hehehe edisi ramadhan semoga berkah XD
ini apaya? gak terlalu sedih sih, tapi dicoba aja ya baca dulu hehehe
langsung aja yaaaa! selamat membiciiiii......
.
.
.
.
.
.
Adakah
yang lebih melukai dari sesuatu yang disebut cinta? Adakah yang lebih membunuh
diri sendiri dari sesuatu yang yang disebut cinta? Adakah yang lebih merusak
otak dari sesuatu yang disebut cinta?
Ibuku
pernah bilang, Tuhan selalu menjawab semua doa yang kau semogakan. Tuhan selalu
menjawab semua pertanyaan yang kau pusingkan di hidupmu. Dan salah satu
jawabannya adalah tidak.
Menjengkelkan
jika suatu hal bodoh yang disebut cinta, yang kau usahakan untuk tahu, kau
tidak akan pernah tahu. Seperti pada saat kau menerka-nerka siapa pemilik
tulang rusukmu sebenarnya.
Aku
sudah mengubur semuanya. Kata orang, hidup itu ada dua pilihan. Jalani hidupmu
dengan santai se santai mungkin, atau hidup sibuk saat menjelang ajal. Aku
pilih membuat pilihanku sendiri.
***
TOK!
TOK! TOK!
“Gre!
Lo bisa gak sih kecilin volume nya! berisik tau ga?!”
Bodo
amat.
Aku
tahu siapa yang di luar kamarku. Aku hiraukan suara mengganggu itu. Teriakan
naga. Ku teruskan kegiatan wajibku setiap pagi, mengeringkan rambut setelah keramas.
“Gre!
Lo tuh gak dewasa-dewasa ya!”
Seorang
ibu-ibu dengan tinggi menjulang tiba-tiba masuk ke dalam kamarku. Dia kakakku.
Apadeh masa tuan rumah diomelin di rumah sendiri?
“I’m so lucky to have you! So happy to love
youuuu!!!!” aku tak perduli. Aku malah menyanyikan salah satu lagu dari
mocca yang sedang ku setel di dvd player dengan volume keras.
Kakakku
entah ngoceh apa aja. Bibirnya
daritadi berucap entah bicara apa. Ia mendekat ke dvd player dan menekan tombol
off. Seketika lagu berhenti.
“Gre!
Lo tuh kapan dewasanya sih?! Inget, lo tuh bukan ABG lagi!”
Bodo
amat. Aku memutar bola mataku.
“Gre!
Lo dengerin gue ngomong gaksih?!”
Aku
meniup poni sampingku yang menutupi mata. Sepertinya sudah panjang.
“iye
kali Shan! Bawel banget.” Ucapku sambil menaruh sisir ke meja rias. “lagian lo
mau kemana sih pagi-pagi? Rapi bener kek petugas kelurahan.”
Dia
kakakku. Shania Junianatha. Nama depannya sama dengan namaku. Sama-sama Shania.
Bedanya aku Shania Gracia. Entah kenapa mama dan papa menamai kami dengan nama
depan yang sama. Orang kan biasanya nama belakangnya ya yang sama. Hftve.
“gue
mau ngurus kepindahan sama kepentingan lainnya. Udeh nih gue bisa ketinggalan
pesawat!” ia melangkahkan kakinya keluar kamarku. Sudah ada sebuah koper di
tangannya. “jagain Stefi ya, awas lu kalo anak gue sampe lecet!”
“kenapa
harus Roma, sih Shan? Emang di Indonesia gak ada apa?!”
“namanya
juga kerjaan, Gre. Udah pokoknya lu rawat anak gue. Seminggu lagi gue balik
harus tetep cantik!”
Shania
mencium Stefi, anaknya. Ia mengecek semua barang bawaanya, lalu keluar rumahku
dengan terburu-buru. Di depan rumah sudah ada taksi yang sebelumnya ia pesan.
Aku dan Stefi melambaikan tangan melepas kepergiannya.
***
“Ty,
Aunty!”
Aku
memalingkan pandanganku dari laptop. Seorang anak kecil berusia sekitar 6 tahun
mendekati meja kerjaku. Atau, aku sering bilang ‘meja imajinasi’. Pekerjaanku
sebagai seorang penulis memang memaksaku terus-menerus berhadapan dengan laptop
kesayanganku ini untuk mengolah dan memainkan kata.
“ya,
Stef? Kenapa?”
“Aunty,
aku laper.” Stefi menarik-narik baju longgar yang kukenakan.
Aku
menaruh kacamataku lalu mendekatkan diriku kepadanya. Aku turun dari kursi dan berjongkok
dihadapannya.
“laper?
Emang mama kamu belom buatin sarapan tadi?”
Stefi
menggeleng. Yaelah, Shania! Gimana sik punya anak kok sampe kelaperan gini?
Aku
bergegas ke dapur. Stefi mengekor. Ku tuang tepung pancake instan ke dalam
mangkok, mencampurnya dengan susu cair lalu memasaknya. Aku bisa masak, kok.
Cuma ini lagi males aja. Kerjaan juga tanggung sebentar lagi selesai.
