Saturday, 4 April 2015

Tulip Merah : 4

halo. baru selesai UTS nih ciyedah. apasih gue. hehehe
langsung aja ya, selamat membaca :) 

Gracia’s POV

                Oke. I’m oke. Setelah semalam aku memikirkan bagaimana kelanjutan hidupku setelah hampir membunuh anak dari walikota, aku memutuskan untuk tidak perduli akan apa yang terjadi. Biarkan saja mengalir apa adanya. Dari awal memang aku sudah tidak ada semangat hidup. Sejak ayahku, orang terdekat dalam hidupku memutuskan untuk ikut kelompok pemberontak, aku hidup santai hampir tak punya ambisi. Aku tak perduli akan apa yang orang-orang katakan tentangku. Tentangku yang anti-sosial, tentangku yang emotionless, tentangku yang seperti walking dead, bahkan mereka bilang aku aneh dan tak ada semangat hidup. Untuk opini yang terakhir, aku akui itu benar.




                Anehnya, semua itu berubah sejak Nina hadir di kehidupanku. Sejak malam itu aku mengantarnya pulang, nina perlahan memberikan warna di hidupku yang transparan. Aku tetap anti-sosial, aku tetap cuek, aku tetap emotion-less, tapi sekarang setidaknya aku memiliki semangat hidup. Nina mengajarkanku bagaimana menyayangi sesama manusia. Efeknya memang baru ke kak ve, kak kinal, dan dirinya. Tapi setidaknya aku memiliki rasa kasihan jika melihat orang lain mengalami kesulitan. Aku akan bantu sebisaku. Dengan syarat, orang itu bukan teman sekolahku. Oke, aku akui aku masih gengsi jika mereka akan menyadari perubahanku.

                Selain cinta-kasih, Nina juga memercikkan ambisi dalam diriku. Dan ambisiku satu-satunya adalah Nina. Hanya aku yang boleh memiliki hatinya, hanya aku yang boleh mendapatkan perhatiannya, dan hanya aku yang boleh menerima tulisan-tulisan bersyair yang indah darinya. Aku mencintai nya tanpa batas, dan menjadi buas manakala tak terbalas.

“Gre, nenek mengundangmu dan kak ve untuk makan malam dirumah. Bagaimana?”

“hey, Gre!” nina menyentil keningku.

“a-ah, kenapa Nin?” ia membuyarkan lamunanku di kelas.

“nenek mengundang kau dan kakakmu makan malam dirumah. Mau?” ia menatapku singkat lalu kembali mencoret buku catatannya dengan materi yang sedang dibahas guru.

“kak ve sedang ke Bornholm bersama kak kinal untuk tugas medis.” Mataku tetap berfokus ke arah guru agar dikira memperhatikan.

“kalau begitu kau menginap saja! Pasti nenek akan--”

“AKAN APA, HAMELWOSFH?!” haduh nina ini sangat bersemangat atau bodoh sih? Volume suarannya membesar hingga Mr. Kierkegaard mendengarnya.

“no, sir. Nothing.”

“oh, kalau begitu tolong jawab soal yang ada di papan tulis lalu jelaskan ke teman-teman mu, anak pintar!” Mr. kierkegaard menyuruh nina mengerjakan soal kimia yang menurutku sulit. Bahkan sangat sulit.

“ku jemput kau nanti setelah pulang sekolah.” ia berbisik kepadaku sebelum maju untuk mengerjakan soal yang diberikan Mr. Kikegaard.

Dengan santai nya Nina bangkit dari kursi nya lalu mengambil kapur yang berada di meja guru. Hanya beberapa detik ia berdiri mengamati soal. Tangannya dengan cekatan menggoreskan kapur di papan tulis menjawab pertanyaan. Anehnya, cara yang dituliskan nina sangat singkat namun benar. Ia luar biasa cerdas dalam menjelaskan bagaimana ia mendapat hasil akhirnya.

Mr. Kierkegaard dibuat terkesima oleh kecerdasannya. Ia sampai menggeleng-geleng kan kepalanya. Beberapa murid juga sampai bertanya berkali-kali dan meminta Nina menjelaskan ulang bagaimana bisa ia mengerjakan dengan cara yang jauh lebih singkat daripada yang Mr. Kierkegaard sebelumnya jelaskan. Aku bangga memiliki pacar dengan kecerdasan luar biasa seperti nina.

KRRIIINNGGGG!!!

