Saturday, 6 June 2015

Menarilah Sendiriku

           Riuh suara sorakan penonton pertandingan rugby terus menggema bahkan sampai terdengar di taman sekolah. Ya, hari ini adalah final turnamen rugby tingkat SMA. Kebetulan tahun ini sekolahku yang menjadi tuan rumah.

Seperti 2 tahun terakhir, sekolahku berhasil mempertahankan gelar juaranya. Aku tidak tahu apakah tahun ini Tim Rugby SMA ku akan kembali mempertahankan gelar juara, atau kemenangan akan direnggut oleh tim dari SMA lain. Aku hanya bisa menerka-nerka saja.


Aku duduk di bangku taman yang sepi. Jelas sepi, hampir seluruh murid dan guru-guru di sekolahku menonton pertandingan itu. Sebenarnya aku ingin sekali menyaksikan tim paling digilai di sekolah kembali meraih gelar juara, tetapi aku tidak melakukannya. Aku tak bisa.

Gema riuh dari dalam stadion rugby membuatku tidak fokus menggauli buku yang ku pegang. Sial. Aku ingin sekali merasakan ramainya atmosfer di dalam sana. Aku ingin bersorak. Aku ingin berteriak merayakan kemenangan saat tim rugby bisa meraih kemenangan lagi. Aku ingin, tapi tak bisa.

Lembar demi lembar ku lewati dari buku ini. Ah, susah sekali fokus. Aku malas pindah, ini adalah tempat favoritku. Ku taruh buku itu disebelahku. Tanganku kurentangkan di sandaran bangku taman ini. Kepalaku ku dongakkan, melihat ke langit sambil bersandar.

Beberapa detik ku pejamkan mataku, menarik nafas ringan berusaha rileks. Kakiku seketika bergerak bergetar. Menghentak-hentak tanah seperti kuda yang hendak berlari. Kepalaku bergerak ke samping. Mulutku mengeluarkan suara aneh. Seperti anjing. Ah, sial! Syndrome bodoh ini lagi!

Oh iya, aku belum bilang ya. Aku Hamids. Siswa kelas 12 jurusan IPA. Aku suka seni. Terutama seni lukis dan fotografi. Aku punya ruangan khusus di rumahku seperti gallery pribadi. Isinya semua karyaku. Beberapa dibuat untuk kompetisi, sisanya hanya untuk menyalurkan hobi saja.

Aku juga suka menari. Menari dengan kesendirianku. Haha, tidak. Aku sangat kaku. Aku punya banyak teman, beberapa juga mengakui dirinya sebagai penggemarku. Ah, bukan. Penggemar karya lukisku. Tapi dari sekian orang yang berteman denganku, sebenarnya aku ingin sekali memiliki seorang teman istimewa. Tapi semua pupus, aku tak berani. Aku terkena Tourette Syndrome.

Tunggu, apa itu Tourette Syndrome? Itu sindrom apa? Kayak pernah denger kan? Ini adalah syndrome dimana seseorang dengan spontan mengeluarkan ucapan atau gerakan tanpa bisa mengontrolnya. Sindrom ini sama sekali tidak mempengaruhi kecerdasan seseorang, Cuma kelihatan aneh saja. Bukan, bukan latah. Ya, gitu deh.

Sudah sejak kecil aku mengalami penyakit neuropsikiatrik ini. Awalnya orang-orang kira aku ini aneh, suka cari perhatian, hiperaktif, atau apalah itu. Bahkan saat SD aku pernah disuruh keluar kelas karena dianggap membuat kebisingan dan mengganggu teman lainnya. Ya, saat itu sedang ujian semester. Ini aneh, aku aneh. Demi apapun, ini akan membuat kalian terlihat aneh di depan orang-orang. Apalagi di depan perempuan. Hftmids.

“eh, Mids. Sendirian aja kek Kunto Aji. Gak nonton final?” Boby merangkul pundakku. Ia baru saja keluar dari stadion rugby bersamaan dengan rombongan orang-orang yang masih dalam euforia pertandingan.

“yah… lo kan tau bob, gue gimana. Yang ada bakal jadi badut gue disana. Mending disini, sepi tenang. Gue mau guling-gulingan garuk tanah juga bebas. Hahaha” tawa renyahku sepertinya terlihat dipaksakan. Aku memang tidak pandai akting.

“semerdeka lo deh, Mids. Gue balik dulu ya, mau nebeng gak?”

“enggak, bob. Gue bawa mobil kok. Bareng ke parkiran aja.”