Pancake
siap. Ku berikan es krim dan coklat cair diatasnya. Tanpa buah. Aku tak tahu
apakah keponakanku ini menyukai buah atau tidak, yang jelas biasanya anak kecil
tidak suka buah.
Kami
menyantap sarapan kami. Tayangan Spongebob yang kadang-kadang garing tapi bisa
bikin ngakak setia menemani sarapan kami. Stefi makan dengan sangat lahab.
Segelas susu melengkapi sarapan kami.
“makannya
pelan-pelan kali….” Kataku berusaha membuat obrolan pagi dengannya.
Oh
iya, aku belum cerita ya. Stefi adalah anak dari Shania dan suaminya, Boby. Ini
hari pertamaku bersama Stefi dan akan berlangsung selama kurang lebih seminggu
sampai Shania kembali. Rencananya keluarga kecil Shania akan pindah ke Roma dan
menetap disana.
Semalam
aku pulang sangat larut dan Stefi sudah tidur. Jadi pagi ini adalah pertama
kali ia melihat tante nya, Aku. Iya, pertama kali melihat tantenya yang kalau
kata Shania sih masih sering kekanakan. Tapi menurutku tidak ah. Aku bisa aja
bertingkah dewasa bahkan pola pikirku lebih dewasa dari kakakku. Aku hanya
menjalani hari-hariku sebagai seorang lajang dengan sebebas apapun yang aku
mau. I live my life.
***
Stefi
cukup susah untuk akrab dengan orang yang baru ia kenal. Termasuk denganku yang
merupakan tantenya sendiri. Beberapa kali aku coba untuk mendekatkan diri
padanya, tapi susah susah gampang. Bocah itu sibuk dengan kertas dan alat
gambarnya. Hasil gambarnya tidak bagus, tapi ya….. lumayan lahya untuk ukuran
anak usia 6 tahun.
“kamu
mau jalan-jalan gak? Ke mall atau kemana gitu? Emang gak bosen daritadi dirumah
aja?”
Aku
sudah selesai dengan pekerjaan dan harus bertemu dengan editorku. Biasanya sih
tinggal jalan aja ke café favoritku. Dan siang ini aku sudah buat janji dengan
editorku untuk bertemu. Tapi, kalau Stefi maunya dirumah jadi berantakan dong?
Stefi
hanya menggeleng.
“kemana
gitu yuk?! Aunty ada janji nih sama temen aunty. Nanti dibeliin mainan baru
deh! Ayolaaaaahhh…..” aku masih berusaha membujuknya.
“ke
museum Affandi? Aku mau kesana.” Stefi mentapku sebentar lalu kembali fokus ke
kertas dan krayon.
“museum
Affandi? Ngapain?”
Whoa!
Cukup mengejutkan. Seorang anak kecil minta diajak ke Museum?
“mau
atau enggak?!” anak kecil itu bersuara lagi. Matanya menatapku tajam. Dagunya
ia angkat. Nadanya seakan mengancam. What? Aku diancam anak kecil? Astaga
dragon-___-
“oke,
tapi temenin Aunty ke café dulu ya. Ini masalah kerjaan, Stef. Mau ya?”
Syukurlah
Stefi mengangguk. Aku segera memasukkan laptopku ke dalam tas dan bersiap
untuk pergi.
***
Sampailah
kami di café favoritku, Il mondo pizza. Café yang hanya menjual makanan italy
dengan berbagai tema sebagai dekorasinya. Siang-siang begini café ini tidak
begitu ramai.
Itu
dia. Editorku sudah menunggu di meja dekat piano. Ia melambaikan tangan ke
arahku saat aku baru masuk ke dalam café ini.
“lama
aja lo, Gre! Lumutan nih gue.” Keluhnya saat aku baru saja mengambil posisi
duduk.
“yaelah
lo, Ta. Kek gatau jalanan jogja aja.” Kataku sewot.
Okta
ini editor tiriku. Haha kenapa dibilang editor tiri? Okta ini nyebelin banget.
Apalagi kalo menjelang deadline. Okta
bisa menghantuiku dimana-mana saat menjelang deadline. Tapi dia baik kok, ngertiin aku banget. Kami udah kayak
sahabatan. Eh emang sahabat, deng.
“siapa,
Gre?” tanyanya.
“keponakan
gue. Anaknya Shania.”
“boby
udah punya anak? Canggih juga dia. Haha…” Okta terkekeh.
Okta
adalah teman SMA kak Boby waktu di bandung. Entah mengapa dunia rasanya sempit
sekali ketika ternyata kak Boby adalah teman dekat Okta yang merupakan
sahabatku juga.
Seperti
layaknya rekan kerja sekaligus sahabat, pekerjaan kami terasa seperti hanya
bermain atau nongkrong-nongkrong saja. Canda dan tawa karna kekonyolan kami
berdua sering sekali pecah di café ini. Pemilik dan pegawai café ini pun sudah
paham dan hafal dengan kami. Lagipula santai saja, pemilik café ini kan teman
SMP ku. Hehehe
Ditengah
pekerjaan kami, Stefi mungkin merasa bosan. Ia meninggalkan sofa disebelahku
lalu beralih mendekat ke piano. Tak ku sangka, Stefi bisa memainkan piano.
