Wednesday, 24 June 2015

Lucky Me

sebelumnya, assalamualaikum sate telor puyuhku.....
hehehe edisi ramadhan semoga berkah XD
ini apaya? gak terlalu sedih sih, tapi dicoba aja ya baca dulu hehehe
langsung aja yaaaa! selamat membiciiiii......
.
.
.
.
.
.


Adakah yang lebih melukai dari sesuatu yang disebut cinta? Adakah yang lebih membunuh diri sendiri dari sesuatu yang yang disebut cinta? Adakah yang lebih merusak otak dari sesuatu yang disebut cinta?

Ibuku pernah bilang, Tuhan selalu menjawab semua doa yang kau semogakan. Tuhan selalu menjawab semua pertanyaan yang kau pusingkan di hidupmu. Dan salah satu jawabannya adalah tidak.

Menjengkelkan jika suatu hal bodoh yang disebut cinta, yang kau usahakan untuk tahu, kau tidak akan pernah tahu. Seperti pada saat kau menerka-nerka siapa pemilik tulang rusukmu sebenarnya.

Aku sudah mengubur semuanya. Kata orang, hidup itu ada dua pilihan. Jalani hidupmu dengan santai se santai mungkin, atau hidup sibuk saat menjelang ajal. Aku pilih membuat pilihanku sendiri.

***

TOK! TOK! TOK!

“Gre! Lo bisa gak sih kecilin volume nya! berisik tau ga?!”

Bodo amat.

Aku tahu siapa yang di luar kamarku. Aku hiraukan suara mengganggu itu. Teriakan naga. Ku teruskan kegiatan wajibku setiap pagi, mengeringkan rambut setelah keramas.

“Gre! Lo tuh gak dewasa-dewasa ya!”

Seorang ibu-ibu dengan tinggi menjulang tiba-tiba masuk ke dalam kamarku. Dia kakakku. Apadeh masa tuan rumah diomelin di rumah sendiri?

I’m so lucky to have you! So happy to love youuuu!!!!” aku tak perduli. Aku malah menyanyikan salah satu lagu dari mocca yang sedang ku setel di dvd player dengan volume keras.

Kakakku entah ngoceh apa aja. Bibirnya daritadi berucap entah bicara apa. Ia mendekat ke dvd player dan menekan tombol off. Seketika lagu berhenti.

“Gre! Lo tuh kapan dewasanya sih?! Inget, lo tuh bukan ABG lagi!”

Bodo amat. Aku memutar bola mataku.

“Gre! Lo dengerin gue ngomong gaksih?!”

Aku meniup poni sampingku yang menutupi mata. Sepertinya sudah panjang.

“iye kali Shan! Bawel banget.” Ucapku sambil menaruh sisir ke meja rias. “lagian lo mau kemana sih pagi-pagi? Rapi bener kek petugas kelurahan.”

Dia kakakku. Shania Junianatha. Nama depannya sama dengan namaku. Sama-sama Shania. Bedanya aku Shania Gracia. Entah kenapa mama dan papa menamai kami dengan nama depan yang sama. Orang kan biasanya nama belakangnya ya yang sama. Hftve.

“gue mau ngurus kepindahan sama kepentingan lainnya. Udeh nih gue bisa ketinggalan pesawat!” ia melangkahkan kakinya keluar kamarku. Sudah ada sebuah koper di tangannya. “jagain Stefi ya, awas lu kalo anak gue sampe lecet!”

“kenapa harus Roma, sih Shan? Emang di Indonesia gak ada apa?!”

“namanya juga kerjaan, Gre. Udah pokoknya lu rawat anak gue. Seminggu lagi gue balik harus tetep cantik!”

Shania mencium Stefi, anaknya. Ia mengecek semua barang bawaanya, lalu keluar rumahku dengan terburu-buru. Di depan rumah sudah ada taksi yang sebelumnya ia pesan. Aku dan Stefi melambaikan tangan melepas kepergiannya.

***

“Ty, Aunty!”

Aku memalingkan pandanganku dari laptop. Seorang anak kecil berusia sekitar 6 tahun mendekati meja kerjaku. Atau, aku sering bilang ‘meja imajinasi’. Pekerjaanku sebagai seorang penulis memang memaksaku terus-menerus berhadapan dengan laptop kesayanganku ini untuk mengolah dan memainkan kata.

“ya, Stef? Kenapa?”

“Aunty, aku laper.” Stefi menarik-narik baju longgar yang kukenakan.

Aku menaruh kacamataku lalu mendekatkan diriku kepadanya. Aku turun dari kursi dan berjongkok dihadapannya.

“laper? Emang mama kamu belom buatin sarapan tadi?”

Stefi menggeleng. Yaelah, Shania! Gimana sik punya anak kok sampe kelaperan gini?

Aku bergegas ke dapur. Stefi mengekor. Ku tuang tepung pancake instan ke dalam mangkok, mencampurnya dengan susu cair lalu memasaknya. Aku bisa masak, kok. Cuma ini lagi males aja. Kerjaan juga tanggung sebentar lagi selesai.

