Riuh
suara sorakan penonton pertandingan rugby terus menggema bahkan sampai
terdengar di taman sekolah. Ya, hari ini adalah final turnamen rugby tingkat
SMA. Kebetulan tahun ini sekolahku yang menjadi tuan rumah.
Seperti 2
tahun terakhir, sekolahku berhasil mempertahankan gelar juaranya. Aku tidak
tahu apakah tahun ini Tim Rugby SMA ku akan kembali mempertahankan gelar juara,
atau kemenangan akan direnggut oleh tim dari SMA lain. Aku hanya bisa
menerka-nerka saja.
Aku duduk di
bangku taman yang sepi. Jelas sepi, hampir seluruh murid dan guru-guru di
sekolahku menonton pertandingan itu. Sebenarnya aku ingin sekali menyaksikan
tim paling digilai di sekolah kembali meraih gelar juara, tetapi aku tidak
melakukannya. Aku tak bisa.
Gema riuh dari
dalam stadion rugby membuatku tidak fokus menggauli buku yang ku pegang. Sial.
Aku ingin sekali merasakan ramainya atmosfer di dalam sana. Aku ingin bersorak.
Aku ingin berteriak merayakan kemenangan saat tim rugby bisa meraih kemenangan
lagi. Aku ingin, tapi tak bisa.
Lembar demi
lembar ku lewati dari buku ini. Ah, susah sekali fokus. Aku malas pindah, ini
adalah tempat favoritku. Ku taruh buku itu disebelahku. Tanganku kurentangkan
di sandaran bangku taman ini. Kepalaku ku dongakkan, melihat ke langit sambil
bersandar.
Beberapa detik
ku pejamkan mataku, menarik nafas ringan berusaha rileks. Kakiku seketika
bergerak bergetar. Menghentak-hentak tanah seperti kuda yang hendak berlari.
Kepalaku bergerak ke samping. Mulutku mengeluarkan suara aneh. Seperti anjing.
Ah, sial! Syndrome bodoh ini lagi!
Oh iya, aku
belum bilang ya. Aku Hamids. Siswa kelas 12 jurusan IPA. Aku suka seni.
Terutama seni lukis dan fotografi. Aku punya ruangan khusus di rumahku seperti
gallery pribadi. Isinya semua karyaku. Beberapa dibuat untuk kompetisi, sisanya
hanya untuk menyalurkan hobi saja.
Aku juga suka
menari. Menari dengan kesendirianku. Haha, tidak. Aku sangat kaku. Aku punya
banyak teman, beberapa juga mengakui dirinya sebagai penggemarku. Ah, bukan.
Penggemar karya lukisku. Tapi dari sekian orang yang berteman denganku,
sebenarnya aku ingin sekali memiliki seorang teman istimewa. Tapi semua pupus,
aku tak berani. Aku terkena Tourette
Syndrome.
Tunggu, apa
itu Tourette Syndrome? Itu sindrom
apa? Kayak pernah denger kan? Ini adalah syndrome dimana seseorang dengan
spontan mengeluarkan ucapan atau gerakan tanpa bisa mengontrolnya. Sindrom ini
sama sekali tidak mempengaruhi kecerdasan seseorang, Cuma kelihatan aneh saja.
Bukan, bukan latah. Ya, gitu deh.
Sudah sejak
kecil aku mengalami penyakit neuropsikiatrik ini. Awalnya orang-orang kira aku
ini aneh, suka cari perhatian, hiperaktif, atau apalah itu. Bahkan saat SD aku
pernah disuruh keluar kelas karena dianggap membuat kebisingan dan mengganggu
teman lainnya. Ya, saat itu sedang ujian semester. Ini aneh, aku aneh. Demi
apapun, ini akan membuat kalian terlihat aneh di depan orang-orang. Apalagi di
depan perempuan. Hftmids.
“eh, Mids.
Sendirian aja kek Kunto Aji. Gak nonton final?” Boby merangkul pundakku. Ia
baru saja keluar dari stadion rugby bersamaan dengan rombongan orang-orang yang
masih dalam euforia pertandingan.
“yah… lo kan tau
bob, gue gimana. Yang ada bakal jadi badut gue disana. Mending disini, sepi
tenang. Gue mau guling-gulingan garuk tanah juga bebas. Hahaha” tawa renyahku
sepertinya terlihat dipaksakan. Aku memang tidak pandai akting.
“semerdeka lo
deh, Mids. Gue balik dulu ya, mau nebeng gak?”
“enggak, bob.
Gue bawa mobil kok. Bareng ke parkiran aja.”
Boby mungkin
satu-satunya teman yang benar-benar temanku. Dia ketua OSIS di sekolahku
sebelum sebulan lalu jabatannya digantikan adik kelas. Sekarang hanya mantan.