Bahkan, bukan hanya bisa, bocah itu bisa dikategorikan mahir untuk anak seusianya.
Selera musiknya bagus walaupun baru berusia 6 tahun. Aku dan Okta terpukau
dibuatnya. Gue yakin ini pasti bukan
Shania yang ngajarin, pikirku.
Pekerjaan
selesai. Sudah sekitar 2 jam kami bertiga disini. Setelah dari café ini, aku
memacu mobilku ke Museum Affandi. Sebenarnya aku malas, mengingat aku kurang
suka dengan seni rupa. Tapi, janji adalah janji. Apalagi rengekan Stefi membuatku
pusing.
Kuhentikan
mobilku di parkiran museum ini. Museum ini belum pernah aku datangi sebelumnya
dan ini adalah kali pertama aku kesini.
Setelah
membeli tiket masuk, Stefi langsung menarik tanganku untuk masuk. Ku lihat dari
peta tata letak museum ini, kira-kira ada 3 atau 4 bangunan yang berisi koleksi
sang legenda seni lukis, Affandi.
Entah
mengapa aku bingung dengan selera seni Stefi. Anak seumur dia seleranya bagus
juga. Stefi dengan asiknya menyusuri semua ruang yang ada disini. Ia dengan
seksama mengamati satu persatu koleksi di museum ini. Wajahnya terlihat serius
dan memancarkan keterpukauan akan benda yang ia lihat. Padahal menurutku biasa
saja. Eh atau aku ya yang selera seni nya jelek? Gatau lah.
Favoritku
disini adalah lantainya. Kotak-kotak seperti papan catur dan sebuah mobil jaman
dulu di sudut bangunan pertama yang dindingnya berwarna biru langit. Bentuk
bangunan nya juga unik.
Selesai
berkeliling, aku dan Stefi memutuskan untuk makan es krim sebentar di kedai es
krim yang tidak jauh dari museum itu.
“kamu
udah ngantuk belom, Stef?” tanyaku sambil menyetir.
“belom.
Emangnya kenapa, Aunty?” jawabnya masih fokus ke tablet yang dipegangnya.
Sebuah permainan ia mainkan di gadget itu.
“mau
ikut Aunty ga? Pokoknya asik deh!”
Stefi
hanya menangguk. Yes!
Karena
ini belum terlalu malam, ku ajak keponakanku ke sebuah pub dimana aku dan
teman-temanku sekedar melepas penat setelah lelah bekerja dan aktivitas lain
seharian.
Aku
suka pub ini karena selalu ada live music
setiap malamnya. Genrenya beda-beda, seringnya sih jazz atau country. Aku
masuk dan langsung bergabung dengan teman-temanku. Tak lupa Stefi berada dalam
gandengan tanganku.
Aku
tahu tempat ini kurang baik atau justru tidak baik buat anak umur 6 tahun, tapi
setidaknya aku tidak mengajaknya ke club malam kan?
Seperti
biasa, sudah ada Sofia, Elaine, Nadse, dan Michelle disana. Mereka adalah teman-temanku
sejak….. belum lama sih. Tapi mereka sangat baik.
“siapa,
Gre?” tanya Elaine. Aku sudah tahu, pasti ada yang menanyakan ini.
“keponakan.
Anaknya kakak gue.” Jawabku singkat.
“yah
gimana coba masa anak kecil lo ajak ke pub, Gre.” Sahut Sofia.
“dia
anak pinter. Gabakal ikutan minum lah. Gak gue izinin juga kali….” Jawabku
enteng.
Layaknya
perempuan yang sedang berkumpul, kami gak jauh jauh dari curhat dan ngomongin
orang. Atau malah ngomongin artis dan yang lagi ngehitz di social media.
Apapun. Dan tak jarang juga kami menenggak alkohol. Tapi untuk malam ini, aku
tak akan minum di depan Stefi.
Anak
kecil itu seperti tidak terganggu dengan kami. Stefi asik mendengarkan musik
jazz dari band lokal yang biasa manggung disini. Sementara tangannya sibuk menggambar
di sebuah kertas.
“jagain
keponakan gue, ye. Gue kesitu dulu.”
Aku
bangkit dari duduk, meninggalkan Stefi dan teman-temanku. Aku mendekati sang host. Seorang perempuan yang usianya
beberapa tahun diatasku. Ia pandai sekali meracik minuman. Ia juga sudah
mengenal baik aku dan teman-temanku.
Aku
memesan minuman. Obrolan kami cukup hangat. Ia menemaniku mengobrol sambil
melayani pesanan dari visitor lain.
Potongan puzzle-puzzle masa lalu seperti menari dengan asiknya di kepalaku.
Membuatku rasanya ingin menumpahkan segalanya ke sang host. Tapi, ku pilih tidak. Aku biarkan hatiku memendam sendiri
masalahku.
Tidak
sampai setengah jam mengobrol, minuman yang terasa membakar tenggorokanku ini
mulai bereaksi. Beberapa tenggak sudah ku minum, rasanya tubuhku melayang. Aku
mabuk. Ah, kebiasaan burukku.
