Tuesday, 5 May 2015

Tulip Merah : 7

Gracia’s POV

                Dua minggu setelah hari dimana Nina dan keluarganya melarikan diri, keadaan kota kecil ini masih seperti biasa. Suasana nya, orang-orangnya, dan aktivitasnya pun masih sama. Hari itu tidak seburuk yang kalian pikirkan. Hari dimana seluruh Jews dikumpulkan di lapangan berkuda, sebenarnya hanya untuk pendataan. Memang, ada sedikit tindakan di luar kemanusiaan yang membuatku tak habis pikir jika tujuannya hanya untuk pendataan. Namun, orang-orang yang di perlakukan kasar itu karena mereka melawan dan mencoba kabur. Sementara kaum jews lainnya yang menuruti perintah hanya sedikit diberitahu dengan intonasi tinggi ala prajurit nazi untuk berkumpul di lapangan berkuda.



                Satu-satunya perbedaan yang terlihat mencolok di kota kecil ini adalah emblem kuning berbentuk 2 segitiga menyatu namun saling berlawanan arah menjadi bentuk dengan 6 sudut lancip. Di tengah emblem terdapat susunan huruf yang bertuliskan ‘jude’. Emblem itu menempel dan terjahit rapi di pakaian-pakaian yang orang jews kenakan. Menurutku, emblem itu sangat mengganggu. Emblem itu menunjukan diskriminasi terhadap kaum jews, kaum Nina.

                Sekolah juga masih sama. Tidak ada yang tiba-tiba menghilang seperti Nina. Semuanya lengkap, tentunya ada perbedaan di pakaian murid-murid disini. Hampir seperempat dari murid di sekolah ini mengenakan emblem bertuliskan ‘jude’ itu. Tak terkecuali Mr. Lehmann dan Mrs. Wisemann, dua guru di sekolah ini.

“hey, Gracia. Kau tahu dimana Nina? Hampir dua minggu ini ia tak terlihat di sekolah.”

                Seseorang membuyarkan lamunanku. Sejak Nina melarikan diri, aku kembali menjadi diriku yang selalu menyendiri. Kursi di sebelahku selalu kosong, tak ada yang menempati. Aku tidak fokus dalam pelajaran apapun. Hanya mencatat apa saja yang guru tuliskan di papan tulis. Itu juga sebenarnya bukan untuk kepentinganku, tetapi untuk Nina pelajari saat aku mengunjungi nya.

                Seorang gadis dengan perawakan tinggi dan kurus tiba-tiba menempati kursi milik Nina. Tingginya mungkin sama dengan Nina. Wajahnya polos dan menenangkan. Ia mengenakan dress panjang se-lutut berwarna merah muda yang terlihat pudar dan jaket hitam dengan emblem bertuliskan ‘jude’ di sisi dada kirinya. Rambut pirangnya dikepang dua, belahan rambutnya terlihat seperti jalanan kutu. Tapi cantik.

“aku tak tahu.” Jawabku singkat pada gadis itu.

“kau tahu aku kan? Oktavia Krysha Zygler.” Ia menurunkan tas jinjing nya yang tadi ia taruh di meja milik Nina. Ia mendekatkan wajahnya, menatapku dalam tatapan tanya.

“aku memang ansos, tapi aku bisa mengingat hampir semua anak disini.” Aku sedikit memundurkan kepalaku, membuat jarak. Tatapanku lalu beralih ke emblem jude di jaketnya.

“kau baru menyadari ini? Ini diskriminasi. Jerman menganggap Ras Arya adalah yang paling tinggi kedudukannya, jadi dibuatlah emblem ini untuk memisahkan kami.” Ia menyadari ke arah mana mataku memandang lalu tersenyum simpul.

“maaf. A-aku tidak bermaksud seperti itu, hanya saja----”

“hanya saja kau merindukan Nina, kan?” hey, aku tidak begitu mengenalmu. Tidak sopan memotong perkataan orang lain. Aku belum menanggapinya. Aku hanya menatapnya lekat.

“dimana dia? Apa dia sama sepertiku? Iya, kan?” ia mengecilkan volume suaranya, berbisik pelan seakan ini adalah sebuah rahasia.

“jangan sok tahu.” Jawabku datar lalu menatap keluar jendela.

