Mendung
langit. Indahnya sandikala di langit kota jogja tak nampak sore ini. Padatnya lalu
lintas sudah menjadi biasa ditengah rutinitas. Suara bising dari knalpot
kendaraan masih kalah dengan bisingnya alat-alat berat dari proyek pembangunan
banyak mall dan hotel-hotel. Asap mengepul seakan semakin memperkeruh suasana
hati pengendara yang mulai tidak sabar dengan macetnya kota ini.
Kenalin,
aku Hamids. mahasiswa jurusan Hubungan Internasional di salah satu universitas
swasta di jogja. Rumahku di daerah condongcatur. Sudah sejak kelas 10 SMA aku
pindah dari Jakarta ke Jogja karena pekerjaan Papa. Hampir selama 4 tahun ini aku
lumayan menikmati setiap inchi dari kota ini yang semakin lama ternyata semakin
men-jakarta. Awalnya aku kira akan mendapat udara segar di kota ini, ternyata
sama saja. Ya memang sih tidak sekotor di Jakarta. Eh mungkin bukan tidak, tapi
belum.
Setelah
selesai kuliah, seperti biasa aku nongkrong-nongkrong keren dulu di sebuah café
yang wifi nya kenceng di dekat UNY. Sebenarnya aku kesana hanya untuk menikmati
akses wifi gratis yang seenggaknya biar wangun
mesen makanan atau minuman di café itu lah. Selesai mengerjakan tugas dan
download film, aku memutuskan untuk pulang.
“kapan lowongnya ini jalan?”
Keluhku saat mulai berada dalam titik kemacetan lagi.
Rintik-rintik
hujan mulai terasa membasahi tanganku yang asik memegang stang vespa VM2 125
keluaran tahun 1954 ini. Macetnya jalan sebelum lampu merah di belokan UNY
mulai bikin aku kzl. Udah belom solat magrib, mau hujan, ketambahan macet kan
jadi zbl.
Masih
dalam kondisi jalan yang padat merayap, hujan turun dengan cukup deras.
Kuputuskan untuk meminggirkan motor kesayanganku ini ke sebuah toko bunga di
deretan kios-kios kecil di sekitaran UNY. Lagipula juga hari ini belum beli
bunga untuk yang tersayang. Kios paling ujung ini ya memang sangat sederhana,
baru sekali juga kesini. Biasanya aku beli bunga untuk yang tersayang di tempat
lain.
Aku
masuk ke dalam toko yang ukurannya sekitar 3x4 meter ini. Dari dalam sudah
menyambut seorang gadis dengan rambut lurus panjang dan poni miringnya. Cantik
sekali. Wajah oriental dengan mata coklat ini membiusku pada pandangan pertama.
Aku tak bergeming dibuatnya.
“ajeng tumbas bunga, mas? (mau
beli bunga, mas?)” ucap gadis penjual bunga ini dengan diakhiri senyuman yang masyaallah.
Aku
mengedipkan mata beberapa kali. Ia menyadarkanku kalo ternyata aku masih hidup,
dan ini bukan di surga. Senyumnya melambangkan keramahan warga jogja yang
memang tak lekang oleh perubahan zaman. Keramahan inilah yang aku sukai dari
kota jogja yang macet parah gils omg helo.
“i-iya, mbak.” Yaiyalah beli
bunga. masa beli merch band rock, kan tokonya ada didepan.
“kangge sinten, mas? (buat siapa,
mas?)” hiyak. Disenyumin lagi. lama-lama mimisan dah. Aku masih diam tak tahu
harus bagaimana. Aku emang bego gini sih kalo ketemu cewek cantik. “eh, maaf
mas kalo lancang. Maksud saya biar bisa disesuaikan gitu sama bunga nya.”
“em… bunga lily kuning. Berapa
mbak?” aku menjawabnya dengan bahasa Indonesia.
Walaupun sudah
4 tahunan aku di jogja, tapi aku belum bisa berbicara bahasa halus atau kromo
nya. Cuma ngerti aja kalo orang ngomong, tapi gak bisa ngucapinnya. kalo ngoko
sih bisa lah ya, bahasa sehari-hari. Jadi daripada pake ngoko terus terkesan
tidak sopan, lebih baik menggunakan bahasa pemersatuan Indonesia raya. Hehe.
Ia menyebutkan
harga bunga tersebut lalu ku berikan selembar uang seratus ribu rupiah. Ia
berjalan untuk mengambil uang kembalian ke sudut ruang dimana ada sebuah meja
dengan tumpukan nota dan buku catatan serta novel tebal disana. Keheningan
kembali menyelimuti kami. Sebenarnya gak hening sih, soalnya suara deruan
kendaraan dan derasnya hujan cukup nyaring terdengar.