Boby mungkin satu-satunya teman yang benar-benar temanku. Dia ketua OSIS di sekolahku sebelum sebulan lalu jabatannya digantikan adik kelas. Sekarang hanya mantan. Haha, jangan mikir yang aneh-aneh!

Boby sangat baik kepada semua orang. Ia pintar, anak basket, dan ramah. Jarang-jarang kan cowok basket ramah? Banyak gadis di sekolah ini yang menyukainya. Dari anak kutu buku, anak drama, anak olimpiade, sampe anak ayam saja menyukainya. Tapi, berapapun antrian gadis yang menyukainya, hanya Shania yang ada di hatinya. Itu, si cewek sengak itu. Entah kenapa bisa-bisanya Boby kepincut Shania. Iya sih, cantik. Tapi…. Ah audah itumah urusan dia.

Kondisi parkiran sekolah dua kali lipat lebih ramai dari biasanya. Maklum saja, ada juga orangtua murid yang ikut menonton final ini. Bahkan, supporter tim lawan ikut juga. Tapi tenang saja, tidak ada tawuran kok. Malah kelihatanya kedua kubu saling dukung.

“hey, beyyybbbh! Kemana ajasih? Aku cariin tauuuuu….” Nah, itu. Pacarnya Boby. Apacoba manyun-manyun gitu. Hih! Ehtapi lucuq juga sih (?)

“lah kamu kan tadi keluar duluan dari stadion. Pas pertandingan selesai sampai penyerahan medali dan tropi aja belom balik.”

“f-f-fh-fa-ffa” sial. Tourette. Lagi-lagi sindrom menyebalkan ini muncul. Kepalaku bergerak berkali-kali ke samping dan belakang. Lagi, seperti anjing.

“eh, kenapa lo? Ih! Dasar aneh! Weirdo!” ucap Shania. Sepertinya dia belum tahu. Dan mungkin Boby tidak pernah cerita akan penyakitku. Memang jarang yang tahu, karena semakin dewasa kadar sindrom ini perlahan-lahan berkurang. Mungkin hanya teman sekelasku yang tahu sikap anehku ini, tetapi mereka tidak tahu apa itu Tourette. Mereka hanya tahu bahwa aku aneh.

Aku tidak memperdulikan ucapan Shania, aku hanya menepuk pundak Boby dan ngeloyor pergi menyambangi mobilku. Lalu mengumpat saat sudah duduk di kursi pengemudi. Bodoh! Idiot! Moron!

Aku memundurkan mobilku bergegas pulang kerumah. Saat melihat kaca spion, disitulah aku mengerti ternyata spion bukan hanya melihat ‘masa lalu’ tetapi justru ‘masa depan’ untukku. Ya setidaknya masih wacana sih, hehe.

Seorang gadis yang amat sangat aku sukai. Ia berjalan bersama ketiga temannya di belakang mobilku. Bibirnya masih sibuk berucap, menceritakan bagian-bagian yang seru dalam pertandingan final tadi. Seperti teman-temannya bahkan seluruh orang di parkiran ini kecuali aku, ia masih terbawa euforia pertandingan tadi yang baru ku ketahui bahwa pemenangnya adalah tim rugby sekolahku lagi.

Ia berjalan dengan anggunnya. Ia tersenyum dengan manisnya. Ia tertawa dengan cantiknya. Dia…. Ah, dia terlalu silau untuk aku dambakan. Ia berlalu begitu saja. Sudah tak terlihat di spion lagi.

***

Hari ini aku melihatnya. Lagi. Sebenarnya aku selalu berusaha untuk melihatnya di sekolah. Ya, walaupun dengan cara yang membosankan. Hanya dari jendela kelas, saat aku izin ke toilet, atau dengan cara-cara kebetulan yang memaksa lainnya.

Tapi kali ini tidak karena usaha yang konyol, ini murni kebetulan. Ini adalah jam pulang sekolah. Dan ia berjalan melewatiku. Seperti biasa, lewat begitu saja. Tanpa menoleh sedikitpun.

Namanya Gracia. Dia cantik. Eh, terlalu naif kalau aku hanya menyebutnya cantik. Dia luar biasa in

dah. Dia perempuan paling sempurna nomor 2 di hidupku. Kalian pasti sudah paham kan nomor 1 nya siapa? Ya, mamaku.

Sudah hampir tiga tahun aku satu sekolah dengannya, tetapi rasanya belum pernah ia memanggil namaku. Bahkan melirik kearahku saja sepertinya belum pernah. Padahal Gracia adalah nama wajib yang harus ada dalam setiap doaku. Gracia adalah ketidakmungkinan yang selalu aku ‘semoga’ –kan.

