Friday, 10 April 2015

Tulip Merah : 5

Helaaaw. langsung aja ya, selamat membaca!
.
.
.
.

Nina’s POV

“selamat pagi, yang-lebih-dari-indah!” ucapku saat Gracia memasuki ruang makan. Pagi ini cerah. Syukurlah.

“Pagi, Nina. Kak ve, Kak kinal!” Gracia menduduki kursi nya sambil memberikan senyum simpul kepada kami yang sudah menunggunya di meja makan.

                Ini bukan weekend, jadi Kak kinal pagi-pagi begini sudah menjemput kak Ve untuk bekerja bersama. Sebenarnya mungkin ikut numpang sarapan juga kali ya (?) Setelah sarapan selesai, Kak ve dan kak kinal ke rumah sakit untuk bekerja sebagaimana profesi dokter dan perawat.

                Aku membantu meringankan sedikit pekerjaan rumah gracia dengan mencuci piring dan alat makan yang kami gunakan tadi. Sementara gracia sendiri mengerjakan yang lainnya. Ia gerak cepat. setelah mencuci pakaian ia sudah langsung mengerjakan pekerjaan kedua yaitu mengelap kaca jendela.



“jadi, mau kemana kita hari ini, Tuan Putri?” aku menghampirinya. Gracia menghentikan kegiatannya. Ia tersenyum melihatku. “oh iya, bagaimana kalau kita pergi berbelanja? Ini malam natal, kan?” lanjutku

“belanja? Bicaramu seperti perempuan saja. Hahahaha” Gracia melanjutkan mengelap kaca sambil senyum-senyum menggelengkan kepala.

“hey! Aku lebih cantik darimu, Gresya! hanya saja aku tidak mau orang lain melihatmu jelek jika disampingku! Hahahaha” mau ngetroll Nina? Haha. Lol. imposibru. Aku kan jago ngeles. Hehe.

“hah? No, no. you’re my man! My handsome man! Suka lucu, dih. Haha” ia masih asik mengelap jendela (?)

                Gracia selesai dengan jendela yang satu, sekarang giliran jendela lainnya. Saat ia hendak menuju jendela lainnya, aku memotong langkahnya. Ia menabrak tubuhku. Keningnya sempat menyentuh dagu ku. Jarak diantara kami sangat dekat, kira-kira sekitar 30cm. ia bergegas pergi tapi tangan kiri ku lebih cepat mengunci pergelangan tangan kanan nya. jarak kami semakin dekat. Semakin lekat. Ia mendongakkan kepalanya untuk melihat wajahku. Tatapan kami bertemu.

“aku percaya, Gre. Kau memang sangat cantik.” Aku sedikit merunduk. Mendekatkan wajahku ke wajahnya.

                Poni miring dari rambutnya yang tergerai bebas sedikit menutupi sebagian wajahnya. Aku merapikan rambutnya sambil menyentuh lembut wajahnya. Nafas gracia mulai tidak beraturan. Ia memejamkan matanya saat sentuhan dari jari-jari ku sampai di rahang dan dagu nya. Perlahan ku dekatkan wajahku hingga bibirku menyentuh bibir lembut gracia. Sepersekian detik, bibir kami mulai bergerak berpagutan. Ciuman pelan dan lembut membuat nafas gracia makin tak beraturan terasa di wajahku. Ini buai. Buai yang fantastik. Ini buai. Ayun buai Gracia.

                Beberapa menit terbuai Hingar bingar romantika. Dalam tempo yang semakin melambat, kami menghentikan ciuman hangat ini. Kening kami saling beradu. Nafas kami memburu. Tatapan kami saling bertemu. Ia tersenyum lembut. Gracia luar biasa indah. Kami tertawa renyah lalu melanjutkan kegiatan.

                Sekitar jam 11 siang aku pulang. Inginnya terus menemani Gracia seharian, tapi aku sudah berjanji akan membantu nenek dirumah. Lagipula, nanti sekitar jam 7 malam aku akan kembali bertemu my Gresya setelah ia ke gereja.

