selamat membacaaaaaaaaa!
@satepadang48
.
.
.
.
.
Januari 1944
Nina’s POV
Semua jewish diharapkan berkumpul di pacuan kuda sore ini pukul 4 sore!
Semua jewish diharapkan berkumpul di pacuan kuda sore ini pukul 4 sore!
Semua jewish diharapkan berkumpul di pacuan kuda sore ini pukul 4 sore!
Sial.
Ada angin apa tiba-tiba pencarian kaum ku sampai berlangsung disini? Siang ini
mendung. Senada dengan risaunya perasaanku yang tak karuan sekarang.
Tentara-tentara nazi mulai memenuhi tiap tiap ruang di desa ini. Tak lupa
dengan senjata api di tangan mereka.
Suasana
desa mulai kacau. Penggeledahan dan pencarian jews mulai dilaksanakan atas mandat dari sang fuhrer. Rumah-rumah
dan toko-toko sudah dimasuki tentara. Beberapa orang-orang yang ku kenal dan
ternyata sama sepertiku mulai ditarik paksa keluar dari rumah dan toko mereka
secara kasar. Tidak pandang apakah ia laki-laki, perempuan, tua, muda, bahkan
anak-anak mendapat perlakuan tidak manusiawi dari para tentara keji itu.
Ku
kayuh sepedaku lebih cepat lagi menuju rumah. Ku harap rumahku yang berada di
pinggir bahkan sangat pinggir desa ini belum terjamah para tentara itu.
Sesampainya
dirumah kulihat kak Kinal, Kak Ve dan Gracia sudah memperingatkan kakek dan
nenek. Mereka ikut membantu keluargaku mempersiapkan perbekalan untuk pelarian
dan persembunyian. Gracia memelukku erat seakan tak mau kehilangan.
Atas
ide dan kebaikan kak kinal, kami akan bersembunyi di sebuah pondok tua yang
letaknya sangat terpencil di dalam sebuah hutan. Kami keluar dari pintu di
kebun belakang kakek. Melewati kebun-kebun tak terurus yang ditumbuhi
bekas-bekas ilalang layu tertutup salju tebal yang cukup tinggi untuk
bersembunyi dan berkamuflase.
Setelah
berjalan sekitar 2km ke arah timur, akhirnya kami memasuki hutan yang di maksud
kak kinal. Aku pernah melihat hutan ini dari bukit tempat aku dan Gracia biasa
menghabiskan hari minggu. Hutan ini cukup gelap, lembab, dan dingin. Mantel dan
jaket tebal yang ku kenakan seakan berhasil ditembus oleh dinginnya udara di
hutan. Sekitar tiga jam berjalan menembus hutan, akhirnya kami sampai di sebuah
pondok tua yang dimaksud kak Kinal.
Pondok
tua ini semuanya terbuat dari kayu yang sudah lapuk dimakan usia. Pondok ini
luasnya hanya sekitar 4x6 meter dengan satu dipan di sudut ruang dekat kamar
mandi. Ditengahnya terdapat satu meja makan dengan 4 kursi mengelilinginya. Dan
untungnya ada perapian di pondok ini.
Kak
kinal mengetahui pondok ini saat usianya masih anak-anak. Tepatnya sebelum
keluarga Kak Ve pindah ke desa ini. Waktu kecil kak kinal hanya bermain
sendirian di dalam hutan tanpa sepengetahuan orang tuanya. Terlalu dalam ia
menjelajah hutan, ia menemukan pondok ini. Awalnya ia takut akan pondok ini
yang memang terlihat menyeramkan. Tetapi setelah ia mengetahui kalau aku
seorang jewish, ia memberanikan diri untuk mendatangi pondok ini lagi dan
membetulkan beberapa kerusakan ringan di pondok ini. Ia seakan memiliki firasat
bahwa hari ini akan terjadi dan atas nama kemanusiaan, ia merasa berkewajiban
untuk membantu keluargaku.
“terimakasih, Dokter Kinal. Kami
tidak tahu harus bagaimana berterimakasih kepadamu!” kakek membungkuk
berterimakasih kepada kak kinal.
