Helaaaw. langsung aja ya, selamat membaca!
.
.
.
.
Nina’s POV
“selamat pagi,
yang-lebih-dari-indah!” ucapku saat Gracia memasuki ruang makan. Pagi ini
cerah. Syukurlah.
“Pagi, Nina. Kak ve, Kak kinal!”
Gracia menduduki kursi nya sambil memberikan senyum simpul kepada kami yang
sudah menunggunya di meja makan.
Ini
bukan weekend, jadi Kak kinal pagi-pagi begini sudah menjemput kak Ve untuk
bekerja bersama. Sebenarnya mungkin ikut numpang sarapan juga kali ya (?)
Setelah sarapan selesai, Kak ve dan kak kinal ke rumah sakit untuk bekerja
sebagaimana profesi dokter dan perawat.
Aku
membantu meringankan sedikit pekerjaan rumah gracia dengan mencuci piring dan
alat makan yang kami gunakan tadi. Sementara gracia sendiri mengerjakan yang
lainnya. Ia gerak cepat. setelah mencuci pakaian ia sudah langsung mengerjakan
pekerjaan kedua yaitu mengelap kaca jendela.
“jadi, mau kemana kita hari ini,
Tuan Putri?” aku menghampirinya. Gracia menghentikan kegiatannya. Ia tersenyum
melihatku. “oh iya, bagaimana kalau kita pergi berbelanja? Ini malam natal,
kan?” lanjutku
“belanja? Bicaramu seperti
perempuan saja. Hahahaha” Gracia melanjutkan mengelap kaca sambil senyum-senyum
menggelengkan kepala.
“hey! Aku lebih cantik darimu, Gresya! hanya saja aku tidak mau orang
lain melihatmu jelek jika disampingku! Hahahaha” mau ngetroll Nina? Haha. Lol.
imposibru. Aku kan jago ngeles. Hehe.
“hah? No, no. you’re my man! My
handsome man! Suka lucu, dih. Haha” ia masih asik mengelap jendela (?)
Gracia
selesai dengan jendela yang satu, sekarang giliran jendela lainnya. Saat ia
hendak menuju jendela lainnya, aku memotong langkahnya. Ia menabrak tubuhku.
Keningnya sempat menyentuh dagu ku. Jarak diantara kami sangat dekat, kira-kira
sekitar 30cm. ia bergegas pergi tapi tangan kiri ku lebih cepat mengunci
pergelangan tangan kanan nya. jarak kami semakin dekat. Semakin lekat. Ia
mendongakkan kepalanya untuk melihat wajahku. Tatapan kami bertemu.
“aku percaya, Gre. Kau memang
sangat cantik.” Aku sedikit merunduk. Mendekatkan wajahku ke wajahnya.
Poni
miring dari rambutnya yang tergerai bebas sedikit menutupi sebagian wajahnya.
Aku merapikan rambutnya sambil menyentuh lembut wajahnya. Nafas gracia mulai
tidak beraturan. Ia memejamkan matanya saat sentuhan dari jari-jari ku sampai
di rahang dan dagu nya. Perlahan ku dekatkan wajahku hingga bibirku menyentuh
bibir lembut gracia. Sepersekian detik, bibir kami mulai bergerak berpagutan.
Ciuman pelan dan lembut membuat nafas gracia makin tak beraturan terasa di
wajahku. Ini buai. Buai yang fantastik. Ini buai. Ayun buai Gracia.
Beberapa
menit terbuai Hingar bingar romantika. Dalam tempo yang semakin melambat, kami
menghentikan ciuman hangat ini. Kening kami saling beradu. Nafas kami memburu.
Tatapan kami saling bertemu. Ia tersenyum lembut. Gracia luar biasa indah. Kami
tertawa renyah lalu melanjutkan kegiatan.
Sekitar
jam 11 siang aku pulang. Inginnya terus menemani Gracia seharian, tapi aku
sudah berjanji akan membantu nenek dirumah. Lagipula, nanti sekitar jam 7 malam
aku akan kembali bertemu my Gresya
setelah ia ke gereja.
Hanya
kau yang mengerti hati ini, Gre. Kau membuatku jatuh cinta berulang kali.
