Gracia’s POV
Dua
minggu setelah hari dimana Nina dan keluarganya melarikan diri, keadaan kota
kecil ini masih seperti biasa. Suasana nya, orang-orangnya, dan aktivitasnya
pun masih sama. Hari itu tidak seburuk yang kalian pikirkan. Hari dimana
seluruh Jews dikumpulkan di lapangan
berkuda, sebenarnya hanya untuk pendataan. Memang, ada sedikit tindakan di luar
kemanusiaan yang membuatku tak habis pikir jika tujuannya hanya untuk
pendataan. Namun, orang-orang yang di perlakukan kasar itu karena mereka
melawan dan mencoba kabur. Sementara kaum jews
lainnya yang menuruti perintah hanya sedikit diberitahu dengan intonasi tinggi
ala prajurit nazi untuk berkumpul di lapangan berkuda.
Satu-satunya
perbedaan yang terlihat mencolok di kota kecil ini adalah emblem kuning
berbentuk 2 segitiga menyatu namun saling berlawanan arah menjadi bentuk dengan
6 sudut lancip. Di tengah emblem terdapat susunan huruf yang bertuliskan ‘jude’.
Emblem itu menempel dan terjahit rapi di pakaian-pakaian yang orang jews kenakan. Menurutku, emblem itu
sangat mengganggu. Emblem itu menunjukan diskriminasi terhadap kaum jews, kaum Nina.
Sekolah
juga masih sama. Tidak ada yang tiba-tiba menghilang seperti Nina. Semuanya
lengkap, tentunya ada perbedaan di pakaian murid-murid disini. Hampir
seperempat dari murid di sekolah ini mengenakan emblem bertuliskan ‘jude’ itu.
Tak terkecuali Mr. Lehmann dan Mrs. Wisemann, dua guru di sekolah ini.
“hey, Gracia. Kau tahu dimana
Nina? Hampir dua minggu ini ia tak terlihat di sekolah.”
Seseorang
membuyarkan lamunanku. Sejak Nina melarikan diri, aku kembali menjadi diriku
yang selalu menyendiri. Kursi di sebelahku selalu kosong, tak ada yang
menempati. Aku tidak fokus dalam pelajaran apapun. Hanya mencatat apa saja yang
guru tuliskan di papan tulis. Itu juga sebenarnya bukan untuk kepentinganku,
tetapi untuk Nina pelajari saat aku mengunjungi nya.
Seorang
gadis dengan perawakan tinggi dan kurus tiba-tiba menempati kursi milik Nina.
Tingginya mungkin sama dengan Nina. Wajahnya polos dan menenangkan. Ia
mengenakan dress panjang se-lutut
berwarna merah muda yang terlihat pudar dan jaket hitam dengan emblem
bertuliskan ‘jude’ di sisi dada kirinya. Rambut pirangnya dikepang dua, belahan
rambutnya terlihat seperti jalanan kutu. Tapi cantik.
“aku tak tahu.” Jawabku singkat
pada gadis itu.
“kau tahu aku kan? Oktavia Krysha
Zygler.” Ia menurunkan tas jinjing nya yang tadi ia taruh di meja milik Nina.
Ia mendekatkan wajahnya, menatapku dalam tatapan tanya.
“aku memang ansos, tapi aku bisa
mengingat hampir semua anak disini.” Aku sedikit memundurkan kepalaku, membuat
jarak. Tatapanku lalu beralih ke emblem jude di jaketnya.
“kau baru menyadari ini? Ini
diskriminasi. Jerman menganggap Ras Arya adalah yang paling tinggi
kedudukannya, jadi dibuatlah emblem ini untuk memisahkan kami.” Ia menyadari ke
arah mana mataku memandang lalu tersenyum simpul.