“aku tahu, Gracia. Aku tahu sejak pertama kali ia masuk ke kelas ini. Tenang saja, aku tidak akan membocorkannya kepada siapapun.” Ekspresi wajahnya sangat polos, seperti anak kecil. Aku menatapnya tajam namun masih bungkam, seakan tidak perduli dengannya.

“aku duduk di sini, ya? Mr. Wisemann sudah datang.” Ia mengeluarkan beberapa buku catatan dari tas nya lalu menaruhnya di atas meja. Sebenarnya aku risih, mengingat kami hanya beberapa kali mengobrol. Lalu tiba-tiba ia datang dengan rasa ingin tahunya tentang Nina. Namun aku tidak bisa menolaknya, kursi ini bebas ditempati siapapun.

                Mr. Wisemann datang dengan topi bundar hitam khas seorang jew di kepalanya. Ia tidak melepaskan topi itu padahal ini sudah berada di dalam ruangan. Entah mengapa semenjak ia memakai emblem jude itu ia menjadi semakin menunjukan identitasnya. Wajahnya sekarang juga ditumbuhi janggut yang cukup lebat. Selain itu, jika biasanya ia mengajar hanya mengenakan kemeja dan celana panjang, akhir-akhir ini ia sering menggunakan setelan jas hitam. Mungkin ini wujud kecil dari pemberontakan. Mungkin (?) 

                Tak terasa bel pulang sekolah sudah berbunyi. Kegiatan belajar-mengajar hari ini terasa singkat karena beberapa kali Okta mengajakku mengobrol. Kebetulan guru-guru pelajaran hari ini bukan guru killer, jadi aku tidak takut jika sedikit mengobrol di kelas.

                Seperti biasa, aku menunggu kelas sepi lalu bergegas pulang. Di lobby sekolah masih ramai. Perbedaan terasa mencolok di sekolah ini karena beberapa murid jews di bully oleh anak-anak lain yang bukan jews. Cemoohan dan cacian mereka lontarkan kepada anak-anak jews itu. Beberapa dari mereka ada yang melewan, namun lainnya hanya diam dalam tunduk.

                Okta menghampiriku yang sudah hampir berada di depan gerbang sekolah. Ia mengajakku pulang bersama. Ya, ku pikir tak apa. Aku juga sedang kesepian. Kami berjalan beriringan menuju rumah masing-masing yang kebetulan hanya berbeda dua blok dari rumahku. Selama perjalanan pulang, kami lebih banyak diam nya daripada mengobrol. Mungkin kami masih canggung.

“emm… Okta.” Aku membuka suara, memecahkan kesunyian diantara kami.

“ya?” ucapnya singkat.

“apa benar anak-anak jews tidak diperbolehkan melanjutkan ke universitas?” tanyaku.

“Ya, Itu benar. Kau pasti membaca papan pengumuman di dekat kantor walikota.” Ucap Okta.

“lalu apa yang kau lakukan nanti setelah lulus dari SMA?” oke, rasa ingin tahuku tidak berlebihan kan?

“hmm… aku percaya jerman akan kalah dalam perang sebelum kita lulus, lalu aku akan melanjutkan ke sekolah hukum. Bagaimana denganmu? kau akan mengikuti jejak kakakmu, kah?” jawab Okta dengan optimisnya. Ya, yang aku suka dari orang-orang jews adalah semangat dan sikap optimistis mereka. Walaupun berada dalam tekanan dan diskriminasi dari ras Arya, mereka tetap semangat dan optimis dalam menjalani hidup.

                Obrolan diantara kami cukup hangat walaupun seperti biasanya aku lebih banyak diam jika bersama orang yang baru ku kenal. Sebenarnya sudah sejak kecil aku mengenal Okta. Dia adalah tetanggaku. Rumah kami sejajar, hanya beda 2 rumah di sebelah kananku. Kami kurang mengenal satu sama lain karena sifatku dan Okta yang sama sama pendiam sejak kecil. Ia jarang keluar rumah, aku juga. Aku tahu itu karena sewaktu aku masih SD, anak-anak disekitar rumahku biasa bermain sepakbola di jalanan depan rumahku dan tidak ada Okta dalam lingkaran permainan mereka. Atau mungkin karena kebanyakan dari anak-anak disekitar rumahku adalah laki-laki, ya (?)