            Woah! Bel pulang sekolah melantun indah dalam telingaku. TGIF. Akhirnya dua paling ujung dari tujuh. Sepekan tertukar dengan lari paksa rutinitas. Saatnya tanggalkan baju perang ku.

         Aku keluar kelas bersama nina. Jadi, sore ini kami langsung pulang ke rumah nina. Sebelumnya aku sudah bilang kepadanya bahwa tak perlu aku pulang dulu, karena aku pikir baju nina akan muat dengan tubuhku. Jadi aku akan meminjamnya. Seperti akhir pekan sebelum-sebelumnya, sekolah ini sangat ramai akan murid-murid yang sangat bersemangat menyambut akhir pekan. Atau malah mereka akan menangisi akhir pekan? Ah, setidaknya akhir pekan ku selalu menyenangkan bersama Nina.

                Koridor sekolah sangat ramai. Atau aku menyebutnya kacau. Berisik. Beberapa anak laki-laki yang belum berumur 14thn asik berlarian. mungkin menikmati masa-masa terakhirnya sebelum mengikutin wajib militer untuk membantu jerman dalam perang. Gema tawa Perempuan-perempuan ABG memekakan telingaku. Untuk keluar dari koridor saja jalan ini terasa sesak.

Beruntungnya aku punya Nina dengan tubuh jangkungnya. Ia memberikan jalan menembus orang-orang di kerumunan. Aku tidak sengaja menyenggol Sofia hingga hampir jatuh jika ia tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Namun anehnya ketika aku mulai bersiap penyumpal telinga untuk menangkal ocehannya, Sofia malah tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia justru menyunggingkan senyuman kepada Nina. Karena nina memang ramah, jadi ia membalas senyuman Sofia. Aku panas. Padahal Cuma gitu aja.
***

08.48 PM

                Aku senang sekali bisa makan malam dan bercengkrama bersama keluarga Hamelwosfh. Keluarga ini sangat hangat. Neneknya Nina sangat lembut dan penuh kasih sayang. Mungkin kak Ve jika tua nanti akan menjadi nenek yang sangat amat baik seperti Mrs. Hamelwosfh. Kakeknya Nina sangat periang dan lucu. Hampir tak terhitung sudah berapa kali aku tertawa lepas melihat tingkah dan banyolan nya. Mr. Hamelwosfh mengingatkanku akan kak Kinal. Ia sangat menyenangkan.

                Setelah makan malam tadi, kami berpindah ke ruang keluarga untuk mengobrol hangat. Kakek menceritakan cerita-cerita lucu hidupnya, bahkan kekonyolan nina saat kecil. Beberapa kali nina meminta kakeknya agar tidak membuka aibnya, tapi Mr. Hamelwosfh malah semakin menjadi menjahili nina dengan membongkar aib lucunya. Disitu wajah nina sangat lucu, pipinya merah menahan malu. Namun akhirnya kami semua tertawa bersama ketika kakek menceritakan kisah pamungkas kelucuan nina yang lol sangat lol saat kecil.

Sekitar 30 menit kami bercengkerama, Mrs. Hamelwosfh tiba-tiba tertidur di pundak kakek masih dengan rajutan di tangannya. Kakek lalu mengusap lembut kepala nenek. Ia menggendong nenek dan membawanya ke kamar untuk beristirahat. Romantis sekali. Aku jadi membayangkannya dengan Nina (?)

Tak mau berlama-lama dengan keheningan dan momen awkward sejak kakek dan nenek pergi istirahat duluan, nina mengajakku naik ke lantai 2. Ke kamarnya. Ini kali pertama aku masuk kamar nina. Agak berantakan ya, terutama buku yang berserakan dimana-mana.

“ini papa dan mama mu? pantas saja kau sangat androgini ” aku membuka percakapan. (androgini=istilah untuk orang yang dapat menampilkan sisi feminim dan maskulin bersamaan)

“iya. Begitu ya?” Jawab nina singkat.

“dimana mereka sekarang? Kenapa kau tidak tinggal bersama?” aku berbaring di tempat tidur. Nina masih duduk memunggungiku di sisi lain tempat tidur ini.

“tidak bisa. Mereka ada di jerman.” Suaranya berubah.

