dianjurkan untuk membacanya saat pikiran sedang selo wkwkwk. bacalah dengan pikiran terbuka. sekali lagi ini cuma fanfict, gaada maksud lain atau apapun itu. oke ya langsung aja.....
Aku melihat Gracia. Gadis cantik
teman sebangku ku. Gadis cantik penjaga toko jam di tengah desa. Gadis cantik
berwajah oriental namun sangat dingin. Gracia menggerai rambutnya. Ia
mengenakan kaos putih berlengan panjang dengan rompi rajut berwarna abu-abu.
Rok hitam selututnya berkibar saat angin menyapu poni sampingnya. Kakinya
diselimuti boots coklat tinggi namun masih kalah tinggi dengan kaus kaki
hitamnya yang sudah mengendur.
Ia sedang
duduk dengan sebuah buku di tangannya. Mungkin novel. Aku melihatnya dari
samping. Ia sibuk dengan novelnya. Mungkin tidak menyadari keberadaanku yang
sekitar 30meter jaraknya dari tempat ia duduk bersantai. Ia berada diatas bukit
kecil yang ditumbuhi rumput teratur. Jika ia memandang kebawah, hamparan
ilalang sudah bergoyang lembut memanjakan matanya. Namun indahnya tempat itu
akan runtuh jika ia melihat lurus kedepan. Sekitar 1km didepan matanya terdapat
landasan angkatan udara jerman. Suara pesawat juga memekakan telinga. Ku harap
Gracia tidak terganggu dengan itu. Ku biarkan Gracia menikmati hari minggu nya
tanpa kehadiranku yang pasti akan mengganggunya. Ku lanjutkan mengayuh sepedaku
lurus kedepan entah akan mengarah kemana. Yang jelas bukan searah dengan
pesawat tempur jerman yang lepas landas bersamaan dengan kayuhanku.
Gracia’s POV
Sudah sekitar
2 jam aku berada di bukit ini. Seperti hari minggu biasanya, aku selalu ke
bukit ini untuk membaca novel. Biasanya dengan kak ve, tapi akhir-akhir ini ia
sibuk dengan pekerjaanya di rumah sakit jadi tidak bisa ikut bersamaku membaca
novel. Ya, hobi kami sama. Ia seorang perawat. Mungkin dengan keahliannya ia
bisa saja menjadi dokter, tetapi untuk menjadi dokter ia harus kuliah di kota.
Bukan karena ia tidak ingin berkuliah di kota, tetapi ia tidak sampai hati jika
harus meninggalkanku sendirian disini. Beberapa bulan lalu setelah ayah pergi
untuk berjuang dengan para pemberontak, kak Ve ditawari beasiswa untuk kuliah
kedokteran di kota. Namun ia menolak. Alasannya ya seperti yang tadi ku bilang.
Aku malas untuk mengulang kalimat.
Kak Ve adalah bidadari
yang tuhan kirimkan untuk menjaga ku. Bahkan lebih dari itu, ia adalah malaikat
yang menyembunyikan sayapnya. Terkadang aku suka merasa kasihan saat melihat
kak Ve pulang kala malam menjelang dengan langkah berat saat didepan rumah dan
raut wajah kelelahan. Namun ketika aku menemuinya, ia langsung menjadi ceria
dan bersemangat. Padahal aku paham betul bahwa ia hanya tidak ingin membuatku
khawatir. Saat makan malam berdua ia selalu menanyakan bagaimana pendidikanku
dan menyemangati ku dengan pipi membulat saat merekahkan senyuman di wajahnya.
Lucu sekali.