Kak Kinal juga sering ikut serta walaupun ia jadi yang tertua di permainan itu. Aku sering mengamati anak-anak yang bermain sepakbola dari jendela kamarku. Kak Kinal kecil yang kurus dan tak terurus itu suka sekali bermain sepakbola walaupun ia perempuan sendiri. Dan biasanya kak Ve hanya mengamati sambil menunggu didepan rumah sampai permainan usai dengan sebotol minum untuk kak kinal dan anak-anak lain. Sekarang anak-anak itu sudah tumbuh besar dan dikirim ke medan perang, tidak pernah ada satupun dari mereka yang kembali. Hanya kak Ve yang sampai sekarang terus berada disamping kak Kinal.

Tak terasa perjalanan yang cukup panjang dari sekolah terasa singkat. Aku sudah berada di depan pintu rumahku, lalu melambaikan tangan ke Okta yang melanjutkan perjalanan menuju rumahnya. Okta tergolong anak yang pintar di sekolah. Ia juga sering sekali mendapat peringkat kelas ataupun parallel di sekolah. Selain itu menurut kacamataku, okta juga anak yang baik. Ia tidak pernah membuat onar ataupun terlibat masalah di sekolah. Beda dengan….. ya kalian taulah siapa. Si itu. Si anak walikota.

***

Keesokan harinya setelah pulang sekolah, aku mengunjungi Nina lagi. Kebetulan toko milik paman hari ini tutup karena satu dan lain hal *kayak JOT aje*. Aku membawakan buah-buahan dan beberapa buku yang baru diberikan dari sekolah.

Cukup lama berjalan di antara salju yang mulai menipis, Rumah tua ditengah hutan itu mulai terlihat. Rumah tua yang Nina dan kakek serta neneknya tinggali tidak terlihat berpenghuni. Aku mempercepat langkahku takut-takut kalau ternyata Nina dan keluarganya tidak ada di rumah.

“Ninaaaa! Kau ada di dalam?” tidak ada tanggapan dari dalam. Aku mulai panik. Pikiran negative dan paranoid ku mulai meracuni logika, hal terburuk yang aku takutkan adalah bahwa Nina dan keluarganya tertangkap.

                Tak lama, pelan-pelan pintu mulai terbuka. Decitan suara pintu yang engselnya sudah dimakan zaman membuat ku tenang sekaligus deg-degan. Semoga itu Nina.

“ah, Gracia! Kemana saja kau? Aku menunggu kedatanganmu seharian!” syukurlah Nina yang membuka pintu. Ia langsung memelukku erat.

“kemarin paman sangat membutuhkanku di tokonya. Maaf, ya?” jawabku masih dalam pelukan.

                Nina mempersilahkanku masuk. Suara batuk terdengar dari sudut ruangan. Nenek terbaring lemah dengan selimut tebal dan kompres di keningnya. Wajahnya pucat, nafasnya berat. Nenek tersenyum tulus saat aku mendekatinya lalu kembali melanjutkan tidurnya. Ku pegang tangannya, suhu tubuhnya panas. Nenek demam dan sedikit flu mungkin? Aku tak tahu pasti.

“kau sudah memberinya teh hangat? Ku pikir kau tahu cara mengobati orang yang terkena flu.” ucapku mendekat ke arah nina yang sedang sibuk dengan perapian.

“kau lihat salju di luar sana? Mana ada tumbuhan yang hidup di musim dingin? Apalagi teh?!” jawabnya sambil menaruh beberapa kayu bakar di perapian.

“kau bisa memelankan nada bicaramu, kan?!”

Aku ngeloyor berjalan keluar meninggalkannya yang mulai tersulut emosi. Aneh sekali nina dengan mudahnya tersulut emosi hanya karena hal kecil. Aku menunggunya di teras depan. Bukan aku ngambek atau apa, tapi aku tahu ini akan menjadi keributan kecil. Jadi aku tidak ingin menganggu nenek.

Sesaat kemudian Nina sudah berada di hadapanku. Wajahnya terlihat lelah. Aku tahu ia sedang kacau.

“maafkan aku. Aku sangat kelelahan beberapa hari ini. Moodku buruk. Sekali lagi, maafkan aku.” Ia mengucap dalam tunduk. Seperti anak kecil yang mengaku telah mencuri uang ibunya, ekspresinya sama. Hahaha lucu, tapi aku kasihan.

