Monday, 23 March 2015

Tulip Merah : 3

dianjurkan untuk membacanya saat pikiran sedang selo wkwkwk. bacalah dengan pikiran terbuka. sekali lagi ini cuma fanfict, gaada maksud lain atau apapun itu. bisa loh kalo mau follow @satepadang48 hehehehhe. oke ya langsung aja.....

BRAAAKKKKKK!!!!!!!     

Sampai dirumah. Aku membanting pintu dan menutup semua tirai yang ada di lantai satu rumah ini. Nenek sedang memasak untuk makan malam menatapku seakan berkata “ada apa?”. Kakek yang tadinya berada di gudang bawah tanah langsung naik ketika mendengar suara pintu yang ku banting dengan keras. Aku masih memburu nafas. Antara mau menangis dan meledak sejadi-jadinya. Aku menarik kursi makan lalu meruntuhkan tubuhku yang rasanya sudah lemas tak berdaya.

Aku mengeluarkan Koran tadi dari dalam tas. Aku menangis. Mentalku kalah. Aku diingatkan tentang kedua orang tuaku. Otak ku memutar memori indahku bersama mereka. Ya, mereka yang sangat ku sayangi dan ku cintai melebih Gracia. Aku kalah. Seharusnya aku meledak, bukan menangis. Aku terus memikirkan bagaimana keadaan orang tua ku sekarang. Mereka berada di kamp konsentrasi di jerman. Kamp bodoh yang memanfaatkan Jews. Oh bukan, Kamp bodoh yang menyiksa Jews, kaum ku. Kamp bodoh yang mempekerjakan mereka secara paksa dengan kekerasan jika tidak mau mematuhi perintah untuk melakukan pekerjaan kasar.



“aku yakin Bent dan Krysia masih baik-baik saja. Kau harus percaya itu, Sayang.” Kakek ku membuka suara setelah beberapa menit aku menutup muka ku dengan lengan yang menempel pada meja makan untuk menyembunyikan tangisan ku. Namun faring ini membiarkan pita suara ku bergetar. Suara tangisku tetap terdengar cukup nyaring di ruangan ini.

                Perlahan aku mengangkat wajah ku. Ku lihat nenek mengelap air matanya. Wajahnya yang selalu terlihat tenang, kali ini terlihat kusut. Kekhawatiran sangat nyata terlukis dari wajahnya. Kesedihan mendalam tak bisa ia sembunyikan lagi. kakek menggenggam tanganku. Ia menguatkanku. Dari wajahnya yang selalu ceria kali ini terlihat tanda-tanda tak kuasa menahan tangisan sekaligus ledakan. Ia sesekali menengadahkan kepalanya, mengedipkan matanya, untuk mecegah tetesan air mata yang mulai tak terbendung.

“apa aku akan aman? maksudku, kita? Maafkan aku sudah membuat kekhawatiran di hidup kakek dan nenek….” Suaraku terdengar parau. Bodoh! Kenapa aku kalah?

“ya, sayang. Aku sangat yakin kita akan aman. Denmark tidak pernah di curigai ‘mereka’. Negara ini sangat memperdalam Kristen. Lagipula Kami selalu ke gereja, bukan?” kakek masih terus mencoba menguatkanku.

Kakek dan nenek ku memang terlahir jew, tapi mereka Kristen. Mereka bukan jewish sepertiku dan kedua orang tuaku. Kakek dan nenek selalu datang ke Gereja. Namun bukan itu yang aku takutkan. aku takut ketika aku tertangkap, aku akan ikut ‘menyeret’ mereka. Apalagi sebenarnya apapun agama yang kami peluk, jika kami adalah seorang jew maka kami akan ditangkap dan dibawa ke kamp konsentrasi. Beberapa orang di desa ini memang ada yang atheist. Kami hidup berdampingan dengan ikatan toleransi yang kuat. Aku tidak pernah terlihat ada di gereja, semoga mereka menganggapku atheist, bukan jewish.
***

           Sudah 3 hari aku tidak masuk sekolah. Hari itu hingga kemarin, aku sangat kacau. Berantakan. Tidak mengurus diri. Mungkin bisa dibilang stress. Bukan rasa takut yang mengacaukanku. Tetapi puzzle-puzzle memori bersama ayah dan ibu ku. Aku tidak begitu menangisi mereka, aku menangisi kenangan kami bertiga. Kenanganlah yang melemahkanku, mengiris hatiku. Bukan, bukan mengiris hati. Lebih tepatnya melumatkan hatiku seperti dimakan burung pemakan bangkai. Busuk.

