Tuesday, 17 March 2015

Tulip Merah : 2

dianjurkan untuk membacanya saat pikiran sedang selo wkwkwk. bacalah dengan pikiran terbuka. sekali lagi ini cuma fanfict, gaada maksud lain atau apapun itu. oke ya langsung aja.....

Aku melihat Gracia. Gadis cantik teman sebangku ku. Gadis cantik penjaga toko jam di tengah desa. Gadis cantik berwajah oriental namun sangat dingin. Gracia menggerai rambutnya. Ia mengenakan kaos putih berlengan panjang dengan rompi rajut berwarna abu-abu. Rok hitam selututnya berkibar saat angin menyapu poni sampingnya. Kakinya diselimuti boots coklat tinggi namun masih kalah tinggi dengan kaus kaki hitamnya yang sudah mengendur.



Ia sedang duduk dengan sebuah buku di tangannya. Mungkin novel. Aku melihatnya dari samping. Ia sibuk dengan novelnya. Mungkin tidak menyadari keberadaanku yang sekitar 30meter jaraknya dari tempat ia duduk bersantai. Ia berada diatas bukit kecil yang ditumbuhi rumput teratur. Jika ia memandang kebawah, hamparan ilalang sudah bergoyang lembut memanjakan matanya. Namun indahnya tempat itu akan runtuh jika ia melihat lurus kedepan. Sekitar 1km didepan matanya terdapat landasan angkatan udara jerman. Suara pesawat juga memekakan telinga. Ku harap Gracia tidak terganggu dengan itu. Ku biarkan Gracia menikmati hari minggu nya tanpa kehadiranku yang pasti akan mengganggunya. Ku lanjutkan mengayuh sepedaku lurus kedepan entah akan mengarah kemana. Yang jelas bukan searah dengan pesawat tempur jerman yang lepas landas bersamaan dengan kayuhanku.

Gracia’s POV
Sudah sekitar 2 jam aku berada di bukit ini. Seperti hari minggu biasanya, aku selalu ke bukit ini untuk membaca novel. Biasanya dengan kak ve, tapi akhir-akhir ini ia sibuk dengan pekerjaanya di rumah sakit jadi tidak bisa ikut bersamaku membaca novel. Ya, hobi kami sama. Ia seorang perawat. Mungkin dengan keahliannya ia bisa saja menjadi dokter, tetapi untuk menjadi dokter ia harus kuliah di kota. Bukan karena ia tidak ingin berkuliah di kota, tetapi ia tidak sampai hati jika harus meninggalkanku sendirian disini. Beberapa bulan lalu setelah ayah pergi untuk berjuang dengan para pemberontak, kak Ve ditawari beasiswa untuk kuliah kedokteran di kota. Namun ia menolak. Alasannya ya seperti yang tadi ku bilang. Aku malas untuk mengulang kalimat.

Kak Ve adalah bidadari yang tuhan kirimkan untuk menjaga ku. Bahkan lebih dari itu, ia adalah malaikat yang menyembunyikan sayapnya. Terkadang aku suka merasa kasihan saat melihat kak Ve pulang kala malam menjelang dengan langkah berat saat didepan rumah dan raut wajah kelelahan. Namun ketika aku menemuinya, ia langsung menjadi ceria dan bersemangat. Padahal aku paham betul bahwa ia hanya tidak ingin membuatku khawatir. Saat makan malam berdua ia selalu menanyakan bagaimana pendidikanku dan menyemangati ku dengan pipi membulat saat merekahkan senyuman di wajahnya. Lucu sekali.

