nafasnya terburu tak beraturan. Degup jantungnya
bergenderang seirama dengan milikku. Buliran keringat keluar dari pelipisnya.
Mungkin ia sangat kaget? Atau karena jarak kami sangat dekat?
“e-em, a-aku…
I’m good.” Katanya.
Mata
coklatnya yang selalu menyulut senyum tersipu seakan lekat dengat mataku.
Tatapan ini terkunci. Aku terpatri.
“Nin? Nina?”
Aku masih
bisu. Terpaku oleh matanya yang bagai buah kepayang, memabukkan.
“a-ah, iya?
Kenapa, Gre?”
Tidak, aku
tidak melamunkan hal yang aneh-aneh. Hanya…. satu ruang dalam jiwaku memaksaku
untuk menatap ketakutanku. Aku takut jiwaku lepas dengan jiwanya. Jiwa Gracia, my Gresya.
Kami
melanjutkan langkah kami. Namun sejurus kemudian aku seperti mendengar langkah
berat seseorang. Suara itu berasal dari timur kami.
“ada apa,
Nina? Kenapa berhenti?” tanya Gracia yang masih dalam genggaman tanganku. Ya,
sejak insiden kecil tadi, kami bergandengan tangan. Tangan kiriku menggenggam
tangan kanannya. Hangat.
Aku
mendekatkan jari telunjukku yang bebas ke depan mulut. Ia hanya mengangguk.
***
Gracia’s POV
Ditengah
perjalanan, tiba-tiba nina menghentikan langkahnya. Ia mendekatkan jari
telunjuknya yang bebas ke depan mulutnya sebagai jawaban atas pertanyaanku. Aku
hanya mengangguk.
Kami
mengikuti kemana arah suara itu. Sebenarnya penyebab hilangnya konsentrasiku
hingga tergelincir di bebatuan tadi karena sebuah suara. Ya, aku juga mendengar
suara itu. Suara sebuah langkah yang berjalan mengendap-endap seakan sedang
mencari mangsa.
“woah! Ada domba yang belum masuk kandang
rupanya!”
Kali ini
suara itu jelas ditelingaku.
“hahahahaha! Bagus! Kau tahu? Sersan bodoh
itu mengumpat kepadaku di depan prajurit junior!”
Nina
menarikku ke balik sebuah pohon besar.
“kau punya wine? Atau apapun yang bisa
memabukkan?”
“jawab bodoh!”
BUGHH!
Sebuah
pukulan kali ini. Dari pukulan itu, yang aku tahu ia tidak sendirian.
“untuk apa kayu-kayu ini, huh? Kau
bersembunyi dari kami?!”
Orang itu
terus saja berbicara dengan nada yang kasar. Dari suaranya kira-kira ia adalah
seorang prajurit bawahan berusia sekitar 35 tahun. Nina berusaha mengintip dari
balik pohon.
“kau bisu, ya?!”
BUGGHHH!!!
Beberapa
batang kayu berukuran tidak besar terdengar jatuh ke tanah. Nina masih terus
mengintip. Ah, kali ini melihat. Bukan mengintip.
“thou!”
BUGH!
“are! Such! A mothafucka!”
BUGH!
“jew!”
BUGH!
“Must! Die!”
Prajurit NAZI
itu terus menghajar orang yang ia sebut jew
di setiap kalimat yang terpenggal. Ia terus melakukan kekerasan tanpa perlawanan
dari seorang yang disebut jew itu.
Jew? Tunggu?!
Aku reflek
melihat ke ‘pertunjukan’ yang sedang berlangsung itu. Prajurit yang
membelakangi kami itu terus menendang ke seorang pria yang terkulai lemah di
tanah dengan kayu bakar disekitarnya. Nina menggenggam tanganku erat. Sangat
erat.
Aku tidak
tahu pasti siapa yang menjadi korban tindak kekerasan prajurit itu. Disini
sangat gelap. Senter yang tadi ku pegang sudah ku matikan.
Sejurus
kemudian Nina berlari menubruk prajurit itu. Mendapat tubrukan dari tubuh Nina,
prajurit itu oleng dan jatuh. Tak mau menyianyiakan kesempatan, Nina mengambil
sebuah balok kayu dan memukuli prajurit itu secara brutal.