“maaf. A-aku tidak bermaksud
seperti itu, hanya saja----”
“hanya saja kau merindukan Nina,
kan?” hey, aku tidak begitu mengenalmu. Tidak sopan memotong perkataan orang
lain. Aku belum menanggapinya. Aku hanya menatapnya lekat.
“dimana dia? Apa dia sama
sepertiku? Iya, kan?” ia mengecilkan volume suaranya, berbisik pelan seakan ini
adalah sebuah rahasia.
“jangan sok tahu.” Jawabku datar
lalu menatap keluar jendela.
“aku tahu, Gracia. Aku tahu sejak
pertama kali ia masuk ke kelas ini. Tenang saja, aku tidak akan membocorkannya
kepada siapapun.” Ekspresi wajahnya sangat polos, seperti anak kecil. Aku
menatapnya tajam namun masih bungkam, seakan tidak perduli dengannya.
“aku duduk di sini, ya? Mr.
Wisemann sudah datang.” Ia mengeluarkan beberapa buku catatan dari tas nya lalu
menaruhnya di atas meja. Sebenarnya aku risih, mengingat kami hanya beberapa
kali mengobrol. Lalu tiba-tiba ia datang dengan rasa ingin tahunya tentang
Nina. Namun aku tidak bisa menolaknya, kursi ini bebas ditempati siapapun.
Mr.
Wisemann datang dengan topi bundar hitam khas seorang jew di kepalanya. Ia tidak melepaskan topi itu padahal ini sudah
berada di dalam ruangan. Entah mengapa semenjak ia memakai emblem jude itu ia
menjadi semakin menunjukan identitasnya. Wajahnya sekarang juga ditumbuhi
janggut yang cukup lebat. Selain itu, jika biasanya ia mengajar hanya
mengenakan kemeja dan celana panjang, akhir-akhir ini ia sering menggunakan
setelan jas hitam. Mungkin ini wujud kecil dari pemberontakan. Mungkin (?)
Tak
terasa bel pulang sekolah sudah berbunyi. Kegiatan belajar-mengajar hari ini
terasa singkat karena beberapa kali Okta mengajakku mengobrol. Kebetulan
guru-guru pelajaran hari ini bukan guru killer,
jadi aku tidak takut jika sedikit mengobrol di kelas.
Seperti
biasa, aku menunggu kelas sepi lalu bergegas pulang. Di lobby sekolah masih
ramai. Perbedaan terasa mencolok di sekolah ini karena beberapa murid jews di bully oleh anak-anak lain yang
bukan jews. Cemoohan dan cacian
mereka lontarkan kepada anak-anak jews
itu. Beberapa dari mereka ada yang melewan, namun lainnya hanya diam dalam
tunduk.
Okta
menghampiriku yang sudah hampir berada di depan gerbang sekolah. Ia mengajakku
pulang bersama. Ya, ku pikir tak apa. Aku juga sedang kesepian. Kami berjalan
beriringan menuju rumah masing-masing yang kebetulan hanya berbeda dua blok
dari rumahku. Selama perjalanan pulang, kami lebih banyak diam nya daripada
mengobrol. Mungkin kami masih canggung.
“emm… Okta.” Aku membuka suara,
memecahkan kesunyian diantara kami.
“ya?” ucapnya singkat.
“apa benar anak-anak jews tidak diperbolehkan melanjutkan ke
universitas?” tanyaku.
“Ya, Itu benar. Kau pasti membaca
papan pengumuman di dekat kantor walikota.” Ucap Okta.
“lalu apa yang kau lakukan nanti
setelah lulus dari SMA?” oke, rasa ingin tahuku tidak berlebihan kan?
“hmm… aku percaya jerman akan
kalah dalam perang sebelum kita lulus, lalu aku akan melanjutkan ke sekolah
hukum. Bagaimana denganmu? kau akan mengikuti jejak kakakmu, kah?” jawab Okta
dengan optimisnya. Ya, yang aku suka dari orang-orang jews adalah semangat dan sikap optimistis mereka. Walaupun berada
dalam tekanan dan diskriminasi dari ras Arya, mereka tetap semangat dan optimis
dalam menjalani hidup.