Haha, jangan mikir yang aneh-aneh!
Boby sangat
baik kepada semua orang. Ia pintar, anak basket, dan ramah. Jarang-jarang kan
cowok basket ramah? Banyak gadis di sekolah ini yang menyukainya. Dari anak
kutu buku, anak drama, anak olimpiade, sampe anak ayam saja menyukainya. Tapi,
berapapun antrian gadis yang menyukainya, hanya Shania yang ada di hatinya.
Itu, si cewek sengak itu. Entah
kenapa bisa-bisanya Boby kepincut Shania. Iya sih, cantik. Tapi…. Ah audah
itumah urusan dia.
Kondisi
parkiran sekolah dua kali lipat lebih ramai dari biasanya. Maklum saja, ada
juga orangtua murid yang ikut menonton final ini. Bahkan, supporter tim lawan
ikut juga. Tapi tenang saja, tidak ada tawuran kok. Malah kelihatanya kedua
kubu saling dukung.
“hey,
beyyybbbh! Kemana ajasih? Aku cariin tauuuuu….” Nah, itu. Pacarnya Boby.
Apacoba manyun-manyun gitu. Hih! Ehtapi lucuq juga sih (?)
“lah kamu kan
tadi keluar duluan dari stadion. Pas pertandingan selesai sampai penyerahan
medali dan tropi aja belom balik.”
“f-f-fh-fa-ffa”
sial. Tourette. Lagi-lagi sindrom
menyebalkan ini muncul. Kepalaku bergerak berkali-kali ke samping dan belakang.
Lagi, seperti anjing.
“eh, kenapa
lo? Ih! Dasar aneh! Weirdo!” ucap Shania. Sepertinya dia belum tahu. Dan
mungkin Boby tidak pernah cerita akan penyakitku. Memang jarang yang tahu,
karena semakin dewasa kadar sindrom ini perlahan-lahan berkurang. Mungkin hanya
teman sekelasku yang tahu sikap anehku ini, tetapi mereka tidak tahu apa itu Tourette. Mereka hanya tahu bahwa aku
aneh.
Aku tidak
memperdulikan ucapan Shania, aku hanya menepuk pundak Boby dan ngeloyor pergi menyambangi mobilku. Lalu
mengumpat saat sudah duduk di kursi pengemudi. Bodoh! Idiot! Moron!
Aku
memundurkan mobilku bergegas pulang kerumah. Saat melihat kaca spion, disitulah
aku mengerti ternyata spion bukan hanya melihat ‘masa lalu’ tetapi justru ‘masa
depan’ untukku. Ya setidaknya masih wacana sih, hehe.
Seorang gadis
yang amat sangat aku sukai. Ia berjalan bersama ketiga temannya di belakang
mobilku. Bibirnya masih sibuk berucap, menceritakan bagian-bagian yang seru
dalam pertandingan final tadi. Seperti teman-temannya bahkan seluruh orang di
parkiran ini kecuali aku, ia masih terbawa euforia pertandingan tadi yang baru
ku ketahui bahwa pemenangnya adalah tim rugby sekolahku lagi.
Ia berjalan
dengan anggunnya. Ia tersenyum dengan manisnya. Ia tertawa dengan cantiknya.
Dia…. Ah, dia terlalu silau untuk aku dambakan. Ia berlalu begitu saja. Sudah
tak terlihat di spion lagi.
***
Hari ini aku
melihatnya. Lagi. Sebenarnya aku selalu berusaha untuk melihatnya di sekolah.
Ya, walaupun dengan cara yang membosankan. Hanya dari jendela kelas, saat aku
izin ke toilet, atau dengan cara-cara kebetulan yang memaksa lainnya.
Tapi kali ini
tidak karena usaha yang konyol, ini murni kebetulan. Ini adalah jam pulang
sekolah. Dan ia berjalan melewatiku. Seperti biasa, lewat begitu saja. Tanpa
menoleh sedikitpun.
Namanya
Gracia. Dia cantik. Eh, terlalu naif kalau aku hanya menyebutnya cantik. Dia
luar biasa in
dah. Dia perempuan paling sempurna nomor 2 di hidupku. Kalian
pasti sudah paham kan nomor 1 nya siapa? Ya, mamaku.
Sudah hampir
tiga tahun aku satu sekolah dengannya, tetapi rasanya belum pernah ia memanggil
namaku. Bahkan melirik kearahku saja sepertinya belum pernah. Padahal Gracia
adalah nama wajib yang harus ada dalam setiap doaku. Gracia adalah
ketidakmungkinan yang selalu aku ‘semoga’ –kan.