Aku
berjalan gontai menuju meja dimana ada Stefi. Ia masih duduk manis menikmati
alunan musik. Sementara Michelle dan Nadse entah kemana. Sofia sibuk dengan
tabletnya, dan Elaine masih berusaha mendekatkan diri dengan Stefi yang cuek.
Sofia
dan Elaine memang jarang kesini. Ia juga tidak pernah sampai mabuk jika datang
ke pub ini. Beda denganku yang langganan nitip mobil. Ya, maksudnya pulang
dengan taksi atau diantar temanku ke rumah karena kondisi mabuk berat yang
tidak memungkinkan untuk menyetir.
Hampir
tengah malam, dan seperti malam biasanya. Lagi-lagi aku meninggalkan mobilku di
pub ini. Kali ini aku diantar Sofia ke rumah. Ia tidak mabuk, tidak pernah.
“hati-hati
ya, Sof. Tengkyu btw!” ucapku saat sudah sampai di depan rumah.
“Stef,
jagain ini bayi satu ya. Gracia kalo mabok bisa makan rumput! Hahaha…” ucap
Sofia kepada Stefi, lalu memacu mobilnya meninggalkan rumahku.
Aku
masih gontai menuju pintu masuk. Stefi tetap menggandeng tanganku disebelah. Ku
ambil kunci rumah dari tasku, lalu mencoba memasukkan ke dalam lubang di bawah
gagang pintu. Sial, kesadaranku mulai hilang. Fokusku dibawah normal. Kunci ini
rasanya tidak mau masuk ke lubang. Atau lubangnya yang terus bergerak? Aku
tidak tahu. Ku rasakan dunia berputar, lalu ambruk. Kesadaranku hilang. Aku tak
tahu apa yang selanjutnya terjadi.
***
“gue gak tahu harus gimana, Gre! Waktu itu
gue gak sadar!” ucapnya berteriak.
“lo pikir gue
sadar?!”jawabku tak kalah berteriak.
“pokoknya gue gak mau,
Gre! Gue gak bakal mau!”
HAHHHHH!!!!
Mimpi
buruk. Siaaaaal. Jam berapa ini? Dimana aku? Ku lihat sekelilingku. Sofa, lampu
gantung, meja, bingkai foto. Ah! Aku tahu! Ini di ruang tamu.
Aku
terbangun di lantai setelah semalam ambruk. Dan… stefi? ASTAGA DRAGON!!! STEFI
KEMANA?!
“Stefi!!!!”
Aku
langsung berdiri dan berlari memanggil Stefi. Ku langkahkan kakiku menuju kamar
tamu di lantai 2 rumahku. Namun tak ada jawaban darinya. Kamarnya juga sepi.
“Stefi!!!!
Kamu dimana?!”
Aku
terus mencari dimana keberadaan Stefi. Mencari anak kecil seperti Stefi
membuatku paranoia. Pikiran-pikiran
negatif muncul dalam benakku.
Bagaimana kalau Stefi
tenggelam di kolam renang gara-gara dia kira itu bantal?
Bagaimana kalau Stefi
masuk ke dalam mesin cuci lalu ikut berputar dan menyusut?
Bagaimana kalau…..
Ah
bego! Jantungku berdegup kencang memikirkan kemungkinan-kemungkinan bodoh.
Langkahku terus menyusuri setiap ruang di rumahku.
“Aunty!”
Aku
menoleh ke asal suara itu. Stefi? Disana rupanya! Astaga…..
Stefi
yang menemukanku dengan bentuk yang…. begitu –kacamata miring, rambut
berantakan, syal gak karuan, kaos basah (karna tadi nyari di aquarium)-. Bocah
itu hanya tertawa melihatku yang amit-amit
deh. Ia duduk di bangku taman dengan sebotol susu di meja dan beberapa bungkus
makanan ringan.
“Aunty
abis ngapain? Kok basah gitu bajunya? Ada lumutnya lagi. Mandi sana!” Stefi
masih terkekeh melihatku. Astaga dragon! Ini
anak udah bikin khawatir malah ngetawain gue!
Aku
tersenyum mendekatinya, mengusap rambutnya, lalu bergegas ke kamarku untuk
membersihkan diri. Aku sadar aku sangat kacau. Maksudku, penampilanku
berantakan.
***
Hari
ini kebetulan aku benar-benar free.
Bebas sebebas bebasnya. Hahahaha!
Setelah
beberapa hari menghabiskan waktu luang dengan Stefi, aku merasa sudah sangat
dekat dengannya. Ia juga jadi lebih terbuka denganku. Banyak hal kami habiskan
berdua. Girl’s Time!
Hari
ini aku berniat mengajaknya ke festival kebudayaan di sekitaran alun-alun
kidul. Yaaa… setidaknya untuk mengobati kekecewaanya karena besok tepat di hari
ulang tahunnya, dan juga tepat satu minggu ia bersamaku, Shania masih sibuk dan
belum bisa menjemput anaknya.