“maaf kalau hanya bisa membantu
seperti ini.” Kak kinal malah merendah. Sungguh berhati malaikat.
“di ujung sana ada sebuah sungai
kecil. Kau bisa mengambil air disana.” Kak kinal menunjukan arah ke selatan
pondok ini kepadaku. “oh iya, gunakan perapian ini hanya saat malam hari. Asap
yang terlihat mengepul di siang hari bisa membuat bajingan nazi itu curiga.”
Lanjutnya.
“sekali lagi, terimakasih banyak,
Kak!” aku memeluk kak kinal
“kau sudah ku anggap seperti adik
ku sendiri, Nina. Berhati-hati lah. Kami harus kembali agar tidak ada yang
curiga.”
Kami
semua saling berpelukan. Terutama aku dan Gracia. Ia sulit sekali melepas
pelukannya padaku. Air mata nya menetes di bahuku. Tangisnya mulai pecah. Aku
mencoba menenangkannya dengan berkata bahwa sewaktu-waktu ia boleh datang kesini
lagi menemuiku.
Seminggu
berlalu dengan cepat setelah hari itu. Hari-hari kulewati di pondok pelarian
dan persembunyian ini dengan mencoba tenang ditengah besarnya perasaan was was.
Gracia rutin berkunjung hampir setiap hari. Tak lupa juga ia selalu membawakan
makanan dan mengulang pelajaran yang dipelajari di sekolah. Aku sangat
merindukan sekolah. Namun posisiku pasti tidak aman jika berada di sekolah.
Tetapi
hari ini ia belum datang. Bahkan sampai sesore ini, gracia belum juga datang.
Padahal aku selalu menunggu kehadirannya. Aku selalu melamun di dekat jendela.
Melamunkan wajahnya, melamunkan senyum nya, melamunkan semua kenangan-kenangan
kami. Lamunan jendela.
TOK!! TOK!!
Suara
ketukan pintu memecah kesunyian. Aku kaget. Tubuhku bergetar. Siapa yang berada
di balik pintu itu? Gracia tidak pernah mengetuk pintu. Ia selalu berdiri
didepan pintu menyuarakan namaku sambil menungguku membuka pintu.
“sofia?!” aku terkejut lalu
menariknya masuk dan langsung menutup pintu. “Sedang apa kau disini? Mengapa
kau bisa sampai kesini?!” nada ku meninggi. Nenek menghampiriku, mengingatkan
agar aku menurunkan nada dan intonasi bicara ku.
“a-aku…. Aku khawatir dengan
keadaanmu!” ia memelukku erat.
“maafkan aku. Aku sangat terkejut
tadi. Bagaimana kau bisa sampai kesini?” aku melepas pelukannya. Takut kalau
Gracia tiba-tiba datang. Nada bicara ku seperti biasa lagi.
“kemarin aku membuntuti Gracia.
Aku khawatir, seminggu ini kau tidak terlihat di sekolah. Aku mengerti, Nina.
Aku paham. Kenapa kau tak bilang padaku sejak dulu?” ia menangis.
“maaf. Tapi aku--- ”
“kau tidak mempercayaiku, ya? Apa
aku masih semenyebalkan dulu?” Sofia memotong kalimatku.
“tidak. Bukan itu hanya saja---”
“Ah, ada tamu rupanya!” syukurlah
kakek tiba-tiba muncul. Ia menaruh beberapa kayu bakar yang baru saja ia dapat
dari hutan di dekat perapian. “bukankah kau anak dari walikota rassmussen?”
kakek mendekati sofia dengan senyum hangat khas keramahan nya. Sofia hanya
mengangguk mengiyakan pertanyaan kakek.
“begini, aku bisa bantu kalian.” Ucap
sofia. Ucapan nya tidak meyakinkan.
“maaf nak sofia, bukan maksud
kami menolak bantuanmu. Tetapi lebih baik kau pulang sekarang. Orang tua mu
pasti khawatir.” Nenek ikut membuka suaranya. Ia memegang lembut tangan sofia
lalu merapikan poni miring si anak walikota yang rambutnya di ikat satu itu.