Pancake siap. Ku berikan es krim dan coklat cair diatasnya. Tanpa buah. Aku tak tahu apakah keponakanku ini menyukai buah atau tidak, yang jelas biasanya anak kecil tidak suka buah.

Kami menyantap sarapan kami. Tayangan Spongebob yang kadang-kadang garing tapi bisa bikin ngakak setia menemani sarapan kami. Stefi makan dengan sangat lahab. Segelas susu melengkapi sarapan kami.

“makannya pelan-pelan kali….” Kataku berusaha membuat obrolan pagi dengannya.

Oh iya, aku belum cerita ya. Stefi adalah anak dari Shania dan suaminya, Boby. Ini hari pertamaku bersama Stefi dan akan berlangsung selama kurang lebih seminggu sampai Shania kembali. Rencananya keluarga kecil Shania akan pindah ke Roma dan menetap disana.

Semalam aku pulang sangat larut dan Stefi sudah tidur. Jadi pagi ini adalah pertama kali ia melihat tante nya, Aku. Iya, pertama kali melihat tantenya yang kalau kata Shania sih masih sering kekanakan. Tapi menurutku tidak ah. Aku bisa aja bertingkah dewasa bahkan pola pikirku lebih dewasa dari kakakku. Aku hanya menjalani hari-hariku sebagai seorang lajang dengan sebebas apapun yang aku mau. I live my life.

***

Stefi cukup susah untuk akrab dengan orang yang baru ia kenal. Termasuk denganku yang merupakan tantenya sendiri. Beberapa kali aku coba untuk mendekatkan diri padanya, tapi susah susah gampang. Bocah itu sibuk dengan kertas dan alat gambarnya. Hasil gambarnya tidak bagus, tapi ya….. lumayan lahya untuk ukuran anak usia 6 tahun.

“kamu mau jalan-jalan gak? Ke mall atau kemana gitu? Emang gak bosen daritadi dirumah aja?”

Aku sudah selesai dengan pekerjaan dan harus bertemu dengan editorku. Biasanya sih tinggal jalan aja ke café favoritku. Dan siang ini aku sudah buat janji dengan editorku untuk bertemu. Tapi, kalau Stefi maunya dirumah jadi berantakan dong?

Stefi hanya menggeleng.

“kemana gitu yuk?! Aunty ada janji nih sama temen aunty. Nanti dibeliin mainan baru deh! Ayolaaaaahhh…..” aku masih berusaha membujuknya.

“ke museum Affandi? Aku mau kesana.” Stefi mentapku sebentar lalu kembali fokus ke kertas dan krayon.

“museum Affandi? Ngapain?”

Whoa! Cukup mengejutkan. Seorang anak kecil minta diajak ke Museum?

“mau atau enggak?!” anak kecil itu bersuara lagi. Matanya menatapku tajam. Dagunya ia angkat. Nadanya seakan mengancam. What? Aku diancam anak kecil? Astaga dragon-___-

“oke, tapi temenin Aunty ke café dulu ya. Ini masalah kerjaan, Stef. Mau ya?”

Syukurlah Stefi mengangguk. Aku segera memasukkan laptopku ke dalam tas dan bersiap untuk  pergi.

***

Sampailah kami di café favoritku, Il mondo pizza. Café yang hanya menjual makanan italy dengan berbagai tema sebagai dekorasinya. Siang-siang begini café ini tidak begitu ramai.

Itu dia. Editorku sudah menunggu di meja dekat piano. Ia melambaikan tangan ke arahku saat aku baru masuk ke dalam café ini.

“lama aja lo, Gre! Lumutan nih gue.” Keluhnya saat aku baru saja mengambil posisi duduk.

“yaelah lo, Ta. Kek gatau jalanan jogja aja.” Kataku sewot.

Okta ini editor tiriku. Haha kenapa dibilang editor tiri? Okta ini nyebelin banget. Apalagi kalo menjelang deadline. Okta bisa menghantuiku dimana-mana saat menjelang deadline. Tapi dia baik kok, ngertiin aku banget. Kami udah kayak sahabatan. Eh emang sahabat, deng.

“siapa, Gre?” tanyanya.

“keponakan gue. Anaknya Shania.”

“boby udah punya anak? Canggih juga dia. Haha…” Okta terkekeh.

Okta adalah teman SMA kak Boby waktu di bandung. Entah mengapa dunia rasanya sempit sekali ketika ternyata kak Boby adalah teman dekat Okta yang merupakan sahabatku juga.

