halo, jadi gini...... Tulip Merah di pending dulu ya hehe
ini dulu yaaaa XD
selamat membaca yaaaa!
.
.
.
.
.
Satu…. Dua…. Tiga….
Perlahan
aku membuka mataku. Ruangan serba putih dengan peralatan medis disekelilingnya.
Ruangan dengan bau darah dan entah cairan apa yang menyengat. Kudapati tubuhku
berada dalam kehangatan tangan seorang pria paruh baya dengan kacamata yang
cukup tebal. Kerutan di kulit wajahnya menandakan bahwa ia berumur sekitar 50an
tahun. Ia tersenyum padaku. Ada sekitar 5 orang di ruangan ini. Semua tersenyum
padaku.
Aku
dipindahkan ke tangan dan lengan seorang wanita yang sangat lembut. Senyuman
tulus terlukis di wajahnya yang sangat cantik. Ia terlihat sangat kelelahan.
Wajahnya pucat dengan keringat di pelipisnya. Buliran air mata mengalir di
pipinya. Ia terlihat sangat bahagia. Tangan lembutnya membelai wajahku. Aku
ingat, dia ibuku.
Kemudian
aku berpindah tangan lagi. Kali ini tangan seorang pria. Perlahan tangisanku
berhenti seiring dengan suara Adzan di telingaku yang pria itu bisikan. Pria
itu, Aku mengenalnya. Pria brengsek. Aku membencinya. Aku ingat, ia ayahku.
Setelah
itu, aku dipindahkan lagi. Tubuhku dibersihkan dari kotoran yang menempel. Dua
orang perawat yang memandikanku. Yang satu berusia sekitar 40an tahun, ia
sangat lihai mengurusku. Perawat lainnya berusia sekitar 20an tahun, ia masih
kikuk dan seperti baru pertama kali melakukan pekerjaanya. Tunggu, Aku terlahir
kembali?
***
Menit
kedua.
Aku
bersama teman-teman kecilku, kami bermain sepeda mengitari komplek. Kami
berempat hanya anak kecil dengan kayuhan sepeda dan bau matahari. Kecuali dia,
Gracia. Ia adalah anak perempuan yang sangat dirawat dengan baik oleh mamanya.
Ia hanya keluar rumah sore hari setelah mandi. Mamanya adalah seorang Miss
Indonesia entah tahun berapa. Karena itu, wajar saja jika beliau ingin anaknya
selalu terlihat cantik.
Kayuhan
kami semakin cepat, kecuali Gracia. Ia tertinggal jauh di belakang. Kayuhannya
lambat, mungkin karena ia hanya anak perempuan yang manja. Satu-satunya anak
perempuan diantara kami berempat. Ia mempercepat kayuhannya dengan sekuat
tenaga untuk mengejarku dan anak-anak lainya. Namun, akurasi nya masih jelek.
Ia jatuh saat kami mendapati tikungan yang cukup tajam. Aku memutar balik
sepedaku, ku kayuh pedal ini mendekatinya yang menempel dengan aspal. Anak
perempuan itu menangis sambil memegangi lututnya, ku usap lututnya yang
mengeluarkan darah dengan bajuku.
“aw! Sakit tau! Pelan-pelan dong,
Mids!” keluh anak perempuan itu. Ia menyeka air matanya.
“udah ya, kamu jangan nangis lagi
dong. Nanti kalo mama kamu nyalahin aku gimana?” ucapku seraya menghentikan
tangisannya.
“yaudah, aku yang bawa sepeda
kamu ya. Kamu duduk dibelakang aja. Biar Okta yang bawa sepedaku.” Ucapku saat
Mario dan Okta baru saja menghampiri kami. Mereka biasa berboncengan saat
bersepeda. Okta tidak begitu lancar menggunakan sepeda, jadi selalu Mario yang
memboncenginya.
Gracia
menghentikan tangisnya. Ia menganggukan kepala tanda setuju dengan
permintaanku. Sepeda Gracia adalah seperti sepeda anak perempuan biasanya.
Sepeda berwarna ungu-pink dengan dua jok dan satu keranjang di bagian depannya.
Aku menaiki jok depan sepeda Gracia. Mario dan Okta membantunya berdiri. Gracia
sudah duduk di belakangku.