Lebih kasihan
lagi, sudah 2 kali dalam seminggu ini ia baru saja sampai rumah sepulang
bekerja lalu kak Kinal mengajaknya kembali kerumah sakit karena ada operasi dan
perawatan untuk korban tentara jerman yang baru kembali dari perang. Kak Kinal
adalah dokter muda yang selalu bersemangat setiap harinya. Ia tinggal di depan
rumah kami. Kak kinal adalah sahabat kakakku sejak kami baru pindah ke desa ini
sekitar 10 tahun lalu. Ia gadis yang baik. Jika aku sebut kak Ve malaikat,
mungkin kak Kinal adalahh guardian dari seorang malaikat. Ia selalu melindungi
kakakku. aku senang kak Ve memiliki sahabat sebaik kak Kinal. Tentu saja kak Ve
bisa, ia seorang yang ramah, hangat dan mudah bergaul. Berbanding terbalik 180
derajat denganku yang cuek, dingin dan payah dalam pergaulan.
“pesawat bodoh ini sangat
mengganggu.”
Aku
menutup kedua telingaku kala mendengar suara bising pesawat yang akan lepas
landas. Suara mesin bodoh ini benar-benar mengganggu. Aku muak melihat
kendaraan yang sering menjatuhkan bom di Negara-negara lain itu. Bahkan aku
rasa mungkin pesawat itu juga yang pernah menjatuhkan bom dan menghancurkan
beberapa rumah di desa ini. Ku alihkan pandanganku ke arah jalanan. Seorang gadis
bertubuh tinggi mengayuh cepat sepedanya seakan ingin menantang laju pesawat
namun berlawanan arah.
Nina?
Sedang apa ia sampai ke tempat ini? Kenapa aku bisa melihatnya? Ah, semoga ia
tidak melihatku berada disini. Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin suatu hari
ia mengikutiku sampai sini lalu mengganggu me-time ku. Aku malas melihatnya,
tapi anehnya aku terus menatap punggung indahnya itu. Nina yang lucu itu mengayuh
cepat sepedanya. Nina yang cengo itu mengikat satu rambutnya. Nina yang sok
kenal itu membuatku mengingat kesan pertama ku padanya. Nina yang ramah itu
mengenakan model pakaian yang sama dengan yang aku kenakan. Hanya beda warna
saja. Kaos lengan panjangnya berwarna abu-abu, rompinya hitam sewarna dengan
rok nya. sepatu yang ia kenakan model low dengan kaos kaki putih pendek. Aku
ingin lebih mengenal Nina. Namun aku tidak tahu bagaimana cara untuk lebih
mengenalnya. Atau mungkin aku hanya terlalu gengsi untuk berteman dengannya (?)
***
Hari
minggu ku singkat. Kemarin setelah pulang dari bukit dekat landasan angkatan
udara aku tidak melakukan apapun. Tidak ada yang harus dilakukan, lagipula. Sekarang
sudah hari senin saja. Sudah berada di sekolah pula. Berat sekali rasanya
melangkahkan kaki untuk memasuki bangunan yang cukup besar ini. Aku sedang
tidak mood untuk mendengarkan ocehan bodoh orang yang setia kepada penjajah.
Aku sedang malas untuk menutup telingaku dari ejekkan mereka.
“mari kita lihat apa isi dari tas
anak yang sok misterius ini!” seorang gadis tengil menggangguku lagi. ia Cuma
pengecut. Beraninya hanya jika bersama teman-temannya. Keroyokan. Pengecut.
“kembalikan padaku. Aku tak akan
memintanya dua kali kepadamu, saumensch!” ucapku datar dengan tatapan dingin.
[saumensch= jalang/bajingan]
“how dare you! Aku akan membuka
tas ini dan memperlihatkan isinya ke semua orang di koridor ini. Kau akan
menyesal, Gracia!” si bodoh itu mulai membuka kancing tas jinjing ku. Ku
biarkan saja. Sudah ku bilang, aku tidak akan memintanya dua kali. Aku
tersenyum penuh arti. Ia yang akan menyesal.
“hentikan, sofia!” nina? Mau apa
dia? Mau jadi pahlawan? Huh, kenapa orang-orang sangat bodoh!