Adu otot
antara prajurit NAZI dengan seorang gadis kurus jangkung memang tidak
sebanding. Beberapa saat kemudian Nina menjadi korban selanjutnya. Ia sudah tak
sanggup berdiri dengan tegak lagi. Sementara itu, orang yang sebelumnya kami
‘tonton’ sedang dipukuli dengan liar oleh prajurit itu adalah Kakek. Kakek
terkulai lemah di tanah sambil terbatuk.
“oh! Hahahaha
ini kejutan! Masih ada lagi rupanya domba yang belum masuk kandang?!” prajurit
itu tertawa sambil mengeluarkan sebuah pistol dari sakunya.
DOR!
Sebuah
tembakan dilesakkan. Hanya ada suara kosong.
“aku suka
benda klasik. Seperti gambling. Hanya
ada satu peluru di dalamnya. Salah satu dari kalian akan merasakan timah panas
ini. Tinggal berapa kesempatan lagi ya?” prajurit itu mengarahkan pistolnya ke
kepala Kakek.
DORR!
“Ah,
sepertinya kau beruntung pak tua! Mari kita lihat keberuntungan gadis pemberani
ini!” kali ini ia mengarahkan tepat ke kening Nina.
Aku tak bisa
berbuat apa-apa. Aku memaku. Rasanya kakiku sudah tenggelam di dalam tanah. Aku
memejamkan mataku. Aku tak sanggup melihatnya.
DORR!
“woah?! Belum
juga rupanya? Baiklah kembali ke orang tua ini lagi.”
Aku membuka
mataku. Tidak ada yang terjatuh. Keduanya masih berdiri dengan keseimbangan
yang kecil. Jantungku rasanya mau copot. Aku bahkan tidak bisa membayangkan
jika peluru itu bersarang di kepala Nina.
Prajurit itu
kembali mengarahkan pistolnya ke Kakek.
“hei, hei! Easy, kid. Easy…. Kau ingin Kakekmu mati
cepat, hah?! Jika kau maju selangkah saja, peluru ini akan menembus kepalanya!”
ucap prajurit itu saat Nina akan melakukan perlawanan.
DORR!
Tetes darah
pertama.
BRUKK!
Peluru itu
melesak ke leher Kakek. Ia jatuh. Lututnya menopang tubuhnya. Nina mendorong
prajurit itu menjauh dari Kakek. Nina membantu menopang Kakeknya.
“seharusnya
kalian tidak perlu bersembunyi seperti ini….”
Prajurit itu
mengeluarkan pisau lipat dari jaketnya. Nina masih sibuk menghentikan
pendarahan dari leher Kakek.
Aku berjalan
perlahan mendekati mereka.
“kau seumuran
anakku, mungkin. Di Berlin sana.”
Prajurit itu
masih mengoceh tak jelas kepada Nina. Aku makin mendekat.
“ia juga
cantik dan tinggi, sama sepertimu.”
Suara
ocehannya menyamarkan langkah kakiku. Kini aku selangkah dibelakangnya. Aku
bisa dengan jelas mendengar suaran tarikan nafas orang sekarat dan isakkan Nina
dari jarak sedekat ini.
Aku
mengeluarkan revolver ku dari mantel lalu mengarahkannya ke belakang kepalanya.
Tepat menjurus ke otak.
“aku
merindukannya. Aku bahkan belum sempat membalas suratnya.”
Aku mengatur
nafasku.
“hei….
Sudahlah. Tidak perlu mengangis sep—”
KLEKK!
Aku menarik hammer revolverku. Suara peluru yang
bersiap melesak ini memotong kalimatnya. Ini kali kedua aku menariknya setelah
menodongkan ke dahi Sofia waktu itu. Jariku sudah siap menyentuh pelatuk.
“whoa! Masih
ada lagi rupanya? Apa disini ada satu desa yang bersembunyi?” ucap prajurit
itu.
“jangan
berani-berani menunjukkan wajah busuk itu kepadaku, Sir!” hardikku saat
prajurit itu akan memutar kepalanya.
