Saturday, 18 April 2015

7 Menit Terakhir

halo, jadi gini...... Tulip Merah di pending dulu ya hehe
ini dulu yaaaa XD
selamat membaca yaaaa!
.
.
.
.
.



Satu…. Dua…. Tiga….

       Perlahan aku membuka mataku. Ruangan serba putih dengan peralatan medis disekelilingnya. Ruangan dengan bau darah dan entah cairan apa yang menyengat. Kudapati tubuhku berada dalam kehangatan tangan seorang pria paruh baya dengan kacamata yang cukup tebal. Kerutan di kulit wajahnya menandakan bahwa ia berumur sekitar 50an tahun. Ia tersenyum padaku. Ada sekitar 5 orang di ruangan ini. Semua tersenyum padaku.

      Aku dipindahkan ke tangan dan lengan seorang wanita yang sangat lembut. Senyuman tulus terlukis di wajahnya yang sangat cantik. Ia terlihat sangat kelelahan. Wajahnya pucat dengan keringat di pelipisnya. Buliran air mata mengalir di pipinya. Ia terlihat sangat bahagia. Tangan lembutnya membelai wajahku. Aku ingat, dia ibuku.

         Kemudian aku berpindah tangan lagi. Kali ini tangan seorang pria. Perlahan tangisanku berhenti seiring dengan suara Adzan di telingaku yang pria itu bisikan. Pria itu, Aku mengenalnya. Pria brengsek. Aku membencinya. Aku ingat, ia ayahku.

        Setelah itu, aku dipindahkan lagi. Tubuhku dibersihkan dari kotoran yang menempel. Dua orang perawat yang memandikanku. Yang satu berusia sekitar 40an tahun, ia sangat lihai mengurusku. Perawat lainnya berusia sekitar 20an tahun, ia masih kikuk dan seperti baru pertama kali melakukan pekerjaanya. Tunggu, Aku terlahir kembali?

***

                Menit kedua.

             Aku bersama teman-teman kecilku, kami bermain sepeda mengitari komplek. Kami berempat hanya anak kecil dengan kayuhan sepeda dan bau matahari. Kecuali dia, Gracia. Ia adalah anak perempuan yang sangat dirawat dengan baik oleh mamanya. Ia hanya keluar rumah sore hari setelah mandi. Mamanya adalah seorang Miss Indonesia entah tahun berapa. Karena itu, wajar saja jika beliau ingin anaknya selalu terlihat cantik.

        Kayuhan kami semakin cepat, kecuali Gracia. Ia tertinggal jauh di belakang. Kayuhannya lambat, mungkin karena ia hanya anak perempuan yang manja. Satu-satunya anak perempuan diantara kami berempat. Ia mempercepat kayuhannya dengan sekuat tenaga untuk mengejarku dan anak-anak lainya. Namun, akurasi nya masih jelek. Ia jatuh saat kami mendapati tikungan yang cukup tajam. Aku memutar balik sepedaku, ku kayuh pedal ini mendekatinya yang menempel dengan aspal. Anak perempuan itu menangis sambil memegangi lututnya, ku usap lututnya yang mengeluarkan darah dengan bajuku.

“aw! Sakit tau! Pelan-pelan dong, Mids!” keluh anak perempuan itu. Ia menyeka air matanya.

“udah ya, kamu jangan nangis lagi dong. Nanti kalo mama kamu nyalahin aku gimana?” ucapku seraya menghentikan tangisannya.

“yaudah, aku yang bawa sepeda kamu ya. Kamu duduk dibelakang aja. Biar Okta yang bawa sepedaku.” Ucapku saat Mario dan Okta baru saja menghampiri kami. Mereka biasa berboncengan saat bersepeda. Okta tidak begitu lancar menggunakan sepeda, jadi selalu Mario yang memboncenginya.

          Gracia menghentikan tangisnya. Ia menganggukan kepala tanda setuju dengan permintaanku. Sepeda Gracia adalah seperti sepeda anak perempuan biasanya. Sepeda berwarna ungu-pink dengan dua jok dan satu keranjang di bagian depannya. Aku menaiki jok depan sepeda Gracia. Mario dan Okta membantunya berdiri. Gracia sudah duduk di belakangku.