“tak apa, aku paham. Sudah kau beri apa Nenek? Biar ku tebak, ia sakit sudah sekitar 3 hari, kan? Bagaimana bisa kau membiarkannya begitu? Dimana Kakek?” ucapku sambil memegang kedua pundaknya.

“Kakek entah kemana. Ia bilang pergi mencari kayu bakar dan sesuatu untuk dimakan. Persediaan minggu ini sudah habis, dua hari lalu ada seekor rubah masuk lalu mengacak-acak persediaan makanan.” Ia mengusap wajahnya dari bawah sampai poninya ia sibakkan.

“ya Tuhan! Kenapa kau tidak bilang padaku?”

“dengan apa? Aku ke kota menemuimu? Keluar dari hutan ini? Tidak mungkin, Gre. Nenek sakit, siapa yang akan merawatnya jika aku ke kota? Setiap kakek pulang ia bilang bahwa ia merasa ada orang yang mengamatinya. Entah siapa.”

“Kakek tahu itu berbahaya, tapi kami butuh bahan makanan. Kau tahu? Setiap kakek keluar untuk mencari makanan aku ingin sekali menggantikannya, tapi Kakek bilang itu adalah tugasnya sebagai kepala keluarga. Ia memasrahkan Nenek untuk ku jaga, Gre. Aku tak bisa meninggalkan Nenek!”

                Nina bicara seakan menumpahkan semuanya. Membeberkan segalanya. Segala keluh kesahnya bersembunyi dari kejaran nazi. Buliran air mata jatuh dari pelupuk matanya yang tak sanggup membendung segala kepahitan hidup. Nina belum genap 17 tahun, tapi cobaan hidup yang ia jalani melebihi cobaan hidup orang dewasa kebanyakan.

                Aku menghapus air mata di pipinya, lalu ku peluk dia dengan erat. Terasa hangat ditengah dinginnya hutan. Nafasnya berat menahan tangis yang tak ingin ia tunjukkan di hadapanku.

Sungguh, bagaimana seorang gadis yang belum genap 17 tahun tahan menghadapi ujian hidup sebegini rumitnya? Aku memang bernasib sama, ibuku sudah lama meninggal dan ayahku entah masih hidup atau tidak. Tapi setidaknya aku masih punya kak Ve. Walaupun berada dalam keadaan tekanan perang dan jajahan, status ku juga aman. Aku bukan jews yang diburu seperti Nina.

Aku sudah pernah bilang sebelumnya. Nina kehilangan kedua orang tuanya dalam waktu sekejap. Ia kabur ke Denmark untuk bersembunyi dan memulai hidup baru. Namun disini ia juga diburu. Eropa tak aman untuknya. Ia harus pergi dari benua ini, tapi ia terperangkap. Sekarang ia bersembunyi di sebuah rumah tua yang entah bagaimana kelayakannya. Neneknya sakit, bahan makanan habis, dan kakeknya selalu merasa diintai. Pedihnya lagi, Nina tak bisa melakukan apa-apa untuk mengeluarkan keluarganya dari keadaan yang buruk ini.

“ayo kita ke kota! Kita cari obat dan persediaan makanan. Aku ada cukup uang. Kakek sebentar lagi pasti pulang, kita tak bisa tunggu lama. Nenek memerlukan obat, kita bisa membawa Kak Kinal untuk mengobati Nenek. Ayolah, Nina!” Nina hanya terdiam mencerna perkataanku. Otaknya memikirkan segala resiko yang akan terjadi jika ia keluar hutan.

“Nina, keadaan tak seburuk yang kau kira. Mereka masih beraktifitas seperti biasa. Anak-anak jews masih bersekolah. Kau ingat Okta? Ia masih berbicara denganku di sekolah tadi. Nenek tak bisa menunggu lama, kau harus cepat!”

                Nina melihat ke dalam dari jendela. Nenek terlihat semakin lemah dengan batuk yang belum juga reda. Ia masih memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Ayolah nina, jangan bodoh!

“bagaimana dengan Nenek? Aku tak bisa meninggalkannya!” ia berjalan meninggalkanku memasuki rumah. Aku mengekor.

                Nenek seketika terjaga mendengar pintu ku tutup dengan sedikit membanting. Oke, sekarang aku yang ikut tersulut emosi. Nina bodoh, kebanyakan mikir yang berlebihan. Aku mendekati Nenek yang terbatuk. Ku ganti kompresannya. Nina memberikan segelas air hangat untuk nenek minum.

