Gracia’s POV
Oke.
I’m oke. Setelah semalam aku memikirkan bagaimana kelanjutan hidupku setelah
hampir membunuh anak dari walikota, aku memutuskan untuk tidak perduli akan apa
yang terjadi. Biarkan saja mengalir apa adanya. Dari awal memang aku sudah
tidak ada semangat hidup. Sejak ayahku, orang terdekat dalam hidupku memutuskan
untuk ikut kelompok pemberontak, aku hidup santai hampir tak punya ambisi. Aku
tak perduli akan apa yang orang-orang katakan tentangku. Tentangku yang anti-sosial,
tentangku yang emotionless, tentangku yang seperti walking dead, bahkan mereka bilang aku aneh dan tak ada semangat
hidup. Untuk opini yang terakhir, aku akui itu benar.
Anehnya,
semua itu berubah sejak Nina hadir di kehidupanku. Sejak malam itu aku
mengantarnya pulang, nina perlahan memberikan warna di hidupku yang transparan.
Aku tetap anti-sosial, aku tetap cuek, aku tetap emotion-less, tapi sekarang
setidaknya aku memiliki semangat hidup. Nina mengajarkanku bagaimana menyayangi
sesama manusia. Efeknya memang baru ke kak ve, kak kinal, dan dirinya. Tapi
setidaknya aku memiliki rasa kasihan jika melihat orang lain mengalami
kesulitan. Aku akan bantu sebisaku. Dengan syarat, orang itu bukan teman
sekolahku. Oke, aku akui aku masih gengsi jika mereka akan menyadari
perubahanku.
Selain
cinta-kasih, Nina juga memercikkan ambisi dalam diriku. Dan ambisiku
satu-satunya adalah Nina. Hanya aku yang boleh memiliki hatinya, hanya aku yang
boleh mendapatkan perhatiannya, dan hanya aku yang boleh menerima tulisan-tulisan
bersyair yang indah darinya. Aku mencintai nya tanpa batas, dan menjadi buas
manakala tak terbalas.
“Gre, nenek mengundangmu dan kak
ve untuk makan malam dirumah. Bagaimana?”
“hey, Gre!” nina menyentil
keningku.
“a-ah, kenapa Nin?” ia membuyarkan
lamunanku di kelas.
“nenek mengundang kau dan kakakmu
makan malam dirumah. Mau?” ia menatapku singkat lalu kembali mencoret buku
catatannya dengan materi yang sedang dibahas guru.
“kak ve sedang ke Bornholm
bersama kak kinal untuk tugas medis.” Mataku tetap berfokus ke arah guru agar
dikira memperhatikan.
“kalau begitu kau menginap saja!
Pasti nenek akan--”
“AKAN APA, HAMELWOSFH?!” haduh
nina ini sangat bersemangat atau bodoh sih? Volume suarannya membesar hingga
Mr. Kierkegaard mendengarnya.
“no, sir. Nothing.”
“oh, kalau begitu tolong jawab
soal yang ada di papan tulis lalu jelaskan ke teman-teman mu, anak pintar!” Mr.
kierkegaard menyuruh nina mengerjakan soal kimia yang menurutku sulit. Bahkan
sangat sulit.
“ku jemput kau nanti setelah
pulang sekolah.” ia berbisik kepadaku sebelum maju untuk mengerjakan soal yang
diberikan Mr. Kikegaard.
Dengan santai
nya Nina bangkit dari kursi nya lalu mengambil kapur yang berada di meja guru.
Hanya beberapa detik ia berdiri mengamati soal. Tangannya dengan cekatan
menggoreskan kapur di papan tulis menjawab pertanyaan. Anehnya, cara yang
dituliskan nina sangat singkat namun benar. Ia luar biasa cerdas dalam
menjelaskan bagaimana ia mendapat hasil akhirnya.
Mr. Kierkegaard
dibuat terkesima oleh kecerdasannya. Ia sampai menggeleng-geleng kan kepalanya.
Beberapa murid juga sampai bertanya berkali-kali dan meminta Nina menjelaskan
ulang bagaimana bisa ia mengerjakan dengan cara yang jauh lebih singkat
daripada yang Mr. Kierkegaard sebelumnya jelaskan. Aku bangga memiliki pacar
dengan kecerdasan luar biasa seperti nina.
KRRIIINNGGGG!!!
Woah!
Bel pulang sekolah melantun indah dalam telingaku. TGIF. Akhirnya dua paling
ujung dari tujuh. Sepekan tertukar dengan lari paksa rutinitas. Saatnya
tanggalkan baju perang ku.