                Hanya kau yang mengerti hati ini, Gre. Kau membuatku jatuh cinta berulang kali. Seperti gelap berganti terang, kau memberiku kekuatan. Kau mengisi lembaran baru hidupku. Kau yang menjaga hati ini. Kau beri semua yang pernah ku impikan. Kau lah bintang penuntunku. Tak ada yang se-indah kamu, Gre.

“Nina!” aku menoleh ke belakang. Suara itu membuyarkan lamunanku akan memori indahku bersama gracia yang terekam sempurna dalam otak ku.

“sofia? Ada apa?” ia berlari kecil menghampiriku.

                Aku berada di depan rumah sofia yang besar. Rumah walikota Arthur Rassmusen ini memang selalu ku lewati setiap hari, karena memang rute rumahku searah dengan rumah sofia. Ia mengenakan dress putih dengan garis biru tipis di kerah nya. terlihat sederhana, namun juga terlihat mahal. Beda lah, sofia kan anak orang kaya.

“nanti malam datang ke rumah ku ya, Ayahku mengadakan pesta malam natal!” ucapnya bersemangat.

“pesta? Di rumah mu? Aku tidak pantas, Sofia. Rumah mu akan ramai oleh petinggi-petinggi di kota ini. Hahahaha” aku menjawab undangan nya dengan santai dan tawa renyah di akhir kalimat.

“kenapa? Kau sangat pantas, Nina. Kau sangat pantas berada di tengah-tengah kami. Kau sangat pantas denganku!” apa? Sofia bilang apa? “eh- emm- maksudku, kenapa kau merasa begitu?”

“ah, mungkin lain kali. Malam ini aku tidak bisa. Maaf ya, Sofia yang cantiiiikkk!” semoga candaanku tidak dianggap serius olehnya. Aku mencubit hidung nya dengan punggung jari telunjuk dan jari tengah tangan kananku.

“apa kau sudah punya acara? Dengan siapa? Sangat penting, ya?” eh? Sofia kok jadi terkesan posesif seperti ini.

“rahasia! Hahahaha….” Aku tertawa renyah. Entah mengapa mimik dan ekspresi wajah sofia lucu saat menanyakan pertanyaan semi-posesif seperti itu. aku bergegas pergi. Melangkahkan kaki ku menuju rumah.

***

24 Desember 1943, Christmas Eve.

Gracia’s POV

                Syukurlah malam ini cerah. Salju tidak turun dengan ukuran besar dan deras. Hanya butiran-butiran kecil dan jarang. Nina menunggu ku selesai dari gereja. Dengan sebuah buku tebal di tangan nya, ia asyik menggauli (?) buku itu di sebuah kursi panjang di halaman gereja. Di sebelahnya sedang duduk manis Kak Kinal dengan buku tebalnya juga. Mereka berdua terkadang memiliki banyak kesamaan. Sama-sama pintar, tulus, baik dan perhatian. Selain itu, mungkin orang-orang melihat mereka sebagai atheist. Padahal hanya Kak Kinal yang atheist. Entah mengapa orang se-menyenangkan Kak Kinal terlalu sombong untuk mempercayai keberadaan sang ‘zat maha oke’.

 Aku dan kak ve menghampiri mereka. Kami berpisah dengan Kak Ve dan Kak Kinal yang memutuskan untuk pulang lebih dulu karena akan menyiapkan pesta kecil-kecilan di rumahku. Seperti rencana yang untungnya tidak berujung wacana tadi pagi, aku dan Nina berjalan menuju pasar dadakan dalam rangka malam natal di pusat kota kecil ini.

Setiap hari-hari tertentu, ruang terbuka di tengah kota ini biasanya ada festival atau sekedar pasar dadakan yang menjual atribut dan pernak-pernik yang berhubungan dengan hari special tertentu. Seperti malam ini, penjual-penjual pernak-pernik natal berjejer rapi di sepanjang jalan. Musisi-musisi jalanan menampilkan kepiawaian mereka dengan tentunya meminta bayaran seikhlasnya setelah mereka tampil. Café-café di penuhi muda-mudi. beberapa Laki-laki gendut berpakaian merah dengan janggut putih mulai memainkan peran nya menghibur penduduk yang lewat. Dan di tengah pusat kota kecil ini terdapat sebuah pohon natal besar yang dengan megahnya berdiri diantara semua orang disini.