Gracia memeluku erat dari belakang. Ku kayuh sepeda ungu ini dengan pelan, takut-takut kalau anak perempuan di belakangku ini jatuh untuk yang kedua kalinya. Aku sampai di depan rumahnya. Ia turun dari sepeda. Aku membantunya berjalan. Ku bukakan pintu pagarnya agar dia lebih mudah masuk ke rumahnya.

CUP!

                Gracia mencium pipiku. Aku sangat amat terkejut. Hamids kecil tersenyum dengan senangnya. Dasar, aku! Masih kecil saja sudah begini. Gracia mengucapkan terimakasih lalu masuk ke dalam rumahnya dengan kaki yang tertatih. Mario dan Oktapun bertingkah seperti anak laki-laki biasanya jika melihat teman perempuan mereka mencium seorang bocah laki-laki ingusan yang juga teman sepermainan mereka. Mereka meledekku dengan kata-kata yang indah ditelingaku “ciye! Hamids sekarang pacarnya Gracia!”.

***

                Menit ketiga.

           Sejak hari itu, hari dimana Gracia mencium pipiku. Aku mulai menyukainya lebih dari sekedar sahabat. Padahal waktu itu umur kami masih 7 tahun. Semakin hari Gracia semakin cantik. Keindahannya semakin terpancar seiring dengan pubertasnya. Dari kami berempat, aku dan Gracia adalah yang terdekat.

Aku menyukainya lebih dari segala kata. Aku menyukainya lebih dari sekedar kesukaanku pada segala yang kusuka. Aku menyukainya lebih dari semua keindahan di dunia ini. Dia, Shania Gracia Tanumihardja. Aku mencintainya.

Hari ini, sepulang sekolah. Masih dengan seragam putih-biru yang ku kenakan. Masih dengan tas punggung ku yang belum dicuci sejak semester lalu. Dan masih dengan teman sejak kecilku yang sama, Gracia. Tidak, kali ini aku sengaja tidak mengajak Mario dan Okta. Kami hanya berdua di toko buku sebuah mall. Gracia menyukai buku, terutama novel. Entah mengapa, padahal di zaman ini sudah ada E-book. Tapi Gracia bilang, seni dari membaca sebuah cerita adalah dalam bentuk buku.

Oke, bilang cinta itu tidak mudah. Tapi aku harus mengungkapkan perasaanku kepadanya. Ini adalah saat yang tepat. Gracia adalah cinta pertamaku. Sudah terpendam sejak lama. Sekarang atau tidak sama sekali. Ayo, Mids! Aku harus berani!

“Gre?” aku memanggilnya dengan sebutan Gre. Singkatan dari Grecot. Entah aku lupa bagaimana bisa menyebutnya Grecot. Hanya aku yang memanggilnya Grecot.

“iya, Mids? Kenapa? belom ketemu komiknya?” ia membalikan badannya. Menghadapku yang dengan bodohnya memasang tampang cengo. Sungguh, aku terpaku dengan kecantikannya.

        Tiba-tiba bibir ini kelu. Tubuhku bergetar hebat. Keringat mengalir dari pelipisku, padahal ruangan ini ber-AC. Bilang cinta itu tidak mudah. Ku malu teramat malu. Kali ini harus berani. Ayo, Hamids SMP!

“Gre?”

“apasih?” ia mungkin sedikit kesal karena daritadi aku hanya diam mematung dengan tampang cengo.

“Gue suka sama lo, Gre! Lo mau gak jadi pacar gue?”

                Hah! Bodoh, Mids. Kenapa Cuma itu yang keluar dari bibirku? Aku habiskan waktu untuk melihat diriku di kaca seharian ini. Melatih lidahku untuk menguntai kata demi kata. Aku berpikir keras untuk memilih kata yang tepat, memilih rentetan pengucapan yang membuat Gracia yakin sejuta persen untuk menerima cintaku.

                Gracia masih diam menatapku. Ku buka akun facebook ku lalu meminta persetujuan in relationship with… ke akun facebook Gracia. Ku ambil handphone Gracia dari tangannya, lalu membuka notifikasi facebooknya. Di zaman ini belum banyak media social yang kami mainkan. Bahkan akun twitter saja aku belum punya. Bilang cinta itu tidak mudah. Ku malu teramat malu, Gre. Kau tahu, Gre? Untuk bilang cinta padamu, ku berlatih seharian.