Lebih kasihan lagi, sudah 2 kali dalam seminggu ini ia baru saja sampai rumah sepulang bekerja lalu kak Kinal mengajaknya kembali kerumah sakit karena ada operasi dan perawatan untuk korban tentara jerman yang baru kembali dari perang. Kak Kinal adalah dokter muda yang selalu bersemangat setiap harinya. Ia tinggal di depan rumah kami. Kak kinal adalah sahabat kakakku sejak kami baru pindah ke desa ini sekitar 10 tahun lalu. Ia gadis yang baik. Jika aku sebut kak Ve malaikat, mungkin kak Kinal adalahh guardian dari seorang malaikat. Ia selalu melindungi kakakku. aku senang kak Ve memiliki sahabat sebaik kak Kinal. Tentu saja kak Ve bisa, ia seorang yang ramah, hangat dan mudah bergaul. Berbanding terbalik 180 derajat denganku yang cuek, dingin dan payah dalam pergaulan.

“pesawat bodoh ini sangat mengganggu.”

                Aku menutup kedua telingaku kala mendengar suara bising pesawat yang akan lepas landas. Suara mesin bodoh ini benar-benar mengganggu. Aku muak melihat kendaraan yang sering menjatuhkan bom di Negara-negara lain itu. Bahkan aku rasa mungkin pesawat itu juga yang pernah menjatuhkan bom dan menghancurkan beberapa rumah di desa ini. Ku alihkan pandanganku ke arah jalanan. Seorang gadis bertubuh tinggi mengayuh cepat sepedanya seakan ingin menantang laju pesawat namun berlawanan arah.

                Nina? Sedang apa ia sampai ke tempat ini? Kenapa aku bisa melihatnya? Ah, semoga ia tidak melihatku berada disini. Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin suatu hari ia mengikutiku sampai sini lalu mengganggu me-time ku. Aku malas melihatnya, tapi anehnya aku terus menatap punggung indahnya itu. Nina yang lucu itu mengayuh cepat sepedanya. Nina yang cengo itu mengikat satu rambutnya. Nina yang sok kenal itu membuatku mengingat kesan pertama ku padanya. Nina yang ramah itu mengenakan model pakaian yang sama dengan yang aku kenakan. Hanya beda warna saja. Kaos lengan panjangnya berwarna abu-abu, rompinya hitam sewarna dengan rok nya. sepatu yang ia kenakan model low dengan kaos kaki putih pendek. Aku ingin lebih mengenal Nina. Namun aku tidak tahu bagaimana cara untuk lebih mengenalnya. Atau mungkin aku hanya terlalu gengsi untuk berteman dengannya (?)
***

                Hari minggu ku singkat. Kemarin setelah pulang dari bukit dekat landasan angkatan udara aku tidak melakukan apapun. Tidak ada yang harus dilakukan, lagipula. Sekarang sudah hari senin saja. Sudah berada di sekolah pula. Berat sekali rasanya melangkahkan kaki untuk memasuki bangunan yang cukup besar ini. Aku sedang tidak mood untuk mendengarkan ocehan bodoh orang yang setia kepada penjajah. Aku sedang malas untuk menutup telingaku dari ejekkan mereka.

“mari kita lihat apa isi dari tas anak yang sok misterius ini!” seorang gadis tengil menggangguku lagi. ia Cuma pengecut. Beraninya hanya jika bersama teman-temannya. Keroyokan. Pengecut.

“kembalikan padaku. Aku tak akan memintanya dua kali kepadamu, saumensch!” ucapku datar dengan tatapan dingin. [saumensch= jalang/bajingan]

“how dare you! Aku akan membuka tas ini dan memperlihatkan isinya ke semua orang di koridor ini. Kau akan menyesal, Gracia!” si bodoh itu mulai membuka kancing tas jinjing ku. Ku biarkan saja. Sudah ku bilang, aku tidak akan memintanya dua kali. Aku tersenyum penuh arti. Ia yang akan menyesal.

“hentikan, sofia!” nina? Mau apa dia? Mau jadi pahlawan? Huh, kenapa orang-orang sangat bodoh!