“kalau kau memang temanku,
pulanglah. Kau itu anak dari seorang walikota, sofia. Ayahmu akan mengerahkan
semua ajudan nya untuk mencarimu.” Aku membuka pintu lalu berjalan keluar.
“tapi aku ingin membantu mu,
Nina!” sofia mengikuti langkahku.
“jika kau benar-benar ingin
membantu, pulanglah. Kau tidak ingin membahayakan keluarga ku kan?” sofia
menatapku dalam, seolah tidak ingin pergi dari pondok ini. “ayo, ku antar kau
pulang.”
Akhirnya
sofia menurut. Aku mengantarnya pulang. Kami berjalan berdua menembus gelapnya
hutan yang semakin malam semakin dingin. Sebuah senter yang ku genggam
menerangi jalan kami. Tak ada ucapan yang keluar dari bibir kami berdua. Hanya
keheningan malam dan suara burung hantu yang samar-samar terdengar.
Dingin nya
malam mulai menusuk tulang ku. Begitu pula sofia. Salju yang turun ringan berjatuhan membasahi
rambutnya. Wajahnya memucat. Kedua tangannya yang semula berada di dalam
kantong mantel abu-abu yang ia kenakan, sekarang ia gunakan untuk beradu gesek
agar suhu tubuhnya meningkat. *sofia
ngode? Dih dasar perempuan ular. Wkwk XD*
Aku mulai
khawatir. Ia pasti sangat kedinginan. Sudah hampir sampai ujung hutan dan
Sekitar 100 meter di depan sudah sampai di jalanan yang cukup besar. Tangan
kiri ku menggenggam tangan kanan nya. Ia menghentikan langkahnya. Aku mengambil
posisi agar berhadapan dengannya. Ku rekatkan syal biru muda yang ia kenakan.
Ia tersenyum melihatku. Setelah itu aku mencopot pom beanie yang ku kenakan, lalu
memasangkan nya dikepala sofia. Tak lupa sebelumnya aku mengusap dan
membersihkan butiran-butiran salju dari rambutnya. Kami melanjutkan perjalanan
lagi.
“terimakasih, Nina. Maaf sudah
hampir membahayakan kamu dan keluargamu.” Sofia mengucapkan terimakasih saat
kami sampai di ujung hutan.
“ah, tak apa, sofia. Maaf hanya
bisa mengantarmu sampai disini. Aku senang bisa berteman denganmu. Lagipula,
Pondok itu sangat terpencil. Membosankan jika malam begini. Mengantarmu pulang
cukup menghiburku. Hehehe.” Aku menarik kedua sudut bibirku berlawanan arah.
Bukan, bukan merayu. Hanya ramah saja.
“ini. Ku kembalikan milikmu.”
Sofia melepas beanie yang ku pakaikan di kepala nya tadi.
“kau pakai saja. Perjalanan mu
masih lumayan panjang. Cepatlah pulang, sebelum kau membahayakan ku. Feeling ku
mengatakan bahwa Ayahmu sekarang pasti sedang mengkhawatirkanmu sambil
melinting kumisnya yang klimis itu. hehehe” aku memakaikan lagi beanie itu di
kepala nya lalu merapikan poni nya sambil tertawa cengengesan.
“hahaha. kau akan ku laporkan
kepada ayahku sesampainya dirumah. Habislah kau, hamelwosfh! Hahaha.” Tawa
renyah keluar dari bibir tipisnya. Seperti Gracia, Matanya semakin menyipit
nyaris hanya segaris saat ia tertawa.
“hahahaha dasar kau Rassmussen!”
ucapku ikut tertawa renyah. Aku tahu sofia tidak akan melaporkan hal itu.
“akan ku kembalikan secepatnya.
See ya, Hamelwosfh!”