Seperti layaknya rekan kerja sekaligus sahabat, pekerjaan kami terasa seperti hanya bermain atau nongkrong-nongkrong saja. Canda dan tawa karna kekonyolan kami berdua sering sekali pecah di café ini. Pemilik dan pegawai café ini pun sudah paham dan hafal dengan kami. Lagipula santai saja, pemilik café ini kan teman SMP ku. Hehehe

Ditengah pekerjaan kami, Stefi mungkin merasa bosan. Ia meninggalkan sofa disebelahku lalu beralih mendekat ke piano. Tak ku sangka, Stefi bisa memainkan piano. Bahkan, bukan hanya bisa, bocah itu bisa dikategorikan mahir untuk anak seusianya. Selera musiknya bagus walaupun baru berusia 6 tahun. Aku dan Okta terpukau dibuatnya. Gue yakin ini pasti bukan Shania yang ngajarin, pikirku.

Pekerjaan selesai. Sudah sekitar 2 jam kami bertiga disini. Setelah dari café ini, aku memacu mobilku ke Museum Affandi. Sebenarnya aku malas, mengingat aku kurang suka dengan seni rupa. Tapi, janji adalah janji. Apalagi rengekan Stefi membuatku pusing.

Kuhentikan mobilku di parkiran museum ini. Museum ini belum pernah aku datangi sebelumnya dan ini adalah kali pertama aku kesini.

Setelah membeli tiket masuk, Stefi langsung menarik tanganku untuk masuk. Ku lihat dari peta tata letak museum ini, kira-kira ada 3 atau 4 bangunan yang berisi koleksi sang legenda seni lukis, Affandi.

Entah mengapa aku bingung dengan selera seni Stefi. Anak seumur dia seleranya bagus juga. Stefi dengan asiknya menyusuri semua ruang yang ada disini. Ia dengan seksama mengamati satu persatu koleksi di museum ini. Wajahnya terlihat serius dan memancarkan keterpukauan akan benda yang ia lihat. Padahal menurutku biasa saja. Eh atau aku ya yang selera seni nya jelek? Gatau lah.

Favoritku disini adalah lantainya. Kotak-kotak seperti papan catur dan sebuah mobil jaman dulu di sudut bangunan pertama yang dindingnya berwarna biru langit. Bentuk bangunan nya juga unik.

Selesai berkeliling, aku dan Stefi memutuskan untuk makan es krim sebentar di kedai es krim yang tidak jauh dari museum itu.

“kamu udah ngantuk belom, Stef?” tanyaku sambil menyetir.

“belom. Emangnya kenapa, Aunty?” jawabnya masih fokus ke tablet yang dipegangnya. Sebuah permainan ia mainkan di gadget itu.

“mau ikut Aunty ga? Pokoknya asik deh!”

Stefi hanya menangguk. Yes!

Karena ini belum terlalu malam, ku ajak keponakanku ke sebuah pub dimana aku dan teman-temanku sekedar melepas penat setelah lelah bekerja dan aktivitas lain seharian.

Aku suka pub ini karena selalu ada live music setiap malamnya. Genrenya beda-beda, seringnya sih jazz atau country. Aku masuk dan langsung bergabung dengan teman-temanku. Tak lupa Stefi berada dalam gandengan tanganku.

Aku tahu tempat ini kurang baik atau justru tidak baik buat anak umur 6 tahun, tapi setidaknya aku tidak mengajaknya ke club malam kan?

Seperti biasa, sudah ada Sofia, Elaine, Nadse, dan Michelle disana. Mereka adalah teman-temanku sejak….. belum lama sih. Tapi mereka sangat baik.

“siapa, Gre?” tanya Elaine. Aku sudah tahu, pasti ada yang menanyakan ini.

“keponakan. Anaknya kakak gue.” Jawabku singkat.

“yah gimana coba masa anak kecil lo ajak ke pub, Gre.” Sahut Sofia.

“dia anak pinter. Gabakal ikutan minum lah. Gak gue izinin juga kali….” Jawabku enteng.

Layaknya perempuan yang sedang berkumpul, kami gak jauh jauh dari curhat dan ngomongin orang. Atau malah ngomongin artis dan yang lagi ngehitz di social media. Apapun. Dan tak jarang juga kami menenggak alkohol. Tapi untuk malam ini, aku tak akan minum di depan Stefi.

Anak kecil itu seperti tidak terganggu dengan kami. Stefi asik mendengarkan musik jazz dari band lokal yang biasa manggung disini. Sementara tangannya sibuk menggambar di sebuah kertas.

“jagain keponakan gue, ye. Gue kesitu dulu.”

Aku bangkit dari duduk, meninggalkan Stefi dan teman-temanku. Aku mendekati sang host. Seorang perempuan yang usianya beberapa tahun diatasku. Ia pandai sekali meracik minuman. Ia juga sudah mengenal baik aku dan teman-temanku.

Aku memesan minuman. Obrolan kami cukup hangat. Ia menemaniku mengobrol sambil melayani pesanan dari visitor lain. Potongan puzzle-puzzle masa lalu seperti menari dengan asiknya di kepalaku. Membuatku rasanya ingin menumpahkan segalanya ke sang host. Tapi, ku pilih tidak. Aku biarkan hatiku memendam sendiri masalahku.

Tidak sampai setengah jam mengobrol, minuman yang terasa membakar tenggorokanku ini mulai bereaksi. Beberapa tenggak sudah ku minum, rasanya tubuhku melayang. Aku mabuk. Ah, kebiasaan burukku.