“pergilah, Nina. Nenek sudah mendengar semuanya. Tak apa, Nenek akan baik saja. Sebentar lagi Alan akan pulang.” Nenek membuka suara. Ia menyebut nama suaminya, Alan. Tak seperti biasanya, Nenek selalu memanggil Kakek dengan sebutan ‘sayang’.

“tapi aku tak bisa membiarkan nenek sendirian disini. Bagaimana jika---”

“sudahlah, Nina. Tak akan terjadi apa-apa. Aku ingin makan sup yang di jual gadis dengan mata coklat di depan toko jam paman nya Gracia. Hmmm…. Sepertinya enak. Aku merindukan sup itu! Bawakan satu ya!”

                Nenek mendelik kearahku. Aku tersenyum menanggapinya. Sedangkan Nina masih cengo dan mencerna apa yang barusan diucapkan nenek. Sebuah izin. Itu artinya kami akan ke kota. Yes!

***

Nina’s POV

        Butiran-butiran salju mulai menjatuhi kota kecil ini lagi. Kumpulan salju tipis yang menumpuk di jalanan bersentuhan dengan boots kami yang menembus suhu yang semakin dingin. Aku kembali ke kota lagi setelah hampir 2 minggu menghilang dari kota kecil ini.

Keadaan menjadi lebih tenang dari hari dimana aku pergi untuk bersembunyi. Jews masih beraktifitas seperti biasanya. Mereka masih membuka toko-toko mereka. Anak-anak asyik bermain  berbaur melupakan perbedaan yang terpampang nyata. Melupakan emblem kuning bodoh itu. Melupakan siapa mereka dan siapa teman mereka. Hanya satu yang ada dalam benak mereka, bahagia.

Untuk mencari kebahagiaan tidaklah perlu harus memilih mana yang pantas, apa yang baik, dan siapa yang layak. Bahagia ada karena kerendahan hati dan keterbukaan pikiran. Perbedaan seharusnya memang untuk mengindahkan dunia. Perbedaan seharusnya memang untuk menghidupkan hidup. Perbedaan ada bukan untuk memisahkan manusia, tetapi untuk melengkapi manusia tersebut. Perbedaan ada karena Tuhan yang menciptakan dan karena itulah kita harus menjaga perdamaian untuk mengindahkan banyak perbedaan. Tuhan memang satu, hanya cara kita taat kepada-Nya saja yang berbeda.

“apa-apaan ini? Ini diskriminasi secara langsung.” Ucapku saat membaca peraturan dan larangan untuk jews di papan pengumuman.

“begitulah. Aku sendiri merasa kesal dengan mereka yang semakin keterlaluan.” Gracia menarik lenganku untuk menjauh dari tempat ini.

                Kami sudah selesai dengan kegiatan belanja kami. 2 kantung besar makanan semoga cukup untuk 3 minggu kedepan. Hanya itu yang bisa kami beli. Itupun aku harus memecah celenganku. Sebenarnya celenganku hanya mampu membeli satu kantung makanan ini. Tapi karena tadi kami bertemu Paman di depan tokonya, ia memberikanku beberapa lembar uang atas bayaran yang waktu itu selama beberapa hari aku ikut menjaga tokonya dan atas bayaran anggur yang aku antarkan tempo hari.

                Gestapo selalu berpatroli di hampir seluruh sudut kota kecil ini. Hal itu membuatku sedikit takut. Percakapan kami selalu dengan suara yang pelan agar tidak ada yang mendengarkan. Beruntung wajah dan perawakanku lebih dominan seperti orang eropa kebanyakan. Jadi tidak ada yang mengenaliku. Hanya beberapa saja, itu juga mereka tidak paham siapa aku sebenarnya.

                Dan percayalah, kebebasan yang para jews dapatkan disini hanya bermain dengan waktu. Sekali mereka sudah mengenakan emblem itu, artinya hidup mereka sudah direnggut. Di Negara ku dulu juga begitu. Awalnya masih seperti biasa, perlahan kebebasan mulai dibinasakan. Dari peraturan sampai larangan yang tidak masuk akal akan berlaku untuk kaum ku. Aku bukannya berpikir berlebihan sampai kabur dan bersembunyi di hutan. Percayalah, ini hanya masalah waktu.