Mata hitammu
selalu menyulut senyum tersipu
Hasrat
terpaku tuk selalu bertemu…..
Gracia adalah
satu-satunya gadis di sekolah ini yang berhasil menumbuhkan secercah keberanianku
untuk mencintai seseorang. Gracia adalah setetes serum penumbuh semangat dalam
debaran jantungku. Gracia adalah setitik hembusan semangat dari Tuhan untuk
membentuk pelangi dalam hidupku. Memang, pelanginya masih berwarna hitam dan
putih, tapi aku yakin suatu saat Gracia akan menggoreskan tinta penuh warna
dalam guratan pelangi itu.
***
Malam ini aku
bebas. Tidak ada tugas ataupun ulangan. Orangtuaku juga sedang di luar kota.
Rumah sepi, dan tempat terbaik saat ‘menyepi’ adalah gallery ku.
Gallery ini
berukuran sekitar 6x8 meter. Dindingnya berwarna putih dengan lukisan dan hasil
‘jepretan’-ku menempel di sekelilingnya. Di sudut kanan ruangan dari pintu
terdapat meja berbentuk setengah lingkaran dengan berbagai alat lukis disana.
Satu sisinya terbuat dari kaca. Kebetulan gallery ini berada di lantai 3
rumahku. Jadi kalau sedang bosan atau ingin mendapatkan isnpirasi, tinggal buka
saja tirainya lalu kau akan melihat langit. Salah satu hal yang aku sukai.
Aku tidak ada
inspirasi ataupun greget untuk melukis saat ini. Aku hanya melihat-lihat isi
memory card di kamera ku. Isinya random, aku lebih suka memotret langit.
Sandikala, fajar, senja, langit biru, mendung, dan campuran warna indah di
dalamnya. Selain itu, banyak juga foto candid
Gracia di sekolah.
Foto-foto
Gracia ini sengaja hanya beberapa yang aku cetak dan abadikan disini. Bukan
karena malu atau takut ketahuan orangtuaku, tetapi karena wajah Gracia sudah
memenuhi satu sisi di dinding kamarku. Wajah Gracia juga tak pernah hilang
dalam ingatanku. Aku menyukai kepolosan dan kesederhanaan gallery ini. Maka
jika aku pasang banyak-banyak foto Gracia disini, aku takut gallery ini ikut
terjajah jutaan warna yang ampuh menarik senyuman di bibir tiap kali
melihatnya. Seperti kamarku.
Kau tetap
indah, malamku…
Membelai
diriku yang selalu ingin bersamamu….
Setelah hampir
2 jam bercengkerama dengan langit, rasanya tarian dalam kesendirianku memakan
banyak energi. Perutku mengeluarkan suara syahdu menghanyutkan ala musik asal
portugis. Keroncongan.
Aku berjalan
menuju dapur. Ah, bosan. Kulkas isinya ini-ini terus. Mau masak mie instant
tapi males. Ku putuskan untuk menelepon delivery
sebuah restoran cepat saji.
“halo,
blablablablabla-” aku hafal betul seseorang di ujung panggilan sana akan
mengucapkan ini. Jadi tidak aku dengarkan.
“halo, saya
mau pesan fhh-bb-bbaaa-fff-ffaaahh-ffaaahhh!” sial! Tourette sialan ini lagi. Aku menjauhkan gagang telepon yang ku pegang.
Suara perempuan di ujung panggilan itu terdengar samar mencari jawaban.
Kepalaku bergerak reflek seperti anjing yang sedang kegatalan mencari kutu. Ku
tutup telepon itu dengan membanting gagang telpon dengan keras ke tempat
asalnya.
Emosiku
memuncak. Ini hal sepele dalam hidupku, tetapi dalam waktu yang tidak tepat. Ku
banting beberapa barang disekitarku. Piring, gelas, bahkan blender. Semuanya
hampir binasa. Aku mengacak-acak rambutku. Penyakit
bangsat!
Asisten rumah
tanggaku sepertinya terjaga karena kebisingan yang kubuat. Ia menghampiriku dan
menanyakan pertanyaan template seperti ‘kenapa?’ ‘ada apa?’ ‘kok kacau begini?’.
Aku tak menjawabnya. Ku langkahkan kakiku menginggalkan dapur.
***
Aku baru saja
menyelesaikan Try Out terakhir sebelum minggu depan akan menghadapi Ujian
Nasional. Persiapanku sudah cukup matang untuk bergelut dengan UN. Soal-soal
latihan dari beberapa buku juga sudah aku kuasai semuanya. Bahkan rasanya aku
kekurangan soal-soal latihan.