“mbak, saya numpang neduh ya?
Diluar ujan nya deres banget.” Ucapku memecah keheningan ditengah kebisingan
(?)
“oh iya, boten nopo-nopo mas. ini,
Kembalian nya.” ia memberiku uang kembalian tadi lalu menyibukkan diri dengan
novelnya.
Sial.
Malah awkward gini. Mau ajak ngobrol tapi aku malu. Aku juga tidak bagus dalam
urusan memulai sebuah percakapan. Apalagi sama cewek cantik kayak gini.
Sekitar
5 menit kemudian, alhamdulilah hujan reda. Gak ngerti lagi deh sama cuaca
sekarang. Cepet banget berubahnya. Kayak mood cewek. Hft. Aku mengucapkan terimakasih kepada gadis penjual
bunga itu lalu bergegas pergi menuju rumah yang tersayang.
Sampailah
aku di daerah maguwoharjo. Bukan dirumahku, kan tadi aku udah bilang kalo
rumahku di condongcatur. Ini adalah rumah yang tersayang. Ia adalah gadis yang
ku puja-puja sejak SMA. Namanya Elaine. Teman sekelasku. Ia aktif hampir di
semua kegiatan sekolah waktu SMA. Ia juga pintar, makanya dapat diterima di FH
UGM lewat jalur SNMPTN.
Aku sangat
mengagumi nya. namun sampai saat ini aku belum berani untuk menyatakan
perasaanku. Dan selama hampir satu tahun belakangan ini aku memberikan
perhatian tanpa identitas untuknya. Hampir setiap hari aku menaruh bunga lily
kuning didepan rumahnya. Aku juga punya teman yang selama ini bisa dibilang
perantara untuk mengetahui apa saja yang sedang diinginkan Elaine. Dan aku
selalu memenuhi keinginan nya. tentu saja tanpa sebuah identitas. Sebenernya
aku hanya beli, dan yang memberikan barang ataupun menaruh bunga di depan
rumahnya merupakan orang suruhan. Ya, bisa aja anak kecil atau kurir.
Tapi entah
mengapa, pemberianku akhir-akhir ini yang sudah tidak lagi disambut baik
olehnya membuatku jenuh. Beberapa kali kulihat bunga lily kuning itu tergeletak
manis di tempat sampah depan rumahnya. Sakit sih, tapi aku tidak akan menyerah.
Mungkin dia bosan. Lagian kalau aku menyerah kan pengorbanan tanpa nama selama
setahun ini jadi sia-sia dong. Aku mencintainya bukan tanpa ambisi untuk
memiliki. Aku berharap kelak ia akan tahu dengan sendirinya lalu bisa menerimaku
menjadi kekasihnya.
***
Beberapa
minggu ini juga aku pindah toko bunga. Hehe. Toko si gadis penjual bunga itu
menjadi pilihanku saat ini. Entah mengapa, hanya melihatnya tersenyum saja hati
yang rusak rasanya perlahan-lahan terobati oleh keindahanya. Beberapa kali juga
kami mengobrol saat aku menunggu hujan reda. Kadang modus lah ya kesini kalo
sore karna biasanya jogja hujan di sore hari. Kami sering mengeluhkan kota
jogja yang lalu lintasnya makin semrawut. Gak Cuma itu sih, kadang juga
ngomongin wisata-wisata alam Daerah Istimewa ini yang masyaallah gak punya celah lah untuk mencela ciptaan tuhan disini.
Suatu
hari ketika obrolan kami mulai gak jelas ditengah hujan. Ngobrol ngalor ngidul
gak ada juntrungannya. Sampai pada akhirnya ia bercerita tentang dirinya.
Si
gadis penjual bunga ini sampai aku sadari sekarang belum juga menyebutkan
namanya. Mungkin ia nyaman hanya cukup memanggilku dengan ‘mas’ dan aku
memanggilnya ‘mbak’. Biar sopan juga sih. Si gadis penjual bunga ini penyuka
bunga mawar. Ia adalah mahasiswi jurusan sastra di UGM juga, sama seperti
Elaine. Cuma beda jurusan. Lah kok jadi bahas Elaine? Segitu udah nempelnya
Elaine kali ya di pikiran ku. Hehe.
