Thursday, 4 June 2015

Di Beranda

halohhh.... apaan ya ini sebenernya udah lumayan lama gue tulis. Terinspirasi dari lagunya Banda Neira - Di Beranda. Gue bikin judulnya sama soalnya gue bingung pilih judul biar gitu. apasih (?) langsung aja ya, selamat membaca! XD
.
.
.
.
.
.


“Iya, Ma. Aku udah sarapan kok. Ini lagi mau ke kampus. Nanti lagi ya, Ma. Aku lagi nyetir nih. Bye, Ma. Muaaaacchhh :*”

Sambungan telepon yang baru saja terhenti memutus percakapan jarak jauh di pagi hari itu. Percakapan singkat dengan berlandaskan kerinduan. Bukan. Bukan tentang hubungan jarak jauh atau LDR dari dua sejoli yang menjalin cinta, namun tentang bagaimana kerinduan sebuah keluarga yang terpisah luasnya samudera.

Oh ibu, tenang sudah,
lekas seka air matamu,
sembabmu malu dilihat tetangga….

Stephanie Pricilla Indarto Hamids. Gadis muda yang baru hampir setahun mengais ilmu di negeri para dewa itu adalah anak satu-satunya di keluarga kecilnya. Ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke Athena, Yunani.

Oh ayah, mengertilah rindu ini tak terbelenggu
Laraku setiap teringat peluknya…

Sebuah lagu dari Band Indie asal negaranya itu terus mengalun setiap pagi. Lagu milik Banda Neira yang berjudul ‘Di Beranda’ seakan menjadi santapan wajib untuk menemani hari-harinya di Athena yang jauh dari orang tua.

Hidup di tanah rantau dengan uang saku yang mencukupi bahkan lebih dari cukup, tidak serta-merta membuat gadis yang akrab dipanggil Tepong itu lupa dengan kedua orang tuanya di Jakarta. Hampir setahun ini ia tidak kembali ke tanah airnya karena kesibukan pendidikannya. Selama ini orang tuanya lah yang mengunjunginya di Athena.

Ia masih ingat air mata yang Ibunya, Nyonya Gracia, selalu tumpahkan saat melepas kepergiannya ke tanah rantau hampir setahun lalu. Ia masih ingat pula air mata bahagia penuh kasih sayang luapan kerinduan tepat 3 bulan lalu saat Ibunya datang ke Athena. Bahkan, air dengan milyaran emosi itu selalu jatuh setiap kali sepasang anak dan ibu itu saling bertatap muka dalam sendunya video call.

Ayah. Papa. Abi. Bapak. Hamids.

Sesosok pria sempurna di mata Tepong. Seorang hebat dengan segala kenangan yang tak ternilai. Ayah yang konyol, penyabar, dan selalu meluangkan waktu untuknya. Ia lebih dekat dengan ayahnya daripada ibunya. Jangan tanya seberapa besar kerinduan yang tak sanggup ia belenggu kepada ayahnya. Mungkin gunung Olympus kalah besar dari tumpukan rindu yang membuat lara tiap kali mengingat pelukan ayahnya. Pelukan hangat penuh cinta dari seorang ayah kepada anak semata wayangnya.[]

***
Di waktu yang berbeda 5 jam lebih awal dari Athena, seorang pria yang sudah berkepala empat dengan tubuh jangkung berkacamata baru saja masuk ke dalam kamar anaknya.

Seperti Tepong yang memiliki ‘ritual’ wajib setiap hari mendengarkan lagu, Ayahnya yang mendominasi gen dari tubuhnya itu juga memiliki kebiasaan yang sudah ada sejak Tepong mulai berani untuk tidur di kamarnya sendiri.