                Ia menatap layar handphone nya beberapa detik, sampai akhirnya ku temukan sebuah notifikasi baru di facebook ku; You are in relationship with Shania Gracia.

                Itulah saat-saat paling membahagiakan dalam hidupku. Sejak saat itu aku benar-benar sepenuhnya untuk Gracia. Ku kesampingkan hobiku untuk lebih memperhatikannya. Sungguh, aku mencintai Gracia melebihi siapapun. Aku mencintai Gracia lebih dari apapun. Aku mencintai Gracia lebih dari aku mencintai diriku sendiri. Apapun akan kulakukan untuk membuatnya tersenyum. Apapun akan kulakukan untuk membuatnya tetap berada disampingku.

                Aku mencintainya sepenuh hati dan jiwaku. Maka saat aku kehilangannya, bukan hanya hatiku yang hancur. Kehilangan Gracia bahkan menyakiti jiwaku. Setelah pengumuman kelulusan SMP, tepat di hari anniversary hubunganku dengannya, Gracia memutuskan hubungan kami.
               
Gracia dan keluarganya akan pindah ke Athena, Yunani. Ia bilang ia sangat mencintaiku. Ia bilang ia tidak bisa hidup tanpa diriku. Ia bilang aku adalah separuh jiwanya. Dan karena itu, ia harus memutuskan hubungan denganku agar bisa terus melanjutkan mimpinya tanpa bayang-bayangku yang samar-samar dari Athena. Dari situlah, kejiwaanku mulai terganggu.

Sejak Gracia memutuskan hubungan denganku, aku tidak pernah serius dengan perempuan. Aku tidak benar-benar mecintai mereka yang aku pacari. Dalam hatiku masih ada Gracia. Gadis-gadis itu memang pacarku, namun bukan kekasihku.

Entah mengapa, aku suka sekali mempermainkan hati remaja wanita. Terutama yang berseragam putih-abuabu sama sepertiku. SMA ini adalah sekolah tujuan kami berempat. Namun hanya Aku, Mario, dan Okta yang dapat mendudukinya. Bisa dibilang aku memiliki satu pleton mantan pacar, namun hanya satu orang yang aku cintai dengan tulus. Julukan playboy pun ku sandang. Tak jarang aku memacari gadis-gadis itu karena gengsi. Sampai suatu hari aku termakan oleh gengsiku sendiri. Aku mencintai seorang gadis yang satu tingkat dibawahku. Aku mengosongkan hatiku yang awalnya berisi Gracia, menjadi Indah. Iya, namanya Indah. Seindah sosoknya.

***

Menit keempat.

Ini adalah menit terburukku. Aku kembali mengalami semuanya. Rasanya teramat sakit. Ini kali pertamaku patah hati. Gracia memutuskan hubunganku. Ia menghancurkan hati dan merusak kejiwaanku.

Setelah masa-masa suram itu, aku lebih suka menghabiskan masa awal SMA ku dengan membabi buta dalam mengejar gelar juara dalam hobi basket ku. Hari ini aku ada pertandingan basket tingkat nasional mewakili provinsi D.I.Yogyakarta di Bali. Kebetulan kontingen basket putra U-18 DIY tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Kami mendapatkan medali emas setelah mengalahkan tim dari Jawa Timur.

Aku dan timku merayakan kemenangan ini dengan makan besar di sebuah resto. Namun kegembiraanku musnah ketika ku lihat ayahku berjalan menghampiri sebuah meja dengan 3 orang lainnya di sudut resto. Ayahku sepertinya baru pulang dari kantor, dapat kulihat dari pakaian yang ia kenakan. Sampai di meja kecil itu, ia mencium pipi seorang perempuan seumuran ibuku dan disambut hangat oleh dua orang anak. Anak pertama berusia beberapa tahun diatasku. Ia perempuan yang cantik dengan pakaian wisuda yang masih ia kenakan. Anak keduanya laki-laki, masih mengenakan seragam SMP.

Aku menghampiri pria brengsek itu. Tanganku bergetar. Adrenalinku meningkat. Aku memukul pria brengsek yang ku sebut Ayah itu. Teriakan dan keterkejutan orang-orang di resto itu semakin memperkeruh suasana. Aku terus memukulinya tanpa ampun sampai teman-teman se-timku menarikku lalu membawaku ke bus yang dipakai kontingen DIY.

