Saturday, 28 March 2015

Bunga di Tepi Jalan

halooooo..... sebenernya ini gabut ditengah minggu-minggu UTS. trus kebetulan dapet inspirasi, jadi aja deh bikin OS. oke selamat membaca ya!

Mendung langit. Indahnya sandikala di langit kota jogja tak nampak sore ini. Padatnya lalu lintas sudah menjadi biasa ditengah rutinitas. Suara bising dari knalpot kendaraan masih kalah dengan bisingnya alat-alat berat dari proyek pembangunan banyak mall dan hotel-hotel. Asap mengepul seakan semakin memperkeruh suasana hati pengendara yang mulai tidak sabar dengan macetnya kota ini.

                Kenalin, aku Hamids. mahasiswa jurusan Hubungan Internasional di salah satu universitas swasta di jogja. Rumahku di daerah condongcatur. Sudah sejak kelas 10 SMA aku pindah dari Jakarta ke Jogja karena pekerjaan Papa. Hampir selama 4 tahun ini aku lumayan menikmati setiap inchi dari kota ini yang semakin lama ternyata semakin men-jakarta. Awalnya aku kira akan mendapat udara segar di kota ini, ternyata sama saja. Ya memang sih tidak sekotor di Jakarta. Eh mungkin bukan tidak, tapi belum.



                Setelah selesai kuliah, seperti biasa aku nongkrong-nongkrong keren dulu di sebuah café yang wifi nya kenceng di dekat UNY. Sebenarnya aku kesana hanya untuk menikmati akses wifi gratis yang seenggaknya biar wangun mesen makanan atau minuman di café itu lah. Selesai mengerjakan tugas dan download film, aku memutuskan untuk pulang.

“kapan lowongnya ini jalan?” Keluhku saat mulai berada dalam titik kemacetan lagi.

                Rintik-rintik hujan mulai terasa membasahi tanganku yang asik memegang stang vespa VM2 125 keluaran tahun 1954 ini. Macetnya jalan sebelum lampu merah di belokan UNY mulai bikin aku kzl. Udah belom solat magrib, mau hujan, ketambahan macet kan jadi zbl.

             Masih dalam kondisi jalan yang padat merayap, hujan turun dengan cukup deras. Kuputuskan untuk meminggirkan motor kesayanganku ini ke sebuah toko bunga di deretan kios-kios kecil di sekitaran UNY. Lagipula juga hari ini belum beli bunga untuk yang tersayang. Kios paling ujung ini ya memang sangat sederhana, baru sekali juga kesini. Biasanya aku beli bunga untuk yang tersayang di tempat lain.
                Aku masuk ke dalam toko yang ukurannya sekitar 3x4 meter ini. Dari dalam sudah menyambut seorang gadis dengan rambut lurus panjang dan poni miringnya. Cantik sekali. Wajah oriental dengan mata coklat ini membiusku pada pandangan pertama. Aku tak bergeming dibuatnya.

“ajeng tumbas bunga, mas? (mau beli bunga, mas?)” ucap gadis penjual bunga ini dengan diakhiri senyuman yang masyaallah.

Aku mengedipkan mata beberapa kali. Ia menyadarkanku kalo ternyata aku masih hidup, dan ini bukan di surga. Senyumnya melambangkan keramahan warga jogja yang memang tak lekang oleh perubahan zaman. Keramahan inilah yang aku sukai dari kota jogja yang macet parah gils omg helo.

“i-iya, mbak.” Yaiyalah beli bunga. masa beli merch band rock, kan tokonya ada didepan.

“kangge sinten, mas? (buat siapa, mas?)” hiyak. Disenyumin lagi. lama-lama mimisan dah. Aku masih diam tak tahu harus bagaimana. Aku emang bego gini sih kalo ketemu cewek cantik. “eh, maaf mas kalo lancang. Maksud saya biar bisa disesuaikan gitu sama bunga nya.”

“em… bunga lily kuning. Berapa mbak?” aku menjawabnya dengan bahasa Indonesia.

Walaupun sudah 4 tahunan aku di jogja, tapi aku belum bisa berbicara bahasa halus atau kromo nya. Cuma ngerti aja kalo orang ngomong, tapi gak bisa ngucapinnya. kalo ngoko sih bisa lah ya, bahasa sehari-hari. Jadi daripada pake ngoko terus terkesan tidak sopan, lebih baik menggunakan bahasa pemersatuan Indonesia raya. Hehe.