Seperti biasanya, di ranting-ranting pohon itu terikat masing-masing secarik kertas berisi harapan dan doa mereka di hari yang istimewa ini. Aku dan Nina turut menuliskan harapan kami di pohon natal yang besar itu.

Natal memang indah. Di malam ini, penduduk kota kecil ini berbaur dengan prajurit bawahan nazi. Tidak ada senapan atau senjata lain yang mereka bawa. Semua datang memang benar-benar untuk merayakan malam natal. Dan malam ini untuk pertama kalinya aku melihat tawa renyah prajurit-prajurit nazi itu dengan pikiran baik. Biasanya apapun yang berhubungan dengan mereka, aku selalu berfikir negative. Iyalah, mereka merebut tanah air ku. Masa iya masih berprasangka baik.

“Gre, ayo berfoto bersama!” Nina menyeretku ke tukang foto keliling. Aku nurut saja.

                Kami mengambil dua foto. Pose pertama sangat umum. Kami hanya berdiri membelakangi pohon natal lalu tersenyum ke kamera. Pose kedua bisa dibilang epic. Nina mengajakku mengangkat jari telunjuk dan jari tengah menjadi huruf V, lalu tersenyum sumringah memperlihatkan gigi.

“yang ini lucu ya, Gre!” ia menunjukan foto pose kedua kepadaku.

“pose ini sepertinya baru aku ketahui.” Kataku merebut foto itu lalu memperhatikannya.

“anggap saja itu membentuk simbol perdamaian. Kita harus membuat identitas dan ciri khas sendiri. V for Peace! Hehe.” Nina mulai bicara tidak jelas. Terserah deh, Nin.

“tapi peace diawali huruf P, bukan V. kamu ih ada-ada saja.”

“biarlah. Daripada V for Veranda?” Nina meledekku. Aku hanya memanyunkan bibirku, berpura-pura marah.

“hahahahahah! Aku Cuma bercanda, My Gre! Lagipula aku tidak siap jika harus berperang dengan Russia.” Ini nina apabanget sih. Eh tapi dia lucu. Hamelwosfh pacarku ini lucu. Hihi.

“loh kok Russia?” aku bingung. Terkadang susah mengobrol dengan Nina. Dia terlalu pintar dan…… random. Hehe

“Kinal Iriena Ivanova keturunan Russia, bukan?”

                Kami berdua kemudian tertawa bersama. Sambil jalan, obrolan kami sampai kemana-mana. Dari mulai membicarakan kekonyolan kak Kinal, makanan khas Negara asal ku, sampai hal-hal tidak penting turut mengasyikan quality time ku dengan Nina.

***

10.26 PM

                Kami sudah sampai di rumah ku. Malam ini nina kembali menginap disini. Begitu pun kak Kinal. Kami makan bersama, lalu menikmati pesta kecil-kecilan di ruang keluarga bersama Kak Kinal dan Kak Ve. Sebenarnya kami hanya berbincang hangat di depan perapian karena udara semakin malam semakin dingin. Seperti biasa, agent of happiness kami si Kinal Iriena Ivanova membuat perut seakan terkocok habis karena tertawa. Segelas cokelat panas dari masing-masing kami dan beberapa jenis cookies menjadi pelengkap pesta sederhana ini.

“terimakasih ya, ini natal pertama ku. Sangat menyenangkan!” tiba-tiba nina mengucapkan kata yang mengundang sejuta Tanya itu.

“ini natal ke sepuluh ku. Ve selalu membagi kebahagiaan ini setiap tahun.” Sahut kak Kinal.

“dulu Kinal masih kurus kering. Jelek deh, tapi sekarang udah cantik. Hahahaha” kak Ve belajar ngetroll darimana?