“siapa kau?!” sofia berhenti membuka kancing tas ku. Ia berjalan menghampiri Nina yang juga berjalan mendekati sofia. “oh, anak baru itu. Ku beritahu kau, jangkung. Kau pasti akan menyesal. Kau tahu? Aku adalah---”

“Sofia Meifalian Rasmussen. Aku tahu. Anak dari walikota Arthur Rasmussen. Lalu apa? Kenapa?” aku mulai sepaham dengan Nina. Tapi aku malas berada di tengah keributan. Jadi aku putuskan untuk masuk ke kelas. Lagipula, untuk apa menonton orang bertengkar? Aku ngeloyor pergi setelah mengambil tas ku yang sofia jatuhkan sebelum mendatangi Nina.

“ Kau lihat, jangkung? Orang yang kau bela justru meninggalkanmu dengan seenaknya. Ku beritahu kau, Nina. Gracia bukan orang yang menginginkan adanya teman. Bahkan ia tidak berterimakasih kepadamu!” aku dengar samar-samar yang Sofia katakan kepada Nina. Ada benarnya juga, sih.

14.23 PM

                 Nina sangat berbeda dengan kemarin. Sejak jam pelajaran dimulai hingga bel pulang sekolah hampir berbunyi, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun kepadaku. Ia menyibukkan diri dengan buku-buku didepan nya. saat bel istirahat makan siang ia langsung keluar dengan beberapa anak. Beberapa kali aku mencuri pandang, ia tetap saja tidak sedang menoleh ke arah ku. Padahal ia berada di sebelah ku dan tidak sedang sibuk dengan tugasnya. Saat itu juga guru sedang mengoreksi lembar jawaban kami, jadi sejatinya ia tidak perlu memperhatikan guru. Apa mungkin nina marah padaku karena kejadian tadi pagi? Apa mungkin Nina percaya begitu saja dengan ucapan Sofia? Ah bodoh! Aku tidak seperti itu, bodoh! Aku ingin berteman denganmu. hanya saja, aku tidak mengerti bagaimana memulainya. Tolong, jangan menyerah kepadaku.

                Bel pulang sekolah pun berbunyi. Murid-murid berhamburan keluar kelas. Nina pun demikian. Ia langsung menjinjing tas nya tanpa menoleh kearahku sedikit pun. Padahal aku belum merapihkan buku-buku ku. Aku juga sedikit membuat gerakan aneh, membanting pelan buku, sampai bersenandung pelan tapi ia tetap cuek. Apa ia benar-benar marah? Ah biar saja. Kali ini aku tidak perduli. Sudah biasa aku sendirian di sekolah.

                Setelah kelas kosong, aku merapikan buku-buku ke dalam tas. Ku lihat ke luar jendela halaman sekolah sudah sepi murid-murid. Hanya ada beberapa yang mungkin masih melakukan penelitian dengan rangkaian bom kecil di sudut halaman. Aku bergegas pulang karena kemarin paman bilang padaku bahwa hari ini akan sangat sibuk. Entah apa yang akan paman lakukan di toko, aku tidak tahu.

“hei, Gracia!” aku terkejut. Saat melewati gereja, Nina memotong jalanku.

“ku kira kau marah padaku.” Jawabku dengan tertunduk sambil terus berjalan.

“marah? Untuk apa?” Nina mengikuti langkahku dari samping.

“tadi pagi. Thanks, by the way.” Ucapku singkat. Masih dengan pandangan lurus ke depan.

“ah itu, aku tidak akan bisa marah denganmu.” aku menunduk untuk menyembunyikan senyum blushing yang tiba-tiba muncul diwajahku. ia terus berjalan mengikuti langkahku. Untuk beberapa detik keheningan menyelimuti kami. Hanya ada suara kendaraan yang lewat sebagai backsound langkah kaki kami.

“apa yang kau lakukan tadi? Mengintip? Kenapa tidak masuk saja?” oke, mungkin ini adalah pertanyaan konyol untuk memulai sebuah pertemanan. Nina malah cengo mendengar rentetan pertanyaanku. “hei, jangkung!” aku menepuk bahu nya.