Seperti gelap berganti terang, kau memberiku kekuatan. Kau mengisi lembaran
baru hidupku. Kau yang menjaga hati ini. Kau beri semua yang pernah ku impikan.
Kau lah bintang penuntunku. Tak ada yang se-indah kamu, Gre.
“Nina!” aku menoleh ke belakang.
Suara itu membuyarkan lamunanku akan memori indahku bersama gracia yang terekam
sempurna dalam otak ku.
“sofia? Ada apa?” ia berlari
kecil menghampiriku.
Aku
berada di depan rumah sofia yang besar. Rumah walikota Arthur Rassmusen ini
memang selalu ku lewati setiap hari, karena memang rute rumahku searah dengan
rumah sofia. Ia mengenakan dress putih dengan garis biru tipis di kerah nya.
terlihat sederhana, namun juga terlihat mahal. Beda lah, sofia kan anak orang
kaya.
“nanti malam datang ke rumah ku
ya, Ayahku mengadakan pesta malam natal!” ucapnya bersemangat.
“pesta? Di rumah mu? Aku tidak
pantas, Sofia. Rumah mu akan ramai oleh petinggi-petinggi di kota ini.
Hahahaha” aku menjawab undangan nya dengan santai dan tawa renyah di akhir
kalimat.
“kenapa? Kau sangat pantas, Nina.
Kau sangat pantas berada di tengah-tengah kami. Kau sangat pantas denganku!”
apa? Sofia bilang apa? “eh- emm- maksudku, kenapa kau merasa begitu?”
“ah, mungkin lain kali. Malam ini
aku tidak bisa. Maaf ya, Sofia yang cantiiiikkk!” semoga candaanku tidak
dianggap serius olehnya. Aku mencubit hidung nya dengan punggung jari telunjuk
dan jari tengah tangan kananku.
“apa kau sudah punya acara?
Dengan siapa? Sangat penting, ya?” eh? Sofia kok jadi terkesan posesif seperti
ini.
“rahasia! Hahahaha….” Aku tertawa
renyah. Entah mengapa mimik dan ekspresi wajah sofia lucu saat menanyakan
pertanyaan semi-posesif seperti itu. aku bergegas pergi. Melangkahkan kaki ku
menuju rumah.
***
24 Desember 1943, Christmas Eve.
Gracia’s POV
Syukurlah
malam ini cerah. Salju tidak turun dengan ukuran besar dan deras. Hanya
butiran-butiran kecil dan jarang. Nina menunggu ku selesai dari gereja. Dengan
sebuah buku tebal di tangan nya, ia asyik menggauli (?) buku itu di sebuah kursi
panjang di halaman gereja. Di sebelahnya sedang duduk manis Kak Kinal dengan
buku tebalnya juga. Mereka berdua terkadang memiliki banyak kesamaan. Sama-sama
pintar, tulus, baik dan perhatian. Selain itu, mungkin orang-orang melihat
mereka sebagai atheist. Padahal hanya Kak Kinal yang atheist. Entah mengapa
orang se-menyenangkan Kak Kinal terlalu sombong untuk mempercayai keberadaan
sang ‘zat maha oke’.
Aku dan kak ve menghampiri mereka. Kami
berpisah dengan Kak Ve dan Kak Kinal yang memutuskan untuk pulang lebih dulu
karena akan menyiapkan pesta kecil-kecilan di rumahku. Seperti rencana yang
untungnya tidak berujung wacana tadi pagi, aku dan Nina berjalan menuju pasar
dadakan dalam rangka malam natal di pusat kota kecil ini.
Setiap
hari-hari tertentu, ruang terbuka di tengah kota ini biasanya ada festival atau
sekedar pasar dadakan yang menjual atribut dan pernak-pernik yang berhubungan
dengan hari special tertentu. Seperti malam ini, penjual-penjual pernak-pernik
natal berjejer rapi di sepanjang jalan. Musisi-musisi jalanan menampilkan
kepiawaian mereka dengan tentunya meminta bayaran seikhlasnya setelah mereka
tampil. Café-café di penuhi muda-mudi. beberapa Laki-laki gendut berpakaian
merah dengan janggut putih mulai memainkan peran nya menghibur penduduk yang
lewat. Dan di tengah pusat kota kecil ini terdapat sebuah pohon natal besar
yang dengan megahnya berdiri diantara semua orang disini.