“siapa kau?!” sofia berhenti
membuka kancing tas ku. Ia berjalan menghampiri Nina yang juga berjalan
mendekati sofia. “oh, anak baru itu. Ku beritahu kau, jangkung. Kau pasti akan
menyesal. Kau tahu? Aku adalah---”
“Sofia Meifalian Rasmussen. Aku
tahu. Anak dari walikota Arthur Rasmussen. Lalu apa? Kenapa?” aku mulai sepaham
dengan Nina. Tapi aku malas berada di tengah keributan. Jadi aku putuskan untuk
masuk ke kelas. Lagipula, untuk apa menonton orang bertengkar? Aku ngeloyor
pergi setelah mengambil tas ku yang sofia jatuhkan sebelum mendatangi Nina.
“ Kau lihat, jangkung? Orang yang
kau bela justru meninggalkanmu dengan seenaknya. Ku beritahu kau, Nina. Gracia
bukan orang yang menginginkan adanya teman. Bahkan ia tidak berterimakasih
kepadamu!” aku dengar samar-samar yang Sofia katakan kepada Nina. Ada benarnya
juga, sih.
14.23 PM
Nina sangat berbeda dengan kemarin. Sejak jam
pelajaran dimulai hingga bel pulang sekolah hampir berbunyi, ia tidak
mengucapkan sepatah kata pun kepadaku. Ia menyibukkan diri dengan buku-buku
didepan nya. saat bel istirahat makan siang ia langsung keluar dengan beberapa
anak. Beberapa kali aku mencuri pandang, ia tetap saja tidak sedang menoleh ke
arah ku. Padahal ia berada di sebelah ku dan tidak sedang sibuk dengan
tugasnya. Saat itu juga guru sedang mengoreksi lembar jawaban kami, jadi
sejatinya ia tidak perlu memperhatikan guru. Apa mungkin nina marah padaku
karena kejadian tadi pagi? Apa mungkin Nina percaya begitu saja dengan ucapan Sofia?
Ah bodoh! Aku tidak seperti itu, bodoh! Aku ingin berteman denganmu. hanya
saja, aku tidak mengerti bagaimana memulainya. Tolong, jangan menyerah
kepadaku.
Bel
pulang sekolah pun berbunyi. Murid-murid berhamburan keluar kelas. Nina pun
demikian. Ia langsung menjinjing tas nya tanpa menoleh kearahku sedikit pun.
Padahal aku belum merapihkan buku-buku ku. Aku juga sedikit membuat gerakan
aneh, membanting pelan buku, sampai bersenandung pelan tapi ia tetap cuek. Apa
ia benar-benar marah? Ah biar saja. Kali ini aku tidak perduli. Sudah biasa aku
sendirian di sekolah.
Setelah
kelas kosong, aku merapikan buku-buku ke dalam tas. Ku lihat ke luar jendela
halaman sekolah sudah sepi murid-murid. Hanya ada beberapa yang mungkin masih
melakukan penelitian dengan rangkaian bom kecil di sudut halaman. Aku bergegas
pulang karena kemarin paman bilang padaku bahwa hari ini akan sangat sibuk.
Entah apa yang akan paman lakukan di toko, aku tidak tahu.
“hei, Gracia!” aku terkejut. Saat
melewati gereja, Nina memotong jalanku.
“ku kira kau marah padaku.”
Jawabku dengan tertunduk sambil terus berjalan.
“marah? Untuk apa?” Nina
mengikuti langkahku dari samping.
“tadi pagi. Thanks, by the way.”
Ucapku singkat. Masih dengan pandangan lurus ke depan.
“ah itu, aku tidak akan bisa
marah denganmu.” aku menunduk untuk menyembunyikan senyum blushing yang
tiba-tiba muncul diwajahku. ia terus berjalan mengikuti langkahku. Untuk
beberapa detik keheningan menyelimuti kami. Hanya ada suara kendaraan yang
lewat sebagai backsound langkah kaki kami.
“apa yang kau lakukan tadi?
Mengintip? Kenapa tidak masuk saja?” oke, mungkin ini adalah pertanyaan konyol
untuk memulai sebuah pertemanan. Nina malah cengo mendengar rentetan
pertanyaanku. “hei, jangkung!” aku menepuk bahu nya.