“ah, emm…. A-aku. Itu… em—“

“tak apa, jangkung. Tuhan selalu menerimamu walaupun kau sangat hina sekalipun.” Nina hanya diam. Beberapa orang yang aku temui memang merasa dirinya tidak pantas untuk menemui Tuhan. Mungkin Nina punya kesahalan besar sampai ia tidak merasa pantas untuk masuk gereja.

Nina’s POV

                Sore ini aku pulang sekolah dengan Gracia. Tadinya aku tidak berniat pulang sekolah dengannya. namun saat aku sedang mengintip ke dalam gereja dari jendela dan ada yang melihatku dari dalam, dengan reflek aku bersembunyi lalu melihat kearah lain. Dan mungkin aku berjodoh dengan Gracia (?). Aku melihatnya berjalan agak cepat menuju pusat desa. Aku menghentikan langkahnya. Aku menyapa nya, ia malah tertunduk sambil terus melanjutkan langkahnya. Padahal kemarin aku perhatikan ia tidak pernah berjalan dengan menunduk. Lucunya, ia merasa bersalah karena tidak berterimakasih kepadaku atas kejadian tadi pagi. Padahal aku merasa biasa saja.

“apa yang kau lakukan tadi? Mengintip? Kenapa tidak masuk saja?” aku bingung harus menjawab apa. Sedikit senang sih, Gracia mau menanyakan sesuatu yang tidak penting sebenarnya. “hei, jangkung!” ia menepuk bahu ku.

“ah, emm…. A-aku. Itu… em—” aku masih tak tahu harus menjawab apa.

“tak apa, jangkung. Tuhan selalu menerimamu walaupun kau sangat hina sekalipun.” Gracia berkata dengan bijaknya seperti yang sering ku dengar dari adanya kotbah di gereja.

                Bukan apa-apa, Gracia. Sebenarnya aku tidak merasa hina, hanya saja kita berbeda. Gereja bukan tempatku. Aku hanya suka mendengar yang mereka nyanyikan dari dalam. Suara nya sangat menenangkan hati. Ingin sekali aku berterus terang menjawab pertanyaanmu. Tapi aku takut itu nantinya malah akan membahayakanku dan nenek serta kakek ku. Bukannya aku tidak percaya kepadamu, tapi akan lebih baik jika saat ini aku simpan sendiri identitasku rapat-rapat. Suatu saat nanti jika kita sudah menjadi sahabat, aku akan memberitahu mu.

                Kami berpisah di perempatan. Gracia harus membantu paman nya di toko. Aku ingin ikut serta membantunya jika memang ia sibuk, tapi mungkin sampai disini saja hari ini. Mungkin kakek memerlukan bantuanku di kebun. Akhirnya aku pun pulang.
***

Mei 1943      
      
Sejak hari itu aku dan Gracia semakin dekat. Sudah hampir satu tahun ini ia menjadi teman dekatku. Kami selalu melakukan hal-hal menyenangkan berdua. Jika tidak ada yang bisa aku lakukan di kebun, aku sering membantunya menjaga toko. Aku juga beberapa kali berkunjung ke rumahnya. Bertemu dengan kakaknya yang sangat cantik, yang selalu bersama Kak Kinal setiap aku berada dirumah Gracia.

                Kinal Iriena Ivanova atau aku dan Gracia memanggilnya Kak Kinal, adalah seorang dokter di rumah sakit di kota kecil ini sekaligus sahabat baik kak Ve. Ia adalah keturunan Russia-Denmark. Ia cantik. Ia tergolong gadis yang tinggi, walaupun tidak setinggi tubuhku. Badan nya tegap, cocok dengan rambut pendek nya. kak kinal sangat suka berolahraga. Setiap pagi sebelum berangkat ke rumah sakit ia selalu jogging mengitari desa.