Setiap pagi Pak Hamids selalu masuk ke kamar anak tunggalnya itu. Jika biasanya ia yang membangunkan Tepong untuk berangkat ke sekolah, sejak hampir setahun lalu pak Hamids tidak melakukan hal itu. Ia hanya membuka pintu kamar Tepong, masuk ke dalam beberapa detik, lalu keluar lagi. Baginya, bernapas dalam atmosfer kamar anaknya itu sudah cukup untuk mengobati kerinduan yang menggerogotinya.

“Kini kamarnya teratur rapi ya, Ma.” Hamids berjalan menuju balkon dari kamar Tepong. Sudah ada istrinya disana. “padahal dulu berantakan terus, gak pernah rapi itu anak.” Sebuah senyum terlukis diwajahnya.

Gracia menatap lurus. Tubuhnya ia senderkan ke balkon dengan tangan sebagai tumpuan. Wajahnya pucat. Sebuah syal melingkar di lehernya.

“ini, Ma. Papa buatin teh hangat.”

Hamids menaruh dua cangkir teh hangat buatannya di meja biru dengan gambar stitch kesukaan Tepong lalu memposisikan dirinya berdiri disamping Gracia.

“Ribut suaranya udah gak ada lagi. Dulu tepong selalu ngajak jalan-jalan setiap weekend gini. Atau paling enggak, kalo kita berdua lagi sibuk, dia main di taman belakang rumah. Disitu.” Ucap Gracia lirih. Hampir tak tertangkap audiosonic.

Gracia menunjuk bawah. Sebuah taman kecil dengan ayunan, trampoline, dan rumah pohon di halaman belakang rumahnya. Terdapat pula BBQ Grill dan 3 buah bangku dengan satu meja ditengahnya juga masih tertata rapi jarang tersentuh.

“dulu kita sering BBQan. Mama yang masak, kalian asik main-main. Yang ngabisin juga kalian berdua. Mama kebagian asapnya aja. Hahaha.”

Gracia menarik napas dalam. Ia memutar kembali memori keluarga kecilnya saat mengisi weekend di taman belakang rumah. Sedikit tawa cemas mengakhiri kalimatnya.

“sekarang Hamids versi perempuan itu udah tumbuh. Udah jadi gadis yang cantik, pinter, konyol, perpaduan kita banget deh, Pa. Mama kangen banget sama anak kita yang cerewet itu.”

Hamids hanya tersenyum menanggapi ucapan istrinya. Tangannya ia lingkarkan di bahu istrinya, menuntun Gracia untuk duduk di sofa balkon.

Dan jika suatu saat buah hatiku, buah hatimu
Untuk sementara waktu pergi….

Pikiran Hamids terbang bebas menuju rentetan kenangan bersama buah hatinya dengan Gracia. Sambil menyesap teh hangat, otaknya berarakan liar mengingat setiap momen bersama Tepong. Sambil memejamkan mata, retinanya menjurus ke setiap kebersamaan mereka yang seakan bisa ia lihat kembali. Sambil menarik napas panjang, oksigen menenggelamkan jiwanya ke entah berantah yang penuh tawa ceria gadis yang sangat ia cintai setelah istrinya.

“Setiap pagi pasti dia ribet sendiri. Bangun kesiangan, belom sarapan, belom nyisir rambut. Terus di meja makan sambil ngunyah dia bawel nentuin model rambut apa buat sekolah. Kamu banget tuh, Gre!” ucap Hamids. Kadang-kadang jika sedang berdua, mereka hanya memanggil nama satu sama lain. Biar kekinian gitu.

“iya, makanya Tepong cantik terus kan, Mids?” Gracia menyeruput teh nya. Tangannya sedikit bergetar memegang cangkir. Senyum indah terlukis dari wajahnya yang pucat pasi. “pasti aku deh tiap pagi yang menyisir rambutnya. Mana mau dia kamu sisirin? Nanti dia ngomel-ngomel gara-gara rambutnya kamu bikin gak jelas kayak singa sirkus kalo kata dia. Hahaha!”