Si
gadis penjual bunga ini orangnya mandiri. Ia menyewa dan membuka toko bunga ini
murni dari hasil tabungannya sendiri atas hadiah tulisan-tulisan yang ia buat
dalam beberapa sayembara menulis yang ia menangkan. Kesederhanaan nya membuatku
takut jatuh cinta. Bukan apa-apa, aku sudah mencintai Elaine dan memeberinya
perhatian tanpa nama. Masa iya belum nyatain ke Elaine udah nyerah. Kok jadi
Elaine lagi? oke balik ke gadis penjual bunga ini. Secara materi, sebenarnya
gadis ini membuka toko bunga sederhana ini bukan karena membutuhkan uang tetapi
karena ia menyukai bunga.
“woy, Mids! Bengong wae ono
uwong!” anjrit. Si Andrew ngagetin aja. Andrew Yuwono ini teman ku dari solo.
Aksen jawa nya keliatan banget lah kalo dia ngomong.
“paling yo lagi mikirin wedokane
kae.” Mario nyaut aje nih. Nah kalo Mario ini lebih kocak, aksen jawa nya yang nagapak-ngapak
gitu. Dia dari tegal. Hehe. Tapi dia playboy. Pacarnya gonta-ganti. Jadi iri
(?)
“opo yo we i jannn…..” Cuma itu
yang bisa ku ucapkan kalau mereka lagi ngeledekin gini.
“sebenernya si bebek (sebutan ku
untuk Elaine) itu beneran ada gak sih? Apa jangan-jangan mung imajinasimu wae,
ndes!” males nih kalo Andrew udah kepo kepadaku tentang Elaine.
Teman-temanku
tidak ada yang tahu siapa dan seperti apa gadis yang sudah lama aku incar ini.
Sengaja aku menyebut Elaine dengan nama lain ‘bebek’ didepan teman-temanku. Ya
untuk menyamarkan aja sih, ngeri di gebet Mario kan dia playboy. Dih, gak rela.
“opo neh. Yo ono lah! Nglantur
wae koe, ndes!” emang biasa lah kami para lelaki kece ini kalo nyebut pake
ndes, dab, atau tho. Kadang-kadang coeg juga. Hehe.
“mana? Fotonya ada gak? Ntar lo
Cuma kek orang gila lagi tiap hari beli bunga ternyata buat cewek hayalan.
Hahahahah!” okta nih apaansi nyaut aje. Nah okta ini anak gawl jekardah. Kami
berempat bersahabat Karena dipersatukan oleh ikatan jurusan HI di kampus ku.
Azeg.
“mbok rasah ngono, tunggu wae
sedilit meneh. Gue bakal ngenalin pujaan hati gue. Kalo udah liat orangnya,
awas lu pada nanti naksir.” Kadang aksen Jakarta ku masih suka kebawa sih ya,
15 tahun disana soalnya. Hehe.
“btw, lu pada tau penjual di toko bunga deket
bangjo(lampu merah) sini gak?”
“sing cedhak bakul pulsa kui?”
Mario masih memfokuskan pandangan ke laptopnya. Enggak, dia gak buka yang
macem-macem. Dia lagi main game, kok. Aku hanya mengangguk.
“lha piye? Ayu po bakul e? (lha
gimana? Yang jualan cantik?)” Andrew menyahut setelah daritadi sambil
senyum-senyum sendiri melihat layar hp nya.
“iyo, ndes! Biyungalaaaah ayu
tenan. Jarene sih cah sasin UGM. Ning aku urung ngerti jenenge e.” ucapku
sambil membayangkan senyuman indah dari wajah cantik gadis penjual bunga itu.
“sebut saja Mawar. Biar kek di
reportase. ya tanya lah, bege!” okta mengeplak kepalaku menggunakan gulungan
kertas yang sedari tadi ia baca.
***
Sore
ini aku tidak membeli bunga untuk Elaine. Kali ini aku berada di sebuah mall
berniat membelikannya iPod. Semalem dia ngeluh di twitter kalo iPod nya baru
aja rusak. Sebagai Hamids dan Tim sayang elaine sejati, ini merupakan panggilan
hati bahwa aku harus memberikannya dengan tanpa identitas lagi.
Setelah
membeli iPod baru buat Elaine dan ternyata masih sekitar jam 5 sore, aku
putuskan pergi ke toko buku untuk membeli komik. Namun belum sampai Gramedia,
aku melihat Andrew dengan seorang gadis yang sepertinya tidak asing lagi
untukku baru keluar dari toko gadget.
“Drew, makasih ya iPod nya.
semalem tuh aku gak ngode tau, Cuma lagi kzl aja iPod dari fans misterius ku
rusak.” Samar-samar ku dengar pembicaraan Andrew dengan perempuan disebelahnya.
“hahahaha gapapa kan emang aku
pengen beliin aja buat kamu. Biar kamu gak pake barang-barang dari fans kamu
itu. ntar kamu kepincut lagi kalo ternyata itu ada klenik nya.” ucap Andrew dengan memberi penekanan di kata ‘fans’.