Seperti
biasanya, di ranting-ranting pohon itu terikat masing-masing secarik kertas
berisi harapan dan doa mereka di hari yang istimewa ini. Aku dan Nina turut
menuliskan harapan kami di pohon natal yang besar itu.
Natal memang
indah. Di malam ini, penduduk kota kecil ini berbaur dengan prajurit bawahan
nazi. Tidak ada senapan atau senjata lain yang mereka bawa. Semua datang memang
benar-benar untuk merayakan malam natal. Dan malam ini untuk pertama kalinya
aku melihat tawa renyah prajurit-prajurit nazi itu dengan pikiran baik.
Biasanya apapun yang berhubungan dengan mereka, aku selalu berfikir negative.
Iyalah, mereka merebut tanah air ku. Masa iya masih berprasangka baik.
“Gre, ayo berfoto bersama!” Nina
menyeretku ke tukang foto keliling. Aku nurut saja.
Kami
mengambil dua foto. Pose pertama sangat umum. Kami hanya berdiri membelakangi
pohon natal lalu tersenyum ke kamera. Pose kedua bisa dibilang epic. Nina
mengajakku mengangkat jari telunjuk dan jari tengah menjadi huruf V, lalu
tersenyum sumringah memperlihatkan gigi.
“yang ini lucu ya, Gre!” ia
menunjukan foto pose kedua kepadaku.
“pose ini sepertinya baru aku
ketahui.” Kataku merebut foto itu lalu memperhatikannya.
“anggap saja itu membentuk simbol
perdamaian. Kita harus membuat identitas dan ciri khas sendiri. V for Peace!
Hehe.” Nina mulai bicara tidak jelas. Terserah deh, Nin.
“tapi peace diawali huruf P,
bukan V. kamu ih ada-ada saja.”
“biarlah. Daripada V for
Veranda?” Nina meledekku. Aku hanya memanyunkan bibirku, berpura-pura marah.
“hahahahahah! Aku Cuma bercanda,
My Gre! Lagipula aku tidak siap jika harus berperang dengan Russia.” Ini nina
apabanget sih. Eh tapi dia lucu. Hamelwosfh pacarku ini lucu. Hihi.
“loh kok Russia?” aku bingung.
Terkadang susah mengobrol dengan Nina. Dia terlalu pintar dan…… random. Hehe
“Kinal Iriena Ivanova keturunan
Russia, bukan?”
Kami
berdua kemudian tertawa bersama. Sambil jalan, obrolan kami sampai kemana-mana.
Dari mulai membicarakan kekonyolan kak Kinal, makanan khas Negara asal ku,
sampai hal-hal tidak penting turut mengasyikan quality time ku dengan Nina.
***
10.26 PM
Kami sudah
sampai di rumah ku. Malam ini nina kembali menginap disini. Begitu pun kak
Kinal. Kami makan bersama, lalu menikmati pesta kecil-kecilan di ruang keluarga
bersama Kak Kinal dan Kak Ve. Sebenarnya kami hanya berbincang hangat di depan
perapian karena udara semakin malam semakin dingin. Seperti biasa, agent of
happiness kami si Kinal Iriena Ivanova membuat perut seakan terkocok habis
karena tertawa. Segelas cokelat panas dari masing-masing kami dan beberapa
jenis cookies menjadi pelengkap pesta sederhana ini.
“terimakasih ya, ini natal
pertama ku. Sangat menyenangkan!” tiba-tiba nina mengucapkan kata yang
mengundang sejuta Tanya itu.
“ini natal ke sepuluh ku. Ve
selalu membagi kebahagiaan ini setiap tahun.” Sahut kak Kinal.
“dulu Kinal masih kurus kering.
Jelek deh, tapi sekarang udah cantik. Hahahaha” kak Ve belajar ngetroll
darimana?
Suara
tawa kembali pecah saat Kak Kinal dan Kak Ve saling melempar aib konyol mereka.
Sesekali nina ikut nimbrung menimpali ledekan Kak Kinal yang kadang nyerempet
Nina. Aku hanya bisa ikut tertawa saja karena memang aku tak tahu harus bicara
apa.