Saat ini aku
bersama Okta di kantin. Ya, sekedar isi perut. Sebenarnya aku tidak lapar, tapi
cowok yang mukanya kurang maskulin menurutku ini memaksa untuk ke kantin. Ia
bilang, kantin adalah vitamin mata. Banyak siswi-siswi cantik yang menggemaskan
disini.
Aku dan Okta
hanya duduk berdua. Padahal kami menempati meja kursi panjang yang cukup untuk
8 orang, tapi orang-orang hanya berlalu begitu saja. Beberapa dari mereka
menatap aneh padaku. Beberapa tersenyum, berbisik dengan teman disebelahnya,
atau meledek. Sudah biasa.
Sesaat
kemudian geng anak-anak tim rugby datang dengan bergerombol. Suara riuh ucapan
selamat menyelimuti kantin ini. Tatapan-tatapan mupeng dari siswi-siswi disini
juga dapat terlihat dengan jelasnya. Bagaimana tidak, kemarin mereka baru saja
memenangkan kompetisi lagi. Kali ini bahkan tingkat nasional. Selain itu, badan
mereka terbentuk bagus. Tinggi tegap. Tidak sepertiku yang kurus. Wajah mereka
juga terbilang tampan. Wajar saja mereka digilai gadis-gadis.
Mereka berhenti
di meja yang ditempati sekumpulan cewek kelas 12 IPS 2. Tepatnya dibelakang
mejaku. Entah untuk apa. Sepertinya hanya untuk tebar pesona dan melayangkan
godaan. Kelas 12 IPS 2 memang terkenal dengan siswi-siswinya yang cantik.
Beberapa dari mereka memberikan pujian untuk geng rugby, sementara lainnya cuek
dan lebih memilih menikmati makanan yang mereka pesan.
Kinan, kapten
tim rugby yang juga merupakan pacar dari Ve, melanjutkan langkahnya dan tepat
berdiri disamping meja kami. Langkahnya disusul oleh gerombolan gengnya yang
berjumlah sekitar 4 orang. Ada Ghaida, Mario, Adam, dan Nobi.
“hey, Hamids.
Tadi itu lucu! hahaha” lucu? Sial. Apanya yang lucu?
“thanks, Nan.”
“kosong?”
Kinan melirik ke arah bangku yang masih kosong di meja kami.
Aku hanya
mengangguk mengiyakan. Mereka menyebar dan menempati kursi-kursi kosong di meja
ini. Okta melihatku seakan bilang ‘ngapain
lo iya-in coba, Mids?’ dengan tatapan tajam ke arahku. Aku hanya cekikian
kecil melihat ekpresinya.
Geng rugby
ribut memesan makanan. Sementara Okta hanya fokus pada HPnya. Makananya sudah
habis. Hanya tersisa segelas lemon tea di depannya. Okta berusaha setenang
mungkin, padahal aku tahu sekarang ia ketakutan setengah mati.
Terlihat
sekali perbedaan antara kami dan geng rugby. Kami berpakaian formal dan rapi
dengan seragam sekolah kami. Sementara geng rugby tidak memakai dasi dan jas.
Tubuh besar mereka tertutupi oleh jaket identitas khas ekstrakuriluler rugby.
Kemeja mereka juga berantakan dan dikeluarkan. Okta sering di bully oleh geng
rugby ini. Ya, karna wajah Okta terkesan kurang maskulin. Tapi sebenarnya Okta
itu jantan banget, kok. Takutnya cuma sama Tuhan, Orangtua, dan Geng rugby aja.
Haha.
“jadi, lo
dipindahin kemana tadi, Mids?” Kinan sialan. Kenapa diungkit lagi?
“ke ruang BK.
Diceramahin dulu sama Bu Melody. Hehe.” Ucapku dengan cengengesan. Aku berusaha enjoy
dengan candaan ini. Anak geng rugby langsung menanyakan apa yang terjadi di
ruanganku tadi. Sialnya, Kinan dengan lancarnya menceritakan aibku. Hftmids.
Jadi begini,
tadi aku Try Out satu ruangan dengan Kinan. Awalnnya berjalan lancar, baik-baik
saja. Ditengah mengerjakan soal, Tourette
itu mengganggu lagi. Tubuhku bergerak reflek. Tidak terkendali. Bibirku
dengan lantangnya mengeluarkan suara-suara aneh. Seketika murid-murid bereaksi
macam-macam. Ada yang menatap aneh, tertawa karena menganggap aku terlalu
stress mengerjakan soal, dan ada juga yang menatap sinis karena merasa
terganggu.
Pengawas yang
sibuk dengan laptopnya itu hanya menatapku seakan menyuruh berhenti melakukan
hal yang tidak bisa aku kendalikan. Perlahan tubuhku bisa ku kendalikan lagi.