Aku berjalan gontai menuju meja dimana ada Stefi. Ia masih duduk manis menikmati alunan musik. Sementara Michelle dan Nadse entah kemana. Sofia sibuk dengan tabletnya, dan Elaine masih berusaha mendekatkan diri dengan Stefi yang cuek.

Sofia dan Elaine memang jarang kesini. Ia juga tidak pernah sampai mabuk jika datang ke pub ini. Beda denganku yang langganan nitip mobil. Ya, maksudnya pulang dengan taksi atau diantar temanku ke rumah karena kondisi mabuk berat yang tidak memungkinkan untuk menyetir.

Hampir tengah malam, dan seperti malam biasanya. Lagi-lagi aku meninggalkan mobilku di pub ini. Kali ini aku diantar Sofia ke rumah. Ia tidak mabuk, tidak pernah.

“hati-hati ya, Sof. Tengkyu btw!” ucapku saat sudah sampai di depan rumah.

“Stef, jagain ini bayi satu ya. Gracia kalo mabok bisa makan rumput! Hahaha…” ucap Sofia  kepada Stefi, lalu memacu mobilnya meninggalkan rumahku.

Aku masih gontai menuju pintu masuk. Stefi tetap menggandeng tanganku disebelah. Ku ambil kunci rumah dari tasku, lalu mencoba memasukkan ke dalam lubang di bawah gagang pintu. Sial, kesadaranku mulai hilang. Fokusku dibawah normal. Kunci ini rasanya tidak mau masuk ke lubang. Atau lubangnya yang terus bergerak? Aku tidak tahu. Ku rasakan dunia berputar, lalu ambruk. Kesadaranku hilang. Aku tak tahu apa yang selanjutnya terjadi.

***
gue gak tahu harus gimana, Gre! Waktu itu gue gak sadar!” ucapnya berteriak.

“lo pikir gue sadar?!”jawabku tak kalah berteriak.

“pokoknya gue gak mau, Gre! Gue gak bakal mau!”

HAHHHHH!!!!

Mimpi buruk. Siaaaaal. Jam berapa ini? Dimana aku? Ku lihat sekelilingku. Sofa, lampu gantung, meja, bingkai foto. Ah! Aku tahu! Ini di ruang tamu.

Aku terbangun di lantai setelah semalam ambruk. Dan… stefi? ASTAGA DRAGON!!! STEFI KEMANA?!

“Stefi!!!!”

Aku langsung berdiri dan berlari memanggil Stefi. Ku langkahkan kakiku menuju kamar tamu di lantai 2 rumahku. Namun tak ada jawaban darinya. Kamarnya juga sepi.

“Stefi!!!! Kamu dimana?!”

Aku terus mencari dimana keberadaan Stefi. Mencari anak kecil seperti Stefi membuatku paranoia. Pikiran-pikiran negatif muncul dalam benakku.

Bagaimana kalau Stefi tenggelam di kolam renang gara-gara dia kira itu bantal?

Bagaimana kalau Stefi masuk ke dalam mesin cuci lalu ikut berputar dan menyusut?

Bagaimana kalau…..

Ah bego! Jantungku berdegup kencang memikirkan kemungkinan-kemungkinan bodoh. Langkahku terus menyusuri setiap ruang di rumahku.

“Aunty!”

Aku menoleh ke asal suara itu. Stefi? Disana rupanya! Astaga…..

Stefi yang menemukanku dengan bentuk yang…. begitu –kacamata miring, rambut berantakan, syal gak karuan, kaos basah (karna tadi nyari di aquarium)-. Bocah itu hanya tertawa melihatku yang amit-amit deh. Ia duduk di bangku taman dengan sebotol susu di meja dan beberapa bungkus makanan ringan.

“Aunty abis ngapain? Kok basah gitu bajunya? Ada lumutnya lagi. Mandi sana!” Stefi masih terkekeh melihatku. Astaga dragon! Ini anak udah bikin khawatir malah ngetawain gue!

Aku tersenyum mendekatinya, mengusap rambutnya, lalu bergegas ke kamarku untuk membersihkan diri. Aku sadar aku sangat kacau. Maksudku, penampilanku berantakan.

***

Hari ini kebetulan aku benar-benar free. Bebas sebebas bebasnya. Hahahaha!

Setelah beberapa hari menghabiskan waktu luang dengan Stefi, aku merasa sudah sangat dekat dengannya. Ia juga jadi lebih terbuka denganku. Banyak hal kami habiskan berdua. Girl’s Time!

Hari ini aku berniat mengajaknya ke festival kebudayaan di sekitaran alun-alun kidul. Yaaa… setidaknya untuk mengobati kekecewaanya karena besok tepat di hari ulang tahunnya, dan juga tepat satu minggu ia bersamaku, Shania masih sibuk dan belum bisa menjemput anaknya.