Mata hitammu selalu menyulut senyum tersipu
Hasrat terpaku tuk selalu bertemu…..

Gracia adalah satu-satunya gadis di sekolah ini yang berhasil menumbuhkan secercah keberanianku untuk mencintai seseorang. Gracia adalah setetes serum penumbuh semangat dalam debaran jantungku. Gracia adalah setitik hembusan semangat dari Tuhan untuk membentuk pelangi dalam hidupku. Memang, pelanginya masih berwarna hitam dan putih, tapi aku yakin suatu saat Gracia akan menggoreskan tinta penuh warna dalam guratan pelangi itu.

***

Malam ini aku bebas. Tidak ada tugas ataupun ulangan. Orangtuaku juga sedang di luar kota. Rumah sepi, dan tempat terbaik saat ‘menyepi’ adalah gallery ku.

Gallery ini berukuran sekitar 6x8 meter. Dindingnya berwarna putih dengan lukisan dan hasil ‘jepretan’-ku menempel di sekelilingnya. Di sudut kanan ruangan dari pintu terdapat meja berbentuk setengah lingkaran dengan berbagai alat lukis disana. Satu sisinya terbuat dari kaca. Kebetulan gallery ini berada di lantai 3 rumahku. Jadi kalau sedang bosan atau ingin mendapatkan isnpirasi, tinggal buka saja tirainya lalu kau akan melihat langit. Salah satu hal yang aku sukai.

Aku tidak ada inspirasi ataupun greget untuk melukis saat ini. Aku hanya melihat-lihat isi memory card di kamera ku. Isinya random, aku lebih suka memotret langit. Sandikala, fajar, senja, langit biru, mendung, dan campuran warna indah di dalamnya. Selain itu, banyak juga foto candid Gracia di sekolah.

Foto-foto Gracia ini sengaja hanya beberapa yang aku cetak dan abadikan disini. Bukan karena malu atau takut ketahuan orangtuaku, tetapi karena wajah Gracia sudah memenuhi satu sisi di dinding kamarku. Wajah Gracia juga tak pernah hilang dalam ingatanku. Aku menyukai kepolosan dan kesederhanaan gallery ini. Maka jika aku pasang banyak-banyak foto Gracia disini, aku takut gallery ini ikut terjajah jutaan warna yang ampuh menarik senyuman di bibir tiap kali melihatnya. Seperti kamarku.

Kau tetap indah, malamku…
Membelai diriku yang selalu ingin bersamamu….

Setelah hampir 2 jam bercengkerama dengan langit, rasanya tarian dalam kesendirianku memakan banyak energi. Perutku mengeluarkan suara syahdu menghanyutkan ala musik asal portugis. Keroncongan.

Aku berjalan menuju dapur. Ah, bosan. Kulkas isinya ini-ini terus. Mau masak mie instant tapi males. Ku putuskan untuk menelepon delivery sebuah restoran cepat saji.

“halo, blablablablabla-” aku hafal betul seseorang di ujung panggilan sana akan mengucapkan ini. Jadi tidak aku dengarkan.

“halo, saya mau pesan fhh-bb-bbaaa-fff-ffaaahh-ffaaahhh!” sial! Tourette sialan ini lagi. Aku menjauhkan gagang telepon yang ku pegang. Suara perempuan di ujung panggilan itu terdengar samar mencari jawaban. Kepalaku bergerak reflek seperti anjing yang sedang kegatalan mencari kutu. Ku tutup telepon itu dengan membanting gagang telpon dengan keras ke tempat asalnya.

Emosiku memuncak. Ini hal sepele dalam hidupku, tetapi dalam waktu yang tidak tepat. Ku banting beberapa barang disekitarku. Piring, gelas, bahkan blender. Semuanya hampir binasa. Aku mengacak-acak rambutku. Penyakit bangsat!

Asisten rumah tanggaku sepertinya terjaga karena kebisingan yang kubuat. Ia menghampiriku dan menanyakan pertanyaan template seperti ‘kenapa?’ ‘ada apa?’ ‘kok kacau begini?’. Aku tak menjawabnya. Ku langkahkan kakiku menginggalkan dapur.

***

Aku baru saja menyelesaikan Try Out terakhir sebelum minggu depan akan menghadapi Ujian Nasional. Persiapanku sudah cukup matang untuk bergelut dengan UN. Soal-soal latihan dari beberapa buku juga sudah aku kuasai semuanya. Bahkan rasanya aku kekurangan soal-soal latihan.