Gracia
memeluku erat dari belakang. Ku kayuh sepeda ungu ini dengan pelan, takut-takut
kalau anak perempuan di belakangku ini jatuh untuk yang kedua kalinya. Aku
sampai di depan rumahnya. Ia turun dari sepeda. Aku membantunya berjalan. Ku
bukakan pintu pagarnya agar dia lebih mudah masuk ke rumahnya.
CUP!
Gracia
mencium pipiku. Aku sangat amat terkejut. Hamids kecil tersenyum dengan
senangnya. Dasar, aku! Masih kecil saja sudah begini. Gracia mengucapkan
terimakasih lalu masuk ke dalam rumahnya dengan kaki yang tertatih. Mario dan
Oktapun bertingkah seperti anak laki-laki biasanya jika melihat teman perempuan
mereka mencium seorang bocah laki-laki ingusan yang juga teman sepermainan
mereka. Mereka meledekku dengan kata-kata yang indah ditelingaku “ciye! Hamids
sekarang pacarnya Gracia!”.
***
Menit
ketiga.
Sejak
hari itu, hari dimana Gracia mencium pipiku. Aku mulai menyukainya lebih dari
sekedar sahabat. Padahal waktu itu umur kami masih 7 tahun. Semakin hari Gracia
semakin cantik. Keindahannya semakin terpancar seiring dengan pubertasnya. Dari
kami berempat, aku dan Gracia adalah yang terdekat.
Aku
menyukainya lebih dari segala kata. Aku menyukainya lebih dari sekedar
kesukaanku pada segala yang kusuka. Aku menyukainya lebih dari semua keindahan
di dunia ini. Dia, Shania Gracia Tanumihardja. Aku mencintainya.
Hari ini,
sepulang sekolah. Masih dengan seragam putih-biru yang ku kenakan. Masih dengan
tas punggung ku yang belum dicuci sejak semester lalu. Dan masih dengan teman
sejak kecilku yang sama, Gracia. Tidak, kali ini aku sengaja tidak mengajak
Mario dan Okta. Kami hanya berdua di toko buku sebuah mall. Gracia menyukai
buku, terutama novel. Entah mengapa, padahal di zaman ini sudah ada E-book.
Tapi Gracia bilang, seni dari membaca sebuah cerita adalah dalam bentuk buku.
Oke, bilang
cinta itu tidak mudah. Tapi aku harus mengungkapkan perasaanku kepadanya. Ini
adalah saat yang tepat. Gracia adalah cinta pertamaku. Sudah terpendam sejak
lama. Sekarang atau tidak sama sekali. Ayo, Mids! Aku harus berani!
“Gre?” aku memanggilnya dengan
sebutan Gre. Singkatan dari Grecot. Entah aku lupa bagaimana bisa menyebutnya
Grecot. Hanya aku yang memanggilnya Grecot.
“iya, Mids? Kenapa? belom ketemu
komiknya?” ia membalikan badannya. Menghadapku yang dengan bodohnya memasang
tampang cengo. Sungguh, aku terpaku dengan kecantikannya.
Tiba-tiba
bibir ini kelu. Tubuhku bergetar hebat. Keringat mengalir dari pelipisku,
padahal ruangan ini ber-AC. Bilang cinta itu tidak mudah. Ku malu teramat malu.
Kali ini harus berani. Ayo, Hamids SMP!
“Gre?”
“apasih?” ia mungkin sedikit
kesal karena daritadi aku hanya diam mematung dengan tampang cengo.
“Gue suka sama lo, Gre! Lo mau
gak jadi pacar gue?”
Hah!
Bodoh, Mids. Kenapa Cuma itu yang keluar dari bibirku? Aku habiskan waktu untuk
melihat diriku di kaca seharian ini. Melatih lidahku untuk menguntai kata demi
kata. Aku berpikir keras untuk memilih kata yang tepat, memilih rentetan
pengucapan yang membuat Gracia yakin sejuta persen untuk menerima cintaku.
Gracia
masih diam menatapku. Ku buka akun facebook ku lalu meminta persetujuan in relationship with… ke akun facebook
Gracia. Ku ambil handphone Gracia dari tangannya, lalu membuka notifikasi
facebooknya. Di zaman ini belum
banyak media social yang kami mainkan. Bahkan akun twitter saja aku belum
punya. Bilang cinta itu tidak mudah. Ku malu teramat malu, Gre. Kau tahu, Gre?
Untuk bilang cinta padamu, ku berlatih seharian.