Semalam Stefi menangis saat kakakku menelepon dan memberitahu bahwa ia tidak bisa merayakan ulang tahun Stefi besok. Aku yang saat itu sedang bermain di kamarnya (kamar tamu) memutuskan untuk tidur menemaninya malam itu. Stefi menangis dalam balutan selimut yang menutupi wajahnya. Ia menangis sampai sesenggukan, betapa merindunya ia dengan mama nya.

Aku tak bisa berbuat banyak. Mungkin dengan mengajaknya ke festival kebudayaan hari ini akan sedikit mengobati kesedihannya.

Aku dan Stefi sudah sampai di sekitaran jalan alun-alun kidul. Pawai kebudayaan memenuhi ruas jalan. Berbagai kebudayaan jogja dipamerkan disini. Ratusan bahkan ribuan penonton terutama turis domestik atau turis asing memenuhi sepanjang pinggir jalan.

Aku sedikit sedih karena Stefi masih agak murung. Ia tak seceria hari-hari sebelumnya. Bahkan saat melihat pawai saja ia masih acuh tak acuh.

Ku putuskan untuk mengajaknya ke foodcourt yang ada di alun-alun kidul. Foodcourt di festival ini dekat dengan main stage dan juga jajaran penjual cinderamata khas Yogyakarta.

Di festival ini juga banyak yang cossplay(?) tokoh-tokoh wayang. Aku mengajak Stefi mendekati Bagong. Salah satu tokoh wayang dengan perawakan gendut. Dan menggemaskan (?)

Awalnya Stefi takut, mengingat wajah Bagong sangat putih-hitam-merah dengan bodypainting dan topi yang mungkin baru pertama kali ia lihat. Namun tak lama ia tertawa karena aksi Bagong yang lucu dan konyol. Disusul Petruk datang dengan hidung merahnya yang sangat besar. Mereka berdua beradu kata dengan bahasa jawa dan aksen yang khas punakawan banget. Aku dan Stefi tertawa lepas. Aku sih mengerti apa yang kedua wayang itu ucapkan, tapi gatau deh kalau Stefi. Hahaha dia kan anak Jakarta.

Berlama-lama bercanda dengan punakawan membuat perut kami lapar. Kami memutuskan untuk meninggalkan dan langsung menuju foodcourt. Kali ini benar-benar makan.

Stefi memesan makanan yang sama denganku. Jika waktunya makan, maka kami berdua akan fokus se fokus fokusnya. Maklum, urusan perut itu sensitif. Senggol dikit, bacok!

Selesai makan, kami langsung pulang. SMP (sudah makan pulang). Tak lupa, sebelumnya ke jajaran cinderamata khas jogja untuk oleh-oleh Stefi ke Roma. Ditengah memilih –dan tentunya menawar- cinderamata, sebuah tangan tiba-tiba menepuk pundakku.

“hai, Gre!” aku paham betul suara ini. Sial.

“h-halo, Mids.”

Hamids. Dia…. Aku tidak mau mengingat segala tentangnya lagi. Aku sudah musnahkan semua yang bersangkutan dengannya. Lagian, kenapa dia disini sih?

“masih dirumah yang dulu, Gre?”

Senyumnya….. yaampun. Aku sungguh tak kuasa melihat senyumannya. Aku sangat merindukannya. Aku sangat ingin memeluknya, merasakan kehangat dalam tubuhnya. Tapi aku ingat, aku membencinya. Bukan, aku harus membencinya.

“iya.” Jawabku singkat.

Ia melihat ke arah Stefi. Menatapnya lekat. Dari atas, sampai bawah lalu berhenti tepat di kedua mata Stefi.

“siapa, Gre?” tanyanya. Ia tersenyum kepada Stefi.

“keponakan. Anaknya Shania.”

Ku jawab se cuek mungkin. Se datar mungkin. Se tidak bersahabat mungkin. Ku genggam erat tangan Stefi.

“sendirian, Mids?” ah? Tolol, Gre! Kenapa tanya itu?!

“enggak, itu disana. Mau gabung?”

Hamids menunjuk seseorang yang datang bersamanya. Oh, bukan. Lebih tepatnya keluarga kecilnya. Satu istri yang cantik dan dua anak.

“ah, enggak deh, Mids. gue harus siap-siap buat ulang tahun Stefi besok.” Aku menolak ajakannya. “duluan ya, Mids.”

Aku dan Stefi meninggalkan Hamids ditengah kerumunan orang-orang. Sama seperti dulu.

***

Happy Birthday Stefi! Happy Birthday Stefi! Happy Birthday Stefi cantik, Happy Birthday Stefi!”

Sore ini aku dan teman-temanku merayakan ulangtahun Stefi di rumah. Hanya pesta kecil-kecilan yang dihadiri Sofia, Michelle, Elaine, dan Okta. Nadse tidak bisa ikut karena ia ada rapat penting di kantornya. Tapi aku sudah minta kado buat Stefi kok, jadi gapapa. Hehe.