Tubuhku
bergetar. Tapi kali ini adrenalinku memacu lebih cepat untuk menekan pelatuk.
“cara
berdirimu sudah benar. Tapi seharusnya—”
“diam! Aku
tidak ingin mendengar ocehanmu!” potongku. Ia sempat melihat kebawah dan
mendapati posisi berdiriku dengan satu kaki didepan dan kaki lainnya
dibelakang.
Aku terus
mengatur nafas. Aku tidak menoleh sedikitpun ke arah Nina dan Kakek. Itu hanya
akan membuyarkanku. Nina sangat pemaaf. Biar kutebak, pasti ekspresinya seakan
memintaku untuk berhenti menodongkan revolverku dari kepala prajurit ini kan?
Prajurit itu
menangkat kedua tangannya. Ia malah terkekeh masih memunggungiku.
“SHUT THE
FUCK UP!”
Aku
berteriak. Teriakan ini seakan menghantarkan aliran darahku seratus kali lebih
cepat dari biasanya. Jantungku memompanya lebih liar.
“hahahahah!
Ini menggelikan! Aku berani bertaruh kau tidak ak—”
DORR!
Tetes darah
kedua.
“sudah ku
bilang jangan banyak bicara. Kebiasaan orang Jerman. Suka menyombongkan diri.
Bahkan ketika nyawanya sedang dipertaruhkan.”
Selongsong
peluru terakhir dan satu-satunya dari revolverku ini terlepas begitu saja
memotong kalimat prajurit itu. Tubuhnya ambruk seketika.
Aku terpaku
sesaat. Tatapanku kosong entah kemana fokusnya. Tanganku bergetar hebat.
Desingan peluru dan suara dari tembakan pertamaku masih terasa memekakan
gendang telinga. Aku masih tidak percaya tanganku yang telanjang ini dengan
beraninya menarik pelatuk dari belakang kepala seseorang.
Kau tidak salah, Gracia. Kau membunuh
penjahat perang. Kau menyelamatkan banyak jiwa. Itu yang hatiku katakan.
Aku harap hatiku tidak salah. Aku harap ini adalah langkah tepat. Tuhan, jika
aku memang salah, aku mohon maafkan aku.
Hanya suara
itu yang saat ini terdengar dan diterima oleh syaraf otakku. Hutan seketika
hening. Aku mencoba mengambil alih fokusku. Terdengar suara orang yang tak
asing lagi. Nina!
“Gre!”
Suara itu
masih samar.
“Gre! Gresya! Gresya!”
Aku
mengumpulkan fokusku. Suara Nina terdengar lebih jelas kali ini. Sejurus
kemudian aku tersadar dari detik-detik kehampaan. Aku menoleh ke Nina yang
masih berusaha menghentikan pendarahan dari leher Kakek.
“Gre, bantu
aku! Tolong ambil morfin dari kantung besar itu!”
Aku
mengangguk. Aku tak tahu bagaimana menangani ini, Kak Ve belum pernah
mengajariku hal ini. Setahuku hanya harus menghentikan pendarahan dan dibawa
secepatnya ke rumah sakit untuk penanganan selanjutnya. Kak Kinal memberikan
kami morfin yang biasa digunakan prajurit saat terluka di medan perang untuk
mengurangi rasa sakit.
Saat aku akan
bangkit, Kakek menahan tanganku. Ia memejamkan matanya menahan sakit. Ia
melepaskan tangan Nina yang berbalut syal tebal. Tangan Nina yang sedari tadi
menunda sekaratnya. Ia seperti ingin mengucapkan sesuatu namun tersedak oleh
darahnya sendiri.
Nina masih
terisak. Tangan Nina memegang erat tangan Kakek diatas dadanya(dada Kakek).
Suara hembusan kasar nafas-nafas terakhir membuatku ngeri. Suara tarikan nafas
yang bercampur dengan darah yang mengalir memaksa keluar saat sekarat membuatku
takut. Ketakutan membuatku sakit. Ingin rasanya aku menginjeksikan morfin ke
dalam tubuhku sendiri.