“kenapa? Aku malah ingin sekali bertemu kedua orang tuaku.” Nina diam. Ia tidak menjawab. “i-ini? Di-di mantelmu?” aku bangkit lalu duduk disebelahnya di pinggir tempat tidur.

aku melihat dengan teliti foto yang terdapat nina dan kedua orang tuanya. Didalam foto itu ia sangat bahagia berada di tengah-tengah mama dan papanya. Namun, ada yang aneh dari foto itu. Emblem! Terdapat lambing dua segitiga berlawanan arah berwarna kuning yang terpasang di dada kiri mantel mama dan papanya. Sedangkan nina terikat kain putih dengan logo yang sama di lengannya.

Gre, Gresya.” Ia menatapku lembut. posisi Kami berhadapan.

“I’m a jew. I love you. Baby, I’m not a monster. I’m just a jew.” Ia menunduk tak kuat melanjutkan kalimatnya. Aku masih terdiam. Tak tahu harus bagaimana. Beberapa hari ini aku memang membaca berita di Koran tentang Jewish menurut sudut pandang nazi.

“aku lari dari Norwegia. Mereka mencari kaum ku. Aku berhasil kabur setelah seorang komisaris militer Negara ku yang berteman dengan papa menolongku. Ia membuatkan identitas baru untukku. Kakek dan nenek menjemputku di perbatasan. Orang tua ku sudah mempersiapkan pelarianku.” Nina menahan tangisannya. Aku masih diam menyimak.

“kami tau hari itu akan datang. Namun, 3 orang terlalu berbahaya untuk lari. Dan kedua orang tuaku mengorbankan dirinya demi menyelamatkanku. Mereka tertangkap dan dibawa ke kamp konsentrasi di jerman. Aku tak tahu bagaimana keadaan mereka. Bahkan aku tak tahu apakah mereka masih hidup atau tidak.”

“beruntung aku memiliki kakek dan nenek di Denmark. ‘Mereka’ meyakini Denmark adalah Negara yang semua penduduknya penganut nasrani. Jadi kemungkinan mereka melakukan pencarian kaum ku disini bisa dibilang kecil.”

“kalau selama ini kau kira aku seorang atheist, bukan. Aku percaya adanya tuhan. I’m a jewish, Gre. Aku bersembunyi dari semua orang.” Air matanya jatuh juga. Ia buru-buru menyeka nya.

“aku selalu bersemangat menjalani hidup dengan identitas baru di kota kecil ini. Tuhan telah memilihku. Ia menyelamatkanku. Maka tidak sepantasnya aku mendustakan nikmat ini.” Ia mengakhiri kalimatnya dengan senyuman khas Nina. Nina-ku.

                Terkadang jika aku membaca berita-berita di Koran tentang perlakuan nazi ke jews, aku sering bertanya-tanya ‘kenapa?’ beberapa alasan sudah terungkap. Jerman menganggap kerugian dan kekalahan mereka dalam perang dunia 1 disebabkan oleh kaum Jews. saat Great Depression of 1929 yaitu ketika jerman mengalami kemerosotan ekonomi terburuk hingga 6 juta orang tidak mendapat pekerjaan, kaum Jews mengalami kenaikan financial besar. awalnya aku cuek saja, mengingat aku murni orang Denmark. Tapi sejak nina mengakui identitas aslinya, aku jadi tidak habis pikir mengapa mereka tega melakukan semua ini. Yang paling penting, aku tidak ingin kehilangan Nina.

“aku tidak perduli, Nina. If you’re a jew, an atheist or a communist, I don’t really care. Mereka tidak akan pernah bisa menemukanmu. Tidak akan!” aku memeluknya erat. Sangat erat seakan aku tidak mau kehilangannya.

“hey, bukankah ini hebat? I have a revolver, i almost kill sofia, and you’re a jew. Kita berdua buronan! Hahahahahaha!” aku mengucapkan kalimat bodoh namun nyata adanya. Kami tertawa bersama setelah menangisi akhir pekan.

                Satu yang terakhir dari tujuh, saatnya tanggalkan baju perangku. Satu yang terakhir dari tujuh, saatnya sandarkan bahu lelahku. satu yang terakhir dari tujuh, saatnya tumpahkan keluh kesahmu. Satu yang terakhir dari tujuh, ingatan dan penyesalan. Tangisi akhir pekan.
***

Desember 1943

Gracia’s POV     

Sandikala senja mulai terlukis indah. Hamparan langit biru tanpa awan mulai tergerus oleh jingga nya sandikala. Putihnya salju terbuai beraturan di tanah yang renta ini. Hari ini adalah hari terakhir bekerja di toko jam milik paman sebelum libur jul (natal dalam bahasa Denmark). Rencananya hari ini juga Nina akan menginap dirumahku karena….. karena apa ya? Mungkin ia rindu, mengingat sekarang mungkin ia lebih sering bersama Sofia dari pada aku.