Obrolan
diantara kami cukup hangat walaupun seperti biasanya aku lebih banyak diam jika
bersama orang yang baru ku kenal. Sebenarnya sudah sejak kecil aku mengenal
Okta. Dia adalah tetanggaku. Rumah kami sejajar, hanya beda 2 rumah di sebelah
kananku. Kami kurang mengenal satu sama lain karena sifatku dan Okta yang sama
sama pendiam sejak kecil. Ia jarang keluar rumah, aku juga. Aku tahu itu karena
sewaktu aku masih SD, anak-anak disekitar rumahku biasa bermain sepakbola di
jalanan depan rumahku dan tidak ada Okta dalam lingkaran permainan mereka. Atau
mungkin karena kebanyakan dari anak-anak disekitar rumahku adalah laki-laki, ya
(?)
Kak Kinal juga
sering ikut serta walaupun ia jadi yang tertua di permainan itu. Aku sering
mengamati anak-anak yang bermain sepakbola dari jendela kamarku. Kak Kinal
kecil yang kurus dan tak terurus itu suka sekali bermain sepakbola walaupun ia
perempuan sendiri. Dan biasanya kak Ve hanya mengamati sambil menunggu didepan
rumah sampai permainan usai dengan sebotol minum untuk kak kinal dan anak-anak
lain. Sekarang anak-anak itu sudah tumbuh besar dan dikirim ke medan perang,
tidak pernah ada satupun dari mereka yang kembali. Hanya kak Ve yang sampai
sekarang terus berada disamping kak Kinal.
Tak terasa
perjalanan yang cukup panjang dari sekolah terasa singkat. Aku sudah berada di
depan pintu rumahku, lalu melambaikan tangan ke Okta yang melanjutkan perjalanan
menuju rumahnya. Okta tergolong anak yang pintar di sekolah. Ia juga sering
sekali mendapat peringkat kelas ataupun parallel di sekolah. Selain itu menurut
kacamataku, okta juga anak yang baik. Ia tidak pernah membuat onar ataupun
terlibat masalah di sekolah. Beda dengan….. ya kalian taulah siapa. Si itu. Si
anak walikota.
***
Keesokan
harinya setelah pulang sekolah, aku mengunjungi Nina lagi. Kebetulan toko milik
paman hari ini tutup karena satu dan lain hal *kayak JOT aje*. Aku membawakan buah-buahan dan beberapa buku yang
baru diberikan dari sekolah.
Cukup lama
berjalan di antara salju yang mulai menipis, Rumah tua ditengah hutan itu mulai
terlihat. Rumah tua yang Nina dan kakek serta neneknya tinggali tidak terlihat berpenghuni.
Aku mempercepat langkahku takut-takut kalau ternyata Nina dan keluarganya tidak
ada di rumah.
“Ninaaaa! Kau ada di dalam?”
tidak ada tanggapan dari dalam. Aku mulai panik. Pikiran negative dan paranoid
ku mulai meracuni logika, hal terburuk yang aku takutkan adalah bahwa Nina dan
keluarganya tertangkap.
Tak
lama, pelan-pelan pintu mulai terbuka. Decitan suara pintu yang engselnya sudah
dimakan zaman membuat ku tenang sekaligus deg-degan. Semoga itu Nina.
“ah, Gracia! Kemana saja kau? Aku
menunggu kedatanganmu seharian!” syukurlah Nina yang membuka pintu. Ia langsung
memelukku erat.
“kemarin paman sangat
membutuhkanku di tokonya. Maaf, ya?” jawabku masih dalam pelukan.