Ia
menatap layar handphone nya beberapa detik, sampai akhirnya ku temukan sebuah
notifikasi baru di facebook ku; You are
in relationship with Shania Gracia.
Itulah
saat-saat paling membahagiakan dalam hidupku. Sejak saat itu aku benar-benar
sepenuhnya untuk Gracia. Ku kesampingkan hobiku untuk lebih memperhatikannya.
Sungguh, aku mencintai Gracia melebihi siapapun. Aku mencintai Gracia lebih
dari apapun. Aku mencintai Gracia lebih dari aku mencintai diriku sendiri.
Apapun akan kulakukan untuk membuatnya tersenyum. Apapun akan kulakukan untuk
membuatnya tetap berada disampingku.
Aku
mencintainya sepenuh hati dan jiwaku. Maka saat aku kehilangannya, bukan hanya
hatiku yang hancur. Kehilangan Gracia bahkan menyakiti jiwaku. Setelah
pengumuman kelulusan SMP, tepat di hari anniversary hubunganku dengannya,
Gracia memutuskan hubungan kami.
Gracia dan
keluarganya akan pindah ke Athena, Yunani. Ia bilang ia sangat mencintaiku. Ia
bilang ia tidak bisa hidup tanpa diriku. Ia bilang aku adalah separuh jiwanya.
Dan karena itu, ia harus memutuskan hubungan denganku agar bisa terus
melanjutkan mimpinya tanpa bayang-bayangku yang samar-samar dari Athena. Dari
situlah, kejiwaanku mulai terganggu.
Sejak Gracia
memutuskan hubungan denganku, aku tidak pernah serius dengan perempuan. Aku
tidak benar-benar mecintai mereka yang aku pacari. Dalam hatiku masih ada
Gracia. Gadis-gadis itu memang pacarku, namun bukan kekasihku.
Entah mengapa,
aku suka sekali mempermainkan hati remaja wanita. Terutama yang berseragam
putih-abuabu sama sepertiku. SMA ini adalah sekolah tujuan kami berempat. Namun
hanya Aku, Mario, dan Okta yang dapat mendudukinya. Bisa dibilang aku memiliki
satu pleton mantan pacar, namun hanya satu orang yang aku cintai dengan tulus.
Julukan playboy pun ku sandang. Tak jarang aku memacari gadis-gadis itu karena
gengsi. Sampai suatu hari aku termakan oleh gengsiku sendiri. Aku mencintai
seorang gadis yang satu tingkat dibawahku. Aku mengosongkan hatiku yang awalnya
berisi Gracia, menjadi Indah. Iya, namanya Indah. Seindah sosoknya.
***
Menit keempat.
Ini adalah
menit terburukku. Aku kembali mengalami semuanya. Rasanya teramat sakit. Ini
kali pertamaku patah hati. Gracia memutuskan hubunganku. Ia menghancurkan hati
dan merusak kejiwaanku.
Setelah
masa-masa suram itu, aku lebih suka menghabiskan masa awal SMA ku dengan
membabi buta dalam mengejar gelar juara dalam hobi basket ku. Hari ini aku ada
pertandingan basket tingkat nasional mewakili provinsi D.I.Yogyakarta di Bali.
Kebetulan kontingen basket putra U-18 DIY tahun ini lebih baik dari tahun
sebelumnya. Kami mendapatkan medali emas setelah mengalahkan tim dari Jawa
Timur.
Aku dan timku
merayakan kemenangan ini dengan makan besar di sebuah resto. Namun
kegembiraanku musnah ketika ku lihat ayahku berjalan menghampiri sebuah meja
dengan 3 orang lainnya di sudut resto. Ayahku sepertinya baru pulang dari
kantor, dapat kulihat dari pakaian yang ia kenakan. Sampai di meja kecil itu,
ia mencium pipi seorang perempuan seumuran ibuku dan disambut hangat oleh dua
orang anak. Anak pertama berusia beberapa tahun diatasku. Ia perempuan yang
cantik dengan pakaian wisuda yang masih ia kenakan. Anak keduanya laki-laki,
masih mengenakan seragam SMP.
Aku
menghampiri pria brengsek itu. Tanganku bergetar. Adrenalinku meningkat. Aku
memukul pria brengsek yang ku sebut Ayah itu. Teriakan dan keterkejutan
orang-orang di resto itu semakin memperkeruh suasana. Aku terus memukulinya
tanpa ampun sampai teman-teman se-timku menarikku lalu membawaku ke bus yang
dipakai kontingen DIY.