Aku hanya tersenyum ke mereka yang menatapku dalam tawa. Terutama Kinan, ia
tertawa paling keras. Lalu aku menggeluti soal Try Out lagi.
Beberapa menit
kemudian Tourette itu datang lagi.
Kali ini otakku ingin membuatku dalam masalah lebih lama. Tanganku bergetar.
Kakiku begerak-gerak seperti kaki kuda yang bersiap di pacuan. Kepalaku
bergerak ke depan dan belakang sampai punggungku berbenturan dengan sandaran
kursi beberapa kali. Mulutku beberapa kali dengan reflek mengeluarkan kata-kata
kasar.
Sungguh, aku
tidak punya kendali atas ini. Ku gigit batang pensil untuk meredam ucapan tak
pantas yang mungkin akan aku keluarkan lagi. Murid laki-laki tertawa dengan
puasnya seakan ini lucu dan hanya lawakanku karena terlalu stress menghadapi
soal matematika ini. Bulir-bulir keringat mengalir deras dari pelipisku. Aku
memaksa otakku untuk menghentikan ini. Susah payah, namun tidak berhasil.
“Hamids! Kamu pikir ini lucu? Ke ruang BK,
sekarang!” ucap pengawas dengan kumis tebal itu.
“ta-tapi, pak. Ini—sa-saya-“
“Keluar! Sekarang!”
Aku bergegas
keluar. Meninggalkan ruangan dengan Tourette
yang masih mengendalikanku. Tubuhku masih bergerak-gerak dengan mulutku yang
kali ini mengeluarkan suara anjing. Bangsat!
Aku tak tahu
lagi harus bagaimana menjelaskan ini ke setiap guru. Beberapa dari mereka tidak
perduli dan tidak mau mengerti. Aku menemui Bu Melody, Guru BK sekolahku. Ia
sudah mengerti keadaanku. Ia sangat menyayangi semua muridnya. Termasuk Ghaida
yang sering menggodanya sekalipun. Akhirnya, aku melanjutkan mengerjakan soal
di ruang BK. []
Beberapa murid
laki-laki menganggap Touretteku ini
lucu. Aku dapat diterima dengan baik oleh murid laki-laki. Tetapi dimata
perempuan, aku aneh, suka cari perhatian, dan pokoknya gak banget deh.
Aku mengikuti
ekstrakurikuler cricket. Bukan seperti ekstrakurikuler yang membutuhkan kondisi
tenang, aku mendapat sambutan hangat disini. Di permainan cricket, Touretteku terlihat seperti suara dan
gerakan yang sengaja aku buat untuk menganggu konsentrasi lawan. Aku berbakat
di olahraga ini.
Selama makan
siang, Mario tidak henti-hentinya menggoda Gracia yang duduk di depan meja
kami. Seluruh sekolah tahu Mario sudah lama mengincar Gracia, tapi Gracia hanya
dingin menanggapinya. Ya Gracia mana mau sama Mario, dia kan playboy.
Dengar-dengar Mario punya pacar murid sekolah lain. Pft.
Semakin lama
aku semakin gerah dengan godaan-godaan yang Mario lontarkan untuk Gracia. Gracia jangan dibecandain!
Aku tak
tinggal diam. Gracia adalah gadisku. Ehm, calon gadisku. Aku berpura-pura tidak
sengaja menyenggol jus melon milikku dan berhasil mengenai celana Mario. Sontak
Mario bangkit dari duduknya dan membersihkan celananya. Aku berusaha terlihat
merasa bersalah dan meminta maaf. Ia menatapku marah. Sukurin!
“BANGSAT!
APA-APAAN LO, NJING?!” ucap Mario menggema di setiap sudut kantin. Sementara
teman-temannya dan murid lain hanya tertawa.
Emosi Mario
tersulut. Wajahnya terlihat menahan amarah. Mungkin kalau di kartun-kartun
wajahnya sudah berubah merah dan ada tanduk serta asap menguap dari kepalanya.
Aku hanya tersenyum getir.
Sejurus
kemudian, Mario tak bisa membendung amarahnya. Ia langsung mencengkeram erat
kerah kemejaku. Ia mendorongku ke samping meja. Ku lihat Gracia menatap ngeri
melihat aku dan Mario yang seakan siap beradu jotos. Gracia lalu menggeser
posisi duduknya menjadi mepet ke Elaine.
BUGH!!!
Mario memukul
wajahku dengan keras. Ia menumbuk dadaku sehingga aku terhuyung ke belakang dan
mengenai meja Gracia dan teman-temannya. Ia mengangkatku lagi dengan
mencengkeram kerah kemejaku. Lalu, tangannya mengepal di udara bersiap
menghantamku lagi.