Nina
mempersilahkanku masuk. Suara batuk terdengar dari sudut ruangan. Nenek
terbaring lemah dengan selimut tebal dan kompres di keningnya. Wajahnya pucat,
nafasnya berat. Nenek tersenyum tulus saat aku mendekatinya lalu kembali
melanjutkan tidurnya. Ku pegang tangannya, suhu tubuhnya panas. Nenek demam dan
sedikit flu mungkin? Aku tak tahu pasti.
“kau sudah memberinya teh hangat?
Ku pikir kau tahu cara mengobati orang yang terkena flu.” ucapku mendekat ke
arah nina yang sedang sibuk dengan perapian.
“kau lihat salju di luar sana?
Mana ada tumbuhan yang hidup di musim dingin? Apalagi teh?!” jawabnya sambil
menaruh beberapa kayu bakar di perapian.
“kau bisa memelankan nada
bicaramu, kan?!”
Aku ngeloyor berjalan keluar meninggalkannya
yang mulai tersulut emosi. Aneh sekali nina dengan mudahnya tersulut emosi
hanya karena hal kecil. Aku menunggunya di teras depan. Bukan aku ngambek atau
apa, tapi aku tahu ini akan menjadi keributan kecil. Jadi aku tidak ingin
menganggu nenek.
Sesaat
kemudian Nina sudah berada di hadapanku. Wajahnya terlihat lelah. Aku tahu ia
sedang kacau.
“maafkan aku. Aku sangat
kelelahan beberapa hari ini. Moodku buruk. Sekali lagi, maafkan aku.” Ia
mengucap dalam tunduk. Seperti anak kecil yang mengaku telah mencuri uang
ibunya, ekspresinya sama. Hahaha lucu, tapi aku kasihan.
“tak apa, aku paham. Sudah kau
beri apa Nenek? Biar ku tebak, ia sakit sudah sekitar 3 hari, kan? Bagaimana
bisa kau membiarkannya begitu? Dimana Kakek?” ucapku sambil memegang kedua
pundaknya.
“Kakek entah kemana. Ia bilang
pergi mencari kayu bakar dan sesuatu untuk dimakan. Persediaan minggu ini sudah
habis, dua hari lalu ada seekor rubah masuk lalu mengacak-acak persediaan
makanan.” Ia mengusap wajahnya dari bawah sampai poninya ia sibakkan.
“ya Tuhan! Kenapa kau tidak
bilang padaku?”
“dengan apa? Aku ke kota
menemuimu? Keluar dari hutan ini? Tidak mungkin, Gre. Nenek sakit, siapa yang
akan merawatnya jika aku ke kota? Setiap kakek pulang ia bilang bahwa ia merasa
ada orang yang mengamatinya. Entah siapa.”
“Kakek tahu itu berbahaya, tapi
kami butuh bahan makanan. Kau tahu? Setiap kakek keluar untuk mencari makanan aku
ingin sekali menggantikannya, tapi Kakek bilang itu adalah tugasnya sebagai
kepala keluarga. Ia memasrahkan Nenek untuk ku jaga, Gre. Aku tak bisa
meninggalkan Nenek!”
Nina
bicara seakan menumpahkan semuanya. Membeberkan segalanya. Segala keluh kesahnya
bersembunyi dari kejaran nazi. Buliran air mata jatuh dari pelupuk matanya yang
tak sanggup membendung segala kepahitan hidup. Nina belum genap 17 tahun, tapi
cobaan hidup yang ia jalani melebihi cobaan hidup orang dewasa kebanyakan.
Aku
menghapus air mata di pipinya, lalu ku peluk dia dengan erat. Terasa hangat
ditengah dinginnya hutan. Nafasnya berat menahan tangis yang tak ingin ia
tunjukkan di hadapanku.
Sungguh,
bagaimana seorang gadis yang belum genap 17 tahun tahan menghadapi ujian hidup sebegini
rumitnya? Aku memang bernasib sama, ibuku sudah lama meninggal dan ayahku entah
masih hidup atau tidak. Tapi setidaknya aku masih punya kak Ve. Walaupun berada
dalam keadaan tekanan perang dan jajahan, status ku juga aman. Aku bukan jews
yang diburu seperti Nina.