Saat ini aku bersama Okta di kantin. Ya, sekedar isi perut. Sebenarnya aku tidak lapar, tapi cowok yang mukanya kurang maskulin menurutku ini memaksa untuk ke kantin. Ia bilang, kantin adalah vitamin mata. Banyak siswi-siswi cantik yang menggemaskan disini.

Aku dan Okta hanya duduk berdua. Padahal kami menempati meja kursi panjang yang cukup untuk 8 orang, tapi orang-orang hanya berlalu begitu saja. Beberapa dari mereka menatap aneh padaku. Beberapa tersenyum, berbisik dengan teman disebelahnya, atau meledek. Sudah biasa.

Sesaat kemudian geng anak-anak tim rugby datang dengan bergerombol. Suara riuh ucapan selamat menyelimuti kantin ini. Tatapan-tatapan mupeng dari siswi-siswi disini juga dapat terlihat dengan jelasnya. Bagaimana tidak, kemarin mereka baru saja memenangkan kompetisi lagi. Kali ini bahkan tingkat nasional. Selain itu, badan mereka terbentuk bagus. Tinggi tegap. Tidak sepertiku yang kurus. Wajah mereka juga terbilang tampan. Wajar saja mereka digilai gadis-gadis.

Mereka berhenti di meja yang ditempati sekumpulan cewek kelas 12 IPS 2. Tepatnya dibelakang mejaku. Entah untuk apa. Sepertinya hanya untuk tebar pesona dan melayangkan godaan. Kelas 12 IPS 2 memang terkenal dengan siswi-siswinya yang cantik. Beberapa dari mereka memberikan pujian untuk geng rugby, sementara lainnya cuek dan lebih memilih menikmati makanan yang mereka pesan.

Kinan, kapten tim rugby yang juga merupakan pacar dari Ve, melanjutkan langkahnya dan tepat berdiri disamping meja kami. Langkahnya disusul oleh gerombolan gengnya yang berjumlah sekitar 4 orang. Ada Ghaida, Mario, Adam, dan Nobi.

“hey, Hamids. Tadi itu lucu! hahaha” lucu? Sial. Apanya yang lucu?

“thanks, Nan.”

“kosong?” Kinan melirik ke arah bangku yang masih kosong di meja kami.

Aku hanya mengangguk mengiyakan. Mereka menyebar dan menempati kursi-kursi kosong di meja ini. Okta melihatku seakan bilang ‘ngapain lo iya-in coba, Mids?’ dengan tatapan tajam ke arahku. Aku hanya cekikian kecil melihat ekpresinya.

Geng rugby ribut memesan makanan. Sementara Okta hanya fokus pada HPnya. Makananya sudah habis. Hanya tersisa segelas lemon tea di depannya. Okta berusaha setenang mungkin, padahal aku tahu sekarang ia ketakutan setengah mati.

Terlihat sekali perbedaan antara kami dan geng rugby. Kami berpakaian formal dan rapi dengan seragam sekolah kami. Sementara geng rugby tidak memakai dasi dan jas. Tubuh besar mereka tertutupi oleh jaket identitas khas ekstrakuriluler rugby. Kemeja mereka juga berantakan dan dikeluarkan. Okta sering di bully oleh geng rugby ini. Ya, karna wajah Okta terkesan kurang maskulin. Tapi sebenarnya Okta itu jantan banget, kok. Takutnya cuma sama Tuhan, Orangtua, dan Geng rugby aja. Haha.

“jadi, lo dipindahin kemana tadi, Mids?” Kinan sialan. Kenapa diungkit lagi?

“ke ruang BK. Diceramahin dulu sama Bu Melody. Hehe.” Ucapku dengan cengengesan. Aku berusaha enjoy dengan candaan ini. Anak geng rugby langsung menanyakan apa yang terjadi di ruanganku tadi. Sialnya, Kinan dengan lancarnya menceritakan aibku. Hftmids.

Jadi begini, tadi aku Try Out satu ruangan dengan Kinan. Awalnnya berjalan lancar, baik-baik saja. Ditengah mengerjakan soal, Tourette itu mengganggu lagi. Tubuhku bergerak reflek. Tidak terkendali. Bibirku dengan lantangnya mengeluarkan suara-suara aneh. Seketika murid-murid bereaksi macam-macam. Ada yang menatap aneh, tertawa karena menganggap aku terlalu stress mengerjakan soal, dan ada juga yang menatap sinis karena merasa terganggu.