Ia menyebutkan harga bunga tersebut lalu ku berikan selembar uang seratus ribu rupiah. Ia berjalan untuk mengambil uang kembalian ke sudut ruang dimana ada sebuah meja dengan tumpukan nota dan buku catatan serta novel tebal disana. Keheningan kembali menyelimuti kami. Sebenarnya gak hening sih, soalnya suara deruan kendaraan dan derasnya hujan cukup nyaring terdengar.

“mbak, saya numpang neduh ya? Diluar ujan nya deres banget.” Ucapku memecah keheningan ditengah kebisingan (?)

“oh iya, boten nopo-nopo mas. ini, Kembalian nya.” ia memberiku uang kembalian tadi lalu menyibukkan diri dengan novelnya.

                Sial. Malah awkward gini. Mau ajak ngobrol tapi aku malu. Aku juga tidak bagus dalam urusan memulai sebuah percakapan. Apalagi sama cewek cantik kayak gini.

                Sekitar 5 menit kemudian, alhamdulilah hujan reda. Gak ngerti lagi deh sama cuaca sekarang. Cepet banget berubahnya. Kayak mood cewek. Hft.  Aku mengucapkan terimakasih kepada gadis penjual bunga itu lalu bergegas pergi menuju rumah yang tersayang.

                Sampailah aku di daerah maguwoharjo. Bukan dirumahku, kan tadi aku udah bilang kalo rumahku di condongcatur. Ini adalah rumah yang tersayang. Ia adalah gadis yang ku puja-puja sejak SMA. Namanya Elaine. Teman sekelasku. Ia aktif hampir di semua kegiatan sekolah waktu SMA. Ia juga pintar, makanya dapat diterima di FH UGM lewat jalur SNMPTN.

Aku sangat mengagumi nya. namun sampai saat ini aku belum berani untuk menyatakan perasaanku. Dan selama hampir satu tahun belakangan ini aku memberikan perhatian tanpa identitas untuknya. Hampir setiap hari aku menaruh bunga lily kuning didepan rumahnya. Aku juga punya teman yang selama ini bisa dibilang perantara untuk mengetahui apa saja yang sedang diinginkan Elaine. Dan aku selalu memenuhi keinginan nya. tentu saja tanpa sebuah identitas. Sebenernya aku hanya beli, dan yang memberikan barang ataupun menaruh bunga di depan rumahnya merupakan orang suruhan. Ya, bisa aja anak kecil atau kurir. 

Tapi entah mengapa, pemberianku akhir-akhir ini yang sudah tidak lagi disambut baik olehnya membuatku jenuh. Beberapa kali kulihat bunga lily kuning itu tergeletak manis di tempat sampah depan rumahnya. Sakit sih, tapi aku tidak akan menyerah. Mungkin dia bosan. Lagian kalau aku menyerah kan pengorbanan tanpa nama selama setahun ini jadi sia-sia dong. Aku mencintainya bukan tanpa ambisi untuk memiliki. Aku berharap kelak ia akan tahu dengan sendirinya lalu bisa menerimaku menjadi kekasihnya.
***

                Beberapa minggu ini juga aku pindah toko bunga. Hehe. Toko si gadis penjual bunga itu menjadi pilihanku saat ini. Entah mengapa, hanya melihatnya tersenyum saja hati yang rusak rasanya perlahan-lahan terobati oleh keindahanya. Beberapa kali juga kami mengobrol saat aku menunggu hujan reda. Kadang modus lah ya kesini kalo sore karna biasanya jogja hujan di sore hari. Kami sering mengeluhkan kota jogja yang lalu lintasnya makin semrawut. Gak Cuma itu sih, kadang juga ngomongin wisata-wisata alam Daerah Istimewa ini yang masyaallah gak punya celah lah untuk mencela ciptaan tuhan disini.

                Suatu hari ketika obrolan kami mulai gak jelas ditengah hujan. Ngobrol ngalor ngidul gak ada juntrungannya. Sampai pada akhirnya ia bercerita tentang dirinya.

                Si gadis penjual bunga ini sampai aku sadari sekarang belum juga menyebutkan namanya. Mungkin ia nyaman hanya cukup memanggilku dengan ‘mas’ dan aku memanggilnya ‘mbak’. Biar sopan juga sih. Si gadis penjual bunga ini penyuka bunga mawar. Ia adalah mahasiswi jurusan sastra di UGM juga, sama seperti Elaine. Cuma beda jurusan. Lah kok jadi bahas Elaine? Segitu udah nempelnya Elaine kali ya di pikiran ku. Hehe.