                Hari ini minggu. Seperti biasa aku dan gracia akan ke bukit untuk melakukan hobi kami. Sebenarnya aku tidak begitu suka membaca. Kadang aku juga sering merasa bosan. Tapi ketika melihat wajah samping Gracia yang sedang serius membaca novel, aku jadi tidak bosan. Cukup melihat Gracia saja sudah menjadi hobi ku yang membuat bahagia ia ia /bacanya pake nada lagu GAC  - bahagia/. Hehe.

“Nina, apa kau tidak bosan memandangiku daritadi?” Gracia membuka suara. Namun masih fokus ke novelnya.

“tidak. Dan tidak akan pernah bosan! Hehe.” Ucapku sambil merebahkan badan di rerumputan.

“dih apasih kamu.” Gracia menutup novelnya. Ia mendekatkan wajahnya padaku, lalu—

“AW! Gre sakittttttt!” haduhhhhh ia mencubit perutku. Dan memang cubitan gracia lah yang paling sakit. Apalagi di perut.

“biarin! Itu adalah balasan buat orang yang sudah seenaknya mengganti nama orang! hahaha” gracia makin menjadi. Ia malah menambah cubitan di perutku. Sumpah, ini sakit.

“apa yang salah? Benar kan nama mu Gracia? Shania Gracia Roosevelt?” ucapku membela diri sambil mengusap bekas cubitan gracia.

“kau salah dalam pengucapan namaku, Stalker. Namaku Gracia, dibaca Gra-ci-a. tapi kau memanggilku Gre-sya. Sudah sejak awal kita berkenalan kau salah menyebut namaku.”

“woah! Aku baru sadar. Kenapa kau diam saja? Selama ini aku memanggilmu Gresya dan kau tidak pernah protes?” aku kembali merebahkan tubuhku ke rumput. Menarik napas panjang lalu menghembuskannya.

“aku anggap itu panggilan sayang darimu.” Deg! Apa?! Panggilan sayang? Gre, kau tau tidak kalau kalimat yang baru saja kau ucapkan itu mungkin hanya candaan, tapi aku merasa sangat bahagia ia ia.

           Gracia ikut merebahkan tubuhnya disampingku. Novelnya ia simpan di dada dengan lingkaran tangannya. Sungguh, hari ini cuaca nya sangat enak. Langitnya biru tanpa awan. Indah, nyaman, tentram tanpa pesawat perang yang terbang bebas. Aku memejamkan mataku sejenak. Merasakan kenyamanan yang ada di hati.

Gre? Ketika aku membuka mata, wajah gracia sudah berada di hadapanku. Mata kami bertemu. Kecantikannya, lebih dari sekedar cantik. Keindahannya, lebih dari sekedar indah. Dengan jarak sedekat ini, kesempurnaan didepan mataku tidak bisa lagi kuucapkan dengan kata-kata. Gracia semakin mendekatkan wajahnya. Nafasnya mulai tidak teratur. Aku tidak tau harus bagaimana. Cengo. Lagi-lagi begitu ekspresi wajahku. Aku mematung untuk beberapa saat, lalu
Chuuuu-

Gracia’s POV

                Entah dapat keberanian dari mana aku mencium bibir sahabatku. Ia menerima ciumanku. Selanjutnya tak bisa ku ungkapkan lewat kata-kata. Ini sangat…….. menyenangkan (?) ini kali pertama aku berciuman. Dan dengan seorang gadis yang seharusnya hanya sebagai sahabat saja.

Awalnya aku mengira ciuman pertamaku akan terjadi dengan pangeran berkuda putih seperti di dongeng-dongeng, atau paling tidak seorang ahli pemecah kode musuh saat perang. Iya, aku memimpikan pria pintar yang berperang dengan otaknya, bukan dengan otot nya. ia yang aku mimpikan berperang didalam sebuah ruangan membuat sebuah mesin pemecah kode rahasia jerman lalu mengalahkannya. Simple saja, jika pria itu berhasil akan membuat jerman mengalami kekalahan dalam perang dunia dan membuat dunia ini damai kembali. Membuat Denmark menjadi kerajaan yang nyaman untuk ditinggali lagi. membuatku tidak terganggu dengan suara sirine atas serangan udara, menikmati hari minggu membaca novel bersama Nina tanpa adanya gangguan suara bising pesawat. Yang paling penting, membuat kak ve sedikit memiliki waktu untuk bersantai karena tidak ada ‘kiriman’ korban perang di RS. Aku tidak tega melihat malaikatku hampir setiap malam pulang larut karena sibuk di RS.