“JADI GUE CUMA ANAK HARAM LO? BANGSAT LO!” bentakku kepada orang yang kusebut Ayah itu saat ia menjelaskan sebuah kebenaran yang terkunci rapat.

“Ayah minta maaf. Ayah memang brengsek. Ayah memang salah. Kamu boleh menghukum Ayah.”

Pria brengsek itu menundukan kepalanya. Menyadari kesalahan besarnya hampir 16 tahun lalu. Sejak kecil, yang ku tahu adalah Ayahku memiliki sebuah perusahaan di Bali. Karena itu ia jarang pulang. Mungkin hanya sebulan sekali. Ayah tidak pernah mengajak aku dan Ibuku berlibur ke Bali, jika liburan ia malah mengajak kami berlibur ke luar negeri.

‘Kecelakaan’ itu terjadi ketika Ayah sedang ada urusan bisnis di Jogja untuk beberapa bulan. Selama itu juga ia berhubungan dengan Ibuku yang merupakan partner bisnis Ayah. Dengan kata lain, ibuku adalah aku-sangat-berat-mengucapkannya, istri simpanan. Bukan, bukan salah ibuku. Aku tidak pernah menyalahkannya. Ibuku adalah orang yang paling aku sayangi. Aku mengutuk Ayahku. Si Bangsat itu.

“SEJAK KECIL LO NYIMPEN RAHASIA INI RAPAT-RAPAT DARI GUE? BUAT APA MENGHUKUM LO? LO BUKAN AYAH GUE LAGI. AYAH GUE BUKAN PRIA BRENGSEK MACEM LO!” mungkin aku durhaka karena berkata sekasar ini kepada ayah biologisku. Ibuku yang duduk di sebelah si Bangsat itu hanya bisa menangis tanpa bisa berkata apapun. Aku tak kuasa melihat Ibuku menangis. Aku berlari ke kamar dan berdiam diri disana sampai beberapa hari.

          Sudah setahun sejak hari itu. Hari dimana sebuah rahasia besar terungkap. Hari dimana hatiku merasakan sakit lagi tatkala mengetahui sebuah kebenaran pahit dalam tangisan orang yang aku amat sayangi, ibuku. Sejak hari itu aku benar-benar brengsek. Mungkin ini adalah sifat dasar yang diwarisi ayah biologisku, suka memainkan perasaan perempuan. Namun, selama kurang lebih 3 bulan lalu aku mulai memperbaiki diriku untuk orang kedua yang membuatku menjatuhkan hati ini. Aku mencintai sosoknya lebih dari saat aku mencintai Gracia. Aku mencintai Indah.

       Hari ini aku masih dalam seragam SMAku, berniat memberikan sebuah cokelat untuk yang tercinta, Indah. Namun langkahku terhenti di atas anak tangga kesekian penghubung lantai 2 dan 3. Lagi. aku mendengar kenyataan pahit yang ketiga dalam hidupku. Indah asik bertukar kata dengan teman-temannya. Ia bilang aku adalah orang yang menyebalkan, bodoh, dan karena itu ia berhasil membodohiku. Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia berpacaran denganku hanya karena sebuah permainan Truth Or Dare berhadiah tiket 1D.

“eh, kak Hamids. Kakak udah denger ya?” ia berada di hadapanku dengan sebuah senyumannya yang bisa membuatku gila. Senyumannya yang membuatku dimabuk kepayang. Senyumannya yang saat ini menjadi senyuman paling menyakitkan yang pernah kulihat.

“kita putus kak. maaf ya, aku jadiin bahan taruhan. Sekali-kali lah kakak ngerasain sakit yang cewek lain rasain. Udah ya kak, aku ke kelas dulu. Bye!”

Indah mengatakan kalimat tamparan itu dengan lancarnya. Sungguh, rasanya benar-benar ditampar sampai tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya mematung tanpa bisa berucap. Mataku terkunci di punggungnya yang semakin menjauh. PikiranKu melamunkan kenangan indahku bersama seorang yang terindah. Untuk yang ketiga kalinya, Aku hancur. Aku rapuh. Aku kehilangan duniaku.

***

Menit kelima.