“JADI GUE CUMA ANAK HARAM LO?
BANGSAT LO!” bentakku kepada orang yang kusebut Ayah itu saat ia menjelaskan
sebuah kebenaran yang terkunci rapat.
“Ayah minta maaf. Ayah memang
brengsek. Ayah memang salah. Kamu boleh menghukum Ayah.”
Pria brengsek
itu menundukan kepalanya. Menyadari kesalahan besarnya hampir 16 tahun lalu.
Sejak kecil, yang ku tahu adalah Ayahku memiliki sebuah perusahaan di Bali.
Karena itu ia jarang pulang. Mungkin hanya sebulan sekali. Ayah tidak pernah
mengajak aku dan Ibuku berlibur ke Bali, jika liburan ia malah mengajak kami
berlibur ke luar negeri.
‘Kecelakaan’
itu terjadi ketika Ayah sedang ada urusan bisnis di Jogja untuk beberapa bulan.
Selama itu juga ia berhubungan dengan Ibuku yang merupakan partner bisnis Ayah.
Dengan kata lain, ibuku adalah aku-sangat-berat-mengucapkannya, istri simpanan.
Bukan, bukan salah ibuku. Aku tidak pernah menyalahkannya. Ibuku adalah orang
yang paling aku sayangi. Aku mengutuk Ayahku. Si Bangsat itu.
“SEJAK KECIL LO NYIMPEN RAHASIA
INI RAPAT-RAPAT DARI GUE? BUAT APA MENGHUKUM LO? LO BUKAN AYAH GUE LAGI. AYAH
GUE BUKAN PRIA BRENGSEK MACEM LO!” mungkin aku durhaka karena berkata sekasar
ini kepada ayah biologisku. Ibuku yang duduk di sebelah si Bangsat itu hanya
bisa menangis tanpa bisa berkata apapun. Aku tak kuasa melihat Ibuku menangis.
Aku berlari ke kamar dan berdiam diri disana sampai beberapa hari.
Sudah
setahun sejak hari itu. Hari dimana sebuah rahasia besar terungkap. Hari dimana
hatiku merasakan sakit lagi tatkala mengetahui sebuah kebenaran pahit dalam
tangisan orang yang aku amat sayangi, ibuku. Sejak hari itu aku benar-benar
brengsek. Mungkin ini adalah sifat dasar yang diwarisi ayah biologisku, suka
memainkan perasaan perempuan. Namun, selama kurang lebih 3 bulan lalu aku mulai
memperbaiki diriku untuk orang kedua yang membuatku menjatuhkan hati ini. Aku
mencintai sosoknya lebih dari saat aku mencintai Gracia. Aku mencintai Indah.
Hari
ini aku masih dalam seragam SMAku, berniat memberikan sebuah cokelat untuk yang
tercinta, Indah. Namun langkahku terhenti di atas anak tangga kesekian
penghubung lantai 2 dan 3. Lagi. aku mendengar kenyataan pahit yang ketiga
dalam hidupku. Indah asik bertukar kata dengan teman-temannya. Ia bilang aku
adalah orang yang menyebalkan, bodoh, dan karena itu ia berhasil membodohiku.
Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia berpacaran denganku hanya
karena sebuah permainan Truth Or Dare
berhadiah tiket 1D.
“eh, kak Hamids. Kakak udah
denger ya?” ia berada di hadapanku dengan sebuah senyumannya yang bisa
membuatku gila. Senyumannya yang membuatku dimabuk kepayang. Senyumannya yang
saat ini menjadi senyuman paling menyakitkan yang pernah kulihat.
“kita putus kak. maaf ya, aku
jadiin bahan taruhan. Sekali-kali lah kakak ngerasain sakit yang cewek lain
rasain. Udah ya kak, aku ke kelas dulu. Bye!”
Indah
mengatakan kalimat tamparan itu dengan lancarnya. Sungguh, rasanya benar-benar
ditampar sampai tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya mematung tanpa bisa
berucap. Mataku terkunci di punggungnya yang semakin menjauh. PikiranKu melamunkan
kenangan indahku bersama seorang yang terindah. Untuk yang ketiga kalinya, Aku
hancur. Aku rapuh. Aku kehilangan duniaku.
***
Menit kelima.