Akhir-akhir ini sering ku lihat Nina berdua dengan Sofia. Iya, si Rassmussen itu. Entah mengapa Nina jadi lebih dekat dengannya. Jika biasanya saat libur sekolah begini ia membantu atau sekedar menemani ku di toko, tapi seminggu belakangan ini ia asyik dengan Sofia. Cemburu? Iya. Wajar untukku. Nina adalah pacarku. Tidak seharusnya ia bersama gadis lain. Jika kau bilang cemburu adalah tanda orang minder, ah tidak. Aku? Minder sama sofia? Tidak mungkin. Sofia memang cantik, tapi aku juga tidak kalah cantik. Sofia pintar? Bukannya dari awal ku bilang ia tidak pintar? Kalau begitu berarti tidak. Sejauh ini aku tidak kalah dengannya, kecuali….. sofia anak seorang walikota.

Tunggu, tunggu. Jika ini memang trik Nina untuk mendekati sofia agar posisi nya disini aman, itu sangat amat tidak mungkin. Nina-ku bukan tipe orang se licik itu. Eh tapi…. Bisa saja. Jiwa stereotip ku keluar lagi? jadi begini, jika memang Nina-ku se licik itu pasti begini alurnya. Nina membuat Sofia jatuh hati kepadanya, ia membuat Sofia tak bisa hidup tanpanya. Dan jika saatnya tiba, atas nama kekuasaan dan jabatan ayahnya, sofia bisa menolong Nina untuk keluar menuju zona aman. Dan….. wallaaaa! Aku dilupakan. Gracia dilupakan oleh kekasihnya yang seorang jew. Argh! Apa yang aku pikirkan?! Ayolah gracia, berpikir jernih! Nina tidak mungkin begitu. Tidak mungkin.

“heyyyy! Gre! Gre-sya!” seseorang memanggilku dari belakang. Nina? Jelas. Hanya dia yang memanggilku dengan panggilan sayang seperti itu (?) aku menghentikan langkahku dan membalikkan tubuh. Menunggu nya sampai di depan ku.

“bukannya kau bilang jam 5 di rumah ku?” aneh. Biasanya Nina selalu tepat waktu. Omongan dan tindakannya sesuai. Tapi sekarang baru jam setengah 4 sore, kenapa sudah menghampiriku (?)  tapi tidak apa lah, kan jadi lebih lama bersama nya. hehe.

“untuk mu!” ia memberikanku sebuah gantungan kunci dari logam. Gantungan itu berbentuk kucing berwarna hitam. Aku menaikan sebelah alisku.

“di Irlandia, kucing hitam adalah symbol keberuntungan. Semoga keberuntungan selalu menyertaimu, my Gre-sya” ucapnya sambil tersenyum tulus dan mengacak sedikit rambutku.

                Kami berjalan dengan cukup pelan. Saat musim dingin matahari terbit sekitar pukul 9 pagi dan tenggelam pukul 4 sore. Sambil menikmati indahnya senja di cuaca cerah saat salju begini, kami mengobrol macam-macam. Ada saja yang kami obrolkan. Mulai dari yang tidak penting sampai sangat tidak penting. Tapi anehnya, Cuma hal tidak penting bersama Nina saja aku bisa tertawa lepas. Sepertinya memang hanya Nina dan Kak kinal yang bisa buatku tertawa lepas.

***

                Asap hitam mengepul mencemari udara. Suara bising khas alarm menggema. Tapi aku tidak sedang berjalan tergesa atau berlari menuju bunker. Aku berada di tempat yang tak asing lagi. sekolah.

                Aku berada di sekolah. Dengan kelas yang ribut, kacau, bahkan rusuh. Beberapa anak saling dorong berlari berusaha menyelamatkan diri. Tidak, ini bukan gema riuh semangat murid-murid yang menyambut libur natal atau musim panas. Aku melihat ke arah jendela kelas yang biasanya. Apa yang terekam di mataku salah, seharusnya salah. Ini di medan perang?

                Nina?! Dimana Nina?! Ku lihat sekeliling kelas tidak ada sosoknya. Aku berlari menuju pintu. Berharap nina datang menjemputku. Namun nihil. Ku lihat di koridor beberapa anak sudah terkulai lemah tak berdaya akibat terinjak manusia-manusia yang juga ingin menyelamatkan hidup mereka masing-masing. Aku terlalu takut untuk menerobos kerumunan orang yang panik itu. Kelas sudah sepi.