“Mario, Stop! Atau akan aku laporkan kamu ke BK!
Kantin ini ada cctv-nya, kamu tau kan?” ah, Veranda. Terimakasih Tuhan, kau
mengirimkan Ve disaat seperti ini.
Mario
melepaskanku lalu pergi meninggalkan kantin masih dengan emosi yang belum
berkurang. Suara sorakan yang seperti menyayangkan pertengkaran ini berhenti,
keluar dari mulut murid-murid yang ada di kantin. Tak terkecuali geng rugby,
mereka langsung menyusul Mario dengan sebelumnya menyapa Ve.
“yah, Ve. Kamu
kok gak seru sih? Gak asik ah!” ucap Kinan kepada kekasihnya lalu berjalan
keluar menyusul teman-temannya.
Ve adalah
siswi berpengaruh di sekolah ini. Ia cantik, baik, dan pintar. Hampir semua
organisasi di sekolah ia ikuti. Berbanding terbalik dengan pacarnya, Kinan.
Selain itu geng rugby juga nurut sama Ve. Yaaaa karena Kinan juga. Pokoknya,
siapapun yang menganggu atau membuat Ve tidak nyaman akan berhadapan dengan
Kinan, kapten tim rugby yang bertubuh besar dan kekar.
Okta membantuku
berdiri. Masih kulihat beberapa pasang mata menatap kearahku. Entah itu tatapan
apa. Yang jelas, Gracia sibuk dengan HPnya. Sama sekali tidak melihatku. Sedih
:’)
Aku
mengucapkan terimakasih kepada Ve. Lalu keluar dari kantin dengan nyeri di
wajah dan dada.
***
Beberapa hari
ini aku gabut di sekolah. Setelah
usai menghadapi Ujian Nasional, aku hanya melakukan hal-hal tidak jelas di
sekolah. Tidak ada teman untuk melakukan sesuatu. Okta sibuk mempersiapkan
SBMPTN, aku sih sudah dari jauh-jauh hari ikut tes masuk universitas dan
alhamdulilah diterima di University of Melbourne. Sementara Boby, dia sibuk
jadi tutor Shania. Tutor pelajaran loh, bukan yang lainnya. Kata Boby sih
mereka berencana mau ikut Ujian Mandiri di salah satu universitas di Singapore.
Ya, gitu deh. Yang pacaran mah pengennya satu universitas juga. Lah yang jomblo
gimana? Hftmids.
Aku memasuki
perpustakaan. Aku suka disini. Perpustakaan ini sepi, tenang, dan nyaman.
Bukunya bagus-bagus, selalu diperbarui setiap bulannya. Namun, biasanya aku tak
berlama-lama disini. Aku tidak ingin sampai diusir petugas perpustakaan yang
galak itu karena Touretteku.
Aku
berjalan-jalan mengelilingi setiap rak buku. Melihat satu-persatu buku yang
mungkin saja akan ku pinjam. Gugusan rak-rak tinggi aku lewati. Kategori demi
kategori aku abaikan. Filsafat, sejarah, novel dan lainnya entah mengapa hari
ini tidak menarik perhatianku.
Kakiku terus
melangkah menuju entah ke bagian mana perpustakaan ini. Mataku terus
mencari-cari siapa tahu ada buku yang menarik. Sampai pada satu titik, mataku
berhenti mencari. Terpaku akan keindahan yang terselip dari celah deretan buku.
Sosok itu, matahariku.
Gracia entah
sedang mencari buku apa. Mungkin buku tentang psikologi, mengingat ia sedang
berhadapan dengan rak deretan buku-buku tentang psikologi. Tidak ingin
melewatkan ‘vitamin mata’, aku mengambil asal sebuah buku. Lalu bersandar ke
rak buku dibelakangku, pura-pura membaca sambil sesekali melirik kearahnya.
Gracia sudah
menemukan beberapa buku yang ia cari. Ia menjauh dari rak buku kategori
psikologi itu lalu menempati sebuah tempat duduk di dekat jendela besar.
Lamunan
jendela di siang bolong. Gracia sendirian. Ingin rasanya aku mendekatinya.
Duduk disampingnya. Berbicara dengannya. Bercengkerama dengan sosoknya. Namun
nyaliku ciut. Aku lupa bawa nyali. *hey
little baby, kau membuat hati ini~* lah malah nyanyi-___-
Cahaya dari
sang Batara Surya memancarkan keindahan Gracia. Rambutnya yang tergerai bebas
menutupi sebelah wajahnya. Sisi kiri rambutnya ia sibakkan ke belakang telinga.
Aku terpaku dalam candu. Terpana dalam lamunan fana. Terjerembab dalam
keanggunan wajah sampingnya.