Pengawas yang sibuk dengan laptopnya itu hanya menatapku seakan menyuruh berhenti melakukan hal yang tidak bisa aku kendalikan. Perlahan tubuhku bisa ku kendalikan lagi. Aku hanya tersenyum ke mereka yang menatapku dalam tawa. Terutama Kinan, ia tertawa paling keras. Lalu aku menggeluti soal Try Out lagi.

Beberapa menit kemudian Tourette itu datang lagi. Kali ini otakku ingin membuatku dalam masalah lebih lama. Tanganku bergetar. Kakiku begerak-gerak seperti kaki kuda yang bersiap di pacuan. Kepalaku bergerak ke depan dan belakang sampai punggungku berbenturan dengan sandaran kursi beberapa kali. Mulutku beberapa kali dengan reflek mengeluarkan kata-kata kasar.

Sungguh, aku tidak punya kendali atas ini. Ku gigit batang pensil untuk meredam ucapan tak pantas yang mungkin akan aku keluarkan lagi. Murid laki-laki tertawa dengan puasnya seakan ini lucu dan hanya lawakanku karena terlalu stress menghadapi soal matematika ini. Bulir-bulir keringat mengalir deras dari pelipisku. Aku memaksa otakku untuk menghentikan ini. Susah payah, namun tidak berhasil.

Hamids! Kamu pikir ini lucu? Ke ruang BK, sekarang!” ucap pengawas dengan kumis tebal itu.

ta-tapi, pak. Ini—sa-saya-“

“Keluar! Sekarang!”

Aku bergegas keluar. Meninggalkan ruangan dengan Tourette yang masih mengendalikanku. Tubuhku masih bergerak-gerak dengan mulutku yang kali ini mengeluarkan suara anjing. Bangsat!

Aku tak tahu lagi harus bagaimana menjelaskan ini ke setiap guru. Beberapa dari mereka tidak perduli dan tidak mau mengerti. Aku menemui Bu Melody, Guru BK sekolahku. Ia sudah mengerti keadaanku. Ia sangat menyayangi semua muridnya. Termasuk Ghaida yang sering menggodanya sekalipun. Akhirnya, aku melanjutkan mengerjakan soal di ruang BK. []

Beberapa murid laki-laki menganggap Touretteku ini lucu. Aku dapat diterima dengan baik oleh murid laki-laki. Tetapi dimata perempuan, aku aneh, suka cari perhatian, dan pokoknya gak banget deh.

Aku mengikuti ekstrakurikuler cricket. Bukan seperti ekstrakurikuler yang membutuhkan kondisi tenang, aku mendapat sambutan hangat disini. Di permainan cricket, Touretteku terlihat seperti suara dan gerakan yang sengaja aku buat untuk menganggu konsentrasi lawan. Aku berbakat di olahraga ini.

Selama makan siang, Mario tidak henti-hentinya menggoda Gracia yang duduk di depan meja kami. Seluruh sekolah tahu Mario sudah lama mengincar Gracia, tapi Gracia hanya dingin menanggapinya. Ya Gracia mana mau sama Mario, dia kan playboy. Dengar-dengar Mario punya pacar murid sekolah lain. Pft.

Semakin lama aku semakin gerah dengan godaan-godaan yang Mario lontarkan untuk Gracia. Gracia jangan dibecandain!

Aku tak tinggal diam. Gracia adalah gadisku. Ehm, calon gadisku. Aku berpura-pura tidak sengaja menyenggol jus melon milikku dan berhasil mengenai celana Mario. Sontak Mario bangkit dari duduknya dan membersihkan celananya. Aku berusaha terlihat merasa bersalah dan meminta maaf. Ia menatapku marah. Sukurin!

“BANGSAT! APA-APAAN LO, NJING?!” ucap Mario menggema di setiap sudut kantin. Sementara teman-temannya dan murid lain hanya tertawa.

Emosi Mario tersulut. Wajahnya terlihat menahan amarah. Mungkin kalau di kartun-kartun wajahnya sudah berubah merah dan ada tanduk serta asap menguap dari kepalanya. Aku hanya tersenyum getir.

Sejurus kemudian, Mario tak bisa membendung amarahnya. Ia langsung mencengkeram erat kerah kemejaku. Ia mendorongku ke samping meja. Ku lihat Gracia menatap ngeri melihat aku dan Mario yang seakan siap beradu jotos. Gracia lalu menggeser posisi duduknya menjadi mepet ke Elaine.

BUGH!!!

Mario memukul wajahku dengan keras. Ia menumbuk dadaku sehingga aku terhuyung ke belakang dan mengenai meja Gracia dan teman-temannya. Ia mengangkatku lagi dengan mencengkeram kerah kemejaku. Lalu, tangannya mengepal di udara bersiap menghantamku lagi.