Semalam
Stefi menangis saat kakakku menelepon dan memberitahu bahwa ia tidak bisa
merayakan ulang tahun Stefi besok. Aku yang saat itu sedang bermain di kamarnya
(kamar tamu) memutuskan untuk tidur menemaninya malam itu. Stefi menangis dalam
balutan selimut yang menutupi wajahnya. Ia menangis sampai sesenggukan, betapa
merindunya ia dengan mama nya.
Aku
tak bisa berbuat banyak. Mungkin dengan mengajaknya ke festival kebudayaan hari
ini akan sedikit mengobati kesedihannya.
Aku
dan Stefi sudah sampai di sekitaran jalan alun-alun kidul. Pawai kebudayaan
memenuhi ruas jalan. Berbagai kebudayaan jogja dipamerkan disini. Ratusan
bahkan ribuan penonton terutama turis domestik atau turis asing memenuhi
sepanjang pinggir jalan.
Aku
sedikit sedih karena Stefi masih agak murung. Ia tak seceria hari-hari
sebelumnya. Bahkan saat melihat pawai saja ia masih acuh tak acuh.
Ku
putuskan untuk mengajaknya ke foodcourt yang ada di alun-alun kidul. Foodcourt
di festival ini dekat dengan main stage
dan juga jajaran penjual cinderamata khas Yogyakarta.
Di
festival ini juga banyak yang cossplay(?)
tokoh-tokoh wayang. Aku mengajak Stefi mendekati Bagong. Salah satu tokoh
wayang dengan perawakan gendut. Dan menggemaskan (?)
Awalnya
Stefi takut, mengingat wajah Bagong sangat putih-hitam-merah dengan bodypainting dan topi yang mungkin baru
pertama kali ia lihat. Namun tak lama ia tertawa karena aksi Bagong yang lucu
dan konyol. Disusul Petruk datang dengan hidung merahnya yang sangat besar.
Mereka berdua beradu kata dengan bahasa jawa dan aksen yang khas punakawan
banget. Aku dan Stefi tertawa lepas. Aku sih mengerti apa yang kedua wayang itu
ucapkan, tapi gatau deh kalau Stefi. Hahaha dia kan anak Jakarta.
Berlama-lama
bercanda dengan punakawan membuat perut kami lapar. Kami memutuskan untuk
meninggalkan dan langsung menuju foodcourt. Kali ini benar-benar makan.
Stefi
memesan makanan yang sama denganku. Jika waktunya makan, maka kami berdua akan
fokus se fokus fokusnya. Maklum, urusan perut itu sensitif. Senggol dikit,
bacok!
Selesai
makan, kami langsung pulang. SMP (sudah makan pulang). Tak lupa, sebelumnya ke
jajaran cinderamata khas jogja untuk oleh-oleh Stefi ke Roma. Ditengah memilih
–dan tentunya menawar- cinderamata, sebuah tangan tiba-tiba menepuk pundakku.
“hai,
Gre!” aku paham betul suara ini. Sial.
“h-halo,
Mids.”
Hamids.
Dia…. Aku tidak mau mengingat segala tentangnya lagi. Aku sudah musnahkan semua
yang bersangkutan dengannya. Lagian, kenapa dia disini sih?
“masih
dirumah yang dulu, Gre?”
Senyumnya…..
yaampun. Aku sungguh tak kuasa melihat senyumannya. Aku sangat merindukannya.
Aku sangat ingin memeluknya, merasakan kehangat dalam tubuhnya. Tapi aku ingat,
aku membencinya. Bukan, aku harus membencinya.
“iya.”
Jawabku singkat.
Ia
melihat ke arah Stefi. Menatapnya lekat. Dari atas, sampai bawah lalu berhenti
tepat di kedua mata Stefi.
“siapa,
Gre?” tanyanya. Ia tersenyum kepada Stefi.
“keponakan.
Anaknya Shania.”
Ku
jawab se cuek mungkin. Se datar mungkin. Se tidak bersahabat mungkin. Ku
genggam erat tangan Stefi.
“sendirian,
Mids?” ah? Tolol, Gre! Kenapa tanya itu?!
“enggak,
itu disana. Mau gabung?”
Hamids
menunjuk seseorang yang datang bersamanya. Oh, bukan. Lebih tepatnya keluarga
kecilnya. Satu istri yang cantik dan dua anak.
“ah, enggak deh, Mids. gue harus siap-siap buat ulang tahun Stefi besok.” Aku menolak ajakannya.
“duluan ya, Mids.”
Aku
dan Stefi meninggalkan Hamids ditengah kerumunan orang-orang. Sama seperti
dulu.
***
“Happy Birthday Stefi! Happy Birthday Stefi!
Happy Birthday Stefi cantik, Happy Birthday Stefi!”
Sore
ini aku dan teman-temanku merayakan ulangtahun Stefi di rumah. Hanya pesta
kecil-kecilan yang dihadiri Sofia, Michelle, Elaine, dan Okta. Nadse tidak bisa
ikut karena ia ada rapat penting di kantornya. Tapi aku sudah minta kado buat
Stefi kok, jadi gapapa. Hehe.