“Nina, aku ingin bilang sesuatu kepadamu.” Kami sudah berada didepan rumahku. Seperti hampir satu tahun belakangan ini Nina selalu menjemputku dengan sepeda kakeknya untuk pergi bersama ke bukit.

“ya, katakan saja.” ia turun dari sepedanya

“a-aku….” Lidahku kelu. Busuk! Kenapa sangat sulit untuk mengungkapkannya?

Gresya, aku tahu ini gila. Tapi aku mencintaimu.” Aku masih mematung tak tahu harus berbuat apa. Laringku bergetar tetapi tak bersuara. Tatapannya serius, bukan cengo seperti biasanya.

“yasudah, aku pulang dulu ya. Bye, Gre!” melihat reaksi ku yang hanya diam saja melihat, nina membalikkan tubuhnya bergegas meninggalkanku. Nina jangan pulang dulu, aku masih ingin bicara. Aku ingin membalas pernyataanmu. Aduhh gracia, ayodong bicara! Jangan bertingkah bodoh seperti ini.

“Nina!” aku memanggilnya. Ia membalikan tubuhnya, menghadapku lagi sambil menarik sudut kanan bibirnya tersenyum keren dan menaikan kedua alisnya.

“apa tadi itu serius?” hanya itu yang keluar dari mulutku. Kali ini nina merekahkan senyum nya menahan tawa. Bodoh gre! Itu sudah jelas-jelas ia serius, kenapa masih bertanya?

“a- emm…. Me too, Nina. Me too.” Hah! Lega. Legaaaaaaa sekali rasanya. Ia menatapku dalam-dalam untuk waktu beberapa detik. Jantungku berdegup kencang. Ingin sekali rasanya berteriak mengeluarkan ekspresi hati saat ini.

                Nina memeluk ku erat yang tentu ku balas pelukan nya. Rasanya berbeda dari pelukan-pelukan kami sebelumnya. Entah mengapa sejak beberapa menit lalu ia mengungkapkan perasaanya, pelukan kali ini terasa beda. Nyaman sekali. Aku juga merasa aman berada di pelukannya.

Gresya,” ucapnya pelan di telingaku

“i-iya, Nina?” ini pertama kali aku jatuh cinta, jadi masih sangat degdegan.

“sudah hampir waktunya makan malam, Gre. Bukankah tadi kau bilang ingin membantu Kak Ve?”

“oh iya, sampai lupa. Hehe” ucapku melepaskan pelukan dari tubuh tinggi Nina.

“see ya tomorrow, Gresya!

“see ya, Nina. Hati-hati ya!”

                Nina mengayuh sepeda usang kakeknya. Iya, gadis yang sekarang ini mungkin resmi menjadi pacarku itu kini hanya kulihat punggung indahnya dengan rambut terurai bebas terkibas oleh angin. Aku terus memandanginya sampai di belokan dan sudah tak terlihat.

                Akhirnya aku masuk ke dalam rumah. Aroma masakan sudah tercium menggoda perutku untuk cepat-cepat berteriak ‘Happy Tummy’. Kakakku memang jago masak. Tak jarang setelah pulang dari rumah sakit kak kinal sering ke rumah hanya untuk memakan masakan kak ve walaupun harus menunggu lama dan hari sudah larut.

“kenapa tak kau ajak Nina makan malam disini?” ucap kak ve saat aku mengambil apel di meja makan

“dia kan takut gelap. Ngomong-ngomong, kak ve masak apa?” aku mendekatinya lalu bersandar di meja dapur.