Okta, hari ini menjadi badut. Aku memintanya berdandan seperti Squidward dan di wujudkan oleh teman-temanku yang lain. Sofia, Elaine, dan Michelle membuat Okta menjadi warna tosca dengan body painting diseluruh permukaan kulitnya yang tidak tertutupi pakaian. Okta mengenakan hidung besar palsu dan kaos coklat super ketat dan cungklang serta celana legging yang sewarna dengan tubuh tosca nya. Benar seperti Squidward di kartun Spongebob Squarepants.

Pesta kecil-kecilan ini berakhir sekitar pukul 8 malam. Teman-temanku pulang ke rumah masing-masing. Stefi sudah tertidur pulas mengingat seharian ini kami bermain bersama dan jalan-jalan sebelum pesta kecil dimulai. Aku merapikan rumah karena memang kebiasaan teman-temanku yang kata mereka belom afdol kalo gak berantakin rumah. Hftgre.

TOK! TOK! TOK!

Apadeh? Suara ketukan pintu? Kulihat kacamata Okta tertinggal di sofa. Mungkin Okta ingin mengambilnya. Eh, tapi kok segala ketuk pintu? Biasanya kan teriak-teriak dari luar?

Aku bergegas membuka pintu dan mendapati jantungku nyaris copot disana. Bukan Okta yang berada di balik pintu. Bukan Stefi, Michelle, atau Elaine. Melainkan dia. Hamids. Sumber segala masalah dalam hidupku.

 “halo, Gre. Gue belom telat, kan?”

Aku memaku dan gagu.

“Gre, aku minta maaf.”

Seketika tubuhku terasa disambar petir. Aliran darahku meningkat. Otot-otot tubuhku pecah. Saluran pernapasanku terasa terbakar. Seketika aku hanyalah jasad tanpa nyawa.

Tak bergeming. Tak dapat bersuara. Mati.

“Gre, aku tahu aku salah. Aku gapunya pilihan lain. Aku takut. Aku panik. Aku….. aku minta maaf, Gre!”

“kamu gak diundang, Mids.” Kataku datar. Mataku tak fokus. Pandanganku kosong. “lagipula, pestanya udah selesai. Sorry.”

Aku cepat-cepat menutup pintu. Namun Hamids dapat menahannya.

“Gre, waktu itu aku gak punya pilihan lain. Aku—“

“kamu satu-satunya yang membuat pilihan itu sendiri, Mids! Sekarang lebih baik kamu pergi!” aku memotong kalimatnya. Sungguh, aku tidak ingin mendengar apapun lagi dari mulutnya.

“Gre, tolong kasih ini ke Stefi. Aku mohon….” Ia menyodorkan sebuah hadiah. “aku mohon, cuma itu aja….”

Aku mengambil kado yang dibungkus rapi itu. Entah apa isinya. Aku langsung membanting pintu dan berlari menuju kamarku.

Ada yang lebih indah dari malam purnama. Ada yang lebih membekas dari malam pertama. Ada yang lebih memukau dari semua kata. Pesona matamu saat terbata melafal cinta. Kepada satu nama. Namaku. Bukan yang lain.

Tubuhku rasanya renta tak bertulang. Jiwaku pergi entah berhamburan kemana. Air mataku tumpah ruah tak berarah. Aku kalah dalam memori kelam.

Aku menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan segala bebanku satu-satunya yang terus membelah diri. Tak berinti. Kepada langit-langit kamar, kepada ranjang, kepada seluruh isi kamarku. Sampai pada akhirnya, aku tak sadarkan diri.

***

Aku terjaga tengah malam. Tersadar dari kebodohanku menghabiskan seluruh energi hingga pingsan.

Aku membuka mataku. Sudah ada Stefi disebelahku. Tangan mungilnya memeluk tubuhku. Kehangatan dari malaikat kecil menjalar ke seluruh tubuhku dalam balutan selimut tebal yang bahkan aku tak ingat pernah mengenakannya.

Wajah damai dari seorang anak kecil yang tertidur memang paling ampuh membuatku tersenyum. Aku balik memeluknya. Mengaliri setitik demi setitik rasa sayangku kepadanya.

Aku tahu dia menyayangiku. Sangat. Kedekatan kami begitu lengket terjalin hanya dalam waktu kurang lebih seminggu.

***

Saat ini Aku dan Stefi sedang makan malam di ruang makan. Seperti biasa, seharian kami bermain bersama. Tapi kali ini hanya dirumah.

“enak gak?” tanyaku saat Stefi menyuap makanan hasil masakanku ke mulutnya.

“lumayan…. Tapi masih lebih enak masakan mamaku!” ia tersenyum lalu melahap sesendok demi sesendok lasagna yang kubuat.

Aku hanya tersenyum.

“oh iya. nanti kita nonton film apa, Aunty?”

“apa ya? yang ada dvd nya aja ya. hehe…”

Apapun. Apapun akan aku nikmati moment malam ini bersama Stefi.

“besok pagi mama jemput ya?” tanyaku di saat makanan kami sudah sama-sama habis.