Okta,
hari ini menjadi badut. Aku memintanya berdandan seperti Squidward dan di
wujudkan oleh teman-temanku yang lain. Sofia, Elaine, dan Michelle membuat Okta
menjadi warna tosca dengan body painting diseluruh
permukaan kulitnya yang tidak tertutupi pakaian. Okta mengenakan hidung besar
palsu dan kaos coklat super ketat dan cungklang
serta celana legging yang sewarna dengan tubuh tosca nya. Benar seperti
Squidward di kartun Spongebob Squarepants.
Pesta
kecil-kecilan ini berakhir sekitar pukul 8 malam. Teman-temanku pulang ke rumah
masing-masing. Stefi sudah tertidur pulas mengingat seharian ini kami bermain
bersama dan jalan-jalan sebelum pesta kecil dimulai. Aku merapikan rumah karena
memang kebiasaan teman-temanku yang kata mereka belom afdol kalo gak berantakin rumah. Hftgre.
TOK!
TOK! TOK!
Apadeh?
Suara ketukan pintu? Kulihat kacamata Okta tertinggal di sofa. Mungkin Okta
ingin mengambilnya. Eh, tapi kok segala ketuk pintu? Biasanya kan teriak-teriak
dari luar?
Aku
bergegas membuka pintu dan mendapati jantungku nyaris copot disana. Bukan Okta
yang berada di balik pintu. Bukan Stefi, Michelle, atau Elaine. Melainkan dia.
Hamids. Sumber segala masalah dalam hidupku.
“halo, Gre. Gue belom telat, kan?”
Aku
memaku dan gagu.
“Gre,
aku minta maaf.”
Seketika
tubuhku terasa disambar petir. Aliran darahku meningkat. Otot-otot tubuhku
pecah. Saluran pernapasanku terasa terbakar. Seketika aku hanyalah jasad tanpa
nyawa.
Tak
bergeming. Tak dapat bersuara. Mati.
“Gre,
aku tahu aku salah. Aku gapunya pilihan lain. Aku takut. Aku panik. Aku….. aku
minta maaf, Gre!”
“kamu
gak diundang, Mids.” Kataku datar. Mataku tak fokus. Pandanganku kosong.
“lagipula, pestanya udah selesai. Sorry.”
Aku
cepat-cepat menutup pintu. Namun Hamids dapat menahannya.
“Gre,
waktu itu aku gak punya pilihan lain. Aku—“
“kamu
satu-satunya yang membuat pilihan itu sendiri, Mids! Sekarang lebih baik kamu
pergi!” aku memotong kalimatnya. Sungguh, aku tidak ingin mendengar apapun lagi
dari mulutnya.
“Gre,
tolong kasih ini ke Stefi. Aku mohon….” Ia menyodorkan sebuah hadiah. “aku
mohon, cuma itu aja….”
Aku
mengambil kado yang dibungkus rapi itu. Entah apa isinya. Aku langsung
membanting pintu dan berlari menuju kamarku.
Ada
yang lebih indah dari malam purnama. Ada yang lebih membekas dari malam
pertama. Ada yang lebih memukau dari semua kata. Pesona matamu saat terbata
melafal cinta. Kepada satu nama. Namaku. Bukan yang lain.
Tubuhku
rasanya renta tak bertulang. Jiwaku pergi entah berhamburan kemana. Air mataku
tumpah ruah tak berarah. Aku kalah dalam memori kelam.
Aku
menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan segala bebanku satu-satunya yang terus
membelah diri. Tak berinti. Kepada langit-langit kamar, kepada ranjang, kepada
seluruh isi kamarku. Sampai pada akhirnya, aku tak sadarkan diri.
***
Aku
terjaga tengah malam. Tersadar dari kebodohanku menghabiskan seluruh energi
hingga pingsan.
Aku
membuka mataku. Sudah ada Stefi disebelahku. Tangan mungilnya memeluk tubuhku.
Kehangatan dari malaikat kecil menjalar ke seluruh tubuhku dalam balutan
selimut tebal yang bahkan aku tak ingat pernah mengenakannya.
Wajah
damai dari seorang anak kecil yang tertidur memang paling ampuh membuatku
tersenyum. Aku balik memeluknya. Mengaliri setitik demi setitik rasa sayangku
kepadanya.
Aku
tahu dia menyayangiku. Sangat. Kedekatan kami begitu lengket terjalin hanya
dalam waktu kurang lebih seminggu.
***
Saat
ini Aku dan Stefi sedang makan malam di ruang makan. Seperti biasa, seharian
kami bermain bersama. Tapi kali ini hanya dirumah.
“enak
gak?” tanyaku saat Stefi menyuap makanan hasil masakanku ke mulutnya.
“lumayan….
Tapi masih lebih enak masakan mamaku!” ia tersenyum lalu melahap sesendok demi
sesendok lasagna yang kubuat.
Aku
hanya tersenyum.
“oh
iya. nanti kita nonton film apa, Aunty?”
“apa
ya? yang ada dvd nya aja ya. hehe…”
Apapun.
Apapun akan aku nikmati moment malam ini bersama Stefi.
“besok
pagi mama jemput ya?” tanyaku di saat makanan kami sudah sama-sama habis.