                Suara tawa kembali pecah saat Kak Kinal dan Kak Ve saling melempar aib konyol mereka. Sesekali nina ikut nimbrung menimpali ledekan Kak Kinal yang kadang nyerempet Nina. Aku hanya bisa ikut tertawa saja karena memang aku tak tahu harus bicara apa.

“ngomong-ngomong, kenapa kau bisa tidak percaya tuhan, Nina?” kak Kinal nanya nya kok gitu sih.

            Suasana berubah menjadi hening dengan cekaman dan kerisauan di hatiku. Aku tak tahu bagaimana kelanjutan nya. apa nina cukup percaya kepada Kak Kinal dan Kak ve untuk bercerita siapa dirinya, atau ia akan membuat kalimat kebohongan untuk menutupi identitas aslinya. Aku melemparkan pandangan ke Nina. ia masih diam. Mimik wajahnya berubah. Tatapan kosongnya menyiratkan bahwa ia sedang berpikir dalam gejolak batin antara jujur atau berbohong.

“a-aku bukan atheist, Kak.” nina membuka suara.

“lalu apa? Muslim? Buddhist? Or…?” kali ini kak ve mengeluarkan sifat dasarnya; sangat ingin tahu.

“I’m a jew.” Aku kaget. Nina bisa sejelas itu mengungkap siapa dia. Walaupun dengan suara pelan, kalimat itu sangat jelas di telinga kami.

“oh…..” Kak Kinal hanya ber-oh-ria. Ekspresi Wajahnya datar seperti biasa saja mendengar kalimat dari nina. Berbeda dengan Kak Ve, ia sedikit kaget lalu mungkin perasaan risau menyelimutinya.

“berjanjilah untuk tidak memberitahukan hal ini kepada siapapun!” akhirnya aku memecah kesunyian setelah beberapa detik keheningan akibat ‘oh’ dari Kak kinal.

“janji.” Kak Kinal dan Kak Ve mengucapnya bersamaan.

“aku sangat merindukan orang tua ku. Entah berada di kamp konsentrasi atau sudah mati, aku tak tahu.” Nina, tolong jangan sedih di hari istimewa ini!

“percayalah pada kebesaran tuhan, Nina. Percayalah bahwa orang tua mu selalu berada dalam lingkaran kasih dan perlindungan tuhan.” Kak ve mengusap bahu Nina. “kakak juga terus percaya, bahwa tuhan maha hebat. Ia akan selalu menjaga Ayah dimanapun ia berada sekarang.”

                Ayah. Aku merindukan nya. sudah lama sekali rasanya aku tidak melihatnya. Sudah terlampau lama aku tidak merasakan hangatnya pelukan dari Ayah. Aku tak tahu dimana Ayah sekarang. Apakah Ayah merayakan malam natal, atau tidak. Yang pasti aku percaya bahwa Ayah akan memerdekakan Negara ini, lalu kembali pulang ke rumah bersama aku dan Kak Ve.

“hey! Ayolah kita berbahagia! Ini malam natal, bukan?” kak kinal memecah kesunyian. “semoga tahun depan kita masih bisa merayakan malam natal bersama di tengah perbedaan yang harmonis ini.”

Semoga. Amin.

***

27 desember 1943, 8.35 AM

Gracia’s POV

                Aku bangun pagi-pagi buta begini. Iya, di musim dingin matahari terbit pukul 9 pagi. Sepanjang hari, malam terasa sangat lama dengan siang yang singkat. Aku lebih suka adanya siang daripada malam. Jika musim panas matahari terbit pukul 2 pagi dengan siang yang panjang, aku bisa menghabiskan waktu dengan Nina. Yang ku impikan saat malam hari adalah taburan bintang yang menghias langit.

Tetapi berhubung Negara ini sedang di kuasai jerman yang notabene Negara fasis dengan insting hewani yang ingin menguasai dunia dengan serangkaian perang, langit malam-malam disini sering sekali dihiasi kerlap-kerlip cahaya dari senjata api. Sunyi nya malam juga sering sekali dikotori oleh polusi suara kicau ledakan bom dan bisingnya sirine peringatan datangnya serangan udara. Kenyenyakan tidur juga sering sekali terganggu dengan keharusan kami berjalan tergesa di malam hari menuju bunker untuk melindungi diri dari serangan bom musuh jerman. Yak, tepatnya inggris.