“ini. Untukmu.” Gracia menghentikan langkahya di depan sebuah gang.

“pena? Untuk apa? Aku masih punya dirumah. Hahahaha.”  Ucapku sedikit meledek. Aku tahu maksudnya, tapi aku ingin saja meledeknya.

“ih, moron!” ia menjitak kepalaku. Aku hanya tertawa sambil mengusap kepalaku yang lumayan sakit. *ey, Gre! Sembarangan aje jitak-jitak Nina. Gue kepret ngebul lu!*

“ini tidak gratis, Jangkung. Kau buat pena ini seperti cita-cita gilamu. Lalu berikan lagi padaku!” ucapnya lalu melanjutkan perjalanan kembali.

“aku akan berusaha! Hahahaha. By the way, ini pena mahal. Dimana kau mencurinya?” benar, pena ini pena mahal. Harganya bisa 4 kali bayarannya bekerja di toko Paman. Gracia tidak punya uang sebanyak itu, ia pasti mencurinya. Huh, ini anak berani sekali…..

“dari komandan gestapo. Dia bodoh, begitu saja menaruh pena mahal ini di saku celananya saat membetulkan jam di toko Paman. Aku ambil saja saat ia lengah. Aku cerdik kan? Hahahaha” Gracia tertawa dengan lepasnya. Itu perbuatan yang tidak baik, tapi aku menghargai usahanya untuk mewujudkan impian gilaku.

“dasar, pen thief!” ucapku sedikit meledek. Gracia menjulurkan lidahnya lalu rekahan senyum indah terpampang nyata dari pancaran wajah cantiknya.

***

                Hembusan angin yang semakin dingin tidak serta merta membuatku kalah dengan suhu. Bagiku, berada di samping Gracia membuat autumn feels like summer, and winter feels like spring. Tak perduli seberapa dinginnya udara yang menusuk tulang, berbincang dengan Gracia selalu menghangatkan suasana.

                Kami memutuskan untuk melewati gang-gang agar menghemat waktu dan energi ke rumah sakit. Aku tahu Kak Kinal pasti sedang sibuk, tapi setidaknya aku bisa mendapatkan obat di rumah sakit untuk Nenek.

“hey! Dimana emblem mu?!” deg. Sial.

                Seorang gestapo datang dari arah yang berlawanan. Laki-laki itu berusia sekitar 24 tahun. Masih freshman. Tubuhnya tinggi kurus. Jakunnya terlihat besar. Kulitnya putih dan ada bercak-bercak merah di hidung dan sebagian pipinya. Alisnya tebal pirang menyatu. Hidungnya bengkok bekas hantaman. Matanya menatap tajam kearahku. Aku gugup.

“kau tidak mengenakannya, hah?! Kau mencoba mengelabuiku?!”

                Freshman gestapo itu terus menatapku. Meneliti setiap inchi dari tubuhku. Pandangannya terhenti di mata dan hidungku. Ia terus menatapku lekat. Gracia menggenggam tanganku. Kali ini aku tak bisa berpura-pura flu lagi, sudah terlambat. Tubuhku bergetar hebat. Bulir-bulir keringat dingin mulai membasahi pelipisku. Gracia masih menggenggam erat tanganku yang gemetar. Kami berdua bungkam.

“mereka bersama kami, tampan! Yang tinggi ini namanya Irene, dia baru disini. Kalau yang cantik ini, dia adik seorang perawat di rumah sakit. Kau tahu Veranda? Gadis kecil ini adiknya.”

                Beberapa perempuan berusia seumuran kak Ve tiba-tiba mendatangi kami. Satu dari mereka merangkulku lalu mengenalkanku dengan asal. Nafasnya bau alkohol. Bibirnya berlipstik merah menyala. Mereka mengenakan mantel, namun ku tahu pakaian minim berada dibalik mentelnya. Tatapannya menggoda laki-laki itu. Whore. Good whore.

“dan aku yakin dia bukanlah orang yang kau cari.” Aku hanya tersenyum simpul ke arah laki-laki itu yang mulai melayangkan pandangannya ke arah perempuan tadi. Beberapa detik kemudian aku terkejut, Perempuan itu mencium lembut pipiku. *sialan nina digodain jablay*

“kau masih sangat kaku, Irene! Belajarlah banyak pada Alice.” Laki-laki itu berjalan pergi meninggalkan kami. “Dan kau, sebaiknya kau mengikuti jejak kakakmu mengabdi di rumah sakit!” lanjut laki-laki itu sembil menunjuk ke arah Gracia sebelum benar-benar pergi.