                Si gadis penjual bunga ini orangnya mandiri. Ia menyewa dan membuka toko bunga ini murni dari hasil tabungannya sendiri atas hadiah tulisan-tulisan yang ia buat dalam beberapa sayembara menulis yang ia menangkan. Kesederhanaan nya membuatku takut jatuh cinta. Bukan apa-apa, aku sudah mencintai Elaine dan memeberinya perhatian tanpa nama. Masa iya belum nyatain ke Elaine udah nyerah. Kok jadi Elaine lagi? oke balik ke gadis penjual bunga ini. Secara materi, sebenarnya gadis ini membuka toko bunga sederhana ini bukan karena membutuhkan uang tetapi karena ia menyukai bunga.

“woy, Mids! Bengong wae ono uwong!” anjrit. Si Andrew ngagetin aja. Andrew Yuwono ini teman ku dari solo. Aksen jawa nya keliatan banget lah kalo dia ngomong.

“paling yo lagi mikirin wedokane kae.” Mario nyaut aje nih. Nah kalo Mario ini lebih kocak, aksen jawa nya yang nagapak-ngapak gitu. Dia dari tegal. Hehe. Tapi dia playboy. Pacarnya gonta-ganti. Jadi iri (?)

“opo yo we i jannn…..” Cuma itu yang bisa ku ucapkan kalau mereka lagi ngeledekin gini.

“sebenernya si bebek (sebutan ku untuk Elaine) itu beneran ada gak sih? Apa jangan-jangan mung imajinasimu wae, ndes!” males nih kalo Andrew udah kepo kepadaku tentang Elaine.

                Teman-temanku tidak ada yang tahu siapa dan seperti apa gadis yang sudah lama aku incar ini. Sengaja aku menyebut Elaine dengan nama lain ‘bebek’ didepan teman-temanku. Ya untuk menyamarkan aja sih, ngeri di gebet Mario kan dia playboy. Dih, gak rela.

“opo neh. Yo ono lah! Nglantur wae koe, ndes!” emang biasa lah kami para lelaki kece ini kalo nyebut pake ndes, dab, atau tho. Kadang-kadang coeg juga. Hehe.

“mana? Fotonya ada gak? Ntar lo Cuma kek orang gila lagi tiap hari beli bunga ternyata buat cewek hayalan. Hahahahah!” okta nih apaansi nyaut aje. Nah okta ini anak gawl jekardah. Kami berempat bersahabat Karena dipersatukan oleh ikatan jurusan HI di kampus ku. Azeg.

“mbok rasah ngono, tunggu wae sedilit meneh. Gue bakal ngenalin pujaan hati gue. Kalo udah liat orangnya, awas lu pada nanti naksir.” Kadang aksen Jakarta ku masih suka kebawa sih ya, 15 tahun disana soalnya. Hehe. 

“btw, lu pada tau penjual di toko bunga deket bangjo(lampu merah) sini gak?”

“sing cedhak bakul pulsa kui?” Mario masih memfokuskan pandangan ke laptopnya. Enggak, dia gak buka yang macem-macem. Dia lagi main game, kok. Aku hanya mengangguk.

“lha piye? Ayu po bakul e? (lha gimana? Yang jualan cantik?)” Andrew menyahut setelah daritadi sambil senyum-senyum sendiri melihat layar hp nya.

“iyo, ndes! Biyungalaaaah ayu tenan. Jarene sih cah sasin UGM. Ning aku urung ngerti jenenge e.” ucapku sambil membayangkan senyuman indah dari wajah cantik gadis penjual bunga itu.

“sebut saja Mawar. Biar kek di reportase. ya tanya lah, bege!” okta mengeplak kepalaku menggunakan gulungan kertas yang sedari tadi ia baca.
***

                Sore ini aku tidak membeli bunga untuk Elaine. Kali ini aku berada di sebuah mall berniat membelikannya iPod. Semalem dia ngeluh di twitter kalo iPod nya baru aja rusak. Sebagai Hamids dan Tim sayang elaine sejati, ini merupakan panggilan hati bahwa aku harus memberikannya dengan tanpa identitas lagi.

                Setelah membeli iPod baru buat Elaine dan ternyata masih sekitar jam 5 sore, aku putuskan pergi ke toko buku untuk membeli komik. Namun belum sampai Gramedia, aku melihat Andrew dengan seorang gadis yang sepertinya tidak asing lagi untukku baru keluar dari toko gadget.

“Drew, makasih ya iPod nya. semalem tuh aku gak ngode tau, Cuma lagi kzl aja iPod dari fans misterius ku rusak.” Samar-samar ku dengar pembicaraan Andrew dengan perempuan disebelahnya.