Sofia
berjalan agak cepat keluar dari hutan ini. Mungkin dia takut, atau ingin cepat
sampai rumah. Yang jelas, aku terus memandangi punggungnya hingga ia berbelok
di tepi jalanan menuju arah rumahnya. Sofia sudah berubah sekarang. Ia bukan
sofia yang menyebalkan seperti dulu. Jarang sekali ia membuli murid-murid di
sekolah. Ya, aku tak tahu selama satu minggu terakhir bagaimana sikapnya mengingat
aku tidak masuk sekolah. Setelah kejadian hampir dibunuhnya sofia oleh Gracia
juga ia jadi tidak pernah menganggu atau sekedar melontarkan ejekan halus ke
Gracia. Mungkin kapok kali ya, takut Gracia kelepasan mengendalikan revolver
nya. hehe.
Sofia
juga menjadi sangat manis sekarang. Bukan, bukan wajahnya. Oke, aku akui dia
juga cantik. Tapi di mataku hanya Gre yang tercantik. Manis yang ku maksud
adalah sikapnya kepadaku. Ia jadi perhatian. Beda lah sama sebelum-sebelumnya.
Tapi tetap my Gre yang mengunci
hatiku. Tidak ada yang dapat menggantikan posisi Gracia di hatiku. Tidak akan
pernah.
Aku
kembali menembus gelap dan dingin nya hutan. Teringat akan Gracia. Sungguh, aku
sangat merindukan nya. Senyumnya yang menenangkan hati, wajahnya yang lebih
dari sekedar indah, dan matanya yang menghipnotis raga. Memang baru hari ini ia
tidak mengunjungiku. Aku khawatir kalau alasannya tidak mengunjungiku karena
sakit. Tapi semoga saja ia hanya sibuk hari ini. Bukannya berlebihan, tapi
semenjak pencarian kaum ku sampai di kota ini, aku jadi takut kehilangan
Gracia. Aku merasa jauh sekarang. Aku merasa sulit untuk menggapainya. Aku
merasa tidak bisa selamanya bersama Gracia. Aku merasa lepas dari genggaman
Gracia.
***
“Airnya dingin! Brrrrrr!” hahaha.
Gracia lucu sekali. Ia membasuh wajahnya dengan air dari aliran sungai kecil di
hutan ini.
Aku
hanya bisa tersenyum menahan tawa melihatnya. Haaaaah senangnyaaaa hari ini
Gracia datang mengunjungi aku. Ia datang pagi-pagi sekali bersama Kak Ve dan
Kak Kinal membawa bahan makanan untuk persediaan seminggu kedepan. Sungguh
baiknya mereka. Tapi setelah itu Kak Ve dan Kak Kinal langsung kembali ke kota
dengan alasan kesibukan di Rumah Sakit. Kecuali Gracia, hari ini ia milikku.
Aku akan dengan senang hati seharian penuh bersamanya.
Gracia
bilang alasan kemarin ia tidak datang adalah karena toko milik paman sedang
ramai-ramai nya. Antara percaya dan tidak percaya, sih. Wajah pucatnya tidak bisa membohongiku. Mungkin dia kemarin
demam. Tapi, aku tidak ingin debat dengannya. Selama ia merasa baik-baik saja
itu sudah cukup membantu meringankan perasaan khawatir ku. []
Gracia’s POV
“kenapa senyum-senyum menahan
tawa seperti itu?!” apacoba nina senyum-senyum tak jelas seperti itu. Ada yang
salah ya dari tingkah ku?
“hahahaha…. Kamu bodoh. Tapi
lucu. Aku suka.” Ucap Nina dengan santainya.
WHAAATTTT?!!!
Bodoh? Perasaan tidak, deh. Tapi 2
kata terakhir di ujung kalimat yang ia ucapkan membuatku blushing. Haha ‘aku suka.’, aku juga suka. Aku menunduk merendam
tanganku ke aliran sungai untuk menyembunyikan pipi merah ku karena ucapannya.
Padahal airnya dingin. Dasar Nina, paling bisa membuatku mati gaya seperti ini.
“apa? Aku bodoh?!” setelah pipi
ini kembali ke warna semula, aku berbalik menanya.
“hahahaha memang benar kan? Kamu
tau kalau suhu di hutan ini minus 4 derajat tapi masih nekat memasukkan tangan
ke aliran sungai. Bodoh dan konyol.” Aku hanya mengerutkan dahi dan menarik
sudut kanan bibirku.