“Mario, Stop! Atau akan aku laporkan kamu ke BK! Kantin ini ada cctv-nya, kamu tau kan?” ah, Veranda. Terimakasih Tuhan, kau mengirimkan Ve disaat seperti ini.

Mario melepaskanku lalu pergi meninggalkan kantin masih dengan emosi yang belum berkurang. Suara sorakan yang seperti menyayangkan pertengkaran ini berhenti, keluar dari mulut murid-murid yang ada di kantin. Tak terkecuali geng rugby, mereka langsung menyusul Mario dengan sebelumnya menyapa Ve.

“yah, Ve. Kamu kok gak seru sih? Gak asik ah!” ucap Kinan kepada kekasihnya lalu berjalan keluar menyusul teman-temannya.

Ve adalah siswi berpengaruh di sekolah ini. Ia cantik, baik, dan pintar. Hampir semua organisasi di sekolah ia ikuti. Berbanding terbalik dengan pacarnya, Kinan. Selain itu geng rugby juga nurut sama Ve. Yaaaa karena Kinan juga. Pokoknya, siapapun yang menganggu atau membuat Ve tidak nyaman akan berhadapan dengan Kinan, kapten tim rugby yang bertubuh besar dan kekar.

Okta membantuku berdiri. Masih kulihat beberapa pasang mata menatap kearahku. Entah itu tatapan apa. Yang jelas, Gracia sibuk dengan HPnya. Sama sekali tidak melihatku. Sedih :’)

Aku mengucapkan terimakasih kepada Ve. Lalu keluar dari kantin dengan nyeri di wajah dan dada.

***

Beberapa hari ini aku gabut di sekolah. Setelah usai menghadapi Ujian Nasional, aku hanya melakukan hal-hal tidak jelas di sekolah. Tidak ada teman untuk melakukan sesuatu. Okta sibuk mempersiapkan SBMPTN, aku sih sudah dari jauh-jauh hari ikut tes masuk universitas dan alhamdulilah diterima di University of Melbourne. Sementara Boby, dia sibuk jadi tutor Shania. Tutor pelajaran loh, bukan yang lainnya. Kata Boby sih mereka berencana mau ikut Ujian Mandiri di salah satu universitas di Singapore. Ya, gitu deh. Yang pacaran mah pengennya satu universitas juga. Lah yang jomblo gimana? Hftmids.

Aku memasuki perpustakaan. Aku suka disini. Perpustakaan ini sepi, tenang, dan nyaman. Bukunya bagus-bagus, selalu diperbarui setiap bulannya. Namun, biasanya aku tak berlama-lama disini. Aku tidak ingin sampai diusir petugas perpustakaan yang galak itu karena Touretteku.

Aku berjalan-jalan mengelilingi setiap rak buku. Melihat satu-persatu buku yang mungkin saja akan ku pinjam. Gugusan rak-rak tinggi aku lewati. Kategori demi kategori aku abaikan. Filsafat, sejarah, novel dan lainnya entah mengapa hari ini tidak menarik perhatianku.

Kakiku terus melangkah menuju entah ke bagian mana perpustakaan ini. Mataku terus mencari-cari siapa tahu ada buku yang menarik. Sampai pada satu titik, mataku berhenti mencari. Terpaku akan keindahan yang terselip dari celah deretan buku. Sosok itu, matahariku.

Gracia entah sedang mencari buku apa. Mungkin buku tentang psikologi, mengingat ia sedang berhadapan dengan rak deretan buku-buku tentang psikologi. Tidak ingin melewatkan ‘vitamin mata’, aku mengambil asal sebuah buku. Lalu bersandar ke rak buku dibelakangku, pura-pura membaca sambil sesekali melirik kearahnya.

Gracia sudah menemukan beberapa buku yang ia cari. Ia menjauh dari rak buku kategori psikologi itu lalu menempati sebuah tempat duduk di dekat jendela besar.

Lamunan jendela di siang bolong. Gracia sendirian. Ingin rasanya aku mendekatinya. Duduk disampingnya. Berbicara dengannya. Bercengkerama dengan sosoknya. Namun nyaliku ciut. Aku lupa bawa nyali. *hey little baby, kau membuat hati ini~* lah malah nyanyi-___-

Cahaya dari sang Batara Surya memancarkan keindahan Gracia. Rambutnya yang tergerai bebas menutupi sebelah wajahnya. Sisi kiri rambutnya ia sibakkan ke belakang telinga. Aku terpaku dalam candu. Terpana dalam lamunan fana. Terjerembab dalam keanggunan wajah sampingnya.