Aku sudah
pernah bilang sebelumnya. Nina kehilangan kedua orang tuanya dalam waktu
sekejap. Ia kabur ke Denmark untuk bersembunyi dan memulai hidup baru. Namun
disini ia juga diburu. Eropa tak aman untuknya. Ia harus pergi dari benua ini, tapi
ia terperangkap. Sekarang ia bersembunyi di sebuah rumah tua yang entah
bagaimana kelayakannya. Neneknya sakit, bahan makanan habis, dan kakeknya
selalu merasa diintai. Pedihnya lagi, Nina tak bisa melakukan apa-apa untuk
mengeluarkan keluarganya dari keadaan yang buruk ini.
“ayo kita ke kota! Kita cari obat
dan persediaan makanan. Aku ada cukup uang. Kakek sebentar lagi pasti pulang,
kita tak bisa tunggu lama. Nenek memerlukan obat, kita bisa membawa Kak Kinal
untuk mengobati Nenek. Ayolah, Nina!” Nina hanya terdiam mencerna perkataanku.
Otaknya memikirkan segala resiko yang akan terjadi jika ia keluar hutan.
“Nina, keadaan tak seburuk yang
kau kira. Mereka masih beraktifitas seperti biasa. Anak-anak jews masih
bersekolah. Kau ingat Okta? Ia masih berbicara denganku di sekolah tadi. Nenek
tak bisa menunggu lama, kau harus cepat!”
Nina
melihat ke dalam dari jendela. Nenek terlihat semakin lemah dengan batuk yang
belum juga reda. Ia masih memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi.
Ayolah nina, jangan bodoh!
“bagaimana dengan Nenek? Aku tak
bisa meninggalkannya!” ia berjalan meninggalkanku memasuki rumah. Aku mengekor.
Nenek
seketika terjaga mendengar pintu ku tutup dengan sedikit membanting. Oke,
sekarang aku yang ikut tersulut emosi. Nina bodoh, kebanyakan mikir yang
berlebihan. Aku mendekati Nenek yang terbatuk. Ku ganti kompresannya. Nina
memberikan segelas air hangat untuk nenek minum.
“pergilah, Nina. Nenek sudah
mendengar semuanya. Tak apa, Nenek akan baik saja. Sebentar lagi Alan akan
pulang.” Nenek membuka suara. Ia menyebut nama suaminya, Alan. Tak seperti
biasanya, Nenek selalu memanggil Kakek dengan sebutan ‘sayang’.
“tapi aku tak bisa membiarkan
nenek sendirian disini. Bagaimana jika---”
“sudahlah, Nina. Tak akan terjadi
apa-apa. Aku ingin makan sup yang di jual gadis dengan mata coklat di depan
toko jam paman nya Gracia. Hmmm…. Sepertinya enak. Aku merindukan sup itu!
Bawakan satu ya!”
Nenek
mendelik kearahku. Aku tersenyum menanggapinya. Sedangkan Nina masih cengo dan
mencerna apa yang barusan diucapkan nenek. Sebuah izin. Itu artinya kami akan
ke kota. Yes!
***
Nina’s POV
Butiran-butiran
salju mulai menjatuhi kota kecil ini lagi. Kumpulan salju tipis yang menumpuk
di jalanan bersentuhan dengan boots kami yang menembus suhu yang semakin
dingin. Aku kembali ke kota lagi setelah hampir 2 minggu menghilang dari kota
kecil ini.
Keadaan
menjadi lebih tenang dari hari dimana aku pergi untuk bersembunyi. Jews masih
beraktifitas seperti biasanya. Mereka masih membuka toko-toko mereka. Anak-anak
asyik bermain berbaur melupakan
perbedaan yang terpampang nyata. Melupakan emblem kuning bodoh itu. Melupakan
siapa mereka dan siapa teman mereka. Hanya satu yang ada dalam benak mereka,
bahagia.