Bukannya aku tega atau tidak sayang dengan orang tuaku. Aku sangat amat menyayangi mereka. Urutannya dihatiku adalah Tuhan-Ayah dan Ibu-Kakek dan Nenek-Gracia. Aku sudah merelakan jika memang Ayah dan Ibu harus mati dengan cara yang se keji itu. Semua orang pasti akan mati. Dan yang namanya mati tetaplah mati. Dengan cara apapun akan tetap sama. Menuju ke tuhan.

Sore ini aku akan menemui Gracia. Ya, dialah matahariku. Aku harus menemuinya sore ini. Aku tidak ingin membuatnya khawatir. Langit yang pemurah, berkatilah. Ruang yang megah, menjelajah. Waktu yang entah, berpihaklah. Gracia yang indah aku datang.

Aku berjalan sendiri. Tidak akan menepi, tidak berhenti. Melewati keramaian pusat kota kecil dengan hiruk-pikuk manusia di kala senja. Tak lama, aku sampai di depan toko milik paman nya Gracia. Ku lihat sosok indah seorang Gracia dari kaca. Bunyi lonceng terdengar nyaring seirama dengan detak jantungku ketika ia membuka pintu. Ia keluar dari toko. Ia menatap dingin ke arahku yang berdiri tepat didepan pintu.

Kami berdua saling bertukar pandang dalam beberapa detik tanpa suara. Aku memberikan bunga tulip merah yang kusimpan rapi di dalam mantel yang ku kenakan. Berharap Gracia tidak akan menanyakan banyak hal padaku. Berharap ia akan cuek saja. Berharap ia akan tidak perduli dengan hari saat aku tiba-tiba bolos sekolah. Aku masih takut mengakuinya. Aku masih takut membongkar identitasku. Aku….. aku takut ia meninggalkanku.

“ini sebagai permintaan maaf karena meninggalkanku sendirian di perpustakaan?” my Gre membuka suara. Aku masih diam menatap wajah cantiknya.

“kenapa kau tidak mengajak ku bolos bersama mu?” wajahnya masih dingin. Aku yang lemah ini masih berusaha merangkai kalimat.

“dan mengapa 3 hari ini kau tidak masuk sekolah?” oh god! Tatapan ini….. tatapan yang membuatku luluh sekaligus takut. Lidah ku kelu. Aaarrrgghhh ayolah nina jangan bodoh!

“ini sebagai ungkapan rasa cinta ku kepadamu.” Ucapku pelan. Hanya itu yang tidak tersangkut di tenggorokan ku.

                Gracia tersipu malu. My Gresya tertunduk menutupi wajahnya yang terlihat blushing dari jarak pandang ku. Ia menerima bunga tulip merah pemberianku. Kami jalan berdua ditengah sore redup tenang yang kami nikmati. Kebetulan jalanan sudah sepi sekarang.

“Nina, aku ingin bertanya kepadamu” degdegan. Jangan, Gre. Jangan Tanya itu sekarang.

“a-apa, Gre?”

“mengapa tulip merah? Bukankah tanda ungkapan cinta itu mawar merah?” ah, syukurlah ia tidak bertanya yang ku takutkan.

“di Era Victoria, Tulip merah adalah tanda ungkapan cinta. Lagipula, aku tidak akan memberikan hal yang terlalu biasa untukmu. Kamu sangat istimewa di hatiku, Gre-sya.

                Kami masih berjalan beriringan menuju rumah Gracia. Obrolan-obrolan ringan kami layangkan. Kalimat-kalimat puitis beberapa kali aku ucapkan dan berhasil membuat Gracia tersipu malu. Perbincangan kami sangat hangat. Dinginnya malam kalah dengan hangatnya perbincangan kami. Tapi sial, Ditengah perjalanan seorang gadis yang menyebalkan tiba-tiba saja muncul dari gang.

“hey, stiff. Habis dari kantor pos ya? Pasti kau habis menanyakan apakah ada surat dari ayahmu yang barangkali tertinggal? hahahahaha” ah, Sofia. Ia menyebut Gracia dengan sebutan Stiff (kaku) akhir-akhir ini. *songong emang sofia*

“Shut your f*cking mouth, Saumensch!” ucap Gracia dingin. Aku hanya menonton. Takut jadi semakin rumit jika aku ikut campur masalah mereka berdua.

“wow! Apa ini? Tulip merah? Siapa yang memberimu bunga ini? Buatku saja ya?” Sofia mengambil tulip merah yang ku berikan dari tangan Gracia. Wajahnya sangat menyebalkan. Serius, ledekan sekaligus ejekan nya sangat amat membuatku geram walaupun hanya sebagai pengamat disini.

“kembalikan itu, Rassmussen. Atau aku akan membunuhmu saat ini juga!” aku dan sofia terkejut melihat seorang Gracia mengeluarkan sebuah revolver dari balik mantel nya. ia mendorong sofia ke dinding di gang dengan revolver menempel tepat di tengah dahi Sofia.



“aku akan melaporkanmu, Stiff!” si anak Walikota itu malah mengancam. Padahal posisinya sedang tidak menguntungkan untuk melayangkan ancaman seperti omong kosong yang biasa ia ucapkan.

“laporlah ketika aku sudah menempelkan timah panas ini tepat di otakmu yang tidak terpakai itu!” tatapan Gracia menusuk. Insting membela diri nya sudah terlalu jauh. Ia menarik hammer revolver nya. mendekatkan jarinya ke pelatuk. Bersiap menembak.

“Gre! Gre! Stop, Gre! Apa yang kau lakukan?!” aku tidak bisa terus diam melihat Gracia yang semakin menekan sofia. ku lihat peluh mulai mengalir di pelipis sofia. Gracia masih tenang menekan bahu Sofia dengan lengan nya.

“aku tau apa yang sedang ku lakukan, Nina. Diam saja dan nikmati pertunjukan nya, oke?” ucap gracia lembut padaku tanpa melepaskan tatapan dan revolvernya dari sofia.

Gresya, tolonglah. Hentikan perbuatan bodohmu itu. Kau hanya akan membahayakan hidupmu, menghancurkan masa depanmu, dan mempersulit kak Ve! Tolong simpan pistol itu! Aku mohon!” aku masih takut atas apa yang aku ucapkan barusan. Kalimat itu keluar begitu saja tanpa berpikir. Aku paham betul watak Gracia. Semakin ditentang ia malah akan semakin menjadi. Tuhan, jangan biarkan aku kehilangan Gracia….

                Gracia terdiam untuk beberapa detik. Tatapan dingin membunuh perlahan hilang oleh satu kedipan pelan dari kelopak matanya. Ia menarik napas panjang lalu melepaskan pistol dari dahi sofia. Lengan nya tidak lagi menekan bahu si anak walikota itu.

Sofia mendorong pelan Gracia untuk mendapat ruang agar dapat melepaskan diri. Ia menjatuhkan begitu saja Tulip merah yang tadi ia rebut dari Gracia. Tubuhnya terlihat bergetar hebat. Wajahnya pucat pasi. Ia berlari keluar gang tanpa mengatakan apapun kepada Gracia. Menembus gelapnya malam yang sudah jatuh di ujung hari.

Gracia masih tertunduk lemas memburu nafas. Revolver yang sudah basah oleh keringat masih berada di tangan kanan nya. Tulip merah pemberianku ia genggam erat di tangan kirinya. Tatapan nya kosong. Ia menjatuhkan pistol manual itu lalu jatuh lemah bertumpu pada lututnya. Aku reflek memapahnya, lalu membuatnya merasa nyaman di pelukan ku. Buliran air terasa hangat di bahu depanku. Gracia menangis. Aku mengusap lembut kepalanya masih terus berusaha membuang semua resah dan perasaan bersalah dari dalam dirinya.

Beberapa menit pelukan ini berlangsung. Gracia sudah sedikit lebih tenang. Tangisannya sudah bisa di reda. Aku menatap matanya dalam-dalam, menyeka poni yang menutupi wajah indahnya, dan menghapus air mata yang membasahi wajah cantiknya. Aku melepaskan pelukan, lalu mengambil revolver yang ia jatuhkan tadi dan menyimpannya di kantong dalam mantelku.

Aku mengantarnya pulang. Raut kekhawatiran sudah terlihat dari wajah kak Ve. Apalagi ketika melihat Gracia dengan wajah pucat dan mata sembab habis menangis. Pertanyaan-pertanyaan bak seorang ibu keluar dari mulutnya. Aku jawab sekena nya. aku tak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Aku pikir biar gracia saja yang menceritakan besok, ketika Gracia sudah beristirahat. Beruntung ada kak kinal yang mencoba membantu menenangkan kak Ve.

Aku memapah Gracia menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Walaupun aku sudah sering berkunjung kerumah Gracia, tapi ini kali pertama aku masuk kamarnya. Waktu itu Ia bilang, kamarnya adalah tempat privasi yang hanya orang-orang kepercayaannya yang boleh masuk. Dan seingatku hanya Ayahnya, Kak ve dan aku. Kamarnya bagus. Novel-novel tertata rapi di rak buku kecil. Tempat tidur kayu dengan selimut merah jambu membuat sentuhan lembut di kamarnya. Jendela dengan kusen putih yang cukup besar memperlihatkan lengkungan bulan malam ini. Sebuah meja belajar lengkap dengan kursi nya berada di samping tempat tidur.

Aku membaringkan tubuh Gracia di tempat tidur dan menyelimutinya. Ku usap lembut kepalanya lalu mengecup keningnya. Aku duduk di sisinya dengan genggaman taman yang sedari tadi enggan ia lepaskan. Beberapa menit kemudian Peri-peri tidur mulai meniup lembut matanya yang sayup sayup akan terpejam membawanya menuju alam mimpi. Genggaman tangannya mulai melemah. Aku melepaskannya. Aku mengecup bibirnya sebentar lalu keluar dari kamarnya.

Di ruang keluarga, aku melihat kak ve yang sudah tertidur pulas di bahu kak kinal. Aku melihat ke arah kak kinal sebagai tanda aku izin pulang. Ia tersenyum kepadaku. Aku memakai mantel yang tergantung didekat pintu rumah Gracia lalu bergegas keluar menjauhi rumah gracia.

Beberapa blok dari rumah Gracia, aku teringat akan kata-kata sofia tadi. Kalimat ancaman dalam gencatan yang sofia lontarkan akan melaporkan Gresya-ku.  Hampir sepertiga perjalanan aku seakan dihantui oleh ucapan ancaman dari sofia. Aku tak tahan membayangkan hal yang buruk jika terjadi pada Gracia akibat ulahnya tadi. Sekarang masih pukul 9 malam. Aku putuskan ke rumah sofia untuk meminta maaf dan mencabut kemungkinan tuntutannya.

Aku berlari sekuat tenaga. Tanpa memperhatikan beberapa orang yang melihatku. Aku berlari sekuat tenaga. Berharap aku belum terlambat untuk memohon kepada sofia. Aku berlari sekuat tenaga. Berdoa kepada tuhan agar tidak membiarkan sofia menuntut hukuman untuk Gracia. Gresya-ku.

“Sofia!” aku berteriak ketika sudah berada di depan pagar rumah besarnya.

“Sofia! Keluarlah!” tidak ada reaksi dari dalam.

“Sofia! Aku mohon, Keluarlah!” 

         aku memanjat pagarnya untuk sekedar lebih dekat dengan rumahnya agar suara ku yang mulai habis dapat terdengar. Suara gonggongan anjing dari kegelapan di sudut kanan rumahnya mulai menguji adrenalin ku. Aku berjongkok untuk mengikat tali sepatu ku jika anjing yang tak terlihat itu akan mengejarku.

*Cklek*

Suara kunci yang berputar terdengar dari balik pintu. Sedikit cahaya terpancar keluar. Sofia yang membuka pintu. Sepertinya aku membangunkan tidurnya. Ia sudah mengenakan piyama. Ia melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Aku mengiba.

“untuk apa kau kesini?” Tanya sofia dengan kali ini seperti mode biasanya. Tengil.

“aku ingin meminta maaf atas nama Gracia.”

“setelah ia hampir membunuhku? Sekarang ku Tanya kau. Jika kau jadi aku, apa kau akan memaafkan orang yang hampir menembus kepalamu dengan peluru?”

“tolonglah, Sofia. Aku mohon, maafkan Gracia. Jangan laporkan dia!”

“kau terlambat. Jika aku sudah melaporkan kepada ayahku, kau bisa apa, Nina?” sofia menyilangkan lengannya didepan dada. Wajahnya semakin tengil saja.

Aku melihat sekeliling halaman rumahnya. Mataku mencari sebuah mobil hitam namun tidak ada sebuah mobil pun yang terparkir di halaman rumahnya. Itu berarti Ayahnya sedang tidak dirumah. Beberapa kamar juga terlihat kosong dengan lampu yang tidak menyala dan jendela kamar yang gorden nya tidak tertutup. Memang, ada dua kemungkinan. Kamar itu memang kosong atau keluarga Sofia sudah tertidur. Tapi insting ku berkata bahwa rumah ini sedang kosong, hanya ada sofia dan dua orang asisten rumah tangga nya. insting ku diperkuat dengan keadaan dimana sofia yang membuka pintu dan tidak ada seorang pun anggota keluarga sofia yang keluar bahkan hanya untuk sekedar tau siapa yang sedari tadi berteriak didepan rumah.

“jika tidak ada yang akan kau ucapkan lagi, kalau begitu selamat malam.” Sofia mulai bergerak menutup pintu.

“kau bohong kan? Kau belum melaporkan Gracia kepada ayahmu atau bahkan anggota keluarga Rassmussen lainnya. Keluarga mu sedang tidak dirumah, benar?” ucapku menghentikan langkah Sofia.

“jangan sok tau, Hamelwosfh!” ia berbalik. Kembali berhadapan denganku.

“mobil ayahmu tidak terparkir di halaman ini. Beberapa kamar lampunya tidak menyala dan gorden nya terbuka, kecuali  kamarmu. Aku berteriak di depan rumah cukup lama, tetapi tidak ada seorang pun yang menyahut. Kamar orang tua mu berada di kamar utama yang tempatnya cukup dekat dengan pagar, seharusnya bisa mendengar teriakanku. Kau baru menyadari kalau ada seseorang yang masuk rumahmu karena gonggongan anjingmu. Kau mengira orang itu adalah orang yang akan berbuat jahat, makanya kau menuruni tangga dari lantai dua yang merupakan kamarmu berada dengan agak tergesa namun tetap berhati-hati. Terlihat dari keringat yang muncul di pelipismu dan stik softball yang berada di balik pintu ini. Dan…. Kau menyalakan semua lampu agar ‘orang jahat’ itu mengurungkan niatnya karena ia akan mengira bahwa rumah mu ramai.” Aku mengucapkan deduksi ku.

“kenapa kau sangat yakin?” Tanya nya yang sudah bersender di pintu

“karena kau mengucapkan kata ‘jika’ dalam kalimat ‘Jika aku sudah melaporkan kepada ayahku’ itu berarti kau belum melaporkan Gracia kepada ayahmu.” Sepertinya mengiba tidak akan mempan untuk orang seperti Sofia. Maka kali ini aku nyengir kuda.

“kau pintar juga.” Ia melihat kedalam rumahnya. Mungkin melihat jam karena sebelumnya ia menguap dan melihat kearah langit. “by the way, mengapa kau sangat ingin ‘melepaskan’ Gracia?”

“a-aku hanya tidak ingin ia mendapat masalah besar….”

“Keberuntungan berpihak juga ya pada si Roosevelt itu. Ia sangat beruntung memiliki teman sepertimu, dan malam ini ia beruntung Ayahku sedang tidak ada dirumah. Kalau begitu, Aku tidak akan melaporkannya.” Ini senyuman pertama yang aku lihat dari seorang Sofia. ternyata Ia lebih manis dengan senyuman daripada tampang tengil yang selama ini ia perlihatkan di sekolah.

                Aku sangat bahagia mendengarnya. Sangat amat bahagia. Gresya-ku bebas dari masalah ini. Sofia tidak seburuk yang aku dan Gracia pikir selama ini. Dan benar apa yang aku yakini selama ini bahwa setiap orang jahat tidak selalu jahat, ia pasti memiliki kebaikan walaupun hanya secuil. Dan begitu sebaliknya. Aku reflek memeluk Sofia. Setelah beberapa detik aku baru sadar ia tidak membalas pelukanku. Namun anehnya ia tidak melepas pelukanku. Karena itulah, aku yang melepas pelukannya.

“pulanglah. Sudah jam 10 malam. Kakek dan nenek mu pasti khawatir.” Ia berjalan membukakan pintu pagar yang ternyata tidak terkunci sedari tadi. *Bego emang kalo orang panik. Pake lompat segala nina*


“terimakasih! terimakasih, sofia!” aku bergegas pulang. Berjalan dengan dada yang tidak sesak lagi. dengan perasaan terasa sangat lega. Dengan kabar baik yang akan ku berikan kepada Gracia.

to be continue.....

hiyaaaaaak. segitu dulu ye. kependekan gak sih? 
tunggu Tulip Merah : 4 yaaa hahahaha abis uts tapi :p

1 comment:

  1. Always so interested anything about Gremids >.<
    Lanjutkan! heheh
    Btw semangat buat uts nya yaaaa

    ReplyDelete