Aku harus berani! Ini satu-satunya kesempatan untuk berbicara dengannya!

Aku menguatkan mentalku. Berusaha sekuat tenaga mengumpulkan serpihan nyali yang entah tercecer dimana. Tanpa suara, tanpa kata. Aku mengambil posisi duduk di depannya. Gracia masih sibuk dalam bukunya.

Perlahan ku turunkan buku yang sedari tadi menutupi wajahku. Aku benar-benar bergetar. Jantungku berdegup kencang. Otakku bekerja dengan kasarnya, berusaha menyusun kata demi kata. Otakku berteriak, hatiku berjingkrakan, namun mulutku bisu. Aku gagu seketika.

Huh! Ayo, Hamids! Katakan Hai!

“em…. Fff-fffaahh-ffa-bba-bbaaahh” ya Tuhan, kenapa begini? :’(

Lagi. Touretteku yang sangat amat menyebalkan terjadi tidak pada waktu yang tepat. Aku kembali mengeluarkan suara aneh, bertingkah seperti binatang. Bahkan mungkin karena tercampur perasaan marah dan menyesal, tanganku bergerak lebih bodoh. Kepalaku membentur buku yang ku pegang beberapa kali.

Aku melihat Gracia sekilas. Ia menatapku dalam tatapan yang…. Entah aku tak mengerti. Ia bangkit dari tempat duduknya, lalu berlari entah kemana. Meninggalkan tumpukan buku, HP, dan tentunya meninggalkanku yang aneh. Freak. Weirdo.

Tidak ingin berlama-lama dalam busuknya kebodohanku, aku berlari menuju pintu keluar. Aku tidak ingin Gracia tambah illfeel saat melihatku diusir oleh petugas perpustakaan karena kebisingan yang tak bisa ku kendalikan.

Aku berlari, terus berlari entah kemana. Aku marah, aku murka. Aku bodoh. Aku telah membiarkan Touretteku merusak kesempatan impian yang mungkin hanya satu kali dalam hidupku. Aku benci pada diriku sendiri.

Aku berlari, terus berlari hingga langkahku terhenti oleh sebuah kaki usil yang menghadangku. Aku jatuh tersungkur. Aku jatuh dan ditertawakan.

Touretteku masih beraksi. Aku tak perduli akan siapa yang menjagalku. Aku tak perduli akan apa yang sekelompok murid itu tertawakan. Aku berlari, terus berlari seakan tidak ada yang bisa menghentikan pelarianku. Pelarianku yang penuh sesal. Pelarianku yang penuh amarah membuncah. Pelarianku bersama teman sejak kecilku, Tourette.

Nafasku sudah tak beraturan. Ototku sudah pecah. Lariku melemah. Pelarianku terhenti di depan gymnasium sekolah. Lututku sudah lemas. Tapi amarahku belum tersalurkan. Aku masuk ke dalam gymnasium ini yang kebetulan sepi. Tak ada seorangpun.

Tujuanku hanya satu. Samsak. Aku tidak melindungi buku-buku jariku dengan sarung tinju, kain atau apapun. Kubiarkan tubuh ini merasakan sakit bersamaan dengan Touretteku yang setia. Pukulan demi pukulan aku layangkan.

Kulit buku jariku robek mengeluarkan darah segar. Nafasku tersenggal. Tubuhku melemas. Sementara Touretteku mulai meminta perhatian lagi. Aku tidak melawan. Tidak berusaha mengendalikan. Aku biarkan ia menang lagi. Biar ia puas telah merusak hidupku selama ini.

Aku menghentikan pukulanku. Aku ambruk memeluk samsak. Aku menangis, entah karena apa. Aku menangis, entah untuk apa. Aku menangis, entah untuk siapa. Kali ini hanya ada Aku, dan dua teman setiaku; Cermin dan Tourette.

***

Tanganku dibalut perban. Ternyata sakit juga ya. Haha kemarin entah mengapa kebodohan, rasa sakit, dan kejenuhan bisa-bisanya menguasai logikaku. Hari ini bener-bener deh capek banget rasanya. Inginnya sih bolos sekolah sahaja *eak wkwk*

Pagi ini aku sudah berada di lapangan cricket. Sebenarnya aku tak tahu untuk apa datang kesini. Aku duduk di tribun penonton. Melihat adik kelas yang sedang pelajaran olahraga. Cepat juga ya rasanya. Sudah mau lulus saja. Padahal rasanya baru kemarin aku ikut MOS disekolah ini. Dan saat itu adalah pertama kali aku melihat bidadari di bumi. Gracia 3 tahun lalu sedang joget-joget gak jelas disuruh kakak senior panitia MOS. Sementara aku duduk disini, mengecat daun yang berjatuhan dari pohon dibelakang tribun. Waktu berlalu dengan cepat, ya?