Aku
keluar kelas bersama nina. Jadi, sore ini kami langsung pulang ke rumah nina.
Sebelumnya aku sudah bilang kepadanya bahwa tak perlu aku pulang dulu, karena
aku pikir baju nina akan muat dengan tubuhku. Jadi aku akan meminjamnya.
Seperti akhir pekan sebelum-sebelumnya, sekolah ini sangat ramai akan
murid-murid yang sangat bersemangat menyambut akhir pekan. Atau malah mereka
akan menangisi akhir pekan? Ah, setidaknya akhir pekan ku selalu menyenangkan
bersama Nina.
Koridor
sekolah sangat ramai. Atau aku menyebutnya kacau. Berisik. Beberapa anak
laki-laki yang belum berumur 14thn asik berlarian. mungkin menikmati masa-masa
terakhirnya sebelum mengikutin wajib militer untuk membantu jerman dalam
perang. Gema tawa Perempuan-perempuan ABG memekakan telingaku. Untuk keluar
dari koridor saja jalan ini terasa sesak.
Beruntungnya
aku punya Nina dengan tubuh jangkungnya. Ia memberikan jalan menembus
orang-orang di kerumunan. Aku tidak sengaja menyenggol Sofia hingga hampir
jatuh jika ia tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Namun anehnya ketika aku
mulai bersiap penyumpal telinga untuk menangkal ocehannya, Sofia malah tidak
mengucapkan sepatah katapun. Ia justru menyunggingkan senyuman kepada Nina.
Karena nina memang ramah, jadi ia membalas senyuman Sofia. Aku panas. Padahal
Cuma gitu aja.
***
08.48 PM
Aku
senang sekali bisa makan malam dan bercengkrama bersama keluarga Hamelwosfh.
Keluarga ini sangat hangat. Neneknya Nina sangat lembut dan penuh kasih sayang.
Mungkin kak Ve jika tua nanti akan menjadi nenek yang sangat amat baik seperti
Mrs. Hamelwosfh. Kakeknya Nina sangat periang dan lucu. Hampir tak terhitung
sudah berapa kali aku tertawa lepas melihat tingkah dan banyolan nya. Mr.
Hamelwosfh mengingatkanku akan kak Kinal. Ia sangat menyenangkan.
Setelah
makan malam tadi, kami berpindah ke ruang keluarga untuk mengobrol hangat.
Kakek menceritakan cerita-cerita lucu hidupnya, bahkan kekonyolan nina saat
kecil. Beberapa kali nina meminta kakeknya agar tidak membuka aibnya, tapi Mr.
Hamelwosfh malah semakin menjadi menjahili nina dengan membongkar aib lucunya.
Disitu wajah nina sangat lucu, pipinya merah menahan malu. Namun akhirnya kami
semua tertawa bersama ketika kakek menceritakan kisah pamungkas kelucuan nina
yang lol sangat lol saat kecil.
Sekitar 30
menit kami bercengkerama, Mrs. Hamelwosfh tiba-tiba tertidur di pundak kakek
masih dengan rajutan di tangannya. Kakek lalu mengusap lembut kepala nenek. Ia
menggendong nenek dan membawanya ke kamar untuk beristirahat. Romantis sekali.
Aku jadi membayangkannya dengan Nina (?)
Tak mau
berlama-lama dengan keheningan dan momen awkward sejak kakek dan nenek pergi
istirahat duluan, nina mengajakku naik ke lantai 2. Ke kamarnya. Ini kali
pertama aku masuk kamar nina. Agak berantakan ya, terutama buku yang berserakan
dimana-mana.
“ini papa dan mama mu? pantas
saja kau sangat androgini ” aku membuka percakapan. (androgini=istilah untuk
orang yang dapat menampilkan sisi feminim dan maskulin bersamaan)
“iya. Begitu ya?” Jawab nina
singkat.
“dimana mereka sekarang? Kenapa
kau tidak tinggal bersama?” aku berbaring di tempat tidur. Nina masih duduk
memunggungiku di sisi lain tempat tidur ini.
“tidak bisa. Mereka ada di
jerman.” Suaranya berubah.
“kenapa? Aku malah ingin sekali
bertemu kedua orang tuaku.” Nina diam. Ia tidak menjawab. “i-ini? Di-di
mantelmu?” aku bangkit lalu duduk disebelahnya di pinggir tempat tidur.
aku melihat
dengan teliti foto yang terdapat nina dan kedua orang tuanya. Didalam foto itu
ia sangat bahagia berada di tengah-tengah mama dan papanya. Namun, ada yang aneh
dari foto itu. Emblem! Terdapat lambing dua segitiga berlawanan arah berwarna
kuning yang terpasang di dada kiri mantel mama dan papanya. Sedangkan nina
terikat kain putih dengan logo yang sama di lengannya.
“Gre, Gresya.” Ia menatapku lembut. posisi Kami berhadapan.
“I’m a jew. I love you. Baby, I’m not a monster. I’m just a
jew.” Ia menunduk tak kuat melanjutkan kalimatnya. Aku masih terdiam. Tak tahu
harus bagaimana. Beberapa hari ini aku memang membaca berita di Koran tentang
Jewish menurut sudut pandang nazi.
“aku lari dari Norwegia. Mereka
mencari kaum ku. Aku berhasil kabur setelah seorang komisaris militer Negara ku
yang berteman dengan papa menolongku. Ia membuatkan identitas baru untukku.
Kakek dan nenek menjemputku di perbatasan. Orang tua ku sudah mempersiapkan
pelarianku.” Nina menahan tangisannya. Aku masih diam menyimak.
“kami tau hari itu akan datang.
Namun, 3 orang terlalu berbahaya untuk lari. Dan kedua orang tuaku mengorbankan
dirinya demi menyelamatkanku. Mereka tertangkap dan dibawa ke kamp konsentrasi
di jerman. Aku tak tahu bagaimana keadaan mereka. Bahkan aku tak tahu apakah
mereka masih hidup atau tidak.”
“beruntung aku memiliki kakek dan
nenek di Denmark. ‘Mereka’ meyakini Denmark adalah Negara yang semua
penduduknya penganut nasrani. Jadi kemungkinan mereka melakukan pencarian kaum
ku disini bisa dibilang kecil.”
“kalau selama ini kau kira aku
seorang atheist, bukan. Aku percaya adanya tuhan. I’m a jewish, Gre. Aku
bersembunyi dari semua orang.” Air matanya jatuh juga. Ia buru-buru menyeka
nya.
“aku selalu bersemangat menjalani
hidup dengan identitas baru di kota kecil ini. Tuhan telah memilihku. Ia
menyelamatkanku. Maka tidak sepantasnya aku mendustakan nikmat ini.” Ia
mengakhiri kalimatnya dengan senyuman khas Nina. Nina-ku.
Terkadang
jika aku membaca berita-berita di Koran tentang perlakuan nazi ke jews, aku
sering bertanya-tanya ‘kenapa?’ beberapa alasan sudah terungkap. Jerman
menganggap kerugian dan kekalahan mereka dalam perang dunia 1 disebabkan oleh
kaum Jews. saat Great Depression of 1929 yaitu ketika jerman mengalami
kemerosotan ekonomi terburuk hingga 6 juta orang tidak mendapat pekerjaan, kaum
Jews mengalami kenaikan financial besar. awalnya aku cuek saja, mengingat aku
murni orang Denmark. Tapi sejak nina mengakui identitas aslinya, aku jadi tidak
habis pikir mengapa mereka tega melakukan semua ini. Yang paling penting, aku
tidak ingin kehilangan Nina.
“aku tidak perduli, Nina. If
you’re a jew, an atheist or a communist, I don’t really care. Mereka tidak akan
pernah bisa menemukanmu. Tidak akan!” aku memeluknya erat. Sangat erat seakan
aku tidak mau kehilangannya.
“hey, bukankah ini hebat? I have
a revolver, i almost kill sofia, and you’re a jew. Kita berdua buronan!
Hahahahahaha!” aku mengucapkan kalimat bodoh namun nyata adanya. Kami tertawa
bersama setelah menangisi akhir pekan.
Satu
yang terakhir dari tujuh, saatnya tanggalkan baju perangku. Satu yang terakhir
dari tujuh, saatnya sandarkan bahu lelahku. satu yang terakhir dari tujuh,
saatnya tumpahkan keluh kesahmu. Satu yang terakhir dari tujuh, ingatan dan
penyesalan. Tangisi akhir pekan.
***
Desember 1943
Gracia’s POV
Sandikala
senja mulai terlukis indah. Hamparan langit biru tanpa awan mulai tergerus oleh
jingga nya sandikala. Putihnya salju terbuai beraturan di tanah yang renta ini.
Hari ini adalah hari terakhir bekerja di toko jam milik paman sebelum libur jul
(natal dalam bahasa Denmark). Rencananya hari ini juga Nina akan menginap
dirumahku karena….. karena apa ya? Mungkin ia rindu, mengingat sekarang mungkin
ia lebih sering bersama Sofia dari pada aku.