“iya.
Aku kangeeeeeeennn banget sama mama!” jawabnya bersemangat. Senyumnya merekah
indah.
“kamu
gak mau tinggal sama Aunty aja?” aku harap ia mau.
“enggak.
Aku kangen sama papa juga. Hehe….”
Bukan,
bukan ini jawaban yang aku inginkan. Aku hanya tersenyum lalu mengacak-acak
rambutnya.
Aku
merapikan alat-alat makan yang kotor. Lalu mencucinya. Stefi mengekor sambil
duduk di kursi yang berada di belakangku. Ia memainkan boneka yang aku berikan
tempo hari.
“kalau
kita punya jarak, kita akan terus merindu. Aku ingin terus bisa merindukan
Aunty!”
Aku
menghentikan mengelap piring-piring yang baru ku cuci ini. Ku langkahkan kakiku
menghadapnya. Aku berjongkok menatap matanya yang bagai candu.
“Aunty
bakal kangen sama aku kan?” tanyanya.
Iya,
Stefi. Iya. Akan. Sangat. Dan setiap waktu aku akan merindukanmu.
Aku
hanya tersenyum.
“gue…..
elo…. Friend? Right?” tanyanya. Aku terkekeh melihat tingkahnya.
“iya,
Stef. Lo sekarang temen gue. Best friend forever?” aku menggunakan kata ‘gue’
dan ‘lo’. Aku tak ingin ada jarak lagi diantara kami. Sungguh.
“best
friend forever! You and Me against the world! Hahahahaha”
Kami
berdua tertawa dengan lepasnya. Setelah makan aku dan Stefi menonton film di
kamarku. Film frozen. Setiap detik aku nikmati saat-saat terakhir sebelum ia
pergi.
Stefi
sudah terlelap dalam dunia mimpi. Ku selimuti tubuh mungilnya. Ku usap rambut
halusnya. Ku sentuh mata, hidung, pipi, hingga bibirnya. Agar aku bisa hapal
dengan lekuk wajahnya. Agar aku bisa merasakan darah dagingku di kemudian hari
saat tidak bersamanya.
Iya,
Stefi darah dagingku. Stefi adalah anakku. Anakku dengan Hamids.
Aku
dan Hamids menjalin kasih saat aku kuliah. 2 tahun hubungan kami rasanya ia
sudah seperti separuh jiwaku. Aku untuknya, dan ia untukku.
Menurutku, Kesalahan
pancasila adalah saat pertama kali ditetapkan bahwa ketuhanan yang maha esa
ditempatkan pada tempat pertama. Cinta kami beda kiblat. Cinta kami beda kitab.
Cinta kami beda tempat ibadah.
Aku
tahu cinta kami tidak akan bisa selamanya. Maka aku ikhlas jika suatu hari
Hamids memang bukan untukku. Aku rela jika suatu hari rasa ingin memiliki
dirinya harus ku kubur dalam-dalam.
Malam
itu kami melampiaskan semuanya dengan minum-minum. Kami berdua kehilangan kontrol
hingga melakukan hal yang seharusnya tak kami lakukan. Hingga beberapa hari
setelahnya aku menyadari bahwa aku mengandung. Namun semua itu terlambat untuk
ia pertanggung jawabkan.
Ia
sudah terlanjur bertunangan dengan perempuan lain pilihan orang tuanya. Yang seagama,
yang satu kiblat.
Masih
terus membekas dalam ingatanku saat aku mengatakan padanya tentang kehamilanku.
Ia benar-benar kacau. Ia benar-benar berantakan. Ditengah-tengah kerumunan
orang pada festival kebudayaan tahunan, ia meninggalkanku dan bakal Stefi di
dalam rahimku.
Shania
dan Boby yang sudah menikah 2 tahun tetapi belum dikaruniai anak datang padaku.
Saat itu mereka bagai malaikat dan iblis dalam waktu bersamaan. Hanya satu hari
setelah persalinanku, mereka kembali ke Jakarta dengan membawa serta malaikat
kecilku. Aku memilih melanjutkan hidupku tanpa anakku saat itu, dan tersadar
itu adalah pilihan terbodoh yang aku tetapkan.
Malam
ini semua berputar. Semesta menekanku. Hanya aku yang terdiam. Diam tertahan
dengan keinginan yang tertinggal. Aku mati. Jiwaku musnah.
***
Aku
tidak tidur semalaman. Entah apa saja yang aku lakukan. Mungkin hanya melewati
malam yang sepi dengan melihat wajah damai malaikat kecilku. Aku tak rela jika
tidur akan memperpendek dan mengurangi waktuku untuk melihatnya.
Shania
datang dengan Boby. Stefi sangat senang bertemu kembali dengan kedua orang
tuanya. Aku menarik Shania ke luar. Meninggalkan Boby yang sedang melepas rindu
dengan anaknya, Anakku.
“harus
banget sekarang ya, Shan? Gak bisa besok aja?” tanyaku berusaha menahan tangis.
Aku belum siap jika harus berpisah dengan Stefi.
“iya,
Gre. Gue udah pesen tiketnya.”