Oh iya, hari ini rencananya aku akan memberikan lukisanku untuk gracia. Lukisan itu kubuat tadi malam. Yaaaa mungkin pagi. Sekitar jam 2an aku terbangun lalu sok ide gitu, bikin lukisan buat Gracia. Ciyedeh.

Mengingat kejadian yang memalukan kemarin, aku tak berani menampakkan diriku di depan Gracia. Aku menyuruh adik kelas untuk memberikan lukisanku yang digulung rapi untuk Gracia.

Ia sedang duduk di taman bersama teman-temannya. Saling bertukar cerita, bertukar tawa. Gracia sangat cantik saat tertawa. Aku terkesima dibuatnya. Tapi sayang, tawanya bukan karenaku :’)

Wajahnya bingung saat menerima gulungan itu dari si adik kelas yang kusuruh. Gracia mencari-cari dimana keberadaan pengirimnya. Dimana keberadaanku, si empunya cinta untuknya.

Matanya berhenti ke arahku yang sedang mengintip dari jarak yang tidak terlalu jauh. Mata kami bertemu dalam hitungan waktu yang hanya sepersekian detik. Sungguh, ini membuatku benar-benar kehilangan akal. Aku reflek berlari meninggalkan tempat ini. Kemana saja, yang penting menjauh. Aku tak kuasa. []

Hari sudah semakin sore. Aku sudah selesai dengan kegiatanku disekolah hari ini. Sebenarnya tadi hanya sedikit mengajari beberapa teknik permainan cricket buat para pemula.

Sekitar jam 5 sore, aku putuskan untuk pulang. Entah mengapa rasanya lega saja saat aku berhasil menyentuh jiwa Gracia walaupun hanya dengan lukisan. Aku berjalan menuju parkiran melewati taman yang tadi siang ada Gracia disana. Aku harap lukisan itu bukan menjadi lukisan selamat tinggal, melainkan lukisan salam kenal dariku.

“Mids! Hamids!”

Aku menoleh kebelakang. Okta berlari menujuku. Haduh, kiraen bakal Gracia yang manggil. Kayak di FTV FTV gitu deh. Hftmids.

“gue kira lo udah balik, Ta.”

“enggak, baru aja selesai tutor.”

Aku hanya menaikan kedua alisku. Lalu kembali melanjutkan perjalanan ke parkiran. Namun, aku melihat sebuah gulungan kertas disana. Itu dia. Itu cintaku yang kutitipkan pada Gracia. Itu lukisanku untuknya. Tergeletak di parkiran.

Aku mematung. Tubuhku memaku ke tanah. Jantungku rasanya sudah copot. Seharusnya aku sadar sejak awal. Seharusnya aku paham sejak dulu. Seharusnya aku tahu siapa aku dan siapa Gracia. Ia tidak pernah mencintaiku. Cintaku pupus. Cintaku bertepuk sebelah tangan. Gracia-ku meluluh lantahkan hatiku. Hancur. Musnah. Binasa.

Aku teruskan langkahku menuju mobil. Tidak, aku tidak memungut lukisan itu. Aku tidak akan memungut cintaku. Biarkan saja tergeletak disana. Biarkan saja seperti itu. Seperti perasaanku yang tak berbalas. Aku ikhlas.

         Mungkin memang saatnya aku kembali kepada teman setiaku, cermin. Karna ia adalah satu-satunya tempatku menari dengan kesendirianku.

Dan menarilah hariku di atas jalan berbatu

Lewati semua sepiku dan sendiriku…..

.
.
.

haloohhh.... ciye ngepost lagi. pft. oiya, yang di bold-italic itu lirik lagu Angsa & Serigala - Menarilah sendiriku. 
gimana? gimana? ringan banget ya? biarin deh. ini terinspirasi dari film Front Of The Class tentang Tourette gitu deh. sengaja gak gue bikin sedih karna bosen juga ye gue kalo nulis kok sedih mulu hahahaha XD
nanti bakal ada dari ceritanya si Gre, masih syndrome juga. kapan ya enaknya?
ah tunggu aje gue selesai UKK. hahahaha udeh ah, mau lanjut (( menggauli )) matematika.
kritik dan saran ditunggu loh XD
makasih ya udah mau bacaaaa~
- @satepadang48 -

1 comment: