Friday, 24 April 2015

Tulip Merah : 6

selamat membacaaaaaaaaa!
@satepadang48
.
.
.
.
.

Januari 1944

Nina’s POV

Semua jewish diharapkan berkumpul di pacuan kuda sore ini pukul 4 sore!

Semua jewish diharapkan berkumpul di pacuan kuda sore ini pukul 4 sore!


Semua jewish diharapkan berkumpul di pacuan kuda sore ini pukul 4 sore!

                Sial. Ada angin apa tiba-tiba pencarian kaum ku sampai berlangsung disini? Siang ini mendung. Senada dengan risaunya perasaanku yang tak karuan sekarang. Tentara-tentara nazi mulai memenuhi tiap tiap ruang di desa ini. Tak lupa dengan senjata api di tangan mereka.

                Suasana desa mulai kacau. Penggeledahan dan pencarian jews mulai dilaksanakan atas mandat dari sang fuhrer. Rumah-rumah dan toko-toko sudah dimasuki tentara. Beberapa orang-orang yang ku kenal dan ternyata sama sepertiku mulai ditarik paksa keluar dari rumah dan toko mereka secara kasar. Tidak pandang apakah ia laki-laki, perempuan, tua, muda, bahkan anak-anak mendapat perlakuan tidak manusiawi dari para tentara keji itu.

                Ku kayuh sepedaku lebih cepat lagi menuju rumah. Ku harap rumahku yang berada di pinggir bahkan sangat pinggir desa ini belum terjamah para tentara itu.

                 Sesampainya dirumah kulihat kak Kinal, Kak Ve dan Gracia sudah memperingatkan kakek dan nenek. Mereka ikut membantu keluargaku mempersiapkan perbekalan untuk pelarian dan persembunyian. Gracia memelukku erat seakan tak mau kehilangan.

            Atas ide dan kebaikan kak kinal, kami akan bersembunyi di sebuah pondok tua yang letaknya sangat terpencil di dalam sebuah hutan. Kami keluar dari pintu di kebun belakang kakek. Melewati kebun-kebun tak terurus yang ditumbuhi bekas-bekas ilalang layu tertutup salju tebal yang cukup tinggi untuk bersembunyi dan berkamuflase.

                Setelah berjalan sekitar 2km ke arah timur, akhirnya kami memasuki hutan yang di maksud kak kinal. Aku pernah melihat hutan ini dari bukit tempat aku dan Gracia biasa menghabiskan hari minggu. Hutan ini cukup gelap, lembab, dan dingin. Mantel dan jaket tebal yang ku kenakan seakan berhasil ditembus oleh dinginnya udara di hutan. Sekitar tiga jam berjalan menembus hutan, akhirnya kami sampai di sebuah pondok tua yang dimaksud kak Kinal.

                Pondok tua ini semuanya terbuat dari kayu yang sudah lapuk dimakan usia. Pondok ini luasnya hanya sekitar 4x6 meter dengan satu dipan di sudut ruang dekat kamar mandi. Ditengahnya terdapat satu meja makan dengan 4 kursi mengelilinginya. Dan untungnya ada perapian di pondok ini.

                Kak kinal mengetahui pondok ini saat usianya masih anak-anak. Tepatnya sebelum keluarga Kak Ve pindah ke desa ini. Waktu kecil kak kinal hanya bermain sendirian di dalam hutan tanpa sepengetahuan orang tuanya. Terlalu dalam ia menjelajah hutan, ia menemukan pondok ini. Awalnya ia takut akan pondok ini yang memang terlihat menyeramkan. Tetapi setelah ia mengetahui kalau aku seorang jewish, ia memberanikan diri untuk mendatangi pondok ini lagi dan membetulkan beberapa kerusakan ringan di pondok ini. Ia seakan memiliki firasat bahwa hari ini akan terjadi dan atas nama kemanusiaan, ia merasa berkewajiban untuk membantu keluargaku.

“terimakasih, Dokter Kinal. Kami tidak tahu harus bagaimana berterimakasih kepadamu!” kakek membungkuk berterimakasih kepada kak kinal.

“maaf kalau hanya bisa membantu seperti ini.” Kak kinal malah merendah. Sungguh berhati malaikat.

“di ujung sana ada sebuah sungai kecil. Kau bisa mengambil air disana.” Kak kinal menunjukan arah ke selatan pondok ini kepadaku. “oh iya, gunakan perapian ini hanya saat malam hari. Asap yang terlihat mengepul di siang hari bisa membuat bajingan nazi itu curiga.” Lanjutnya.

“sekali lagi, terimakasih banyak, Kak!” aku memeluk kak kinal

“kau sudah ku anggap seperti adik ku sendiri, Nina. Berhati-hati lah. Kami harus kembali agar tidak ada yang curiga.”

              Kami semua saling berpelukan. Terutama aku dan Gracia. Ia sulit sekali melepas pelukannya padaku. Air mata nya menetes di bahuku. Tangisnya mulai pecah. Aku mencoba menenangkannya dengan berkata bahwa sewaktu-waktu ia boleh datang kesini lagi menemuiku.

             Seminggu berlalu dengan cepat setelah hari itu. Hari-hari kulewati di pondok pelarian dan persembunyian ini dengan mencoba tenang ditengah besarnya perasaan was was. Gracia rutin berkunjung hampir setiap hari. Tak lupa juga ia selalu membawakan makanan dan mengulang pelajaran yang dipelajari di sekolah. Aku sangat merindukan sekolah. Namun posisiku pasti tidak aman jika berada di sekolah.

                Tetapi hari ini ia belum datang. Bahkan sampai sesore ini, gracia belum juga datang. Padahal aku selalu menunggu kehadirannya. Aku selalu melamun di dekat jendela. Melamunkan wajahnya, melamunkan senyum nya, melamunkan semua kenangan-kenangan kami. Lamunan jendela.

TOK!! TOK!!

                Suara ketukan pintu memecah kesunyian. Aku kaget. Tubuhku bergetar. Siapa yang berada di balik pintu itu? Gracia tidak pernah mengetuk pintu. Ia selalu berdiri didepan pintu menyuarakan namaku sambil menungguku membuka pintu.

“sofia?!” aku terkejut lalu menariknya masuk dan langsung menutup pintu. “Sedang apa kau disini? Mengapa kau bisa sampai kesini?!” nada ku meninggi. Nenek menghampiriku, mengingatkan agar aku menurunkan nada dan intonasi bicara ku.

“a-aku…. Aku khawatir dengan keadaanmu!” ia memelukku erat.

“maafkan aku. Aku sangat terkejut tadi. Bagaimana kau bisa sampai kesini?” aku melepas pelukannya. Takut kalau Gracia tiba-tiba datang. Nada bicara ku seperti biasa lagi.

“kemarin aku membuntuti Gracia. Aku khawatir, seminggu ini kau tidak terlihat di sekolah. Aku mengerti, Nina. Aku paham. Kenapa kau tak bilang padaku sejak dulu?” ia menangis.

“maaf. Tapi aku--- ”

“kau tidak mempercayaiku, ya? Apa aku masih semenyebalkan dulu?” Sofia memotong kalimatku.

“tidak. Bukan itu hanya saja---”

“Ah, ada tamu rupanya!” syukurlah kakek tiba-tiba muncul. Ia menaruh beberapa kayu bakar yang baru saja ia dapat dari hutan di dekat perapian. “bukankah kau anak dari walikota rassmussen?” kakek mendekati sofia dengan senyum hangat khas keramahan nya. Sofia hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan kakek.

“begini, aku bisa bantu kalian.” Ucap sofia. Ucapan nya tidak meyakinkan.

“maaf nak sofia, bukan maksud kami menolak bantuanmu. Tetapi lebih baik kau pulang sekarang. Orang tua mu pasti khawatir.” Nenek ikut membuka suaranya. Ia memegang lembut tangan sofia lalu merapikan poni miring si anak walikota yang rambutnya di ikat satu itu.

“kalau kau memang temanku, pulanglah. Kau itu anak dari seorang walikota, sofia. Ayahmu akan mengerahkan semua ajudan nya untuk mencarimu.” Aku membuka pintu lalu berjalan keluar.

“tapi aku ingin membantu mu, Nina!” sofia mengikuti langkahku.

“jika kau benar-benar ingin membantu, pulanglah. Kau tidak ingin membahayakan keluarga ku kan?” sofia menatapku dalam, seolah tidak ingin pergi dari pondok ini. “ayo, ku antar kau pulang.”

         Akhirnya sofia menurut. Aku mengantarnya pulang. Kami berjalan berdua menembus gelapnya hutan yang semakin malam semakin dingin. Sebuah senter yang ku genggam menerangi jalan kami. Tak ada ucapan yang keluar dari bibir kami berdua. Hanya keheningan malam dan suara burung hantu yang samar-samar terdengar.

Dingin nya malam mulai menusuk tulang ku. Begitu pula sofia.  Salju yang turun ringan berjatuhan membasahi rambutnya. Wajahnya memucat. Kedua tangannya yang semula berada di dalam kantong mantel abu-abu yang ia kenakan, sekarang ia gunakan untuk beradu gesek agar suhu tubuhnya meningkat. *sofia ngode? Dih dasar perempuan ular. Wkwk XD*

Aku mulai khawatir. Ia pasti sangat kedinginan. Sudah hampir sampai ujung hutan dan Sekitar 100 meter di depan sudah sampai di jalanan yang cukup besar. Tangan kiri ku menggenggam tangan kanan nya. Ia menghentikan langkahnya. Aku mengambil posisi agar berhadapan dengannya. Ku rekatkan syal biru muda yang ia kenakan. Ia tersenyum melihatku. Setelah itu aku mencopot pom beanie yang ku kenakan, lalu memasangkan nya dikepala sofia. Tak lupa sebelumnya aku mengusap dan membersihkan butiran-butiran salju dari rambutnya. Kami melanjutkan perjalanan lagi.

“terimakasih, Nina. Maaf sudah hampir membahayakan kamu dan keluargamu.” Sofia mengucapkan terimakasih saat kami sampai di ujung hutan.

“ah, tak apa, sofia. Maaf hanya bisa mengantarmu sampai disini. Aku senang bisa berteman denganmu. Lagipula, Pondok itu sangat terpencil. Membosankan jika malam begini. Mengantarmu pulang cukup menghiburku. Hehehe.” Aku menarik kedua sudut bibirku berlawanan arah. Bukan, bukan merayu. Hanya ramah saja.

“ini. Ku kembalikan milikmu.” Sofia melepas beanie yang ku pakaikan di kepala nya tadi.

“kau pakai saja. Perjalanan mu masih lumayan panjang. Cepatlah pulang, sebelum kau membahayakan ku. Feeling ku mengatakan bahwa Ayahmu sekarang pasti sedang mengkhawatirkanmu sambil melinting kumisnya yang klimis itu. hehehe” aku memakaikan lagi beanie itu di kepala nya lalu merapikan poni nya sambil tertawa cengengesan.

“hahaha. kau akan ku laporkan kepada ayahku sesampainya dirumah. Habislah kau, hamelwosfh! Hahaha.” Tawa renyah keluar dari bibir tipisnya. Seperti Gracia, Matanya semakin menyipit nyaris hanya segaris saat ia tertawa.

“hahahaha dasar kau Rassmussen!” ucapku ikut tertawa renyah. Aku tahu sofia tidak akan melaporkan hal itu.

“akan ku kembalikan secepatnya. See ya, Hamelwosfh!”

                Sofia berjalan agak cepat keluar dari hutan ini. Mungkin dia takut, atau ingin cepat sampai rumah. Yang jelas, aku terus memandangi punggungnya hingga ia berbelok di tepi jalanan menuju arah rumahnya. Sofia sudah berubah sekarang. Ia bukan sofia yang menyebalkan seperti dulu. Jarang sekali ia membuli murid-murid di sekolah. Ya, aku tak tahu selama satu minggu terakhir bagaimana sikapnya mengingat aku tidak masuk sekolah. Setelah kejadian hampir dibunuhnya sofia oleh Gracia juga ia jadi tidak pernah menganggu atau sekedar melontarkan ejekan halus ke Gracia. Mungkin kapok kali ya, takut Gracia kelepasan mengendalikan revolver nya. hehe.

                Sofia juga menjadi sangat manis sekarang. Bukan, bukan wajahnya. Oke, aku akui dia juga cantik. Tapi di mataku hanya Gre yang tercantik. Manis yang ku maksud adalah sikapnya kepadaku. Ia jadi perhatian. Beda lah sama sebelum-sebelumnya. Tapi tetap my Gre yang mengunci hatiku. Tidak ada yang dapat menggantikan posisi Gracia di hatiku. Tidak akan pernah.

                Aku kembali menembus gelap dan dingin nya hutan. Teringat akan Gracia. Sungguh, aku sangat merindukan nya. Senyumnya yang menenangkan hati, wajahnya yang lebih dari sekedar indah, dan matanya yang menghipnotis raga. Memang baru hari ini ia tidak mengunjungiku. Aku khawatir kalau alasannya tidak mengunjungiku karena sakit. Tapi semoga saja ia hanya sibuk hari ini. Bukannya berlebihan, tapi semenjak pencarian kaum ku sampai di kota ini, aku jadi takut kehilangan Gracia. Aku merasa jauh sekarang. Aku merasa sulit untuk menggapainya. Aku merasa tidak bisa selamanya bersama Gracia. Aku merasa lepas dari genggaman Gracia.

***

“Airnya dingin! Brrrrrr!” hahaha. Gracia lucu sekali. Ia membasuh wajahnya dengan air dari aliran sungai kecil di hutan ini.

             Aku hanya bisa tersenyum menahan tawa melihatnya. Haaaaah senangnyaaaa hari ini Gracia datang mengunjungi aku. Ia datang pagi-pagi sekali bersama Kak Ve dan Kak Kinal membawa bahan makanan untuk persediaan seminggu kedepan. Sungguh baiknya mereka. Tapi setelah itu Kak Ve dan Kak Kinal langsung kembali ke kota dengan alasan kesibukan di Rumah Sakit. Kecuali Gracia, hari ini ia milikku. Aku akan dengan senang hati seharian penuh bersamanya.

                Gracia bilang alasan kemarin ia tidak datang adalah karena toko milik paman sedang ramai-ramai nya. Antara percaya dan tidak percaya, sih. Wajah pucatnya tidak bisa membohongiku. Mungkin dia kemarin demam. Tapi, aku tidak ingin debat dengannya. Selama ia merasa baik-baik saja itu sudah cukup membantu meringankan perasaan khawatir ku. []

Gracia’s POV

“kenapa senyum-senyum menahan tawa seperti itu?!” apacoba nina senyum-senyum tak jelas seperti itu. Ada yang salah ya dari tingkah ku?

“hahahaha…. Kamu bodoh. Tapi lucu. Aku suka.” Ucap Nina dengan santainya.

WHAAATTTT?!!! Bodoh? Perasaan tidak, deh. Tapi 2 kata terakhir di ujung kalimat yang ia ucapkan membuatku blushing. Haha ‘aku suka.’, aku juga suka. Aku menunduk merendam tanganku ke aliran sungai untuk menyembunyikan pipi merah ku karena ucapannya. Padahal airnya dingin. Dasar Nina, paling bisa membuatku mati gaya seperti ini.

“apa? Aku bodoh?!” setelah pipi ini kembali ke warna semula, aku berbalik menanya.

“hahahaha memang benar kan? Kamu tau kalau suhu di hutan ini minus 4 derajat tapi masih nekat memasukkan tangan ke aliran sungai. Bodoh dan konyol.” Aku hanya mengerutkan dahi dan menarik sudut kanan bibirku.

                Kami berjalan-jalan menyusuri hutan yang cukup cerah pagi ini. Mendengarkan impian dan cita-cita gila nina. Iya, gila. Ia ingin menciptakan alat-alat yang menurutku tidak begitu penting. Hanya satu cita-cita gila nya yang agak sedikit penting. Ia ingin membuat pena berteknologi canggih yang bisa menyalin tulisan ke kertas lain. Cara kerja nya mudah, ia bilang hanya dengan menekan salah satu tombol lalu scan tulisannya setelah itu tekan tombol lainnya untuk menyalin nya di kertas lain. Dan, walla tertuangkanlah tulisan seseorang di kertas lain. Sedikit gila, tapi kalau Nina bisa membuatnya, aku ingin memiliki pena itu. Pasti akan sangat berguna untuk umat manusia di dunia. Tapi selain itu, calon penemuan Nina ini bisa digunakan dengan tidak bijak oleh orang jahat. Seperti memalsukan tanda tangan, misalnya.

“bagaimana denganmu? apa cita-cita dan impian gila mu?” Tanya Nina. Oke, aku belum tahu untuk apa aku hidup.

“entah. Menikah dengan seorang dictator mungkin. Hehe.” Aku asal menjawab. Kan sebelumnya aku pernah bilang, aku hidup tanpa ambisi. Sampai seorang Nina yang menjadi ambisi ku.

                Tawa ku terdengar garing, bukan renyah. Suasana menjadi hening seketika. Hanya kicauan burung yang samar-sama terdengar dari kejauhan. Nina menatap kearahku. Mata kami bertemu, tapi ekspresi wajahnya flat. That’s awkward moment. Again.

“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!” Nina tertawa lepas. Sangat lepas. Ia sampai memegang perutnya karena mungkin sakit akibat tertawa dengan cukup lama.

“apa?!” Aku jadi kzl. Wajahku menantang dengan intonasi yang meninggi.

“kalau begitu aku akan belajar menjadi seorang dictator sekarang.” Tawa nya terhenti seketika. Ekspresinya berubah menjadi serius. Ia mengambil sebuah ranting yang tergeletak bebas lalu tangannya bergerak menuliskan sesuatu di atas salju.

I Love You, Gre.

Begitulah yang ia tulis. Sial. Aku blushing lagi. Aku hanya tersenyum geli. Ia malah nyengir lucu. Yasudah, ku toyor saja kepalanya dengan pelan. Kami melanjutkan ke sisi timur hutan. Ada jalan setapak yang tertutup sedikit salju tipis disini. Kami berjalan mengikuti arah jalan itu. Jalan ini lebarnya sekitar satu setengah meter. Ada jejak ban sepeda motor yang cukup besar di tengahnya. Mungkin sepeda motor prajurit jerman.

TINNN!!! TINNN!!!

                Bunyi klakson mengagetkan kami. Suara bising dari knalpot sebuah sepeda motor berderu mengiringinya. Aku dan Nina berusaha bertingkah biasa saja. Setenang mungkin. Padahal jantung ku berdegup kencang. Sepeda motor itu semakin mendekat dan berhenti di samping nina yang posisinya lebih dekat ke jalan.

“hei, sedang apa kalian disini?!”

                Suara berat dari seorang pengendara motor itu beradu dengan suara bising mesin motornya yang belum ia matikan. Dilihat dari penampilan nya, ia adalah prajurit bersenjata Nazi. Tubuhnya tinggi tegap ideal, tidak kurus dan tidak gemuk. Kulitnya putih dan ada bercak-bercak merah. Hidungnya besar, begitu pun dengan lubang hidungnya. Matanya yang bulat menatap tajam kearah kami. Rambutnya pirang, terlihat dari alis dan sedikit rambut yang tampak walaupun ia mengenakan helm. Ia mengenakan seragam Heer (angkatan darat Nazi) dengan armband swastika khas nazi di lengan nya. Di pinggang nya tergantung sebuah Holster Mauser dengan Unit Spring.

                Pandangannya bergeser, ia menatap tajam Nina seperti menganalisa. Dari ujung kepala, sampai ujung kaki tak luput dari pandangannya. Tatapan nya berhenti di bagian mata dan alis Nina. Seketika Nina menggenggam erat tanganku.

“kami hanya bermain, lalu…… mungkin sekarang tersesat.” Ucap Nina dengan santainya.

“ke sana. Kalian akan menemui jalan besar. Pulang dan makanlah sup di depan perapian lalu istirahat yang cukup, anak kecil. hutan ini berhantu. Hahahahah!”

Tawa khas seorang prajurit yang berusia sekitar 30an tahun nya menggema bersamaan dengan lajunya sepeda motor Bianchi buatan Italia versi 500cc yang berlalu meninggalkan kami. kok aku tahu? Jelas. Memiliki pacar seorang Nina seperti memiliki ensiklopedia berjalan. Ia tahu segala hal.

Genggaman nya melemah. Nina mengatur nafasnya. Buliran keringat mengalir dari pelipisnya. Padahal disini dingin. Aku memegang nadi di pergelangan tangannya dengan telunjuk ku. Denyut nadi nya cepat. Ada yang salah dengannya?

“kenapa, Nina?” tanyaku.

“prajurit itu hampir mengenaliku jika saja aku tidak membuat wajahku seakan terlihat sedang flu.” Ah, iya. Aku baru sadar, hidung nina memerah. Mata nya juga berair.

“bagaimana caranya? Kau tidak mengenakan emblem jude di mantel mu.” Tanyaku. Lagi.

“begini, jews awalnya hanya ada beberapa perempuan yang menyebar ke seluruh benua di dunia. Dan 4 orang perempuan berada di eropa. Aku adalah salah satu keturunan mereka. Walaupun marga kami berubah, namun seorang jew bisa mengenali dari gen atau keturunan mana jew lainnya. Jews hungaria dan indo-cina berbeda. Semua bisa dibedakan. Namun itu hanya jika diperhatikan secara detail. Misalnya dari bentuk mata, alis, hidung, dan lainnya. Jika tidak, kami terlihat sama seperti orang eropa lainnya.” Aku memperhatikan dengan seksama.

“prajurit tadi bukan seorang yang berasal dari kaum ku. Namun ia dibekali pengetahuan tentang ciri-ciri fisik kaum ku yang berada di eropa. Ia memperhatikan hampir dengan detail wajahku. Lalu ku buat seakan aku sedang flu. Hidung merah akan membuat ukuran hidung akan membesar dan lubangnya akan melebar. Mata berair akan terlihat sembab dan mataku jadi agak sedikit sipit.” Lanjutnya.

“pantas saja ia menyuruhmu makan sup di depan perapian. Lalu bagaimana kau bisa menangis dengan cepat?” ucapku yang masih sangat penasaran dan terpukau dengan kepintaran Nina.

“ apa aku terlihat menangis? Haha. Mudah saja, dengan membayangkan jika aku tidak bisa bersama mu lagi.” jawabnya santai.

                Ucapannya membuatku khawatir. Ah, tidak. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku bila tanpa Nina. Aku rapuh tanpanya. Rasanya mendengar kalimat itu membuatku ingin menjatuhkan air mata. Tapi masih dapat ku bendung. Aku tak ingin Nina semakin sedih. Cukup masalah pencarian kaum nya saja yang membuat ia khawatir. Cukup rumor tentang kamp-kamp konsentrasi saja yang membuatnya takut. Aku tak ingin menambah beban pikiran nya. Lagipula, tujuanku kesini adalah untuk bersenang-senang dengannya.

“Gre,” suara Nina memecah keheningan.

“ya?”

“bagaimana jika aku tidak bisa menjadi dictator untukmu?” ia berucap. Aku tak tahu harus menjawab apa.

“bagaimana jika aku tertangkap? Aku tidak mau berada di kamp konsentrasi, Gre.” Nada bicaranya melemah. Suaranya lirih. Nina, tolong jangan bahas ini.

“apa yang kau bicarakan? Kau pasti lolos. Mereka tidak akan menemukanmu. Kau tidak akan pernah berada ataupun mendekati kamp konsentrasi, Nina.”

Air mata ku jatuh. Begitupun Nina. Kami berpelukan menangis bersama. Menumpahkan resah gelisah, menuangkan kesakitan batin, meluapkan sesaknya jutaan kekhawatiran akan kehilangan. Sungguh, aku tak mau kehilangan Nina.

“by the way, berarti nama belakangmu yang sebenarnya apa?” tanyaku masih dalam pelukan. Ya, supaya sedihnya berkurang.

“Perkenalkan, Aku Nina Alverna Hamids.” Ia melepas pelukan kami, lalu memberikan tangannya mengajak bersalaman seperti saat orang mengajak berkenalan.

“halo, Nona Hamids. Aku Shania Gracia Roosevelt.” Aku menyambar tangannya. Bersalaman. “oh iya, Apa artinya nama tengah mu?”

“Alverna artinya teman yang bijak.” Ia tersenyum tulus.

“kau bahkan tidak bijak sama sekali, Nina. Kau sahabat sekaligus pacar yang pintar, menyebalkan, jahil, tapi ngangenin.” Ucapku sambil tertawa.

                Kami tertawa bersama, bermain bersama sampai lupa waktu layaknya dua anak remaja perempuan yang bersahabat. Namun persahabatan kami dibubuhi oleh serbuk-serbuk cinta. Oh, tidak. Bukan serbuk, mungkin sudah seperti bongkahan intan yang sangat sulit dipecahkan. Berharap akan abadi bersama.

                Di perjalanan mengantarku pulang, ia berhenti sebentar di depan sebuah pohon besar. ia merogoh saku di dalam mantel nya lalu mengeluarkan sebuah pisau lipat. Lalu mengarahkannya kepadaku.

“tulislah sesuatu di pohon ini. Goreslah batang pohon besar ini.” Ucapnya. Aku masih diam mematung memperhatikannya yang bersandar di batang pohon besar itu. “pohon ini bisa berusia sampai ratusan tahun. Aku ingin hubungan kita bisa selama usia pohon ini.” Senyumnya…… ah =]

                Aku membalas senyumnya. Ku ambil pisau lipat itu, lalu menusuk perut Nina biar dia mati. Eh, enggak. Aku mendekati sisi lain pohon ini. Lalu mulai menggoreskan beberapa huruf disana.

“apa yang kau tulis?” Tanya nya.

“jangan mengintip. Belum selesai.” Ucapku sambil terus menggores batang pohon ini.

“dasar, pacar calon dictator. Haha.” Ia masih bersandar di sisi lain pohon ini.

“selesai.” Aku mundur selangkah. Nina mendekatiku. Berdiri di samping ku.

“Gremids?” ia menaikan sebelah alisnya.

“itu akronim dari nama kita berdua. Gre-sya dan Hamids.”

“namamu bukannya Gra-ci-a? Gresya kan panggilan kesayangan aku ke kamu.” Duh duh, Nina……

“ih apasih.” Aku senyum senyum blushing.


                Tak terasa sudah sampai di tepi hutan. Cukup sampai disini Nina mengantarku pulang. Sebenarnya aku ingin lebih lama bersamanya. Ingin juga diantarnya sampai depan rumah seperti waktu dulu. Tapi keadaan saat ini tidak memungkinkan. Ia harus tetap bersembunyi di balik gelapnya hutan. Yang terpenting adalah ia tidak boleh tertangkap. Ia harus tetap hidup. Agar aku juga hidup.

TBC~

.
.
.
.
.
.

helawwwww..... gimana? maap ye kalo part ini begini (?) maap juga kalo post nya lama. soalnya stuck ide nih hahahah XD
kritik saran nya boleh looohhh!
- @satepadang48 -

No comments:

Post a Comment