Aku harus berani! Ini satu-satunya
kesempatan untuk berbicara dengannya!
Aku menguatkan
mentalku. Berusaha sekuat tenaga mengumpulkan serpihan nyali yang entah
tercecer dimana. Tanpa suara, tanpa kata. Aku mengambil posisi duduk di
depannya. Gracia masih sibuk dalam bukunya.
Perlahan ku
turunkan buku yang sedari tadi menutupi wajahku. Aku benar-benar bergetar.
Jantungku berdegup kencang. Otakku bekerja dengan kasarnya, berusaha menyusun
kata demi kata. Otakku berteriak, hatiku berjingkrakan, namun mulutku bisu. Aku
gagu seketika.
Huh! Ayo, Hamids! Katakan Hai!
“em….
Fff-fffaahh-ffa-bba-bbaaahh” ya Tuhan, kenapa begini? :’(
Lagi. Touretteku yang sangat amat menyebalkan
terjadi tidak pada waktu yang tepat. Aku kembali mengeluarkan suara aneh,
bertingkah seperti binatang. Bahkan mungkin karena tercampur perasaan marah dan
menyesal, tanganku bergerak lebih bodoh. Kepalaku membentur buku yang ku pegang
beberapa kali.
Aku melihat
Gracia sekilas. Ia menatapku dalam tatapan yang…. Entah aku tak mengerti. Ia
bangkit dari tempat duduknya, lalu berlari entah kemana. Meninggalkan tumpukan
buku, HP, dan tentunya meninggalkanku yang aneh. Freak. Weirdo.
Tidak ingin berlama-lama
dalam busuknya kebodohanku, aku berlari menuju pintu keluar. Aku tidak ingin
Gracia tambah illfeel saat melihatku
diusir oleh petugas perpustakaan karena kebisingan yang tak bisa ku kendalikan.
Aku berlari,
terus berlari entah kemana. Aku marah, aku murka. Aku bodoh. Aku telah
membiarkan Touretteku merusak
kesempatan impian yang mungkin hanya satu kali dalam hidupku. Aku benci pada
diriku sendiri.
Aku berlari,
terus berlari hingga langkahku terhenti oleh sebuah kaki usil yang
menghadangku. Aku jatuh tersungkur. Aku jatuh dan ditertawakan.
Touretteku masih beraksi. Aku tak
perduli akan siapa yang menjagalku. Aku tak perduli akan apa yang sekelompok
murid itu tertawakan. Aku berlari, terus berlari seakan tidak ada yang bisa
menghentikan pelarianku. Pelarianku yang penuh sesal. Pelarianku yang penuh
amarah membuncah. Pelarianku bersama teman sejak kecilku, Tourette.
Nafasku sudah
tak beraturan. Ototku sudah pecah. Lariku melemah. Pelarianku terhenti di depan
gymnasium sekolah. Lututku sudah
lemas. Tapi amarahku belum tersalurkan. Aku masuk ke dalam gymnasium ini yang
kebetulan sepi. Tak ada seorangpun.
Tujuanku hanya
satu. Samsak. Aku tidak melindungi buku-buku jariku dengan sarung tinju, kain
atau apapun. Kubiarkan tubuh ini merasakan sakit bersamaan dengan Touretteku yang setia. Pukulan demi
pukulan aku layangkan.
Kulit buku
jariku robek mengeluarkan darah segar. Nafasku tersenggal. Tubuhku melemas. Sementara
Touretteku mulai meminta perhatian
lagi. Aku tidak melawan. Tidak berusaha mengendalikan. Aku biarkan ia menang lagi. Biar ia puas telah merusak hidupku selama
ini.
Aku menghentikan
pukulanku. Aku ambruk memeluk samsak. Aku menangis, entah karena apa. Aku
menangis, entah untuk apa. Aku menangis, entah untuk siapa. Kali ini hanya ada
Aku, dan dua teman setiaku; Cermin
dan Tourette.
***
Tanganku dibalut
perban. Ternyata sakit juga ya. Haha kemarin entah mengapa kebodohan, rasa
sakit, dan kejenuhan bisa-bisanya menguasai logikaku. Hari ini bener-bener deh
capek banget rasanya. Inginnya sih bolos sekolah sahaja *eak wkwk*
Pagi ini aku
sudah berada di lapangan cricket. Sebenarnya aku tak tahu untuk apa datang
kesini. Aku duduk di tribun penonton. Melihat adik kelas yang sedang pelajaran
olahraga. Cepat juga ya rasanya. Sudah mau lulus saja. Padahal rasanya baru
kemarin aku ikut MOS disekolah ini. Dan saat itu adalah pertama kali aku
melihat bidadari di bumi. Gracia 3 tahun lalu sedang joget-joget gak jelas
disuruh kakak senior panitia MOS. Sementara aku duduk disini, mengecat daun
yang berjatuhan dari pohon dibelakang tribun. Waktu berlalu dengan cepat, ya?