Untuk mencari
kebahagiaan tidaklah perlu harus memilih mana yang pantas, apa yang baik, dan
siapa yang layak. Bahagia ada karena kerendahan hati dan keterbukaan pikiran.
Perbedaan seharusnya memang untuk mengindahkan dunia. Perbedaan seharusnya
memang untuk menghidupkan hidup. Perbedaan ada bukan untuk memisahkan manusia,
tetapi untuk melengkapi manusia tersebut. Perbedaan ada karena Tuhan yang
menciptakan dan karena itulah kita harus menjaga perdamaian untuk mengindahkan
banyak perbedaan. Tuhan memang satu, hanya cara kita taat kepada-Nya saja yang
berbeda.
“apa-apaan ini? Ini diskriminasi
secara langsung.” Ucapku saat membaca peraturan dan larangan untuk jews di
papan pengumuman.
“begitulah. Aku sendiri merasa
kesal dengan mereka yang semakin keterlaluan.” Gracia menarik lenganku untuk
menjauh dari tempat ini.
Kami
sudah selesai dengan kegiatan belanja kami. 2 kantung besar makanan semoga
cukup untuk 3 minggu kedepan. Hanya itu yang bisa kami beli. Itupun aku harus
memecah celenganku. Sebenarnya celenganku hanya mampu membeli satu kantung
makanan ini. Tapi karena tadi kami bertemu Paman di depan tokonya, ia
memberikanku beberapa lembar uang atas bayaran yang waktu itu selama beberapa
hari aku ikut menjaga tokonya dan atas bayaran anggur yang aku antarkan tempo
hari.
Gestapo selalu berpatroli di hampir seluruh sudut kota kecil ini. Hal itu membuatku
sedikit takut. Percakapan kami selalu dengan suara yang pelan agar tidak ada
yang mendengarkan. Beruntung wajah dan perawakanku lebih dominan seperti orang
eropa kebanyakan. Jadi tidak ada yang mengenaliku. Hanya beberapa saja, itu
juga mereka tidak paham siapa aku sebenarnya.
Dan
percayalah, kebebasan yang para jews dapatkan disini hanya bermain dengan
waktu. Sekali mereka sudah mengenakan emblem itu, artinya hidup mereka sudah
direnggut. Di Negara ku dulu juga begitu. Awalnya masih seperti biasa, perlahan
kebebasan mulai dibinasakan. Dari peraturan sampai larangan yang tidak masuk
akal akan berlaku untuk kaum ku. Aku bukannya berpikir berlebihan sampai kabur
dan bersembunyi di hutan. Percayalah, ini hanya masalah waktu.
“ini. Untukmu.” Gracia
menghentikan langkahya di depan sebuah gang.
“pena? Untuk apa? Aku masih punya
dirumah. Hahahaha.” Ucapku sedikit
meledek. Aku tahu maksudnya, tapi aku ingin saja meledeknya.
“ih, moron!” ia menjitak
kepalaku. Aku hanya tertawa sambil mengusap kepalaku yang lumayan sakit. *ey, Gre! Sembarangan aje jitak-jitak Nina.
Gue kepret ngebul lu!*
“ini tidak gratis, Jangkung. Kau
buat pena ini seperti cita-cita gilamu. Lalu berikan lagi padaku!” ucapnya lalu
melanjutkan perjalanan kembali.
“aku akan berusaha! Hahahaha. By
the way, ini pena mahal. Dimana kau mencurinya?” benar, pena ini pena mahal.
Harganya bisa 4 kali bayarannya bekerja di toko Paman. Gracia tidak punya uang
sebanyak itu, ia pasti mencurinya. Huh, ini anak berani sekali…..