Akhir-akhir
ini sering ku lihat Nina berdua dengan Sofia. Iya, si Rassmussen itu. Entah
mengapa Nina jadi lebih dekat dengannya. Jika biasanya saat libur sekolah
begini ia membantu atau sekedar menemani ku di toko, tapi seminggu belakangan
ini ia asyik dengan Sofia. Cemburu? Iya. Wajar untukku. Nina adalah pacarku.
Tidak seharusnya ia bersama gadis lain. Jika kau bilang cemburu adalah tanda
orang minder, ah tidak. Aku? Minder sama sofia? Tidak mungkin. Sofia memang
cantik, tapi aku juga tidak kalah cantik. Sofia pintar? Bukannya dari awal ku
bilang ia tidak pintar? Kalau begitu berarti tidak. Sejauh ini aku tidak kalah
dengannya, kecuali….. sofia anak seorang walikota.
Tunggu,
tunggu. Jika ini memang trik Nina untuk mendekati sofia agar posisi nya disini
aman, itu sangat amat tidak mungkin. Nina-ku bukan tipe orang se licik itu. Eh
tapi…. Bisa saja. Jiwa stereotip ku keluar lagi? jadi begini, jika memang
Nina-ku se licik itu pasti begini alurnya. Nina membuat Sofia jatuh hati
kepadanya, ia membuat Sofia tak bisa hidup tanpanya. Dan jika saatnya tiba,
atas nama kekuasaan dan jabatan ayahnya, sofia bisa menolong Nina untuk keluar
menuju zona aman. Dan….. wallaaaa! Aku dilupakan. Gracia dilupakan oleh
kekasihnya yang seorang jew. Argh! Apa yang aku pikirkan?! Ayolah gracia,
berpikir jernih! Nina tidak mungkin begitu. Tidak mungkin.
“heyyyy! Gre! Gre-sya!” seseorang memanggilku dari
belakang. Nina? Jelas. Hanya dia yang memanggilku dengan panggilan sayang
seperti itu (?) aku menghentikan langkahku dan membalikkan tubuh. Menunggu nya
sampai di depan ku.
“bukannya kau bilang jam 5 di
rumah ku?” aneh. Biasanya Nina selalu tepat waktu. Omongan dan tindakannya
sesuai. Tapi sekarang baru jam setengah 4 sore, kenapa sudah menghampiriku
(?) tapi tidak apa lah, kan jadi lebih
lama bersama nya. hehe.
“untuk mu!” ia memberikanku
sebuah gantungan kunci dari logam. Gantungan itu berbentuk kucing berwarna
hitam. Aku menaikan sebelah alisku.
“di Irlandia, kucing hitam adalah
symbol keberuntungan. Semoga keberuntungan selalu menyertaimu, my Gre-sya” ucapnya sambil tersenyum tulus
dan mengacak sedikit rambutku.
Kami
berjalan dengan cukup pelan. Saat musim dingin matahari terbit sekitar pukul 9
pagi dan tenggelam pukul 4 sore. Sambil menikmati indahnya senja di cuaca cerah
saat salju begini, kami mengobrol macam-macam. Ada saja yang kami obrolkan.
Mulai dari yang tidak penting sampai sangat tidak penting. Tapi anehnya, Cuma
hal tidak penting bersama Nina saja aku bisa tertawa lepas. Sepertinya memang
hanya Nina dan Kak kinal yang bisa buatku tertawa lepas.
***
Asap hitam
mengepul mencemari udara. Suara bising khas alarm menggema. Tapi aku tidak
sedang berjalan tergesa atau berlari menuju bunker. Aku berada di tempat yang
tak asing lagi. sekolah.
Aku berada di
sekolah. Dengan kelas yang ribut, kacau, bahkan rusuh. Beberapa anak saling
dorong berlari berusaha menyelamatkan diri. Tidak, ini bukan gema riuh semangat
murid-murid yang menyambut libur natal atau musim panas. Aku melihat ke arah
jendela kelas yang biasanya. Apa yang terekam di mataku salah, seharusnya
salah. Ini di medan perang?
Nina?! Dimana
Nina?! Ku lihat sekeliling kelas tidak ada sosoknya. Aku berlari menuju pintu.
Berharap nina datang menjemputku. Namun nihil. Ku lihat di koridor beberapa
anak sudah terkulai lemah tak berdaya akibat terinjak manusia-manusia yang juga
ingin menyelamatkan hidup mereka masing-masing. Aku terlalu takut untuk
menerobos kerumunan orang yang panik itu. Kelas sudah sepi.