Dirunut dari sejarah Negara ini, inggris pernah bermusuhan dengan Denmark akibat pada saat Perang Dunia I Denmark dianggap mengkhianati inggris karena beberapa hal. Sebelum jerman masuk, inggris sebenarnya lebih dulu ingin menginvasi Denmark. Lebih baik di jajah inggris atau jerman? Aku tidak memilih kedua nya. Hanya warga Negara bodoh yang ingin tanah air nya terjajah bangsa lain.

“Papa ku seorang polisi, dulunya. Ia ditahan Gestapo. Mungkin ikut dikirim menjadi tentara interniran di Buchenwald sekarang.” Samar-samar ku dengar percakapan kak kinal dengan Nina di halaman kecil belakang rumah.

                Gestapo adalah polisi rahasia jerman yang menawan 1900 polisi Denmark termasuk Papa nya kak Kinal. Tentara interniran adalah tawanan yang dipersenjatai untuk membantu jerman dalam perang.

“maaf kak, kalau aku membuatmu sedih.” Nina merasa bersalah mendengar ucapan dari kak kinal. Aku mengintip dari sela-sela pintu belakang yang sedikit terbuka.

“tak apa, Nina. Yang perlu kau ketahui adalah disini kau tidak sendirian. Kita sama-sama korban keji nya peperangan bodoh ini. Bukan hanya kau yang kehilangan orang tua. Masih ada aku, Ve, dan Gracia yang sama-sama menanggung pedihnya pemusnahan manusia oleh manusia sendiri ini.” Kak Kinal berbicara dengan mantap. Seperti kak Kinal yang ku kenal. Ia selalu pandai menyusun kata.

“sayang ya, kak. kita hidup di zaman dimana tak setuju maka beda kubu. Tak sepaham lantas baku hantam. Dan yang seiman malah saling menerakakan.” Ucap nina. Oke, obrolan mereka mulai berat.

“haha. Mereka itu Cuma kerumunan orang yang lupa. Mereka lupa bahwa kau, mereka dan aku adalah saudara. Mereka lupa bahwa semua manusia di dunia itu sama. Sesama manusia harusnya saling peluk selayak saudara, saling jaga seperti keluarga. Berbagi cinta dan berbagi bahagia bersama.” Kak kinal mengawali kalimatnya dengan tawa meremehkan atas paham orang-orang fasis.

                Ya, begitulah keadaan dunia saat ini. Kacau. Runyam. Tak nyaman. Orang-orang di kerumunan berjejalan di lingkaran. Membentuk formasi penuh strategi. Mereka ‘menari’ dengan mata terpejam. Seperti kerasukan. Jiwa nya sudah tak lagi bersemayam.

                Di tanah tua yang tinggal hanya debu, darah, dan marah. Deru bising suara senjata dan tank baja sudah biasa. Kepulan minyak bakar yang menetes kencang dari lubang biru yang menghitam. Beginilah bumi ini. Turut berbela sungkawa, atas sekaratnya jiwa para berkerumun yang tertawa-tawa di sempitnya ruang bahagia yang seharusnya luas tak terbatas. Dan turut berduka cita, atas tak berartinya bunga yang berganti umpat benci, caci maki, bunuh dan lukai.


                Saking seriusnya aku menguping pembicaraan Kak Kinal dan Nina, aku sampai tak sadar akan hadirnya Kak Ve yang berbisik mengajak ku memasak di dapur. Aku dan kak ve kemudian memasak untuk sarapan kami.

tbc~

gimana? gimana? jangan lupa komen, kritik dan saran yaaaap XD
@satepadang48






2 comments:

  1. Craziest Steel Handle for the Classic Shaving Shop
    ® Stainless Steel Handle for the Classic Shaving Shop! (T.I.E.'s gold titanium alloy newest safety edc titanium razor). titanium security The Craziest Stainless titanium wok Steel womens titanium wedding bands Handle offers quality

    ReplyDelete