Dalam 60 detik
ini aku mendapatkan pelajaran-pelajaran besar tentang kehidupan. Aku
mendapatkan pelajaran tentang bagaimana merasakan kebahagiaan. Bagaimana
kebahgiaan bisa membuatku terbang melayang hingga lupa kalau di setiap
kebahagiaan yang ku dapat bisa jadi merupakan sebuah kesedihan untuk orang
lain.
Aku belajar
bagaimana kesedihan membuatku ingat dengan kebahagiaan kecil yang sering sekali
ku abaikan. Kesedihan mmbuatku ingat dan malu kepada Tuhan yang selama ini
sering kutinggalkan.
Aku belajar
tentang persahabatan. Tentang bagaimana sebuah rasa, sebuah kepedulian, sebuah
kisah, sebuah rangkulan, dan jutaan tawa. Aku kembali melihat Gracia sebagai
sahabat kecilku, bukan cinta pertamaku. Aku melihat geng Gandul. Teman
terbaikku. Sahabat terbaikku. Mario, Okta, Adam, dan Nadhif. Senyum dan tawa
mereka yang tidak lebih tampan dariku ternyata merupakan sebuah kebahagiaan
yang selama ini sering kalah dengan senyuman Indah.
Aku belajar
tentang cinta. Cinta yang membuatku bertahan dengan Ibuku. Aku tersadar bahwa
kecintaan terbesarku bukan kepada Gracia atau Indah. Melainkan kepada seorang
yang mengasihiku sejak lahir, Shinta Naomi. Ia adalah ibu paling sempurna di
dunia ini. Ia adalah perempuan paling cantik di mataku. Ia adalah segalaku.
Aku belajar
tentang kebencian. Satu-satunya kebencian dalam hidupku adalah kebencianku
terhadap sosok yang kusebut Ayah. Bukan kebencianku pada Indah yang
menjadikanku bahan taruhan dalam permainan bodohnya. Satu-satunya orang paling
brengsek di mataku adalah Ayahku. Seorang yang membisikan lantunan adzan yang
suci di telingaku ternyata seorang yang brengsek. Ia tidak pantas bersama
Ibuku. Ia tidak pantas meng-adzaniku. Si bangsat ayah biologisku itu adalah
Gaida Farish.
Terakhir, aku
juga belajar tentang kehilangan. Jujur, kehilanganku yang paling pahit adalah
saat ini.
***
Menit keenam.
“Mama!” aku kembali ke diriku
saat bayi. Baby Hamids.
“Pah, lihat pah! Hamids menyebut
kata pertamanya! Mama! Hahahah!” Ibu duduk menghadap sebuah laptop dengan aku
yang duduk dalam pangkuannya. Ya, ibu sedang melakukan Video Call dengan Ayah
yang saat ini berada di Bali.
Dalam
satu menit ini, aku kembali mengalami apapun yang aku alami. Kata pertamaku,
langkah pertamaku, tawa pertamaku, nyanyian pertamaku, kayuhan sepeda
pertamaku, cinta pertamaku, dan hal-hal lain tentang diriku sendiri.
Aku
mengalami masa kecilku yang indah bersama sahabat kecilku yang lengkap dengan
Gracia. Aku merasakan cinta pertamaku. Aku merasakan kebencian pertamaku. Aku
merasakan pertumbuhanku, pubertasku dan perkembanganku. Selain itu, aku juga
merasakan kebencian pada diriku kurang lebih setahun yang dipersingkat dalam
beberapa detik saat aku dengan mudahnya mempermainkan hati wanita. Aku adalah
orang brengsek. Aku adalah warisan ayahku. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya,
bukan? Halah tai!
***
Menit
ketujuh.
Satu
menit terakhir. Dalam satu menit ini semua yang terjadi di hidupku diputar
kembali. Dapat kurasakan kembali. Mulai saat aku lahir ke dunia. Putaran kisah
hidupku dipersingkat hingga melambat ke 20 detik terakhir. Yaitu ke saat yang berkesan
dan berpengaruh dalam hidupku.
Aku
minta maaf. Mungkin ucapan Indah benar. Sekali-kali aku harus merasakan
bagaimana sakitnya pengorbanan. Sekali-kali aku harus merasakan perihnya
perasaan yang tulus. Sekali-kali aku harus merasakan kejamnya sang cinta. Sekali
lagi, aku minta maaf.
Aku
memang brengsek. Aku bukan seorang lelaki. Aku hanya pecundang dinamika
percintaan. Aku hanya aku yang mungkin ibuku sendiri malu mengakuiku sebagai
anaknya. Aku hanya….. ah, bangsat!
