.
.
.
.
.
.
“Iya, Ma. Aku
udah sarapan kok. Ini lagi mau ke kampus. Nanti lagi ya, Ma. Aku lagi nyetir
nih. Bye, Ma. Muaaaacchhh :*”
Sambungan
telepon yang baru saja terhenti memutus percakapan jarak jauh di pagi hari itu.
Percakapan singkat dengan berlandaskan kerinduan. Bukan. Bukan tentang hubungan
jarak jauh atau LDR dari dua sejoli yang menjalin cinta, namun tentang
bagaimana kerinduan sebuah keluarga yang terpisah luasnya samudera.
Oh ibu, tenang sudah,
lekas seka air matamu,
sembabmu malu dilihat tetangga….
Stephanie
Pricilla Indarto Hamids. Gadis muda yang baru hampir setahun mengais ilmu di
negeri para dewa itu adalah anak satu-satunya di keluarga kecilnya. Ia
memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke Athena, Yunani.
Oh ayah, mengertilah rindu ini tak terbelenggu
Laraku setiap teringat peluknya…
Sebuah lagu
dari Band Indie asal negaranya itu terus mengalun setiap pagi. Lagu milik Banda
Neira yang berjudul ‘Di Beranda’ seakan menjadi santapan wajib untuk menemani
hari-harinya di Athena yang jauh dari orang tua.
Hidup
di tanah rantau dengan uang saku yang mencukupi bahkan lebih dari cukup, tidak
serta-merta membuat gadis yang akrab dipanggil Tepong itu lupa dengan kedua
orang tuanya di Jakarta. Hampir setahun ini ia tidak kembali ke tanah airnya karena
kesibukan pendidikannya. Selama ini orang tuanya lah yang mengunjunginya di
Athena.
Ia
masih ingat air mata yang Ibunya, Nyonya Gracia, selalu tumpahkan saat melepas
kepergiannya ke tanah rantau hampir setahun lalu. Ia masih ingat pula air mata
bahagia penuh kasih sayang luapan kerinduan tepat 3 bulan lalu saat Ibunya
datang ke Athena. Bahkan, air dengan milyaran emosi itu selalu jatuh setiap
kali sepasang anak dan ibu itu saling bertatap muka dalam sendunya video call.
Ayah. Papa.
Abi. Bapak. Hamids.
Sesosok pria
sempurna di mata Tepong. Seorang hebat dengan segala kenangan yang tak
ternilai. Ayah yang konyol, penyabar, dan selalu meluangkan waktu untuknya. Ia
lebih dekat dengan ayahnya daripada ibunya. Jangan tanya seberapa besar
kerinduan yang tak sanggup ia belenggu kepada ayahnya. Mungkin gunung Olympus
kalah besar dari tumpukan rindu yang membuat lara tiap kali mengingat pelukan
ayahnya. Pelukan hangat penuh cinta dari seorang ayah kepada anak semata
wayangnya.[]
***
Di waktu yang
berbeda 5 jam lebih awal dari Athena, seorang pria yang sudah berkepala empat
dengan tubuh jangkung berkacamata baru saja masuk ke dalam kamar anaknya.
Seperti
Tepong yang memiliki ‘ritual’ wajib setiap hari mendengarkan lagu, Ayahnya yang
mendominasi gen dari tubuhnya itu juga memiliki kebiasaan yang sudah ada sejak
Tepong mulai berani untuk tidur di kamarnya sendiri.
Setiap pagi
Pak Hamids selalu masuk ke kamar anak tunggalnya itu. Jika biasanya ia yang
membangunkan Tepong untuk berangkat ke sekolah, sejak hampir setahun lalu pak
Hamids tidak melakukan hal itu. Ia hanya membuka pintu kamar Tepong, masuk ke
dalam beberapa detik, lalu keluar lagi. Baginya, bernapas dalam atmosfer kamar
anaknya itu sudah cukup untuk mengobati kerinduan yang menggerogotinya.
“Kini kamarnya
teratur rapi ya, Ma.” Hamids berjalan menuju balkon dari kamar Tepong. Sudah
ada istrinya disana. “padahal dulu berantakan terus, gak pernah rapi itu anak.”
Sebuah senyum terlukis diwajahnya.
Gracia menatap
lurus. Tubuhnya ia senderkan ke balkon dengan tangan sebagai tumpuan. Wajahnya
pucat. Sebuah syal melingkar di lehernya.
“ini, Ma. Papa
buatin teh hangat.”
Hamids menaruh
dua cangkir teh hangat buatannya di meja biru dengan gambar stitch kesukaan
Tepong lalu memposisikan dirinya berdiri disamping Gracia.
“Ribut
suaranya udah gak ada lagi. Dulu tepong selalu ngajak jalan-jalan setiap
weekend gini. Atau paling enggak, kalo kita berdua lagi sibuk, dia main di
taman belakang rumah. Disitu.” Ucap Gracia lirih. Hampir tak tertangkap
audiosonic.
Gracia menunjuk
bawah. Sebuah taman kecil dengan ayunan, trampoline, dan rumah pohon di halaman
belakang rumahnya. Terdapat pula BBQ Grill dan 3 buah bangku dengan satu meja
ditengahnya juga masih tertata rapi jarang tersentuh.
“dulu kita
sering BBQan. Mama yang masak, kalian asik main-main. Yang ngabisin juga kalian
berdua. Mama kebagian asapnya aja. Hahaha.”
Gracia menarik
napas dalam. Ia memutar kembali memori keluarga kecilnya saat mengisi weekend
di taman belakang rumah. Sedikit tawa cemas mengakhiri kalimatnya.
“sekarang
Hamids versi perempuan itu udah tumbuh. Udah jadi gadis yang cantik, pinter,
konyol, perpaduan kita banget deh, Pa. Mama kangen banget sama anak kita yang
cerewet itu.”