Dalam 60 detik ini aku mendapatkan pelajaran-pelajaran besar tentang kehidupan. Aku mendapatkan pelajaran tentang bagaimana merasakan kebahagiaan. Bagaimana kebahgiaan bisa membuatku terbang melayang hingga lupa kalau di setiap kebahagiaan yang ku dapat bisa jadi merupakan sebuah kesedihan untuk orang lain.

Aku belajar bagaimana kesedihan membuatku ingat dengan kebahagiaan kecil yang sering sekali ku abaikan. Kesedihan mmbuatku ingat dan malu kepada Tuhan yang selama ini sering kutinggalkan.

Aku belajar tentang persahabatan. Tentang bagaimana sebuah rasa, sebuah kepedulian, sebuah kisah, sebuah rangkulan, dan jutaan tawa. Aku kembali melihat Gracia sebagai sahabat kecilku, bukan cinta pertamaku. Aku melihat geng Gandul. Teman terbaikku. Sahabat terbaikku. Mario, Okta, Adam, dan Nadhif. Senyum dan tawa mereka yang tidak lebih tampan dariku ternyata merupakan sebuah kebahagiaan yang selama ini sering kalah dengan senyuman Indah.

Aku belajar tentang cinta. Cinta yang membuatku bertahan dengan Ibuku. Aku tersadar bahwa kecintaan terbesarku bukan kepada Gracia atau Indah. Melainkan kepada seorang yang mengasihiku sejak lahir, Shinta Naomi. Ia adalah ibu paling sempurna di dunia ini. Ia adalah perempuan paling cantik di mataku. Ia adalah segalaku.

Aku belajar tentang kebencian. Satu-satunya kebencian dalam hidupku adalah kebencianku terhadap sosok yang kusebut Ayah. Bukan kebencianku pada Indah yang menjadikanku bahan taruhan dalam permainan bodohnya. Satu-satunya orang paling brengsek di mataku adalah Ayahku. Seorang yang membisikan lantunan adzan yang suci di telingaku ternyata seorang yang brengsek. Ia tidak pantas bersama Ibuku. Ia tidak pantas meng-adzaniku. Si bangsat ayah biologisku itu adalah Gaida Farish.

Terakhir, aku juga belajar tentang kehilangan. Jujur, kehilanganku yang paling pahit adalah saat ini.

***

Menit keenam.

“Mama!” aku kembali ke diriku saat bayi. Baby Hamids.

“Pah, lihat pah! Hamids menyebut kata pertamanya! Mama! Hahahah!” Ibu duduk menghadap sebuah laptop dengan aku yang duduk dalam pangkuannya. Ya, ibu sedang melakukan Video Call dengan Ayah yang saat ini berada di Bali.

                Dalam satu menit ini, aku kembali mengalami apapun yang aku alami. Kata pertamaku, langkah pertamaku, tawa pertamaku, nyanyian pertamaku, kayuhan sepeda pertamaku, cinta pertamaku, dan hal-hal lain tentang diriku sendiri.

                Aku mengalami masa kecilku yang indah bersama sahabat kecilku yang lengkap dengan Gracia. Aku merasakan cinta pertamaku. Aku merasakan kebencian pertamaku. Aku merasakan pertumbuhanku, pubertasku dan perkembanganku. Selain itu, aku juga merasakan kebencian pada diriku kurang lebih setahun yang dipersingkat dalam beberapa detik saat aku dengan mudahnya mempermainkan hati wanita. Aku adalah orang brengsek. Aku adalah warisan ayahku. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, bukan? Halah tai!

***

                Menit ketujuh.

             Satu menit terakhir. Dalam satu menit ini semua yang terjadi di hidupku diputar kembali. Dapat kurasakan kembali. Mulai saat aku lahir ke dunia. Putaran kisah hidupku dipersingkat hingga melambat ke 20 detik terakhir. Yaitu ke saat yang berkesan dan berpengaruh dalam hidupku.

                Aku minta maaf. Mungkin ucapan Indah benar. Sekali-kali aku harus merasakan bagaimana sakitnya pengorbanan. Sekali-kali aku harus merasakan perihnya perasaan yang tulus. Sekali-kali aku harus merasakan kejamnya sang cinta. Sekali lagi, aku minta maaf.