Sekarang
aku beridiri mematung di pinggir atap sebuah gedung berlantai 12. Ini adalah
kantor tempat Ibuku bekerja. Dan atap ini adalah tempat favoritku selama
menunggu mama selesai dengan urusannya. Aku selalu datang kesini saat aku
benar-benar butuh pelukan hangat dari seorang ibu. Aku selalu menginjakan kaki
disini saat aku benar-benar butuh uluran tangan lembut untuk membantuku bangkit
dari keterpurukan. Iya, aku kacau. Aku rapuh.
Aku
sedang berada dalam sisi feminisku. Aku lelaki, tetapi mendapat ujian hidup
kebanyakan perempuan. Aku kalah. Aku kalah untuk yang kedua kalinya. Hidupku berantakan
hanya karena ditinggalkan seorang gadis yang sama sekali bukan tipe ku. Hidupku
berantakan hanya karena cinta sebentar milik adik kelas satu tingkat dibawahku.
Hidupku berantakan hanya karena menerima kenyataan pahit dari orang yang sempat
menjadi yang terindah. Hidupku berantakan.
Tarikan
nafas dalam udara yang masih sedikit terjaga kesegaranya membuat otakku sedikit
melepaskan penatnya. Semilir angin yang bergerak melambat menyapu rambut pendek
dan seragam sekolahku. Aku lelah dengan
penat. Aku rindu dengan syahdu. Aku kalah dengan hidup.
DRRRTTTT! DRRRTTTT!
“halo, ma? Ada apa?” rentetan
getaran yang bersarang dari saku celanaku membuyarkan lamunanku. Sebuah panggilan
telepon dari mama.
“halo, sayang. Mama udah selesai nih rapatnya. Ada banyak makanan loh di
ruangan mama. Cepet kesini ya, Mama kangen mau peluk kamuuuu!” ucap Ibuku
dari ujung panggilan.
“iya, Ma. Mama jaga diri ya, Aku
sayang banget sama Mama. I love u mam!” aku langsung mematikan handphone ku. Ku
lempar sembarangan handphone itu.
Aku
menarik nafas dalam sekali lagi. Merasakan sisa-sisa nafas terakhirku. Memejamkan
mataku. Kembali mengingat memori yang tersimpan. Semuanya tampak samar-samar,
kecuali wajah Ibuku. Semuanya abu-abu, kecuali Ibuku. Aku tak kuasa mengingat
semua kasih yang ia berikan. Aku hampir menangis mengingat kotornya diriku. Aku
tak sampai hati melihat bayangan Mama menangis. Keringat dingin membasahi
pelipisku. Egoku terluka. Kesakitan mulai merajai tubuhku. Perlahan, energi di
tubuhku menghilang. Aku tak sanggup berdiri lagi.
Aku
terjun bebas dari atap gedung ini. Sapuan angin kasar terasa di kulitku. Aku memejamkan
mataku yang mulai basah. Aku tak kuasa membendung air mata ini. Menengadah ke
langit yang pemurah. Pergi dari tanah yang rentah.
Aku
masih tersadar. Aku mendapati tubuhku terjatuh diatas kap sebuah mobil lalu terpental
cukup jauh saat mobil itu berhenti. Perlahan kesadaranku mulai hilang. Suara jeritan
orang-orang menggema di gendang telingaku. Bau darah yang mengalir di wajahku
mengganggu indera penciuman ini. Pandanganku mulai kabur. Kesadaranku hilang.
Itu
dia. Itu diriku. Bukan, itu jasadku. Terimakasih tuhan telah memberikanku 7
menit yang sangat berharga. 7 menit yang di hadiahkan otak untuk memutar semua
kenangan selama hidupku. 7 menit terakhir dari otak sebelum ia berhenti
bekerja. 7 menit setelah kematianku. Aku
harap Kau sudi memelukku. Memelukku yang berlari menemui-Mu.
Jujur,
kehilanganku yang paling pahit adalah saat ini. Saat aku harus menelan pil pahit
akibat kebodohanku sendiri. Saat aku harus kehilangan kalian semua yang
mencintaiku.