Ku lihat keluar jendela lagi. beberapa
bangunan sudah hancur bahkan rata oleh tanah. Terlihat 2 tank dan ratusan
tentara mulai bergerak maju dari garis start. Jadi ini di medan perang? Dan
mengapa harus di sekolah? Kita adalah pelajar, bukan……. Prajurit!
“NINAAAA!!!”
Nina berada di
garis depan berlari membawa senjata seadanya. Pergerakan nya cukup lincah, ia
juga kuat. Beberapa prajurit musuh yang entah darimana asalnya dapat ia
tumbangkan. Namun persenjataan murid-murid sekolah ini kalah, kami mundur namun
tetap melawan. Ku lihat nina berlari menuju lab kimia masih dengan senapan di
tangan nya sambil menghindari peluru-peluru ganas yang mengincarnya. Ia sampai
di depan lab kimia. Aku tetap mengamatinya. Aku tak tahu harus berbuat apa.
Hanya bisa berdoa agar Nina-ku selamat.
Ia mencoba membuka
pintu besi itu, namun sial pintunya terkunci. Ia berusaha mendobrak pintu lab
itu tetapi hasilnya nihil. ia terus menembaki musuh yang semakin mendekat
mengejarnya. Entah dapat keberanian darimana, aku berlari sekencang-kencangnya
menuju lab kimia di gedung seberang. Dari balik kepulan asap hitam yang
bercecer darah di halaman sekolah, aku dapat melihat korban-korban berjatuhan.
Tak kuasa aku melihatnya. Ingin sekali aku bawa mereka ke medis. Namun tujuanku
dan adrenalin ku mengalir untuk membantu Nina yang semakin terpojok.
Aku melihatnya.
Nina berusaha memukul jendela lab dengan pangkal senapan nya beberapa meter
didepanku . ku ambil kapak yang berada di dekatku. Namun aku kalah cepat. Aku
kalah cepat dengan timah panas yang sedari tadi menyayat tubuh Nina, dan
sekarang peluru-peluru itu bukan hanya menyayat tetapi menancap di tubuhnya.
Nina ambruk. Ia masih terus menembak walaupun dengan lutut yang menjadi
tumpuannya untuk menopang tubuhnya.
Aku berlari mengampirinya yang sudah jatuh tengkurap.
Ku balikkan tubuhnya menghadapku. Seragam sekolahnya penuh dengan darah. Ia
mencoba mengatakan sesuatu kepadaku tetapi ia tersedak oleh darahnya sendiri
yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya perlahan kaku. Dingin. Nina pergi. Aku
menangis sejadi-jadinya. Meneriakkan namanya.
….
“hahhhhhh!!!!!”
“kenapa, Gre?” suara nina
terdengar lembut dari samping kanan ku. Sepertinya ia terbangun karena ku.
Jadi
ini Cuma mimpi? Syukurlah. Terimakasih Tuhan! Aku memeluk nina dengan eratnya
seperti tak mau kehilangannya lagi. lagi? cukup di dalam mimpi saja aku
merasakan sakit yang mungkin bahkan lebih sakit dari panasnya tubuh yang
ditembus peluru. Cukup di dalam mimpi saja aku merasakan kesedihan yang sangat
mendalam melebihi saat melepas kepergian ayahku ketika bergabung bersama
kelompok pemberontak.
“Kenapa, Gresya sayang? Kau mimpi buruk?” ia mengusap rambutku lalu menciumi
nya.
“jangan tinggalkan aku! Ku mohon,
berjanjilah padaku kau akan setia berada di sampingku selamanya!” aku
mengucapkan kata-kata aneh ini begitu saja. Bulir-bulir air mata mulai mengalir
di pipiku.
“iya, Gresya…. aku janji akan terus menjagamu. Aku janji!” ia terus mengusap lembut rambutku. Sesaat setelah itu, aku kembali terlelap. Namun kali ini terlelap dipelukannya.
tbc~
tbc~
bayangin aje kalo ini Nina (ve) sama Gre (beby). bukan apa-apa, liat topinya ve kek yg dipake jews di film film. hehe |
ciyeeeee, gimana? gimana? sedikit dari part ini terinspirasi dari salah satu lagunya FSTVLST. tunggu Tulip Merah : 5 nya yaaaaa..... jangan lupa comment. ke @satepadang48 juga boleh hehe
No comments:
Post a Comment