“iya. Aku kangeeeeeeennn banget sama mama!” jawabnya bersemangat. Senyumnya merekah indah.

“kamu gak mau tinggal sama Aunty aja?” aku harap ia mau.

“enggak. Aku kangen sama papa juga. Hehe….”

Bukan, bukan ini jawaban yang aku inginkan. Aku hanya tersenyum lalu mengacak-acak rambutnya.

Aku merapikan alat-alat makan yang kotor. Lalu mencucinya. Stefi mengekor sambil duduk di kursi yang berada di belakangku. Ia memainkan boneka yang aku berikan tempo hari.

“kalau kita punya jarak, kita akan terus merindu. Aku ingin terus bisa merindukan Aunty!”

Aku menghentikan mengelap piring-piring yang baru ku cuci ini. Ku langkahkan kakiku menghadapnya. Aku berjongkok menatap matanya yang bagai candu.

“Aunty bakal kangen sama aku kan?” tanyanya.

Iya, Stefi. Iya. Akan. Sangat. Dan setiap waktu aku akan merindukanmu.

Aku hanya tersenyum.

“gue….. elo…. Friend? Right?” tanyanya. Aku terkekeh melihat tingkahnya.

“iya, Stef. Lo sekarang temen gue. Best friend forever?” aku menggunakan kata ‘gue’ dan ‘lo’. Aku tak ingin ada jarak lagi diantara kami. Sungguh.

“best friend forever! You and Me against the world! Hahahahaha”

Kami berdua tertawa dengan lepasnya. Setelah makan aku dan Stefi menonton film di kamarku. Film frozen. Setiap detik aku nikmati saat-saat terakhir sebelum ia pergi.

Stefi sudah terlelap dalam dunia mimpi. Ku selimuti tubuh mungilnya. Ku usap rambut halusnya. Ku sentuh mata, hidung, pipi, hingga bibirnya. Agar aku bisa hapal dengan lekuk wajahnya. Agar aku bisa merasakan darah dagingku di kemudian hari saat tidak bersamanya.

Iya, Stefi darah dagingku. Stefi adalah anakku. Anakku dengan Hamids.

Aku dan Hamids menjalin kasih saat aku kuliah. 2 tahun hubungan kami rasanya ia sudah seperti separuh jiwaku. Aku untuknya, dan ia untukku.

Menurutku, Kesalahan pancasila adalah saat pertama kali ditetapkan bahwa ketuhanan yang maha esa ditempatkan pada tempat pertama. Cinta kami beda kiblat. Cinta kami beda kitab. Cinta kami beda tempat ibadah.

Aku tahu cinta kami tidak akan bisa selamanya. Maka aku ikhlas jika suatu hari Hamids memang bukan untukku. Aku rela jika suatu hari rasa ingin memiliki dirinya harus ku kubur dalam-dalam.

Malam itu kami melampiaskan semuanya dengan minum-minum. Kami berdua kehilangan kontrol hingga melakukan hal yang seharusnya tak kami lakukan. Hingga beberapa hari setelahnya aku menyadari bahwa aku mengandung. Namun semua itu terlambat untuk ia pertanggung jawabkan.

Ia sudah terlanjur bertunangan dengan perempuan lain pilihan orang tuanya. Yang seagama, yang satu kiblat.

Masih terus membekas dalam ingatanku saat aku mengatakan padanya tentang kehamilanku. Ia benar-benar kacau. Ia benar-benar berantakan. Ditengah-tengah kerumunan orang pada festival kebudayaan tahunan, ia meninggalkanku dan bakal Stefi di dalam rahimku.

Shania dan Boby yang sudah menikah 2 tahun tetapi belum dikaruniai anak datang padaku. Saat itu mereka bagai malaikat dan iblis dalam waktu bersamaan. Hanya satu hari setelah persalinanku, mereka kembali ke Jakarta dengan membawa serta malaikat kecilku. Aku memilih melanjutkan hidupku tanpa anakku saat itu, dan tersadar itu adalah pilihan terbodoh yang aku tetapkan.

Malam ini semua berputar. Semesta menekanku. Hanya aku yang terdiam. Diam tertahan dengan keinginan yang tertinggal. Aku mati. Jiwaku musnah.

***

Aku tidak tidur semalaman. Entah apa saja yang aku lakukan. Mungkin hanya melewati malam yang sepi dengan melihat wajah damai malaikat kecilku. Aku tak rela jika tidur akan memperpendek dan mengurangi waktuku untuk melihatnya.

Shania datang dengan Boby. Stefi sangat senang bertemu kembali dengan kedua orang tuanya. Aku menarik Shania ke luar. Meninggalkan Boby yang sedang melepas rindu dengan anaknya, Anakku.

“harus banget sekarang ya, Shan? Gak bisa besok aja?” tanyaku berusaha menahan tangis. Aku belum siap jika harus berpisah dengan Stefi.

“iya, Gre. Gue udah pesen tiketnya.”