“ah, emm…. A-aku. Itu… em—“
“tak apa, jangkung. Tuhan selalu
menerimamu walaupun kau sangat hina sekalipun.” Nina hanya diam. Beberapa orang
yang aku temui memang merasa dirinya tidak pantas untuk menemui Tuhan. Mungkin
Nina punya kesahalan besar sampai ia tidak merasa pantas untuk masuk gereja.
Nina’s POV
Sore
ini aku pulang sekolah dengan Gracia. Tadinya aku tidak berniat pulang sekolah
dengannya. namun saat aku sedang mengintip ke dalam gereja dari jendela dan ada
yang melihatku dari dalam, dengan reflek aku bersembunyi lalu melihat kearah
lain. Dan mungkin aku berjodoh dengan Gracia (?). Aku melihatnya berjalan agak
cepat menuju pusat desa. Aku menghentikan langkahnya. Aku menyapa nya, ia malah
tertunduk sambil terus melanjutkan langkahnya. Padahal kemarin aku perhatikan
ia tidak pernah berjalan dengan menunduk. Lucunya, ia merasa bersalah karena
tidak berterimakasih kepadaku atas kejadian tadi pagi. Padahal aku merasa biasa
saja.
“apa yang kau lakukan tadi?
Mengintip? Kenapa tidak masuk saja?” aku bingung harus menjawab apa. Sedikit
senang sih, Gracia mau menanyakan sesuatu yang tidak penting sebenarnya. “hei,
jangkung!” ia menepuk bahu ku.
“ah, emm…. A-aku. Itu… em—” aku
masih tak tahu harus menjawab apa.
“tak apa, jangkung. Tuhan selalu
menerimamu walaupun kau sangat hina sekalipun.” Gracia berkata dengan bijaknya
seperti yang sering ku dengar dari adanya kotbah di gereja.
Bukan
apa-apa, Gracia. Sebenarnya aku tidak merasa hina, hanya saja kita berbeda.
Gereja bukan tempatku. Aku hanya suka mendengar yang mereka nyanyikan dari
dalam. Suara nya sangat menenangkan hati. Ingin sekali aku berterus terang
menjawab pertanyaanmu. Tapi aku takut itu nantinya malah akan membahayakanku
dan nenek serta kakek ku. Bukannya aku tidak percaya kepadamu, tapi akan lebih
baik jika saat ini aku simpan sendiri identitasku rapat-rapat. Suatu saat nanti
jika kita sudah menjadi sahabat, aku akan memberitahu mu.
Kami
berpisah di perempatan. Gracia harus membantu paman nya di toko. Aku ingin ikut
serta membantunya jika memang ia sibuk, tapi mungkin sampai disini saja hari
ini. Mungkin kakek memerlukan bantuanku di kebun. Akhirnya aku pun pulang.
***
Mei 1943
Sejak hari itu
aku dan Gracia semakin dekat. Sudah hampir satu tahun ini ia menjadi teman
dekatku. Kami selalu melakukan hal-hal menyenangkan berdua. Jika tidak ada yang
bisa aku lakukan di kebun, aku sering membantunya menjaga toko. Aku juga beberapa
kali berkunjung ke rumahnya. Bertemu dengan kakaknya yang sangat cantik, yang
selalu bersama Kak Kinal setiap aku berada dirumah Gracia.
Kinal
Iriena Ivanova atau aku dan Gracia memanggilnya Kak Kinal, adalah seorang
dokter di rumah sakit di kota kecil ini sekaligus sahabat baik kak Ve. Ia
adalah keturunan Russia-Denmark. Ia cantik. Ia tergolong gadis yang tinggi,
walaupun tidak setinggi tubuhku. Badan nya tegap, cocok dengan rambut pendek
nya. kak kinal sangat suka berolahraga. Setiap pagi sebelum berangkat ke rumah
sakit ia selalu jogging mengitari desa.