“gue
bisa cari buat kalian. Besok, plisss!” air mataku perlahan jatuh. Aku masih
terus berusahan membendungnya.
“gak
bisa, Gre. Boby ada kerjaan!” Shania melihat jam di tangannya.
“tapi,
Shan. Dia anak gue. Satu hari aja….” Ucapku seraya memohon.
“lo
pikir dia bukan anak gue? Gue yang merawatnya selama ini, Gre! Gue sama Boby, udah
sayang banget sama Stefi. Dan itu gak bakal berubah. Apa lo pernah
menginginkannya? Lo lupa kalo lo pernah hampir mengaborsi bakal calon malaikat
cantik itu? Hah?!”
Shania
pergi meninggalkanku dengan rentetan kata yang membuatku seakan dalam layang membelah
udara menuju jurang. Air mataku mengalir deras. Aku tak kuasa.
Sejurus
kemudian, Shania, Boby dan Stefi menghampiriku untuk pamit. Sebuah taksi sudah
menunggu didepan rumahku. Aku masih mematung didepan pintu.
“Aunty.
Jangan sering-sering mabuk ya? kasihan badan Aunty nanti sakit….”
Aku
berlutut didepannya. Mengusap rambutnya. Berusaha menahan tangis sekuat
mungkin.
“iya,
Stefi. Kamu juga sering-sering main ke Jogja ya?” ku benamkan tubuhnya dalam
pelukanku.
“oh
iya, Stefi. Aunty kan belom punya suami dan pengen ngerasain punya anak….” Bibirku
bergetar mengucapkan kalimat ini. “Kamu mau gak panggil Aunty ‘mama’? sekali
aja….”
Aku
melepaskan pelukan kami. Ingin melihat bagaimana wajah cantiknya saat
memanggilku mama.
Stefi
melihat Shania dan Boby. Shania menahan tangis, dan membuang muka. Boby hanya
tersenyum menanggapi.
“mama…..
mama Gre! Hehehehe”
Kami
berdua tertawa dalam syahdu yang sendu.
Tentang
cinta. Bagiku satu-satunya cinta adalah kecintaanku pada malaikat kecilku. Tentang
kehilangan. Bagiku kehilangan adalah seberapa tulus kita mampu
mengikhlaskannya. Dan tentang rindu. Bagiku rindu adalah waktu yang terus
meledak tiap detakan jarumnya.
Jaga rindumu
baik-baik, Nak. Sebab tak ada lagi alasanku untuk memperjuangkan sebuah
pertemuan, selain karena rindu yang kita pertahankan.
Keluarga
kecil yang bahagia itu memberikan punggungnya. Meninggalkanku yang hanya sendiri
memangku sepi. Melepasku yang bertumpu rindu. Dan Kala rindu menjelma doa,
kebersamaan adalah angan yang semesta aminkan.
Saat
ini kata terindah untukku bukan lafal cinta dari Hamids yang memabukkan. Kata terindah
dalam hidupku dan akan terus sampai akhir hayatku adalah panggilan ‘mama’ dari
sosok paling sempurna didepan mataku. Stefi. Malaikat kecilku.
“Aku datang pada sepimu. Sebagai doa yang memelukmu dari
jauh.”
-Aksaratua
.
.
.
gimana gimana? nanggung ya?
eh btw, tadinya itu gue lagi nulis lanjutan Tulip Merah. tapi belom selesai hahaha XD
oh iya, ini OS terpanjang yg pernah gue bikin keknya hahahaha
OS ini terinspirasi dari salah satu film nya aom. shortmovie sih tepatnya hehe
sebenarnya gue banyak ide buat nulis, tapi entah kenapa males aja hahahaha
oh iya, komen dan kritik serta saran ditunggu lohyaaaa!
makasih yang udah nyempetin baca tulisan gue yang alakadarnya ini :))
- @satepadang48 -
Setelah beberapa hari dan beberapa kali buka ini blog, trus pas liat blm ada updatean, gua baper Thor sumpaaahhh wkwkwk alay ye gua? Tp serius nih, blog ini yg paling gua tunggu2 updateannya. Keep writing, Thor. Jgn males2 lah kalo ada ide hehehe peace :D
ReplyDeletemales aja ah wkwkwk btw makasih yaaaa udah mau baca :))
DeleteTulip Merah! Kangen ama gresya thor wkwk
ReplyDeleteBuruan update ya
udah apdet tuh wkwk gue kangennya sama gracio hahaha
DeleteGue aslinya sedih gara gara ceritanya. Nyeseq abis wkwkwk. Tapi kok gue lebi sedi okta di ff lu nga pernah jelas gendernya :(
ReplyDeletejangankan di ff gue ta, di ff lu aja gue baru tau kalo Okta cewek pas lu kasih tau next chapt banyak gxg. prolognya gue kira cowok :(
Deletekesian amat si ota :(
DeleteWaaaa waaaaa asliye ni stepi.. Darah "nyeni"nya dr hamidsyg emg dasarnya seneng ngelukis kalik yhaaa :))) *habis baca menarilah sendiriku*
ReplyDelete