“dari komandan gestapo. Dia bodoh,
begitu saja menaruh pena mahal ini di saku celananya saat membetulkan jam di
toko Paman. Aku ambil saja saat ia lengah. Aku cerdik kan? Hahahaha” Gracia
tertawa dengan lepasnya. Itu perbuatan yang tidak baik, tapi aku menghargai
usahanya untuk mewujudkan impian gilaku.
“dasar, pen thief!” ucapku
sedikit meledek. Gracia menjulurkan lidahnya lalu rekahan senyum indah
terpampang nyata dari pancaran wajah cantiknya.
***
Hembusan
angin yang semakin dingin tidak serta merta membuatku kalah dengan suhu.
Bagiku, berada di samping Gracia membuat autumn
feels like summer, and winter feels like spring. Tak perduli seberapa
dinginnya udara yang menusuk tulang, berbincang dengan Gracia selalu
menghangatkan suasana.
Kami
memutuskan untuk melewati gang-gang agar menghemat waktu dan energi ke rumah
sakit. Aku tahu Kak Kinal pasti sedang sibuk, tapi setidaknya aku bisa
mendapatkan obat di rumah sakit untuk Nenek.
“hey! Dimana emblem mu?!” deg.
Sial.
Seorang
gestapo datang dari arah yang berlawanan. Laki-laki itu berusia sekitar 24
tahun. Masih freshman. Tubuhnya
tinggi kurus. Jakunnya terlihat besar. Kulitnya putih dan ada bercak-bercak
merah di hidung dan sebagian pipinya. Alisnya tebal pirang menyatu. Hidungnya
bengkok bekas hantaman. Matanya menatap tajam kearahku. Aku gugup.
“kau tidak mengenakannya, hah?!
Kau mencoba mengelabuiku?!”
Freshman gestapo itu terus menatapku.
Meneliti setiap inchi dari tubuhku. Pandangannya terhenti di mata dan hidungku.
Ia terus menatapku lekat. Gracia menggenggam tanganku. Kali ini aku tak bisa
berpura-pura flu lagi, sudah terlambat. Tubuhku bergetar hebat. Bulir-bulir
keringat dingin mulai membasahi pelipisku. Gracia masih menggenggam erat
tanganku yang gemetar. Kami berdua bungkam.
“mereka bersama kami, tampan!
Yang tinggi ini namanya Irene, dia baru disini. Kalau yang cantik ini, dia adik
seorang perawat di rumah sakit. Kau tahu Veranda? Gadis kecil ini adiknya.”
Beberapa
perempuan berusia seumuran kak Ve tiba-tiba mendatangi kami. Satu dari mereka
merangkulku lalu mengenalkanku dengan asal. Nafasnya bau alkohol. Bibirnya
berlipstik merah menyala. Mereka mengenakan mantel, namun ku tahu pakaian minim
berada dibalik mentelnya. Tatapannya menggoda laki-laki itu. Whore. Good whore.
“dan aku yakin dia bukanlah orang
yang kau cari.” Aku hanya tersenyum simpul ke arah laki-laki itu yang mulai
melayangkan pandangannya ke arah perempuan tadi. Beberapa detik kemudian aku
terkejut, Perempuan itu mencium lembut pipiku. *sialan nina digodain jablay*
“kau masih sangat kaku, Irene!
Belajarlah banyak pada Alice.” Laki-laki itu berjalan pergi meninggalkan kami.
“Dan kau, sebaiknya kau mengikuti jejak kakakmu mengabdi di rumah sakit!”
lanjut laki-laki itu sembil menunjuk ke arah Gracia sebelum benar-benar pergi.
“nanti akan ku ajari.
Main-mainlah ke tempatku, tampan!” ucap perempuan yang diketahui bernama Alice
itu. Sementara Gracia hanya tersenyum getir atas ucapan laki-laki itu.