Hari
ini minggu. Seperti biasa aku dan gracia akan ke bukit untuk melakukan hobi
kami. Sebenarnya aku tidak begitu suka membaca. Kadang aku juga sering merasa
bosan. Tapi ketika melihat wajah samping Gracia yang sedang serius membaca
novel, aku jadi tidak bosan. Cukup melihat Gracia saja sudah menjadi hobi ku
yang membuat bahagia ia ia /bacanya pake nada lagu GAC - bahagia/. Hehe.
“Nina, apa kau tidak bosan
memandangiku daritadi?” Gracia membuka suara. Namun masih fokus ke novelnya.
“tidak. Dan tidak akan pernah
bosan! Hehe.” Ucapku sambil merebahkan badan di rerumputan.
“dih apasih kamu.” Gracia menutup
novelnya. Ia mendekatkan wajahnya padaku, lalu—
“AW! Gre sakittttttt!” haduhhhhh
ia mencubit perutku. Dan memang cubitan gracia lah yang paling sakit. Apalagi
di perut.
“biarin! Itu adalah balasan buat
orang yang sudah seenaknya mengganti nama orang! hahaha” gracia makin menjadi.
Ia malah menambah cubitan di perutku. Sumpah, ini sakit.
“apa yang salah? Benar kan nama
mu Gracia? Shania Gracia Roosevelt?” ucapku membela diri sambil mengusap bekas
cubitan gracia.
“kau salah dalam pengucapan
namaku, Stalker. Namaku Gracia, dibaca Gra-ci-a.
tapi kau memanggilku Gre-sya. Sudah
sejak awal kita berkenalan kau salah menyebut namaku.”
“woah! Aku baru sadar. Kenapa kau
diam saja? Selama ini aku memanggilmu Gresya
dan kau tidak pernah protes?” aku kembali merebahkan tubuhku ke rumput. Menarik
napas panjang lalu menghembuskannya.
“aku anggap itu panggilan sayang
darimu.” Deg! Apa?! Panggilan sayang? Gre, kau tau tidak kalau kalimat yang
baru saja kau ucapkan itu mungkin hanya candaan, tapi aku merasa sangat bahagia
ia ia.
Gracia
ikut merebahkan tubuhnya disampingku. Novelnya ia simpan di dada dengan
lingkaran tangannya. Sungguh, hari ini cuaca nya sangat enak. Langitnya biru
tanpa awan. Indah, nyaman, tentram tanpa pesawat perang yang terbang bebas. Aku
memejamkan mataku sejenak. Merasakan kenyamanan yang ada di hati.
Gre? Ketika
aku membuka mata, wajah gracia sudah berada di hadapanku. Mata kami bertemu.
Kecantikannya, lebih dari sekedar cantik. Keindahannya, lebih dari sekedar
indah. Dengan jarak sedekat ini, kesempurnaan didepan mataku tidak bisa lagi
kuucapkan dengan kata-kata. Gracia semakin mendekatkan wajahnya. Nafasnya mulai
tidak teratur. Aku tidak tau harus bagaimana. Cengo. Lagi-lagi begitu ekspresi
wajahku. Aku mematung untuk beberapa saat, lalu
Chuuuu-
Gracia’s POV
Entah dapat
keberanian dari mana aku mencium bibir sahabatku. Ia menerima ciumanku. Selanjutnya
tak bisa ku ungkapkan lewat kata-kata. Ini sangat…….. menyenangkan (?) ini kali
pertama aku berciuman. Dan dengan seorang gadis yang seharusnya hanya sebagai
sahabat saja.
Awalnya aku
mengira ciuman pertamaku akan terjadi dengan pangeran berkuda putih seperti di
dongeng-dongeng, atau paling tidak seorang ahli pemecah kode musuh saat perang.