Kami
berjalan-jalan menyusuri hutan yang cukup cerah pagi ini. Mendengarkan impian
dan cita-cita gila nina. Iya, gila. Ia ingin menciptakan alat-alat yang
menurutku tidak begitu penting. Hanya satu cita-cita gila nya yang agak sedikit
penting. Ia ingin membuat pena berteknologi canggih yang bisa menyalin tulisan
ke kertas lain. Cara kerja nya mudah, ia bilang hanya dengan menekan salah satu
tombol lalu scan tulisannya setelah itu tekan tombol lainnya untuk menyalin nya
di kertas lain. Dan, walla
tertuangkanlah tulisan seseorang di kertas lain. Sedikit gila, tapi kalau Nina
bisa membuatnya, aku ingin memiliki pena itu. Pasti akan sangat berguna untuk
umat manusia di dunia. Tapi selain itu, calon penemuan Nina ini bisa digunakan
dengan tidak bijak oleh orang jahat. Seperti memalsukan tanda tangan, misalnya.
“bagaimana denganmu? apa
cita-cita dan impian gila mu?” Tanya Nina. Oke, aku belum tahu untuk apa aku
hidup.
“entah. Menikah dengan seorang
dictator mungkin. Hehe.” Aku asal menjawab. Kan sebelumnya aku pernah bilang,
aku hidup tanpa ambisi. Sampai seorang Nina yang menjadi ambisi ku.
Tawa
ku terdengar garing, bukan renyah. Suasana menjadi hening seketika. Hanya
kicauan burung yang samar-sama terdengar dari kejauhan. Nina menatap kearahku.
Mata kami bertemu, tapi ekspresi wajahnya flat.
That’s awkward moment. Again.
“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!” Nina
tertawa lepas. Sangat lepas. Ia sampai memegang perutnya karena mungkin sakit
akibat tertawa dengan cukup lama.
“apa?!” Aku jadi kzl. Wajahku menantang dengan intonasi
yang meninggi.
“kalau begitu aku akan belajar
menjadi seorang dictator sekarang.” Tawa nya terhenti seketika. Ekspresinya
berubah menjadi serius. Ia mengambil sebuah ranting yang tergeletak bebas lalu
tangannya bergerak menuliskan sesuatu di atas salju.
I Love You, Gre.
Begitulah yang
ia tulis. Sial. Aku blushing lagi.
Aku hanya tersenyum geli. Ia malah nyengir
lucu. Yasudah, ku toyor saja
kepalanya dengan pelan. Kami melanjutkan ke sisi timur hutan. Ada jalan setapak
yang tertutup sedikit salju tipis disini. Kami berjalan mengikuti arah jalan
itu. Jalan ini lebarnya sekitar satu setengah meter. Ada jejak ban sepeda motor
yang cukup besar di tengahnya. Mungkin sepeda motor prajurit jerman.
TINNN!!! TINNN!!!
Bunyi
klakson mengagetkan kami. Suara bising dari knalpot sebuah sepeda motor berderu
mengiringinya. Aku dan Nina berusaha bertingkah biasa saja. Setenang mungkin.
Padahal jantung ku berdegup kencang. Sepeda motor itu semakin mendekat dan
berhenti di samping nina yang posisinya lebih dekat ke jalan.
“hei, sedang apa kalian disini?!”
Suara
berat dari seorang pengendara motor itu beradu dengan suara bising mesin
motornya yang belum ia matikan. Dilihat dari penampilan nya, ia adalah prajurit
bersenjata Nazi. Tubuhnya tinggi tegap ideal, tidak kurus dan tidak gemuk.
Kulitnya putih dan ada bercak-bercak merah. Hidungnya besar, begitu pun dengan
lubang hidungnya. Matanya yang bulat menatap tajam kearah kami. Rambutnya pirang,
terlihat dari alis dan sedikit rambut yang tampak walaupun ia mengenakan helm.
Ia mengenakan seragam Heer (angkatan darat Nazi) dengan armband swastika khas
nazi di lengan nya. Di pinggang nya tergantung sebuah Holster Mauser dengan
Unit Spring.