“seperti biasanya. Hanya ada sayuran. Tidak ada daging. Semua ternak diambil oleh tentara jerman. Jadi mungkin selama dunia masih terus berperang dan mereka masih menduduki wilayah ini, kita tidak memakan daging.” Jelas kak ve sambil menuangkan soup ke mangkuk besar

“padahal aku merindukan daging asap buatan kakak. Rasanya….. hhmmmm” aku memejamkan mata dan menarik napas membayangkan masakan dengan olahan daging asap buatan kak Ve yang aroma nya seakan bisa ku cium.

“hhhh…. Sudahlah. Bawa ini ke meja makan. Kakak akan menyiapkan yang lainnya.” Kak ve memberikan mangkuk besar berisi soup itu untuk ku bawa. Aku membawanya ke meja makan lalu menyiapkan alat-alat makan.

“oh iya, Gracia! Tolong tambahkan jumlah nya, ya! Kinal akan datang!” teriak kak ve dari dapur. Aku meng-iya-kan permintaanya.

                Beberapa menit setelah semuanya siap, kak kinal datang. Seperti biasa jika ada kak kinal ditengah-tengah kami, rumah menjadi ramai. Suasana menjadi hangat. Atmosfer menjadi ceria. Kak kinal itu bisa dibilang agent of happiness. Ia selalu bisa membuat kami tertawa dengan tingkah konyol nya. ia terlalu baik jika harus bekerja mengobati luka-luka tentara jerman setelah berperang.

                Setelah makan malam, aku langsung naik ke kamar ku yang berada di lantai dua. Tidak banyak yang aku bisa lakukan di kamarku. Mungkin hanya memikirkan cucu Hamelwosfh itu.
***
Juni 1943

                Pagi benderang. Jernihnya semesta. Dalam wangi bunga menyambut harapan akan sebuah kemerdekaan bagi kerajaan Denmark yang dahulu makmur, jaya, dan nyaman. Aku sudah berada di kelas dengan Nina disampingku. Kami tidak sedang mengobrol. Ia tidak sedang melihat keluar jendela, apalagi wajah sampingku. Tidak. Bukan. Ia sibuk dengan buku catatan matematika nya yang bahkan tidak ada unsur angka disana. Padahal sekarang adalah jam istirahat makan siang. Aku melupakan novelku. Novel itu sepertinya tertinggal di kamar ku setelah semalam sebelum tidur aku membacanya. Jadi ya…. Aku bosan.

“Nina, ayo keluar! Aku bosan!” oke, sepertinya aku membuyarkan konsentrasi nya.

“kau lapar, Gre?” ia menutup buku catatannya.

“tidak, hanya keluar saja. Yang penting tidak di kelas ini.” Sebenarnya aku hanya ingin mengalihkan perhatian dan pandangan Nina kepadaku. Bukan kepada buku-buku itu. Nina hanya mengangguk.

                Kami berdua berjalan bersama. Menyusuri koridor sekolah yang ramai oleh murid-murid yang berlalu lalang. Disudut kiri, si Rassmussen dan teman-temannya masih asik membully seorang junior. Di ujung koridor, seorang gadis dan pacarnya berciuman dengan mesra. Oke, aku iri (?). Sejak pertama kali aku berciuman dengan Nina di hari ia menyatakan cintanya  kepadaku, sampai hampir satu bulan kami berpacaran baru kali itu aku berciuman. Entah karena memang dia yang tak tahu bagaimana harus memulai, atau aku yang malu untuk mengajaknya berciuman. Sepanjang koridor beberapa teman seangkatan terus melihat kearah kami dengan tatapan aneh. Atau mungkin bukan kami, tetapi aku. Iyasih, seingatku ini kali pertama aku hanya sekedar berjalan-jalan di sekolah. Biasanya datang-duduk-diam dikelas-pulang. Mungkin mereka heran. Atau aku memang aneh ya? Ah biarlah, yang penting Cuma aku yang bisa memenangkan hati Nina.