Ku lihat keluar jendela lagi. beberapa bangunan sudah hancur bahkan rata oleh tanah. Terlihat 2 tank dan ratusan tentara mulai bergerak maju dari garis start. Jadi ini di medan perang? Dan mengapa harus di sekolah? Kita adalah pelajar, bukan……. Prajurit!

“NINAAAA!!!”

                Nina berada di garis depan berlari membawa senjata seadanya. Pergerakan nya cukup lincah, ia juga kuat. Beberapa prajurit musuh yang entah darimana asalnya dapat ia tumbangkan. Namun persenjataan murid-murid sekolah ini kalah, kami mundur namun tetap melawan. Ku lihat nina berlari menuju lab kimia masih dengan senapan di tangan nya sambil menghindari peluru-peluru ganas yang mengincarnya. Ia sampai di depan lab kimia. Aku tetap mengamatinya. Aku tak tahu harus berbuat apa. Hanya bisa berdoa agar Nina-ku selamat.

                Ia mencoba membuka pintu besi itu, namun sial pintunya terkunci. Ia berusaha mendobrak pintu lab itu tetapi hasilnya nihil. ia terus menembaki musuh yang semakin mendekat mengejarnya. Entah dapat keberanian darimana, aku berlari sekencang-kencangnya menuju lab kimia di gedung seberang. Dari balik kepulan asap hitam yang bercecer darah di halaman sekolah, aku dapat melihat korban-korban berjatuhan. Tak kuasa aku melihatnya. Ingin sekali aku bawa mereka ke medis. Namun tujuanku dan adrenalin ku mengalir untuk membantu Nina yang semakin terpojok.

                Aku melihatnya. Nina berusaha memukul jendela lab dengan pangkal senapan nya beberapa meter didepanku . ku ambil kapak yang berada di dekatku. Namun aku kalah cepat. Aku kalah cepat dengan timah panas yang sedari tadi menyayat tubuh Nina, dan sekarang peluru-peluru itu bukan hanya menyayat tetapi menancap di tubuhnya. Nina ambruk. Ia masih terus menembak walaupun dengan lutut yang menjadi tumpuannya untuk menopang tubuhnya.

Aku berlari mengampirinya yang sudah jatuh tengkurap. Ku balikkan tubuhnya menghadapku. Seragam sekolahnya penuh dengan darah. Ia mencoba mengatakan sesuatu kepadaku tetapi ia tersedak oleh darahnya sendiri yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya perlahan kaku. Dingin. Nina pergi. Aku menangis sejadi-jadinya. Meneriakkan namanya.
….

“hahhhhhh!!!!!”

“kenapa, Gre?” suara nina terdengar lembut dari samping kanan ku. Sepertinya ia terbangun karena ku.

                Jadi ini Cuma mimpi? Syukurlah. Terimakasih Tuhan! Aku memeluk nina dengan eratnya seperti tak mau kehilangannya lagi. lagi? cukup di dalam mimpi saja aku merasakan sakit yang mungkin bahkan lebih sakit dari panasnya tubuh yang ditembus peluru. Cukup di dalam mimpi saja aku merasakan kesedihan yang sangat mendalam melebihi saat melepas kepergian ayahku ketika bergabung bersama kelompok pemberontak.

“Kenapa, Gresya sayang? Kau mimpi buruk?” ia mengusap rambutku lalu menciumi nya.

“jangan tinggalkan aku! Ku mohon, berjanjilah padaku kau akan setia berada di sampingku selamanya!” aku mengucapkan kata-kata aneh ini begitu saja. Bulir-bulir air mata mulai mengalir di pipiku.

“iya, Gresya…. aku janji akan terus menjagamu. Aku janji!” ia terus mengusap lembut rambutku. Sesaat setelah itu, aku kembali terlelap. Namun kali ini terlelap dipelukannya.

tbc~



bayangin aje kalo ini Nina (ve) sama Gre (beby).
bukan apa-apa, liat topinya ve kek yg dipake jews di film film. hehe

ciyeeeee, gimana? gimana? sedikit dari part ini terinspirasi dari salah satu lagunya FSTVLST. tunggu Tulip Merah : 5 nya yaaaaa..... jangan lupa comment. ke @satepadang48 juga boleh hehe


No comments:

Post a Comment