Iya, aku memimpikan pria pintar yang berperang dengan otaknya, bukan dengan
otot nya. ia yang aku mimpikan berperang didalam sebuah ruangan membuat sebuah
mesin pemecah kode rahasia jerman lalu mengalahkannya. Simple saja, jika pria
itu berhasil akan membuat jerman mengalami kekalahan dalam perang dunia dan
membuat dunia ini damai kembali. Membuat Denmark menjadi kerajaan yang nyaman
untuk ditinggali lagi. membuatku tidak terganggu dengan suara sirine atas
serangan udara, menikmati hari minggu membaca novel bersama Nina tanpa adanya
gangguan suara bising pesawat. Yang paling penting, membuat kak ve sedikit
memiliki waktu untuk bersantai karena tidak ada ‘kiriman’ korban perang di RS.
Aku tidak tega melihat malaikatku hampir setiap malam pulang larut karena sibuk
di RS.
“Nina, aku ingin bilang sesuatu
kepadamu.” Kami sudah berada didepan rumahku. Seperti hampir satu tahun
belakangan ini Nina selalu menjemputku dengan sepeda kakeknya untuk pergi
bersama ke bukit.
“ya, katakan saja.” ia turun dari
sepedanya
“a-aku….” Lidahku kelu. Busuk!
Kenapa sangat sulit untuk mengungkapkannya?
“Gresya, aku tahu ini gila. Tapi aku mencintaimu.” Aku masih
mematung tak tahu harus berbuat apa. Laringku bergetar tetapi tak bersuara.
Tatapannya serius, bukan cengo seperti biasanya.
“yasudah, aku pulang dulu ya.
Bye, Gre!” melihat reaksi ku yang hanya diam saja melihat, nina membalikkan
tubuhnya bergegas meninggalkanku. Nina jangan pulang dulu, aku masih ingin
bicara. Aku ingin membalas pernyataanmu. Aduhh gracia, ayodong bicara! Jangan
bertingkah bodoh seperti ini.
“Nina!” aku memanggilnya. Ia
membalikan tubuhnya, menghadapku lagi sambil menarik sudut kanan bibirnya
tersenyum keren dan menaikan kedua alisnya.
“apa tadi itu serius?” hanya itu
yang keluar dari mulutku. Kali ini nina merekahkan senyum nya menahan tawa.
Bodoh gre! Itu sudah jelas-jelas ia serius, kenapa masih bertanya?
“a- emm…. Me too, Nina. Me too.”
Hah! Lega. Legaaaaaaa sekali rasanya. Ia menatapku dalam-dalam untuk waktu
beberapa detik. Jantungku berdegup kencang. Ingin sekali rasanya berteriak
mengeluarkan ekspresi hati saat ini.
Nina
memeluk ku erat yang tentu ku balas pelukan nya. Rasanya berbeda dari
pelukan-pelukan kami sebelumnya. Entah mengapa sejak beberapa menit lalu ia
mengungkapkan perasaanya, pelukan kali ini terasa beda. Nyaman sekali. Aku juga
merasa aman berada di pelukannya.
“Gresya,” ucapnya pelan di telingaku
“i-iya, Nina?” ini pertama kali
aku jatuh cinta, jadi masih sangat degdegan.
“sudah hampir waktunya makan
malam, Gre. Bukankah tadi kau bilang ingin membantu Kak Ve?”
“oh iya, sampai lupa. Hehe”
ucapku melepaskan pelukan dari tubuh tinggi Nina.
“see ya tomorrow, Gresya!”
“see ya, Nina. Hati-hati ya!”
Nina
mengayuh sepeda usang kakeknya. Iya, gadis yang sekarang ini mungkin resmi
menjadi pacarku itu kini hanya kulihat punggung indahnya dengan rambut terurai
bebas terkibas oleh angin. Aku terus memandanginya sampai di belokan dan sudah
tak terlihat.
Akhirnya
aku masuk ke dalam rumah. Aroma masakan sudah tercium menggoda perutku untuk
cepat-cepat berteriak ‘Happy Tummy’. Kakakku memang jago masak. Tak jarang
setelah pulang dari rumah sakit kak kinal sering ke rumah hanya untuk memakan
masakan kak ve walaupun harus menunggu lama dan hari sudah larut.