Aku berjalan pelan membuntutinya sambil menjaga jarak agar tidak ketahuan.
(klenik = yang mistis-mistis gitu lah. Berhubungan dengan dukun.)
“ih apasih. Aku tuh cintanya Cuma
sama kamu doang, Drew. Mau dia pake klenik
juga gabakal ngaruh kali.” Dilihat dari belakang, sepertinya aku paham siapa
gadis yang sedang dalam gandengan tangan Andrew ini. Dari suaranya juga sangat
tidak asing bagiku.
“iya. Elaine sayaaaaaang. Aku yo
mung tresno karo sliramu.”
Deg!
Anjrit! Sakit. Lemes rasanya denger Andrew nyebut nama pacarnya yang ternyata
gadis pujaan ku selama ini. Berarti selama ini pemberianku sia-sia. Pantas saja
beberapa hari terakhir Andrew sering jarang nongkrong. Kalo pagi juga dia
memilih bawa mobil sendiri dari yang biasanya ditebengin okta. Di tengah
keseruan kami nongkrong di kampus juga Andrew sering pergi dengan alesan mau
jemput seseorang. Ternyata itu Elaine. Asumsi ku juga mengatakan kalau yang
membuang bunga lily kuning dari depan pintu rumah Elaine juga Andrew.
Sial.
Aku tidak tahu harus bagaimana. Mau marah juga ini bukan salah Andrew. Dia
berhak mencintai seseorang. Aku yang salah. Aku yang bodoh karena tidak
memberitahu siapa gadis incaranku selama ini. Aku yang bodoh telah sok
merahasiakan ini dari teman-temanku. Aku yang bodoh telah memberikan perhatian
tanpa nama ku untuk Elaine. Aku yang bodoh karena seharusnya aku sadar sejak
SMA Elaine bahkan hampir tidak pernah menganggapku ada. Aku bodoh. Aku yang
salah.
Aku
keluar dari mall itu dengan diriku. Sendiri. Sudah biasa. Ku pacu Vespa
kesayanganku entah menuju kemana. Berjalan terus dengan hati yang masih hancur
berkeping-keping. Ini cintaku. Cinta pertamaku. Mengapa se sakit ini? Mengapa
sang cinta sekejam ini?
Malam
mulai datang. Jalan masih padat. Kota jogja semakin menyala. Pusat
perbelanjaan, hotel-hotel mewah bahkan diskotik yang sudah menjamur perhalan
mulai mengubah sisi keasrian kota ini. Aku terus memacu Vespa ku hingga entah
mengapa sampai di lampu merah sekitar UNY. Ku putuskan untuk ke toko bunga
sederhana yang biasanya.
“udah mau tutup ya, Mbak?” aku
melihat punggungnya yang sedang sibuk bersiap untuk menutup tokonya karena hari
sudah malam. gadis itu entah mengapa sedikit mengobati luka hati ini.
“mas nya mau beli? Tapi bunga
lily semuanya udah habis, mas.” Ia tersenyum manis. Sangat manis.
“bukan, mbak. Saya mau beli
Mawar.” Ucapku lirih. Ia masih melayani ku. Mungkin pembeli terakhir hari ini.
Ia masuk kembali ke dalam toko nya. lalu keluar dengan setangkai mawar.
“tinggal ini, mas. Tinggal
setangkai ini aja.” Ia memberikan setangkai mawar merah itu kepadaku.
Aku
membayar bunga yang ku beli lalu berjalan gontai ke Vespa ku. Aku melihat si
Mawar dari spion motorku. ia mulai menutup tokonya lalu mengunci nya. aku
kembali berdiri dibelakangnya. Ketika ia berbalik, mata kami bertemu. Tatapan
nya sangat dalam dan damai. Ah, cantik sekali.
“kenapa, mas?”
“ini. Mawarnya buat kamu aja. Mbak……”
aku memberikan mawar itu kepada si Mawar yang kutunggu ia menyebutkan namanya.
“Gracia.” Senyum khas nya
tertarik lebar dari kedua sudut bibirnya. Ia menerima mawar pemberianku.
Sungguh, ia lebih dari sekedar indah.
Bunga di tepi jalan alangkah
indahnya. Oh kasihan, kan ku petik sebelum layu.
– SheilaOn7
END.
Azeg. OneShoot ini terinspirasi
dari toko bunga yang gue liat di jalan dan sedikit dibubuhi oleh Cerpen Lentera
Padam nya si Onyol. Gimana gimana? Tunggu Tulip Merah : 4 yaaaa XD
@satepadang48
No comments:
Post a Comment