Pandangannya
bergeser, ia menatap tajam Nina seperti menganalisa. Dari ujung kepala, sampai
ujung kaki tak luput dari pandangannya. Tatapan nya berhenti di bagian mata dan
alis Nina. Seketika Nina menggenggam erat tanganku.
“kami hanya bermain, lalu……
mungkin sekarang tersesat.” Ucap Nina dengan santainya.
“ke sana. Kalian akan menemui
jalan besar. Pulang dan makanlah sup di depan perapian lalu istirahat yang
cukup, anak kecil. hutan ini berhantu. Hahahahah!”
Tawa khas
seorang prajurit yang berusia sekitar 30an tahun nya menggema bersamaan dengan
lajunya sepeda motor Bianchi buatan Italia versi 500cc yang berlalu
meninggalkan kami. kok aku tahu? Jelas. Memiliki pacar seorang Nina seperti
memiliki ensiklopedia berjalan. Ia tahu segala hal.
Genggaman nya
melemah. Nina mengatur nafasnya. Buliran keringat mengalir dari pelipisnya.
Padahal disini dingin. Aku memegang nadi di pergelangan tangannya dengan
telunjuk ku. Denyut nadi nya cepat. Ada yang salah dengannya?
“kenapa, Nina?” tanyaku.
“prajurit itu hampir mengenaliku
jika saja aku tidak membuat wajahku seakan terlihat sedang flu.” Ah, iya. Aku
baru sadar, hidung nina memerah. Mata nya juga berair.
“bagaimana caranya? Kau tidak
mengenakan emblem jude di mantel mu.” Tanyaku. Lagi.
“begini, jews awalnya hanya ada beberapa perempuan yang menyebar ke seluruh
benua di dunia. Dan 4 orang perempuan berada di eropa. Aku adalah salah satu
keturunan mereka. Walaupun marga kami berubah, namun seorang jew bisa mengenali dari gen atau
keturunan mana jew lainnya. Jews hungaria dan indo-cina berbeda.
Semua bisa dibedakan. Namun itu hanya jika diperhatikan secara detail. Misalnya
dari bentuk mata, alis, hidung, dan lainnya. Jika tidak, kami terlihat sama
seperti orang eropa lainnya.” Aku memperhatikan dengan seksama.
“prajurit tadi bukan seorang yang
berasal dari kaum ku. Namun ia dibekali pengetahuan tentang ciri-ciri fisik
kaum ku yang berada di eropa. Ia memperhatikan hampir dengan detail wajahku. Lalu
ku buat seakan aku sedang flu. Hidung merah akan membuat ukuran hidung akan
membesar dan lubangnya akan melebar. Mata berair akan terlihat sembab dan
mataku jadi agak sedikit sipit.” Lanjutnya.
“pantas saja ia menyuruhmu makan
sup di depan perapian. Lalu bagaimana kau bisa menangis dengan cepat?” ucapku
yang masih sangat penasaran dan terpukau dengan kepintaran Nina.
“ apa aku terlihat menangis?
Haha. Mudah saja, dengan membayangkan jika aku tidak bisa bersama mu lagi.”
jawabnya santai.
Ucapannya
membuatku khawatir. Ah, tidak. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku
bila tanpa Nina. Aku rapuh tanpanya. Rasanya mendengar kalimat itu membuatku
ingin menjatuhkan air mata. Tapi masih dapat ku bendung. Aku tak ingin Nina
semakin sedih. Cukup masalah pencarian kaum nya saja yang membuat ia khawatir.
Cukup rumor tentang kamp-kamp konsentrasi saja yang membuatnya takut. Aku tak
ingin menambah beban pikiran nya. Lagipula, tujuanku kesini adalah untuk
bersenang-senang dengannya.
“Gre,” suara Nina memecah
keheningan.
“ya?”
“bagaimana jika aku tidak bisa
menjadi dictator untukmu?” ia berucap. Aku tak tahu harus menjawab apa.
“bagaimana jika aku tertangkap?
Aku tidak mau berada di kamp konsentrasi, Gre.” Nada bicaranya melemah.