“hahahaha gapapa kan emang aku pengen beliin aja buat kamu. Biar kamu gak pake barang-barang dari fans kamu itu. ntar kamu kepincut lagi kalo ternyata itu ada klenik nya.” ucap Andrew dengan memberi penekanan di kata ‘fans’. Aku berjalan pelan membuntutinya sambil menjaga jarak agar tidak ketahuan. (klenik = yang mistis-mistis gitu lah. Berhubungan dengan dukun.)

“ih apasih. Aku tuh cintanya Cuma sama kamu doang, Drew. Mau dia pake klenik juga gabakal ngaruh kali.” Dilihat dari belakang, sepertinya aku paham siapa gadis yang sedang dalam gandengan tangan Andrew ini. Dari suaranya juga sangat tidak asing bagiku.

“iya. Elaine sayaaaaaang. Aku yo mung tresno karo sliramu.”

                Deg! Anjrit! Sakit. Lemes rasanya denger Andrew nyebut nama pacarnya yang ternyata gadis pujaan ku selama ini. Berarti selama ini pemberianku sia-sia. Pantas saja beberapa hari terakhir Andrew sering jarang nongkrong. Kalo pagi juga dia memilih bawa mobil sendiri dari yang biasanya ditebengin okta. Di tengah keseruan kami nongkrong di kampus juga Andrew sering pergi dengan alesan mau jemput seseorang. Ternyata itu Elaine. Asumsi ku juga mengatakan kalau yang membuang bunga lily kuning dari depan pintu rumah Elaine juga Andrew.

                Sial. Aku tidak tahu harus bagaimana. Mau marah juga ini bukan salah Andrew. Dia berhak mencintai seseorang. Aku yang salah. Aku yang bodoh karena tidak memberitahu siapa gadis incaranku selama ini. Aku yang bodoh telah sok merahasiakan ini dari teman-temanku. Aku yang bodoh telah memberikan perhatian tanpa nama ku untuk Elaine. Aku yang bodoh karena seharusnya aku sadar sejak SMA Elaine bahkan hampir tidak pernah menganggapku ada. Aku bodoh. Aku yang salah.

                Aku keluar dari mall itu dengan diriku. Sendiri. Sudah biasa. Ku pacu Vespa kesayanganku entah menuju kemana. Berjalan terus dengan hati yang masih hancur berkeping-keping. Ini cintaku. Cinta pertamaku. Mengapa se sakit ini? Mengapa sang cinta sekejam ini?

                Malam mulai datang. Jalan masih padat. Kota jogja semakin menyala. Pusat perbelanjaan, hotel-hotel mewah bahkan diskotik yang sudah menjamur perhalan mulai mengubah sisi keasrian kota ini. Aku terus memacu Vespa ku hingga entah mengapa sampai di lampu merah sekitar UNY. Ku putuskan untuk ke toko bunga sederhana yang biasanya.

“udah mau tutup ya, Mbak?” aku melihat punggungnya yang sedang sibuk bersiap untuk menutup tokonya karena hari sudah malam. gadis itu entah mengapa sedikit mengobati luka hati ini.

“mas nya mau beli? Tapi bunga lily semuanya udah habis, mas.” Ia tersenyum manis. Sangat manis.

“bukan, mbak. Saya mau beli Mawar.” Ucapku lirih. Ia masih melayani ku. Mungkin pembeli terakhir hari ini. Ia masuk kembali ke dalam toko nya. lalu keluar dengan setangkai mawar.

“tinggal ini, mas. Tinggal setangkai ini aja.” Ia memberikan setangkai mawar merah itu kepadaku.

                Aku membayar bunga yang ku beli lalu berjalan gontai ke Vespa ku. Aku melihat si Mawar dari spion motorku. ia mulai menutup tokonya lalu mengunci nya. aku kembali berdiri dibelakangnya. Ketika ia berbalik, mata kami bertemu. Tatapan nya sangat dalam dan damai. Ah, cantik sekali.

“kenapa, mas?”

“ini. Mawarnya buat kamu aja. Mbak……” aku memberikan mawar itu kepada si Mawar yang kutunggu ia menyebutkan namanya.

“Gracia.” Senyum khas nya tertarik lebar dari kedua sudut bibirnya. Ia menerima mawar pemberianku. Sungguh, ia lebih dari sekedar indah.

Bunga di tepi jalan alangkah indahnya. Oh kasihan, kan ku petik sebelum layu.
– SheilaOn7


END.

Azeg.  OneShoot ini terinspirasi dari toko bunga yang gue liat di jalan dan sedikit dibubuhi oleh Cerpen Lentera Padam nya si Onyol. Gimana gimana? Tunggu Tulip Merah : 4 yaaaa XD
@satepadang48

                

No comments:

Post a Comment