“ngomong-ngomong, kenapa kau bisa
tidak percaya tuhan, Nina?” kak Kinal nanya nya kok gitu sih.
Suasana
berubah menjadi hening dengan cekaman dan kerisauan di hatiku. Aku tak tahu
bagaimana kelanjutan nya. apa nina cukup percaya kepada Kak Kinal dan Kak ve
untuk bercerita siapa dirinya, atau ia akan membuat kalimat kebohongan untuk
menutupi identitas aslinya. Aku melemparkan pandangan ke Nina. ia masih diam.
Mimik wajahnya berubah. Tatapan kosongnya menyiratkan bahwa ia sedang berpikir
dalam gejolak batin antara jujur atau berbohong.
“a-aku bukan atheist, Kak.” nina
membuka suara.
“lalu apa? Muslim? Buddhist?
Or…?” kali ini kak ve mengeluarkan sifat dasarnya; sangat ingin tahu.
“I’m a jew.” Aku kaget. Nina bisa
sejelas itu mengungkap siapa dia. Walaupun dengan suara pelan, kalimat itu
sangat jelas di telinga kami.
“oh…..” Kak Kinal hanya
ber-oh-ria. Ekspresi Wajahnya datar seperti biasa saja mendengar kalimat dari
nina. Berbeda dengan Kak Ve, ia sedikit kaget lalu mungkin perasaan risau
menyelimutinya.
“berjanjilah untuk tidak
memberitahukan hal ini kepada siapapun!” akhirnya aku memecah kesunyian setelah
beberapa detik keheningan akibat ‘oh’ dari Kak kinal.
“janji.” Kak Kinal dan Kak Ve
mengucapnya bersamaan.
“aku sangat merindukan orang tua
ku. Entah berada di kamp konsentrasi atau sudah mati, aku tak tahu.” Nina,
tolong jangan sedih di hari istimewa ini!
“percayalah pada kebesaran tuhan,
Nina. Percayalah bahwa orang tua mu selalu berada dalam lingkaran kasih dan
perlindungan tuhan.” Kak ve mengusap bahu Nina. “kakak juga terus percaya,
bahwa tuhan maha hebat. Ia akan selalu menjaga Ayah dimanapun ia berada
sekarang.”
Ayah.
Aku merindukan nya. sudah lama sekali rasanya aku tidak melihatnya. Sudah
terlampau lama aku tidak merasakan hangatnya pelukan dari Ayah. Aku tak tahu
dimana Ayah sekarang. Apakah Ayah merayakan malam natal, atau tidak. Yang pasti
aku percaya bahwa Ayah akan memerdekakan Negara ini, lalu kembali pulang ke
rumah bersama aku dan Kak Ve.
“hey! Ayolah kita berbahagia! Ini
malam natal, bukan?” kak kinal memecah kesunyian. “semoga tahun depan kita
masih bisa merayakan malam natal bersama di tengah perbedaan yang harmonis
ini.”
Semoga. Amin.
***
27 desember 1943, 8.35 AM
Gracia’s POV
Aku bangun
pagi-pagi buta begini. Iya, di musim dingin matahari terbit pukul 9 pagi.
Sepanjang hari, malam terasa sangat lama dengan siang yang singkat. Aku lebih
suka adanya siang daripada malam. Jika musim panas matahari terbit pukul 2 pagi
dengan siang yang panjang, aku bisa menghabiskan waktu dengan Nina. Yang ku
impikan saat malam hari adalah taburan bintang yang menghias langit.
Tetapi
berhubung Negara ini sedang di kuasai jerman yang notabene Negara fasis dengan
insting hewani yang ingin menguasai dunia dengan serangkaian perang, langit
malam-malam disini sering sekali dihiasi kerlap-kerlip cahaya dari senjata api.
Sunyi nya malam juga sering sekali dikotori oleh polusi suara kicau ledakan bom
dan bisingnya sirine peringatan datangnya serangan udara. Kenyenyakan tidur
juga sering sekali terganggu dengan keharusan kami berjalan tergesa di malam
hari menuju bunker untuk melindungi diri dari serangan bom musuh jerman. Yak,
tepatnya inggris.