***
Gracia’s POV
Aku
menemuimu dalam diam. Aku menunggumu dalam harap. Aku menantimu dalam doa. Ini sudah
bulan keempat aku berada di sampingmu yang terbujur kaku. 4 bulan ini aku
selalu disampingmu, menggenggam tanganmu. 4 bulan ini aku selalu bersamamu,
menyentuh nadimu. Kamu, yang berada dalam bangsal. Kamu, yang sedang berjuang
diantara hidup dan mati. Kamu, yang selalu bisa menenangkanku. Bangunlah,
Hamids! Bangunlah, cinta monyetku!
Aku
memutuskan untuk kembali ke Jogja tatkala kabar buruk tentangmu terdengar dari
langit mendung di Athena. Aku meninggalkan kota sejuta dewa tatkala ku tahu kau
melakukan hal paling bodoh di dunia ini. Aku meninggalkan negeri dengan
mitologi terbesar penuh mimpi tatkala kau lelah berjuang di hidupmu. Iya, kamu
yang terbaring lemah dengan selang dan peralatan medis yang menopang kehidupan
ketir mu. Kamu yang sedang koma, dan berharap kembali. Sadarlah, Hamids! Sadarlah,
cinta pertamaku!
“Gre, bangun! Ini udah pagi tau! Udah jam 7 nih. Lo gak mau sekolah?”
Aku kzl. Kenapa
sih kamu selalu membuat kebisingan dari luar kamarku? Hei, aku bisa bangun
sendiri. Aku membuka pintu kamarku. Kulihat kamu berdiri dengan sok keren
dengan seragam putih-biru. Kamu tersenyum dengan indahnya. Aku mengernyitkan
dahiku. Kututup kembali keras-keras pintu kamarku.
“lu tuh kalo jadi pacar jangan nyebelin kenapa, Mids! Sono lu pergi! Gue
mau mandi!” aku berteriak dari dalam kamar. Kamu memang menyebalkan, tapi
menyenangkan. Kamu memang cuek, tapi perhatian.
“iya. gue pergi dulu ya, Gre! Tolong jagain mama gue, oke?” aku
menghentikan langkahku yang tadinya sudah mengambil handuk di depan kamar
mandi. Kamu apasih, mids? Kok aneh.
Kamu pasti
kayak biasanya kan nunggu aku didepan pintu kamarku sampai aku selesai
siap-siap ke sekolah? Niat jahilku muncul. Aku mengambil sekotak bodypaint untuk mencoretkannya ke
wajahmu yang suka cengo menungguku.
“jagain tante Naomi? Lo pikir gue baby sitt---"
Aku
membuka pintu. Kalimatku terhenti saat menyadari sesuatu. Tanganku sudah
diolesi banyak bodypaint silver
dengan taburan gliter. Namun kamu tak ada disana. Kamu tak ada di hadapanku. Kamu
kemana, Mids? Kamu gak lagi ngerjain aku kan? Kita mau ke sekolah bareng kan,
Mids? Sepedamu udah didepan rumah kan? Ini aku bakal cepet mandinya, trus pake
rok biru. Kita berangkat bareng, kan?
~~~
“Gracia? Nak, bangun! Kamu gak
sekolah?” hah syukurlah. Tante Naomi membangunkanku dari mimpi buruk. Aku hanya
menggelengkan kepala. Hari ini izin lagi.
Cahaya
yang terbias dari jendela kamarmu membuatku menyipitkan mata. Aku masih melihatmu
tertidur dengan wajahmu yang sangat tenang. Wajah setengah sadarmu sangat
tampan, tak berubah sedikitpun di mataku walaupun sebelah wajahmu bisa dibilang
hancur. Kamu masih Hamids yang dulu, yang mewarnai duniaku.
Aku
keluar untuk menghubungi mama. Setiap pagi aku harus melapor pada mama. Ia tidak
bisa menemaniku disini karena kesibukannya. Udara pagi di Rumah Sakit ini masih
terbilang asri. Sebentar aku sekedar memetik bunga di taman untuk menaruhnya di
vas bunga di dekatmu.
Setelah
kurasa cukup untuk menyegarkan pagi hariku, ku putuskan untuk kembali menemani
perjuanganmu. Aku berjalan menyusuri lorong menuju kamar mu. Namun tiba-tiba
aku memikirkan apa yang kamu bilang dalam mimpiku. Kamu mau pergi kemana,
Hamids?
Aku
mendengar suara tangisan tante Naomi pecah dari kamarmu. Di dalam sudah ramai
oleh beberapa orang. Dokter yang selama ini menanganimu sudah menyerah. 3 orang
perawat mencopot peralatan medis yang semula melekat di tubuhmu yang mengurus.
Aku
menghampirimu. Mengamati setiap inchi dari lekuk wajahmu. Senyummu menandakan
kedamaian walau dengan sebelah wajah yang hancur. Aku menyentuh nadimu untuk
yang terakhir kalinya. Kulitmu dingin, kau tidak bergerak. Kau terbujur kaku,
tanpa jiwa. Kamu pergi meninggalkanku yang kembali. Kamu pergi meninggalkanku
yang menginginkanmu. Kamu pergi meninggalkanku yang mencintaimu. Kamu pergi
meninggalkanku. Selamanya.
Aku
masih tak tahu harus bagaimana. Tatapanku kosong, entah mengarah kemana. Air mataku sudah kering untuk menangisimu, tak
bisa keluar lagi. Hatiku sakit. Jantungku seakan berhenti berdetak. Dadaku
sesak. Aku harap aku bisa menangis.
Aku
melihat ke sekeliling ruangan. Ibumu, tante Naomi. Ia menangis dengan hebatnya
tanpa memperdulikan pecahnya tangisan di ruangan ini. Ayahmu, om Farish. Ia
juga menangisi kepergianmu. Aku tahu tangisannya bisa lebih hebat dari tangisan
Ibumu. Tapi ia menguatkan Ibumu yang terkulai lemah dalam pelukannya. Ia menahan
tangisnya. Ia sangat terpukul akan kepergianmu.
Aku
keluar dari kamarmu. Aku tak kuasa memandang wajahmu yang semakin memucat. Aku menyandarkan
tubuhku di balik tembok. Sanak saudaramu mulai berdatangan. Mario dan Okta
menghampiriku yang lemah dalam tangis. Air mata ini akhirnya keluar juga saat
aku memeluk Mario. Aku menangis sejadi-jadinya. Tangisku pecah dalam
pelukannya. Tanganku erat meremas seragam sekolah bagian punggungnya. Bibirku bergetar
hebat menahan agar tangisanku tidak terlalu keras. Aku tidak ingin menangisi
kepergianmu dengan berlebihan. Kamu pasti sudah tenang dalam pelukan-Nya.
Tubuhku
melemah. Energiku musnah. Aku kehilanganmu. Aku kehilangan sahabat kecilku. Aku
kehilangan cinta pertamaku. Aku kehilangan segalaku. Pandanganku semakin buram.
Aku ambruk. Aku kehilangan kesadaranku. Aku kehilangan Hamidsku.
“Lawan kata dari MATI bukanlah HIDUP. Lawan kata dari MATI adalah LAHIR.”
(Corbuzier)
-END-
.
.
.
.
.
Helaw…. Maaf ya kalo
yang nungguin Tulip Merah. Entah kenapa lagi males aja lanjutin itu FF. hehe
tapi pasti lanjut kok XD
Gimana nih 7 Menit Terakhirnya?
Sumpah deh gue inget dosa :( maafin gue ya, *loh kok jadi kayak lebaran* wkwkwk
Inspirasi dari OS ini
adalah hasil penelitian bahwa 7 menit setelah kematian, otak kita masih
berfungsi untuk memutar kembali semua moment penting di hidup kita.
So, pesan moralnya
*asikdah* gunakan hidupmu sebaik mungkin dan sebahagia mungkin. Kita bahagia ia
ia *nyanyi GAC *lah(?)
Jangan lupa bahagia,
yaaaa!
@satepadang48
Ff trbaik yg prnah gw bca...
ReplyDeleteSrat pesan moral bgt, walau gw ga ska saat hamids nyerah dan bunuh diri 😓
soalnya disini hamids kan sayang mamanya banget, biar gak keliatan sempurna aja jadi dibikin bunuh diri wkwk
DeleteKerenn.. bikin baper, tapi pesan moralnya ada!
ReplyDeleteBtw ditunggu tulip merah nyaa!
makasih kak hehehe
Deletetulip merah soon! XD
hiyaaaaaak, baper haper
ReplyDeletekalo baper makan kak.... *lah
DeleteFf yg lain happy ending ya.. sumpah gue sedih baca ini :( jujur aja ini ff pertama yg bikin.. ah tau deh
ReplyDeleteTulip merah nya ditunggu banget!
hehe jangan sedih kak,
Deleteiya tulip merah soon ya! XD