Yang namanya Nina, tetap saja Nina. Setelah berkeliling sekolah tanpa tujuan, akhirnya Ia mengajakku ke perpustakaan. Sebenarnya aku sedang muak dengan buku, mengingat jika Nina sudah menemukan buku yang membuatnya tertarik, ia jadi cuek denganku. Ia memilih beberapa buku yang diantaranya adalah buku tentang sejarah, ensiklopedi, dan buku kimia. Ia jarang sekali kulihat membaca novel, biasanya sih buku-buku ‘berat’.

Aku bingung harus melakukan apa di perpustakaan. Aku tak tahu harus membaca buku yang mana. Aku mengambil koran yang tergeletak di meja pustakawan. Berita tentang pembantaian Jewish oleh Nazi di negaranya sendiri cukup menarik perhatianku. Aku mencari nina untuk sekedar membuat obrolan diantara kami. Sebenarnya Nina juga pendiam, jadi kadang kita sama-sama irit bicara. Ku lihat Nina sedang memilih buku di sudut perpustakaan. Padahal ia sudah mengambil 4 buku untuk dipinjam dari perpustakaan, apa masih kurang?

Nina’s POV

“Nina! Disini kau rupanya!” dia cukup mengejutkanku ditengah keheningan perpustakaan. kau tau kan siapa yang ku sambut dengan senangnya walaupun kedatangannya mengganggu pencarianku (?)

“ada apa, Gre?” aku menengoknya sekilas lalu terfokus kembali ke rak buku
“bagaimana pendapatmu?”

ia menunjukkan sebuah Koran pro jerman dengan headline bertuliskan Kill The Jews, Save The World! Deg!……. Rasanya seperti diterjang ombak dari bibir pantai dengan ribuan karang dan jurang laut yang menanti. Jatuh. Copot. Tanggal. Mungkin jika jantung ini hanya direkatkan oleh semen, ini akan retak lalu terjun bebas menembus rusuk sampai uretra. Mungkin jika kelopak mata ini seperti tanggul yang hanya ciptaan manusia, air mataku sudah membanjiri seisi sekolah. Mungkin jika tubuh ini tidak memiliki tulang belakang, aku sudah ambruk (ini fakta kan avertebrata letoy wkwk :p)

Ku rebut Koran itu dari gracia lalu membawanya keluar perpustakaan tanpa memperdulikan gracia yang mungkin masih merasa aneh dengan tingkahku. Aku meninggalkan Gracia begitu saja di perpustakaan, berjalan cepat menuju kelas lalu mengambil tas untuk bolos pelajaran berikutnya. Tak lupa sebelumnya aku memasukkan Koran itu ke dalam tas agar tidak ada orang lain yang mencurigaiku.

“Tahan, Nina. Tahan. Jangan meledak, jangan menangis.” Aku mengucapkan kalimat itu berkali-kali sambil terus membendung air mata ku yang mulai susah dikendalikan.

to be continue.....


5 comments:

  1. Kerenn ceritanya dan bikin penasaran, trus juga beda dari yang lain ntap lah pokonya 👍

    ReplyDelete
  2. Anti mainstream ceritanya, so exited to read it. Ngangkat latar situasi peperangan,seolah2 drama percintaan jd penghangat suasana perang yg dingin. Baca cerita ini jd inget film "Fury". Tp berharap endingnya gk se-bad film itu. Nice thor, i'll be waiting the squel

    ReplyDelete
  3. waduh kak, kalo sama fury beda. ini bukan di medan perang, cuma drama tentang penduduk sipil selama PD2. tapi yaaaa..... tunggu nanti deh. btw, makasih yaa udah mau baca hehehe XD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya beda, mgkn krn kebawa suasana aja mkanya jd inget film itu hihih

      Delete