          Aku memang brengsek. Aku bukan seorang lelaki. Aku hanya pecundang dinamika percintaan. Aku hanya aku yang mungkin ibuku sendiri malu mengakuiku sebagai anaknya. Aku hanya….. ah, bangsat!

        Sekarang aku beridiri mematung di pinggir atap sebuah gedung berlantai 12. Ini adalah kantor tempat Ibuku bekerja. Dan atap ini adalah tempat favoritku selama menunggu mama selesai dengan urusannya. Aku selalu datang kesini saat aku benar-benar butuh pelukan hangat dari seorang ibu. Aku selalu menginjakan kaki disini saat aku benar-benar butuh uluran tangan lembut untuk membantuku bangkit dari keterpurukan. Iya, aku kacau. Aku rapuh.

       Aku sedang berada dalam sisi feminisku. Aku lelaki, tetapi mendapat ujian hidup kebanyakan perempuan. Aku kalah. Aku kalah untuk yang kedua kalinya. Hidupku berantakan hanya karena ditinggalkan seorang gadis yang sama sekali bukan tipe ku. Hidupku berantakan hanya karena cinta sebentar milik adik kelas satu tingkat dibawahku. Hidupku berantakan hanya karena menerima kenyataan pahit dari orang yang sempat menjadi yang terindah. Hidupku berantakan.

                Tarikan nafas dalam udara yang masih sedikit terjaga kesegaranya membuat otakku sedikit melepaskan penatnya. Semilir angin yang bergerak melambat menyapu rambut pendek dan seragam sekolahku.  Aku lelah dengan penat. Aku rindu dengan syahdu. Aku kalah dengan hidup.

DRRRTTTT! DRRRTTTT!

“halo, ma? Ada apa?” rentetan getaran yang bersarang dari saku celanaku membuyarkan lamunanku. Sebuah panggilan telepon dari mama.

halo, sayang. Mama udah selesai nih rapatnya. Ada banyak makanan loh di ruangan mama. Cepet kesini ya, Mama kangen mau peluk kamuuuu!” ucap Ibuku dari ujung panggilan.

“iya, Ma. Mama jaga diri ya, Aku sayang banget sama Mama. I love u mam!” aku langsung mematikan handphone ku. Ku lempar sembarangan handphone itu.

         Aku menarik nafas dalam sekali lagi. Merasakan sisa-sisa nafas terakhirku. Memejamkan mataku. Kembali mengingat memori yang tersimpan. Semuanya tampak samar-samar, kecuali wajah Ibuku. Semuanya abu-abu, kecuali Ibuku. Aku tak kuasa mengingat semua kasih yang ia berikan. Aku hampir menangis mengingat kotornya diriku. Aku tak sampai hati melihat bayangan Mama menangis. Keringat dingin membasahi pelipisku. Egoku terluka. Kesakitan mulai merajai tubuhku. Perlahan, energi di tubuhku menghilang. Aku tak sanggup berdiri lagi.

           Aku terjun bebas dari atap gedung ini. Sapuan angin kasar terasa di kulitku. Aku memejamkan mataku yang mulai basah. Aku tak kuasa membendung air mata ini. Menengadah ke langit yang pemurah. Pergi dari tanah yang rentah.

                Aku masih tersadar. Aku mendapati tubuhku terjatuh diatas kap sebuah mobil lalu terpental cukup jauh saat mobil itu berhenti. Perlahan kesadaranku mulai hilang. Suara jeritan orang-orang menggema di gendang telingaku. Bau darah yang mengalir di wajahku mengganggu indera penciuman ini. Pandanganku mulai kabur. Kesadaranku hilang.

                Itu dia. Itu diriku. Bukan, itu jasadku. Terimakasih tuhan telah memberikanku 7 menit yang sangat berharga. 7 menit yang di hadiahkan otak untuk memutar semua kenangan selama hidupku. 7 menit terakhir dari otak sebelum ia berhenti bekerja. 7 menit setelah kematianku.  Aku harap Kau sudi memelukku. Memelukku yang berlari menemui-Mu.

                Jujur, kehilanganku yang paling pahit adalah saat ini. Saat aku harus menelan pil pahit akibat kebodohanku sendiri. Saat aku harus kehilangan kalian semua yang mencintaiku.

***

Gracia’s POV

            Aku menemuimu dalam diam. Aku menunggumu dalam harap. Aku menantimu dalam doa. Ini sudah bulan keempat aku berada di sampingmu yang terbujur kaku. 4 bulan ini aku selalu disampingmu, menggenggam tanganmu. 4 bulan ini aku selalu bersamamu, menyentuh nadimu. Kamu, yang berada dalam bangsal. Kamu, yang sedang berjuang diantara hidup dan mati. Kamu, yang selalu bisa menenangkanku. Bangunlah, Hamids! Bangunlah, cinta monyetku!

             Aku memutuskan untuk kembali ke Jogja tatkala kabar buruk tentangmu terdengar dari langit mendung di Athena. Aku meninggalkan kota sejuta dewa tatkala ku tahu kau melakukan hal paling bodoh di dunia ini. Aku meninggalkan negeri dengan mitologi terbesar penuh mimpi tatkala kau lelah berjuang di hidupmu. Iya, kamu yang terbaring lemah dengan selang dan peralatan medis yang menopang kehidupan ketir mu. Kamu yang sedang koma, dan berharap kembali. Sadarlah, Hamids! Sadarlah, cinta pertamaku!

Gre, bangun! Ini udah pagi tau! Udah jam 7 nih. Lo gak mau sekolah?”

                Aku kzl. Kenapa sih kamu selalu membuat kebisingan dari luar kamarku? Hei, aku bisa bangun sendiri. Aku membuka pintu kamarku. Kulihat kamu berdiri dengan sok keren dengan seragam putih-biru. Kamu tersenyum dengan indahnya. Aku mengernyitkan dahiku. Kututup kembali keras-keras pintu kamarku.

lu tuh kalo jadi pacar jangan nyebelin kenapa, Mids! Sono lu pergi! Gue mau mandi!” aku berteriak dari dalam kamar. Kamu memang menyebalkan, tapi menyenangkan. Kamu memang cuek, tapi perhatian.

iya. gue pergi dulu ya, Gre! Tolong jagain mama gue, oke?” aku menghentikan langkahku yang tadinya sudah mengambil handuk di depan kamar mandi. Kamu apasih, mids? Kok aneh.

Kamu pasti kayak biasanya kan nunggu aku didepan pintu kamarku sampai aku selesai siap-siap ke sekolah? Niat jahilku muncul. Aku mengambil sekotak bodypaint untuk mencoretkannya ke wajahmu yang suka cengo menungguku.

“jagain tante Naomi? Lo pikir gue baby sitt---"