Hamids hanya
tersenyum menanggapi ucapan istrinya. Tangannya ia lingkarkan di bahu istrinya,
menuntun Gracia untuk duduk di sofa balkon.
Dan jika suatu saat buah hatiku, buah hatimu
Untuk sementara waktu pergi….
Pikiran
Hamids terbang bebas menuju rentetan kenangan bersama buah hatinya dengan
Gracia. Sambil menyesap teh hangat, otaknya berarakan liar mengingat setiap
momen bersama Tepong. Sambil memejamkan mata, retinanya menjurus ke setiap
kebersamaan mereka yang seakan bisa ia lihat kembali. Sambil menarik napas
panjang, oksigen menenggelamkan jiwanya ke entah berantah yang penuh tawa ceria
gadis yang sangat ia cintai setelah istrinya.
“Setiap
pagi pasti dia ribet sendiri. Bangun kesiangan, belom sarapan, belom nyisir
rambut. Terus di meja makan sambil ngunyah dia bawel nentuin model rambut apa
buat sekolah. Kamu banget tuh, Gre!” ucap Hamids. Kadang-kadang jika sedang
berdua, mereka hanya memanggil nama satu sama lain. Biar kekinian gitu.
“iya, makanya
Tepong cantik terus kan, Mids?” Gracia menyeruput teh nya. Tangannya sedikit
bergetar memegang cangkir. Senyum indah terlukis dari wajahnya yang pucat pasi.
“pasti aku deh tiap pagi yang menyisir rambutnya. Mana mau dia kamu sisirin?
Nanti dia ngomel-ngomel gara-gara rambutnya kamu bikin gak jelas kayak singa
sirkus kalo kata dia. Hahaha!”
“ih enak aja,
itu udah paling bagus kali dari seluruh gaya rambut perhimpunan papa ganteng
buat anak perempuannya.” bela Hamids tak mau kalah. “sepi ya sekarang rumah
kita…”
Sepi.
Satu kata keramat di awal kalimat suaminya membuat Gracia menjadi hening
seketika. Semburat senyum yang tadinya merekah indah dari bibirnya berubah
murung.
Sendu.
Satu kata yang identik dengan kesedihan yang mendalam. Kesakitan yang
meranggas. Kemusnahan yang terikat nafas.
Rindu.
Kerinduan memang berdampak candu. Tidak ada rindu yang terobati. Gracia
merindukan anak sematawayangnya. Terus menerus, hingga mengurus. Kerinduan
untuk saling memeluk tidak bisa disembuhkan dengan pelukan dari kedua orang
yang saling merindu itu. Memang lega rasanya saat bertemu, namun kelegaan itu
akan menjadi kesakitan yang mendalam saat kita harus mengikhlaskan untuk
berpisah kembali.
Keheningan
seketika menyelimuti pasangan suami istri yang sudah 20 tahun menikah dan hidup
bersama itu. Keduanya sama-sama bermain dalam emosi, bersenandung dalam memori,
berkompetisi dalam melawan takdir. Mendelik akan siapa yang paling kuat menahan
tangis yang sudah tak bisa dibendung kelopak.
“Kini
kamarnya teratur rapi. Ribut suaranya tak ada lagi. Tak usah kau cari dia tiap
pagi.” Ucap Gracia. Kembali, suaranya kembali lirih.
“Ma,
dia cuma lagi kuliah di Athena. Tepong pasti pulang.” Hamids kalah. Ia yang
lebih dulu menjatuhkan air matanya.
Gracia
bergetar hebat dibuatnya. Entah kenapa, air matanya sudah habis tak bisa keluar
lagi. Air dengan milyaran kerinduan itu tiba-tiba lenyap ketika suaminya berucap.
Nafasnya berat. Darahnya mengalir deras dalam sambungan vena dan arteri.
Peluhnya bercucuran menahan sakit. Hatinya sudah bukan hancur lagi, melainkan
musnah.
“sadarlah,
Hamids! Anak kita udah pergi. Dia udah nyaman dipelukan Tuhan! Mau sampai kapan
kamu bilang dia masih hidup, hah?!”
DEG!
Ini
bukan kali pertama Hamids mendengar kenyataan pahit. Kecelakaan pesawat itu
terjadi di hari yang sama saat Gracia menghubungi anaknya yang sedang menyetir
pagi itu. Malam harinya, Stepi nekat terbang ke Jakarta untuk bertemu kedua
orang tuanya. Homesick memang terkadang membahayakan. Bahkan bisa merenggut
nyawa.
Sudah
3 bulan semenjak pesawat yang Stepi tumpangi terjun bebas di lautan. Beberapa
jasad korban kecelakaan pesawat sudah ditemukan, tetapi tidak dengan anak
tunggal Gracia-Hamids. Hamids masih percaya keajaiban Tuhan bahwa suatu hari
anaknya pasti akan pulang ke rumah.
Ku salah kah pertanyakan kemana kakinya kan melangkah?
Kita berdua tahu, dia pasti pulang ke rumah……
“Kangen adalah perasaan tersakral dalam kesepian, seni
terindah dalam kesendirian.”
-Onyol
.
.
.
maap ye kalo lama gak update. hahahaha gatau lagi gak greget nulis. pft
buat yang nanyain Tulip Merah, sini sini gue tiup ubun-ubun nya XD
udah nih? gini aja? hahahahaha gue butuh semangat buat nulis, apaya?
mungkin sekiranya cuma komen, kritik dan saran. halah apasih (?)
makasih ya udah mau baca. hahahaha XD
- @satepadang48 -
Sama kyak gw skarang,sepi 😓
ReplyDeleteKereeeen.... 😤