“kenapa tak kau ajak Nina makan
malam disini?” ucap kak ve saat aku mengambil apel di meja makan
“dia kan takut gelap.
Ngomong-ngomong, kak ve masak apa?” aku mendekatinya lalu bersandar di meja
dapur.
“seperti biasanya. Hanya ada
sayuran. Tidak ada daging. Semua ternak diambil oleh tentara jerman. Jadi
mungkin selama dunia masih terus berperang dan mereka masih menduduki wilayah
ini, kita tidak memakan daging.” Jelas kak ve sambil menuangkan soup ke mangkuk
besar
“padahal aku merindukan daging
asap buatan kakak. Rasanya….. hhmmmm” aku memejamkan mata dan menarik napas
membayangkan masakan dengan olahan daging asap buatan kak Ve yang aroma nya
seakan bisa ku cium.
“hhhh…. Sudahlah. Bawa ini ke
meja makan. Kakak akan menyiapkan yang lainnya.” Kak ve memberikan mangkuk
besar berisi soup itu untuk ku bawa. Aku membawanya ke meja makan lalu
menyiapkan alat-alat makan.
“oh iya, Gracia! Tolong tambahkan
jumlah nya, ya! Kinal akan datang!” teriak kak ve dari dapur. Aku meng-iya-kan
permintaanya.
Beberapa
menit setelah semuanya siap, kak kinal datang. Seperti biasa jika ada kak kinal
ditengah-tengah kami, rumah menjadi ramai. Suasana menjadi hangat. Atmosfer
menjadi ceria. Kak kinal itu bisa dibilang agent of happiness. Ia selalu bisa
membuat kami tertawa dengan tingkah konyol nya. ia terlalu baik jika harus
bekerja mengobati luka-luka tentara jerman setelah berperang.
Setelah
makan malam, aku langsung naik ke kamar ku yang berada di lantai dua. Tidak
banyak yang aku bisa lakukan di kamarku. Mungkin hanya memikirkan cucu
Hamelwosfh itu.
***
Juni 1943
Pagi
benderang. Jernihnya semesta. Dalam wangi bunga menyambut harapan akan sebuah
kemerdekaan bagi kerajaan Denmark yang dahulu makmur, jaya, dan nyaman. Aku
sudah berada di kelas dengan Nina disampingku. Kami tidak sedang mengobrol. Ia
tidak sedang melihat keluar jendela, apalagi wajah sampingku. Tidak. Bukan. Ia
sibuk dengan buku catatan matematika nya yang bahkan tidak ada unsur angka
disana. Padahal sekarang adalah jam istirahat makan siang. Aku melupakan
novelku. Novel itu sepertinya tertinggal di kamar ku setelah semalam sebelum
tidur aku membacanya. Jadi ya…. Aku bosan.
“Nina, ayo keluar! Aku bosan!”
oke, sepertinya aku membuyarkan konsentrasi nya.
“kau lapar, Gre?” ia menutup buku
catatannya.
“tidak, hanya keluar saja. Yang penting
tidak di kelas ini.” Sebenarnya aku hanya ingin mengalihkan perhatian dan
pandangan Nina kepadaku. Bukan kepada buku-buku itu. Nina hanya mengangguk.
Kami
berdua berjalan bersama. Menyusuri koridor sekolah yang ramai oleh murid-murid
yang berlalu lalang. Disudut kiri, si Rassmussen dan teman-temannya masih asik
membully seorang junior. Di ujung koridor, seorang gadis dan pacarnya berciuman
dengan mesra. Oke, aku iri (?). Sejak pertama kali aku berciuman dengan Nina di
hari ia menyatakan cintanya kepadaku,
sampai hampir satu bulan kami berpacaran baru kali itu aku berciuman. Entah
karena memang dia yang tak tahu bagaimana harus memulai, atau aku yang malu
untuk mengajaknya berciuman. Sepanjang koridor beberapa teman seangkatan terus
melihat kearah kami dengan tatapan aneh. Atau mungkin bukan kami, tetapi aku.