Gracia
melemahkan genggamannya. Kedua telapak tangan kami sampai berkeringat menahan
gugup dan takut. Alice melepaskan rangkulannya. Begitupun temannya yang tadi
juga merangkul Gracia. Mereka tersenyum tulus pada kami.
“berhati-hatilah disini. Kau tahu
ini hanya masalah waktu kan? Gestapo yang satu itu tidak mudah untuk dikelabui.
Kau harus lebih cerdik darinya.” Ucap Alice.
“terimakasih banyak! Aku
berhutang budi pada kalian!” ucapku menjabat tangan satu persatu dari mereka.
“no problem, slut! Hahahaha! Kami pergi dulu, banyak yang harus kami tangani. Berhati-hatilah!
By the way, pacarmu cantik, Irene!” perempuan-perempuan jalang itu kembali
berjalan melewati kami. Alice mengedipkan matanya pada Gracia. Lalu berlalu entah
akan menuju kemana. *babiq ini alice
sekate-kate bilang nina slut. Beraq*
Alice
dan teman-temannya. Sekumpulan perempuan ular, kuda laut dan pesut. Mereka hina. Mereka jalang. Mereka bukan orang baik. Tapi
mereka malaikat untukku. Mereka menyelamatkanku. Terutama Alice. Ku pikir ia
masih 22 tahun. Masih muda untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dan tidak
sehina ini. Ia tidak mengenalku, sama sekali. Ia hanya asal menyebut namaku,
itupun jelas-jelas salah. Alice adalah seorang perempuan jalang dan malaikat
dalam waktu bersamaan. Entah bagaimana nasibku jika tidak ada Alice dan
teman-temannya. sometimes, a whore can be
an angel if she has a beautiful heart. That’s life.
Hidup itu rumit. Kita tidak tahu
siapa dan bagaimana seseorang sebelum kita benar-benar mengenalnya. Manusia itu
seperti Yin and Yang, ada setitik
hitam pada putih di satu sisi, dan setitik putih pada hitam di sisi lainnya.
Seorang yang kotor, hina dan dianggap racun sekalipun bisa menjadi obat bagi
orang yang membutuhkannya. Ia pasti memiliki kebaikan walaupun hanya sedikit.
Begitupun sebaliknya. Yin and Yang
disatukan dalam lingkaran. Lingkaran itu ibarat kehidupan. Dalam hidup tidak
ada yang namanya kesempurnaan, pasti ada cacat sedikit. Cacat itulah yang
seharusnya menguatkan manusia untuk lebih memperbaiki diri. Ya, walaupun tidak
akan pernah sempurna, setidaknya cobalah perbaiki dirimu.
TBC yaaaawww~~
.
.
.
.
.
.
halo helaw..... maap ye baru ngepost. lagi stuck ide. hehehe
part ini keknya ga begitu deg deg ser ye konfliknya, ya soalnya gue lagi males. hehe XD
next nya gatau kapan, yang jelas masih terus lanjut hahaha
tunggu aja yaaaa!
oh iya, btw gue mau nanya nih. untuk OS, kalian lebih suka yang sedih atau yang asik dan ringan ringan gitu? soalnya gue nyoba bikin yg seneng seneng masa gak jadi-jadi XD
kritik, saran dan komen sangat di tunggu loh. hehehe
@satepadang48
Yang OS sih enaknya yg sedih-sedih ringan gitu, kalo menurut gue. Tapi, sekali-kali bikin yg seneng gitu boleh kok wkwkw.
ReplyDeleteYang penting buruan apdet nya thor^^ smngt nulisnya!
siap! ditunggu yap!
Deletengakak pol pas bagian kata kata kasar sama pesut apalah jtu :)) kebanyakan gaul ama jodey lu jadi terkontamjnasi ginj :') btw ota disini laki apa cewek dah?
ReplyDeleteitu harus banget ya i nya diganti j? eyd ta eyd wkwkwk cewek disini ga gender bender
Delete