Dirunut dari
sejarah Negara ini, inggris pernah bermusuhan dengan Denmark akibat pada saat
Perang Dunia I Denmark dianggap mengkhianati inggris karena beberapa hal.
Sebelum jerman masuk, inggris sebenarnya lebih dulu ingin menginvasi Denmark.
Lebih baik di jajah inggris atau jerman? Aku tidak memilih kedua nya. Hanya warga
Negara bodoh yang ingin tanah air nya terjajah bangsa lain.
“Papa ku seorang polisi, dulunya.
Ia ditahan Gestapo. Mungkin ikut dikirim menjadi tentara interniran di
Buchenwald sekarang.” Samar-samar ku dengar percakapan kak kinal dengan Nina di
halaman kecil belakang rumah.
Gestapo
adalah polisi rahasia jerman yang menawan 1900 polisi Denmark termasuk Papa nya
kak Kinal. Tentara interniran adalah tawanan yang dipersenjatai untuk membantu
jerman dalam perang.
“maaf kak, kalau aku membuatmu
sedih.” Nina merasa bersalah mendengar ucapan dari kak kinal. Aku mengintip
dari sela-sela pintu belakang yang sedikit terbuka.
“tak apa, Nina. Yang perlu kau
ketahui adalah disini kau tidak sendirian. Kita sama-sama korban keji nya
peperangan bodoh ini. Bukan hanya kau yang kehilangan orang tua. Masih ada aku,
Ve, dan Gracia yang sama-sama menanggung pedihnya pemusnahan manusia oleh
manusia sendiri ini.” Kak Kinal berbicara dengan mantap. Seperti kak Kinal yang
ku kenal. Ia selalu pandai menyusun kata.
“sayang ya, kak. kita hidup di
zaman dimana tak setuju maka beda kubu. Tak sepaham lantas baku hantam. Dan
yang seiman malah saling menerakakan.” Ucap nina. Oke, obrolan mereka mulai
berat.
“haha. Mereka itu Cuma kerumunan
orang yang lupa. Mereka lupa bahwa kau, mereka dan aku adalah saudara. Mereka
lupa bahwa semua manusia di dunia itu sama. Sesama manusia harusnya saling
peluk selayak saudara, saling jaga seperti keluarga. Berbagi cinta dan berbagi
bahagia bersama.” Kak kinal mengawali kalimatnya dengan tawa meremehkan atas
paham orang-orang fasis.
Ya,
begitulah keadaan dunia saat ini. Kacau. Runyam. Tak nyaman. Orang-orang di
kerumunan berjejalan di lingkaran. Membentuk formasi penuh strategi. Mereka
‘menari’ dengan mata terpejam. Seperti kerasukan. Jiwa nya sudah tak lagi
bersemayam.
Di
tanah tua yang tinggal hanya debu, darah, dan marah. Deru bising suara senjata
dan tank baja sudah biasa. Kepulan minyak bakar yang menetes kencang dari
lubang biru yang menghitam. Beginilah bumi ini. Turut berbela sungkawa, atas
sekaratnya jiwa para berkerumun yang tertawa-tawa di sempitnya ruang bahagia
yang seharusnya luas tak terbatas. Dan turut berduka cita, atas tak berartinya
bunga yang berganti umpat benci, caci maki, bunuh dan lukai.
Saking seriusnya aku menguping
pembicaraan Kak Kinal dan Nina, aku sampai tak sadar akan hadirnya Kak Ve yang
berbisik mengajak ku memasak di dapur. Aku dan kak ve kemudian memasak untuk
sarapan kami.
tbc~
gimana? gimana? jangan lupa komen, kritik dan saran yaaaap XD
@satepadang48
Craziest Steel Handle for the Classic Shaving Shop
ReplyDelete® Stainless Steel Handle for the Classic Shaving Shop! (T.I.E.'s gold titanium alloy newest safety edc titanium razor). titanium security The Craziest Stainless titanium wok Steel womens titanium wedding bands Handle offers quality
i744u8mfmsf822 small dildo,Clitoral Vibrators,dog dildo,penis rings,horse dildos,realistic dildo,dog dildo,masturbators,dildos y388p7hadzi296
ReplyDelete