“gue bisa cari buat kalian. Besok, plisss!” air mataku perlahan jatuh. Aku masih terus berusahan membendungnya.

“gak bisa, Gre. Boby ada kerjaan!” Shania melihat jam di tangannya.

“tapi, Shan. Dia anak gue. Satu hari aja….” Ucapku seraya memohon.

“lo pikir dia bukan anak gue? Gue yang merawatnya selama ini, Gre! Gue sama Boby, udah sayang banget sama Stefi. Dan itu gak bakal berubah. Apa lo pernah menginginkannya? Lo lupa kalo lo pernah hampir mengaborsi bakal calon malaikat cantik itu? Hah?!”

Shania pergi meninggalkanku dengan rentetan kata yang membuatku seakan dalam layang membelah udara menuju jurang. Air mataku mengalir deras. Aku tak kuasa.

Sejurus kemudian, Shania, Boby dan Stefi menghampiriku untuk pamit. Sebuah taksi sudah menunggu didepan rumahku. Aku masih mematung didepan pintu.

“Aunty. Jangan sering-sering mabuk ya? kasihan badan Aunty nanti sakit….”

Aku berlutut didepannya. Mengusap rambutnya. Berusaha menahan tangis sekuat mungkin.

“iya, Stefi. Kamu juga sering-sering main ke Jogja ya?” ku benamkan tubuhnya dalam pelukanku.

“oh iya, Stefi. Aunty kan belom punya suami dan pengen ngerasain punya anak….” Bibirku bergetar mengucapkan kalimat ini. “Kamu mau gak panggil Aunty ‘mama’? sekali aja….”

Aku melepaskan pelukan kami. Ingin melihat bagaimana wajah cantiknya saat memanggilku mama.

Stefi melihat Shania dan Boby. Shania menahan tangis, dan membuang muka. Boby hanya tersenyum menanggapi.

“mama….. mama Gre! Hehehehe”

Kami berdua tertawa dalam syahdu yang sendu.

Tentang cinta. Bagiku satu-satunya cinta adalah kecintaanku pada malaikat kecilku. Tentang kehilangan. Bagiku kehilangan adalah seberapa tulus kita mampu mengikhlaskannya. Dan tentang rindu. Bagiku rindu adalah waktu yang terus meledak tiap detakan jarumnya.

Jaga rindumu baik-baik, Nak. Sebab tak ada lagi alasanku untuk memperjuangkan sebuah pertemuan, selain karena rindu yang kita pertahankan.

Keluarga kecil yang bahagia itu memberikan punggungnya. Meninggalkanku yang hanya sendiri memangku sepi. Melepasku yang bertumpu rindu. Dan Kala rindu menjelma doa, kebersamaan adalah angan yang semesta aminkan.

Saat ini kata terindah untukku bukan lafal cinta dari Hamids yang memabukkan. Kata terindah dalam hidupku dan akan terus sampai akhir hayatku adalah panggilan ‘mama’ dari sosok paling sempurna didepan mataku. Stefi. Malaikat kecilku.

“Aku datang pada sepimu. Sebagai doa yang memelukmu dari jauh.”
-Aksaratua

.
.
.

gimana gimana? nanggung ya?
eh btw, tadinya itu gue lagi nulis lanjutan Tulip Merah. tapi belom selesai hahaha XD
oh iya, ini OS terpanjang yg pernah gue bikin keknya hahahaha
OS ini terinspirasi dari salah satu film nya aom. shortmovie sih tepatnya hehe
sebenarnya gue banyak ide buat nulis, tapi entah kenapa males aja hahahaha

oh iya, komen dan kritik serta saran ditunggu lohyaaaa!
makasih yang udah nyempetin baca tulisan gue yang alakadarnya ini :))
- @satepadang48 -

8 comments:

  1. Setelah beberapa hari dan beberapa kali buka ini blog, trus pas liat blm ada updatean, gua baper Thor sumpaaahhh wkwkwk alay ye gua? Tp serius nih, blog ini yg paling gua tunggu2 updateannya. Keep writing, Thor. Jgn males2 lah kalo ada ide hehehe peace :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. males aja ah wkwkwk btw makasih yaaaa udah mau baca :))

      Delete
  2. Tulip Merah! Kangen ama gresya thor wkwk
    Buruan update ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. udah apdet tuh wkwk gue kangennya sama gracio hahaha

      Delete
  3. Gue aslinya sedih gara gara ceritanya. Nyeseq abis wkwkwk. Tapi kok gue lebi sedi okta di ff lu nga pernah jelas gendernya :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. jangankan di ff gue ta, di ff lu aja gue baru tau kalo Okta cewek pas lu kasih tau next chapt banyak gxg. prolognya gue kira cowok :(

      Delete
    2. kesian amat si ota :(

      Delete
  4. Waaaa waaaaa asliye ni stepi.. Darah "nyeni"nya dr hamidsyg emg dasarnya seneng ngelukis kalik yhaaa :))) *habis baca menarilah sendiriku*

    ReplyDelete