Suaranya lirih. Nina, tolong jangan bahas ini.
“apa yang kau bicarakan? Kau
pasti lolos. Mereka tidak akan menemukanmu. Kau tidak akan pernah berada
ataupun mendekati kamp konsentrasi, Nina.”
Air mata ku
jatuh. Begitupun Nina. Kami berpelukan menangis bersama. Menumpahkan resah
gelisah, menuangkan kesakitan batin, meluapkan sesaknya jutaan kekhawatiran
akan kehilangan. Sungguh, aku tak mau kehilangan Nina.
“by the way, berarti nama belakangmu
yang sebenarnya apa?” tanyaku masih dalam pelukan. Ya, supaya sedihnya
berkurang.
“Perkenalkan, Aku Nina Alverna
Hamids.” Ia melepas pelukan kami, lalu memberikan tangannya mengajak bersalaman
seperti saat orang mengajak berkenalan.
“halo, Nona Hamids. Aku Shania
Gracia Roosevelt.” Aku menyambar tangannya. Bersalaman. “oh iya, Apa artinya
nama tengah mu?”
“Alverna artinya teman yang
bijak.” Ia tersenyum tulus.
“kau bahkan tidak bijak sama
sekali, Nina. Kau sahabat sekaligus pacar yang pintar, menyebalkan, jahil, tapi
ngangenin.” Ucapku sambil tertawa.
Kami
tertawa bersama, bermain bersama sampai lupa waktu layaknya dua anak remaja
perempuan yang bersahabat. Namun persahabatan kami dibubuhi oleh serbuk-serbuk
cinta. Oh, tidak. Bukan serbuk, mungkin sudah seperti bongkahan intan yang
sangat sulit dipecahkan. Berharap akan abadi bersama.
Di
perjalanan mengantarku pulang, ia berhenti sebentar di depan sebuah pohon
besar. ia merogoh saku di dalam mantel nya lalu mengeluarkan sebuah pisau
lipat. Lalu mengarahkannya kepadaku.
“tulislah sesuatu di pohon ini.
Goreslah batang pohon besar ini.” Ucapnya. Aku masih diam mematung
memperhatikannya yang bersandar di batang pohon besar itu. “pohon ini bisa
berusia sampai ratusan tahun. Aku ingin hubungan kita bisa selama usia pohon
ini.” Senyumnya…… ah =]
Aku
membalas senyumnya. Ku ambil pisau lipat itu, lalu menusuk perut Nina biar dia mati. Eh, enggak. Aku mendekati
sisi lain pohon ini. Lalu mulai menggoreskan beberapa huruf disana.
“apa yang kau tulis?” Tanya nya.
“jangan mengintip. Belum
selesai.” Ucapku sambil terus menggores batang pohon ini.
“dasar, pacar calon dictator.
Haha.” Ia masih bersandar di sisi lain pohon ini.
“selesai.” Aku mundur selangkah.
Nina mendekatiku. Berdiri di samping ku.
“Gremids?” ia menaikan sebelah
alisnya.
“itu akronim dari nama kita
berdua. Gre-sya dan Hamids.”
“namamu bukannya Gra-ci-a? Gresya kan panggilan kesayangan aku ke
kamu.” Duh duh, Nina……
“ih apasih.” Aku senyum senyum blushing.
Tak terasa sudah sampai di tepi
hutan. Cukup sampai disini Nina mengantarku pulang. Sebenarnya aku ingin lebih
lama bersamanya. Ingin juga diantarnya sampai depan rumah seperti waktu dulu.
Tapi keadaan saat ini tidak memungkinkan. Ia harus tetap bersembunyi di balik
gelapnya hutan. Yang terpenting adalah ia tidak boleh tertangkap. Ia harus
tetap hidup. Agar aku juga hidup.
TBC~
.
.
.
.
.
.
helawwwww..... gimana? maap ye kalo part ini begini (?) maap juga kalo post nya lama. soalnya stuck ide nih hahahah XD
kritik saran nya boleh looohhh!
- @satepadang48 -
No comments:
Post a Comment