Kakek menatap
kami bergantian. Nafasnya mulai memelan. Ajalnya datang. Genggamannya melemah.
Ia pergi ke pelukan Tuhan dengan senyum tulus merekah dari wajahnya yang
menenangkan.
Nina menangis
sejadi-jadinya. Tangannya yang berlumur darah tak berhenti mengelus wajah Kakek
yang memucat. Tubuhnya ia rekatkan ke pelukan Kakek yang sudah terbujur kaku.
Aku tahu ia
sangat terpukul. Kakek adalah orang terdekatnya selain aku. Aku bisa
merasakannya. Kehilangan seseorang yang amat disayangi. Sama dengan saat-saat
Ibuku menyerah dengan penyakitnya dan memutuskan untuk pergi ke pelukan Tuhan.
Aku tahu rasanya. Sakit. Sangat sakit.
Aku tidak
bisa berbuat apa-apa. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya terdiam
untuk beberapa saat sampai Nina benar-benar ikhlas menerima kepergian Kakek. []
Tak seberapa
lama, Nina mengangkat kepalanya. Ia bangkit dari posisinya lalu berjalan ke
jasad prajurit yang sudah kaku itu. Nina menyeret tubuh tanpa jiwa itu ke
tepian dekat dengan pohon besar. Mayat itu ia dudukan bersandar ke pohon. Topi
khas prajurit NAZI yang jatuh saat Nina menabrakan tubuhnya itu ia pasangkan
kembali ke kepala mayat itu.
“apa yang
kamu lakukan?” tanyaku.
“kebaikan
masih ada dalam dirinya. Ia pantas diperlakukan baik walaupun hanya jasadnya.”
Nina ini manusia atau malaikat? Ia masih memikirkan kemanusiaan bahkan kepada
orang yang membunuh Kakeknya?
“lalu, apa
yang kamu cari?” lagi. Nina membuatku bertanya-tanya akan tingkahnya. Ia
mencari sesuatu dari tiap saku yang ada di pakaian prajurit itu.
“Surat.
Setiap prajurit perang pasti menyimpan sebuah surat terakhir yang mereka
persiapkan pada saatnya gugur.” Nina menemukan sepucuk surat dari salah satu
saku seragam prajurit itu. “suatu hari nanti jika umurku panjang, aku akan ke
Berlin dan memberikan surat ini kepada anaknya yang seumuran denganku. Aku tahu
betul bagaimana rasanya kehilangan, seperti keluarga Mr. Schmidt ini.”
Nina
tersenyum simpul ke arahku yang terpaku beberapa langkah dibelakangnya. Ia
kembali merapikah pakaian prajurit itu.
Aku mendekatkan tubuhku ke arahnya. Ku raih tubuhnya yang lebih tinggi dariku. Ku lingkarkan tanganku ke tubuhnya dari belakang. Sebuah pelukan. Ku sandarkan wajah sampingku di bagian belakang pundaknya. Nyaman. Sangat nyaman. Untuk beberapa saat ku harap ini bisa sedikit mengobati kerisauannya.
TBC~
.
.
.
Aku mendekatkan tubuhku ke arahnya. Ku raih tubuhnya yang lebih tinggi dariku. Ku lingkarkan tanganku ke tubuhnya dari belakang. Sebuah pelukan. Ku sandarkan wajah sampingku di bagian belakang pundaknya. Nyaman. Sangat nyaman. Untuk beberapa saat ku harap ini bisa sedikit mengobati kerisauannya.
TBC~
.
.
.
segitu dulu ya, gimana nih part 8 ini? sorry ya lama (banget) update nya. hehehe. tunggu lanjutannya yang....... gatau kapan ya. soalnya jujur deh enakan bikin OS daripada ff. jadi maafkeun kalo Tulip Merah ini kayak gak keurus hahaha XD
kritik, saran, dan komentar ditunggu lohhhh
luvluv :* - @satepadang48 -
Banyak awal dialog yang ga ditulis pake kapital wkwk. Beberapa nama juga nga pake kapital. Btw biasanya panjamg kok jadi pendeq :( huftvin wkwk
ReplyDeletekapan nih Tulip Merah 9 nya?
ReplyDelete