                Aku membuka pintu. Kalimatku terhenti saat menyadari sesuatu. Tanganku sudah diolesi banyak bodypaint silver dengan taburan gliter. Namun kamu tak ada disana. Kamu tak ada di hadapanku. Kamu kemana, Mids? Kamu gak lagi ngerjain aku kan? Kita mau ke sekolah bareng kan, Mids? Sepedamu udah didepan rumah kan? Ini aku bakal cepet mandinya, trus pake rok biru. Kita berangkat bareng, kan?

~~~

“Gracia? Nak, bangun! Kamu gak sekolah?” hah syukurlah. Tante Naomi membangunkanku dari mimpi buruk. Aku hanya menggelengkan kepala. Hari ini izin lagi.

          Cahaya yang terbias dari jendela kamarmu membuatku menyipitkan mata. Aku masih melihatmu tertidur dengan wajahmu yang sangat tenang. Wajah setengah sadarmu sangat tampan, tak berubah sedikitpun di mataku walaupun sebelah wajahmu bisa dibilang hancur. Kamu masih Hamids yang dulu, yang mewarnai duniaku.

                Aku keluar untuk menghubungi mama. Setiap pagi aku harus melapor pada mama. Ia tidak bisa menemaniku disini karena kesibukannya. Udara pagi di Rumah Sakit ini masih terbilang asri. Sebentar aku sekedar memetik bunga di taman untuk menaruhnya di vas bunga di dekatmu.

              Setelah kurasa cukup untuk menyegarkan pagi hariku, ku putuskan untuk kembali menemani perjuanganmu. Aku berjalan menyusuri lorong menuju kamar mu. Namun tiba-tiba aku memikirkan apa yang kamu bilang dalam mimpiku. Kamu mau pergi kemana, Hamids?

          Aku mendengar suara tangisan tante Naomi pecah dari kamarmu. Di dalam sudah ramai oleh beberapa orang. Dokter yang selama ini menanganimu sudah menyerah. 3 orang perawat mencopot peralatan medis yang semula melekat di tubuhmu yang mengurus.

        Aku menghampirimu. Mengamati setiap inchi dari lekuk wajahmu. Senyummu menandakan kedamaian walau dengan sebelah wajah yang hancur. Aku menyentuh nadimu untuk yang terakhir kalinya. Kulitmu dingin, kau tidak bergerak. Kau terbujur kaku, tanpa jiwa. Kamu pergi meninggalkanku yang kembali. Kamu pergi meninggalkanku yang menginginkanmu. Kamu pergi meninggalkanku yang mencintaimu. Kamu pergi meninggalkanku. Selamanya.

         Aku masih tak tahu harus bagaimana. Tatapanku kosong, entah mengarah kemana. Air mataku sudah kering untuk menangisimu, tak bisa keluar lagi. Hatiku sakit. Jantungku seakan berhenti berdetak. Dadaku sesak. Aku harap aku bisa menangis.

         Aku melihat ke sekeliling ruangan. Ibumu, tante Naomi. Ia menangis dengan hebatnya tanpa memperdulikan pecahnya tangisan di ruangan ini. Ayahmu, om Farish. Ia juga menangisi kepergianmu. Aku tahu tangisannya bisa lebih hebat dari tangisan Ibumu. Tapi ia menguatkan Ibumu yang terkulai lemah dalam pelukannya. Ia menahan tangisnya. Ia sangat terpukul akan kepergianmu.

         Aku keluar dari kamarmu. Aku tak kuasa memandang wajahmu yang semakin memucat. Aku menyandarkan tubuhku di balik tembok. Sanak saudaramu mulai berdatangan. Mario dan Okta menghampiriku yang lemah dalam tangis. Air mata ini akhirnya keluar juga saat aku memeluk Mario. Aku menangis sejadi-jadinya. Tangisku pecah dalam pelukannya. Tanganku erat meremas seragam sekolah bagian punggungnya. Bibirku bergetar hebat menahan agar tangisanku tidak terlalu keras. Aku tidak ingin menangisi kepergianmu dengan berlebihan. Kamu pasti sudah tenang dalam pelukan-Nya.

                Tubuhku melemah. Energiku musnah. Aku kehilanganmu. Aku kehilangan sahabat kecilku. Aku kehilangan cinta pertamaku. Aku kehilangan segalaku. Pandanganku semakin buram. Aku ambruk. Aku kehilangan kesadaranku. Aku kehilangan Hamidsku.

Lawan kata dari MATI bukanlah HIDUP. Lawan kata dari MATI adalah LAHIR.”
(Corbuzier)

-END-
.
.
.
.
.

Helaw…. Maaf ya kalo yang nungguin Tulip Merah. Entah kenapa lagi males aja lanjutin itu FF. hehe tapi pasti lanjut kok XD
Gimana nih 7 Menit Terakhirnya? Sumpah deh gue inget dosa :( maafin gue ya, *loh kok jadi kayak lebaran* wkwkwk
Inspirasi dari OS ini adalah hasil penelitian bahwa 7 menit setelah kematian, otak kita masih berfungsi untuk memutar kembali semua moment penting di hidup kita.
So, pesan moralnya *asikdah* gunakan hidupmu sebaik mungkin dan sebahagia mungkin. Kita bahagia ia ia *nyanyi GAC *lah(?)
Jangan lupa bahagia, yaaaa!

@satepadang48

8 comments:

  1. Ff trbaik yg prnah gw bca...
    Srat pesan moral bgt, walau gw ga ska saat hamids nyerah dan bunuh diri 😓

    ReplyDelete
    Replies
    1. soalnya disini hamids kan sayang mamanya banget, biar gak keliatan sempurna aja jadi dibikin bunuh diri wkwk

      Delete
  2. Kerenn.. bikin baper, tapi pesan moralnya ada!
    Btw ditunggu tulip merah nyaa!

    ReplyDelete
  3. Ff yg lain happy ending ya.. sumpah gue sedih baca ini :( jujur aja ini ff pertama yg bikin.. ah tau deh
    Tulip merah nya ditunggu banget!

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehe jangan sedih kak,
      iya tulip merah soon ya! XD

      Delete