“nanti akan ku ajari. Main-mainlah ke tempatku, tampan!” ucap perempuan yang diketahui bernama Alice itu. Sementara Gracia hanya tersenyum getir atas ucapan laki-laki itu.

                Gracia melemahkan genggamannya. Kedua telapak tangan kami sampai berkeringat menahan gugup dan takut. Alice melepaskan rangkulannya. Begitupun temannya yang tadi juga merangkul Gracia. Mereka tersenyum tulus pada kami.

“berhati-hatilah disini. Kau tahu ini hanya masalah waktu kan? Gestapo yang satu itu tidak mudah untuk dikelabui. Kau harus lebih cerdik darinya.” Ucap Alice.

“terimakasih banyak! Aku berhutang budi pada kalian!” ucapku menjabat tangan satu persatu dari mereka.

“no problem, slut! Hahahaha! Kami pergi dulu, banyak yang harus kami tangani. Berhati-hatilah! By the way, pacarmu cantik, Irene!” perempuan-perempuan jalang itu kembali berjalan melewati kami. Alice mengedipkan matanya pada Gracia. Lalu berlalu entah akan menuju kemana. *babiq ini alice sekate-kate bilang nina slut. Beraq*

                Alice dan teman-temannya. Sekumpulan perempuan ular, kuda laut dan pesut. Mereka hina. Mereka jalang. Mereka bukan orang baik. Tapi mereka malaikat untukku. Mereka menyelamatkanku. Terutama Alice. Ku pikir ia masih 22 tahun. Masih muda untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dan tidak sehina ini. Ia tidak mengenalku, sama sekali. Ia hanya asal menyebut namaku, itupun jelas-jelas salah. Alice adalah seorang perempuan jalang dan malaikat dalam waktu bersamaan. Entah bagaimana nasibku jika tidak ada Alice dan teman-temannya. sometimes, a whore can be an angel if she has a beautiful heart. That’s life.


                Hidup itu rumit. Kita tidak tahu siapa dan bagaimana seseorang sebelum kita benar-benar mengenalnya. Manusia itu seperti Yin and Yang, ada setitik hitam pada putih di satu sisi, dan setitik putih pada hitam di sisi lainnya. Seorang yang kotor, hina dan dianggap racun sekalipun bisa menjadi obat bagi orang yang membutuhkannya. Ia pasti memiliki kebaikan walaupun hanya sedikit. Begitupun sebaliknya. Yin and Yang disatukan dalam lingkaran. Lingkaran itu ibarat kehidupan. Dalam hidup tidak ada yang namanya kesempurnaan, pasti ada cacat sedikit. Cacat itulah yang seharusnya menguatkan manusia untuk lebih memperbaiki diri. Ya, walaupun tidak akan pernah sempurna, setidaknya cobalah perbaiki dirimu.

TBC yaaaawww~~
.
.
.
.
.
.

halo helaw..... maap ye baru ngepost. lagi stuck ide. hehehe
part ini keknya ga begitu deg deg ser ye konfliknya, ya soalnya gue lagi males. hehe XD
next nya gatau kapan, yang jelas masih terus lanjut hahaha
tunggu aja yaaaa!

oh iya, btw gue mau nanya nih. untuk OS, kalian lebih suka yang sedih atau yang asik dan ringan ringan gitu? soalnya gue nyoba bikin yg seneng seneng masa gak jadi-jadi XD 

kritik, saran dan komen sangat di tunggu loh. hehehe
@satepadang48

4 comments:

  1. Yang OS sih enaknya yg sedih-sedih ringan gitu, kalo menurut gue. Tapi, sekali-kali bikin yg seneng gitu boleh kok wkwkw.
    Yang penting buruan apdet nya thor^^ smngt nulisnya!

    ReplyDelete
  2. ngakak pol pas bagian kata kata kasar sama pesut apalah jtu :)) kebanyakan gaul ama jodey lu jadi terkontamjnasi ginj :') btw ota disini laki apa cewek dah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. itu harus banget ya i nya diganti j? eyd ta eyd wkwkwk cewek disini ga gender bender

      Delete