Oh iya, hari
ini rencananya aku akan memberikan lukisanku untuk gracia. Lukisan itu kubuat
tadi malam. Yaaaa mungkin pagi. Sekitar jam 2an aku terbangun lalu sok ide
gitu, bikin lukisan buat Gracia. Ciyedeh.
Mengingat kejadian
yang memalukan kemarin, aku tak berani menampakkan diriku di depan Gracia. Aku menyuruh
adik kelas untuk memberikan lukisanku yang digulung rapi untuk Gracia.
Ia sedang
duduk di taman bersama teman-temannya. Saling bertukar cerita, bertukar tawa.
Gracia sangat cantik saat tertawa. Aku terkesima dibuatnya. Tapi sayang,
tawanya bukan karenaku :’)
Wajahnya bingung
saat menerima gulungan itu dari si adik kelas yang kusuruh. Gracia mencari-cari
dimana keberadaan pengirimnya. Dimana keberadaanku, si empunya cinta untuknya.
Matanya berhenti
ke arahku yang sedang mengintip dari jarak yang tidak terlalu jauh. Mata kami
bertemu dalam hitungan waktu yang hanya sepersekian detik. Sungguh, ini
membuatku benar-benar kehilangan akal. Aku reflek berlari meninggalkan tempat
ini. Kemana saja, yang penting menjauh. Aku tak kuasa. []
Hari sudah
semakin sore. Aku sudah selesai dengan kegiatanku disekolah hari ini. Sebenarnya
tadi hanya sedikit mengajari beberapa teknik permainan cricket buat para
pemula.
Sekitar jam 5
sore, aku putuskan untuk pulang. Entah mengapa rasanya lega saja saat aku
berhasil menyentuh jiwa Gracia walaupun hanya dengan lukisan. Aku berjalan
menuju parkiran melewati taman yang tadi siang ada Gracia disana. Aku harap
lukisan itu bukan menjadi lukisan selamat tinggal, melainkan lukisan salam
kenal dariku.
“Mids! Hamids!”
Aku menoleh
kebelakang. Okta berlari menujuku. Haduh, kiraen bakal Gracia yang manggil. Kayak
di FTV FTV gitu deh. Hftmids.
“gue kira lo
udah balik, Ta.”
“enggak, baru
aja selesai tutor.”
Aku hanya
menaikan kedua alisku. Lalu kembali melanjutkan perjalanan ke parkiran. Namun,
aku melihat sebuah gulungan kertas disana. Itu dia. Itu cintaku yang kutitipkan
pada Gracia. Itu lukisanku untuknya. Tergeletak di parkiran.
Aku mematung. Tubuhku
memaku ke tanah. Jantungku rasanya sudah copot. Seharusnya aku sadar sejak
awal. Seharusnya aku paham sejak dulu. Seharusnya aku tahu siapa aku dan siapa
Gracia. Ia tidak pernah mencintaiku. Cintaku pupus. Cintaku bertepuk sebelah
tangan. Gracia-ku meluluh lantahkan hatiku. Hancur. Musnah. Binasa.
Aku teruskan
langkahku menuju mobil. Tidak, aku tidak memungut lukisan itu. Aku tidak akan
memungut cintaku. Biarkan saja tergeletak disana. Biarkan saja seperti itu.
Seperti perasaanku yang tak berbalas. Aku ikhlas.
Mungkin memang
saatnya aku kembali kepada teman setiaku, cermin. Karna ia adalah satu-satunya tempatku menari dengan kesendirianku.
Dan menarilah hariku di atas
jalan berbatu
Lewati semua sepiku dan sendiriku…..
.
.
.
haloohhh.... ciye ngepost lagi. pft. oiya, yang di bold-italic itu lirik lagu Angsa & Serigala - Menarilah sendiriku.
gimana? gimana? ringan banget ya? biarin deh. ini terinspirasi dari film Front Of The Class tentang Tourette gitu deh. sengaja gak gue bikin sedih karna bosen juga ye gue kalo nulis kok sedih mulu hahahaha XD
nanti bakal ada dari ceritanya si Gre, masih syndrome juga. kapan ya enaknya?
ah tunggu aje gue selesai UKK. hahahaha udeh ah, mau lanjut (( menggauli )) matematika.
kritik dan saran ditunggu loh XD
makasih ya udah mau bacaaaa~
- @satepadang48 -
Kapan nih thor yang ceritanya gre diapdet? :(
ReplyDelete