Iyasih, seingatku ini kali pertama aku hanya sekedar berjalan-jalan di sekolah.
Biasanya datang-duduk-diam dikelas-pulang. Mungkin mereka heran. Atau aku
memang aneh ya? Ah biarlah, yang penting Cuma aku yang bisa memenangkan hati
Nina.
Yang namanya
Nina, tetap saja Nina. Setelah berkeliling sekolah tanpa tujuan, akhirnya Ia
mengajakku ke perpustakaan. Sebenarnya aku sedang muak dengan buku, mengingat
jika Nina sudah menemukan buku yang membuatnya tertarik, ia jadi cuek denganku.
Ia memilih beberapa buku yang diantaranya adalah buku tentang sejarah,
ensiklopedi, dan buku kimia. Ia jarang sekali kulihat membaca novel, biasanya sih buku-buku ‘berat’.
Aku bingung
harus melakukan apa di perpustakaan. Aku tak tahu harus membaca buku yang mana.
Aku mengambil koran yang tergeletak di meja pustakawan. Berita tentang
pembantaian Jewish oleh Nazi di
negaranya sendiri cukup menarik perhatianku. Aku mencari nina untuk sekedar
membuat obrolan diantara kami. Sebenarnya Nina juga pendiam, jadi kadang kita
sama-sama irit bicara. Ku lihat Nina sedang memilih buku di sudut perpustakaan.
Padahal ia sudah mengambil 4 buku untuk dipinjam dari perpustakaan, apa masih
kurang?
Nina’s POV
“Nina! Disini kau rupanya!” dia
cukup mengejutkanku ditengah keheningan perpustakaan. kau tau kan siapa yang ku
sambut dengan senangnya walaupun kedatangannya mengganggu pencarianku (?)
“ada apa, Gre?” aku menengoknya
sekilas lalu terfokus kembali ke rak buku
“bagaimana pendapatmu?”
ia menunjukkan
sebuah Koran pro jerman dengan headline bertuliskan Kill The Jews, Save The World! Deg!……. Rasanya seperti diterjang
ombak dari bibir pantai dengan ribuan karang dan jurang laut yang menanti.
Jatuh. Copot. Tanggal. Mungkin jika jantung ini hanya direkatkan oleh semen,
ini akan retak lalu terjun bebas menembus rusuk sampai uretra. Mungkin jika
kelopak mata ini seperti tanggul yang hanya ciptaan manusia, air mataku sudah
membanjiri seisi sekolah. Mungkin jika tubuh ini tidak memiliki tulang
belakang, aku sudah ambruk (ini fakta kan
avertebrata letoy wkwk :p)
Ku rebut Koran
itu dari gracia lalu membawanya keluar perpustakaan tanpa memperdulikan gracia
yang mungkin masih merasa aneh dengan tingkahku. Aku meninggalkan Gracia begitu
saja di perpustakaan, berjalan cepat menuju kelas lalu mengambil tas untuk
bolos pelajaran berikutnya. Tak lupa sebelumnya aku memasukkan Koran itu ke
dalam tas agar tidak ada orang lain yang mencurigaiku.
to be continue.....
Kerenn ceritanya dan bikin penasaran, trus juga beda dari yang lain ntap lah pokonya 👍
ReplyDeletehehe makasih ya, kak.
DeleteAnti mainstream ceritanya, so exited to read it. Ngangkat latar situasi peperangan,seolah2 drama percintaan jd penghangat suasana perang yg dingin. Baca cerita ini jd inget film "Fury". Tp berharap endingnya gk se-bad film itu. Nice thor, i'll be waiting the squel
ReplyDeletewaduh kak, kalo sama fury beda. ini bukan di medan perang, cuma drama tentang penduduk sipil selama PD2. tapi yaaaa..... tunggu nanti deh. btw, makasih yaa udah mau baca hehehe XD
ReplyDeleteIya beda, mgkn krn kebawa suasana aja mkanya jd inget film itu hihih
Delete