“ih enak aja, itu udah paling bagus kali dari seluruh gaya rambut perhimpunan papa ganteng buat anak perempuannya.” bela Hamids tak mau kalah. “sepi ya sekarang rumah kita…”

Sepi. Satu kata keramat di awal kalimat suaminya membuat Gracia menjadi hening seketika. Semburat senyum yang tadinya merekah indah dari bibirnya berubah murung.

Sendu. Satu kata yang identik dengan kesedihan yang mendalam. Kesakitan yang meranggas. Kemusnahan yang terikat nafas.

Rindu. Kerinduan memang berdampak candu. Tidak ada rindu yang terobati. Gracia merindukan anak sematawayangnya. Terus menerus, hingga mengurus. Kerinduan untuk saling memeluk tidak bisa disembuhkan dengan pelukan dari kedua orang yang saling merindu itu. Memang lega rasanya saat bertemu, namun kelegaan itu akan menjadi kesakitan yang mendalam saat kita harus mengikhlaskan untuk berpisah kembali.

Keheningan seketika menyelimuti pasangan suami istri yang sudah 20 tahun menikah dan hidup bersama itu. Keduanya sama-sama bermain dalam emosi, bersenandung dalam memori, berkompetisi dalam melawan takdir. Mendelik akan siapa yang paling kuat menahan tangis yang sudah tak bisa dibendung kelopak.

“Kini kamarnya teratur rapi. Ribut suaranya tak ada lagi. Tak usah kau cari dia tiap pagi.” Ucap Gracia. Kembali, suaranya kembali lirih.

“Ma, dia cuma lagi kuliah di Athena. Tepong pasti pulang.” Hamids kalah. Ia yang lebih dulu menjatuhkan air matanya.

Gracia bergetar hebat dibuatnya. Entah kenapa, air matanya sudah habis tak bisa keluar lagi. Air dengan milyaran kerinduan itu tiba-tiba lenyap ketika suaminya berucap. Nafasnya berat. Darahnya mengalir deras dalam sambungan vena dan arteri. Peluhnya bercucuran menahan sakit. Hatinya sudah bukan hancur lagi, melainkan musnah.

“sadarlah, Hamids! Anak kita udah pergi. Dia udah nyaman dipelukan Tuhan! Mau sampai kapan kamu bilang dia masih hidup, hah?!”

                DEG!

Ini bukan kali pertama Hamids mendengar kenyataan pahit. Kecelakaan pesawat itu terjadi di hari yang sama saat Gracia menghubungi anaknya yang sedang menyetir pagi itu. Malam harinya, Stepi nekat terbang ke Jakarta untuk bertemu kedua orang tuanya. Homesick memang terkadang membahayakan. Bahkan bisa merenggut nyawa.

Sudah 3 bulan semenjak pesawat yang Stepi tumpangi terjun bebas di lautan. Beberapa jasad korban kecelakaan pesawat sudah ditemukan, tetapi tidak dengan anak tunggal Gracia-Hamids. Hamids masih percaya keajaiban Tuhan bahwa suatu hari anaknya pasti akan pulang ke rumah.

Ku salah kah pertanyakan kemana kakinya kan melangkah?
Kita berdua tahu, dia pasti pulang ke rumah……

“Kangen adalah perasaan tersakral dalam kesepian, seni terindah dalam kesendirian.”
-Onyol

.
.
.

maap ye kalo lama gak update. hahahaha gatau lagi gak greget nulis. pft
buat yang nanyain Tulip Merah, sini sini gue tiup ubun-ubun nya XD
udah nih? gini aja? hahahahaha gue butuh semangat buat nulis, apaya?
mungkin sekiranya cuma komen, kritik dan saran. halah apasih (?)
makasih ya udah mau baca. hahahaha XD
- @satepadang48 -

1 comment:

  1. Sama kyak gw skarang,sepi 😓
    Kereeeen.... 😤

    ReplyDelete