dianjurkan untuk membacanya saat pikiran sedang selo wkwkwk. bacalah dengan pikiran terbuka. sekali lagi ini cuma fanfict, gaada maksud lain atau apapun itu. bisa loh kalo mau follow @satepadang48 hehehehhe. oke ya langsung aja.....
BRAAAKKKKKK!!!!!!!
Sampai
dirumah. Aku membanting pintu dan menutup semua tirai yang ada di lantai satu
rumah ini. Nenek sedang memasak untuk makan malam menatapku seakan berkata “ada
apa?”. Kakek yang tadinya berada di gudang bawah tanah langsung naik ketika
mendengar suara pintu yang ku banting dengan keras. Aku masih memburu nafas.
Antara mau menangis dan meledak sejadi-jadinya. Aku menarik kursi makan lalu
meruntuhkan tubuhku yang rasanya sudah lemas tak berdaya.
Aku
mengeluarkan Koran tadi dari dalam tas. Aku menangis. Mentalku kalah. Aku
diingatkan tentang kedua orang tuaku. Otak ku memutar memori indahku bersama
mereka. Ya, mereka yang sangat ku sayangi dan ku cintai melebih Gracia. Aku
kalah. Seharusnya aku meledak, bukan menangis. Aku terus memikirkan bagaimana
keadaan orang tua ku sekarang. Mereka berada di kamp konsentrasi di jerman.
Kamp bodoh yang memanfaatkan Jews. Oh
bukan, Kamp bodoh yang menyiksa Jews,
kaum ku. Kamp bodoh yang mempekerjakan mereka secara paksa dengan kekerasan
jika tidak mau mematuhi perintah untuk melakukan pekerjaan kasar.
“aku yakin Bent dan Krysia masih
baik-baik saja. Kau harus percaya itu, Sayang.” Kakek ku membuka suara setelah
beberapa menit aku menutup muka ku dengan lengan yang menempel pada meja makan
untuk menyembunyikan tangisan ku. Namun faring ini membiarkan pita suara ku bergetar.
Suara tangisku tetap terdengar cukup nyaring di ruangan ini.
Perlahan
aku mengangkat wajah ku. Ku lihat nenek mengelap air matanya. Wajahnya yang
selalu terlihat tenang, kali ini terlihat kusut. Kekhawatiran sangat nyata
terlukis dari wajahnya. Kesedihan mendalam tak bisa ia sembunyikan lagi. kakek
menggenggam tanganku. Ia menguatkanku. Dari wajahnya yang selalu ceria kali ini
terlihat tanda-tanda tak kuasa menahan tangisan sekaligus ledakan. Ia sesekali
menengadahkan kepalanya, mengedipkan matanya, untuk mecegah tetesan air mata
yang mulai tak terbendung.
“apa aku akan aman? maksudku,
kita? Maafkan aku sudah membuat kekhawatiran di hidup kakek dan nenek….”
Suaraku terdengar parau. Bodoh! Kenapa aku kalah?
“ya, sayang. Aku sangat yakin
kita akan aman. Denmark tidak pernah di curigai ‘mereka’. Negara ini sangat
memperdalam Kristen. Lagipula Kami selalu ke gereja, bukan?” kakek masih terus
mencoba menguatkanku.
Kakek dan
nenek ku memang terlahir jew, tapi
mereka Kristen. Mereka bukan jewish
sepertiku dan kedua orang tuaku. Kakek dan nenek selalu datang ke Gereja. Namun
bukan itu yang aku takutkan. aku takut ketika aku tertangkap, aku akan ikut
‘menyeret’ mereka. Apalagi sebenarnya apapun agama yang kami peluk, jika kami
adalah seorang jew maka kami akan
ditangkap dan dibawa ke kamp konsentrasi. Beberapa orang di desa ini memang ada
yang atheist. Kami hidup berdampingan dengan ikatan toleransi yang kuat. Aku
tidak pernah terlihat ada di gereja, semoga mereka menganggapku atheist, bukan
jewish.
***
Sudah
3 hari aku tidak masuk sekolah. Hari itu hingga kemarin, aku sangat kacau.
Berantakan. Tidak mengurus diri. Mungkin bisa dibilang stress. Bukan rasa takut
yang mengacaukanku. Tetapi puzzle-puzzle memori bersama ayah dan ibu ku. Aku
tidak begitu menangisi mereka, aku menangisi kenangan kami bertiga. Kenanganlah
yang melemahkanku, mengiris hatiku. Bukan, bukan mengiris hati. Lebih tepatnya
melumatkan hatiku seperti dimakan burung pemakan bangkai. Busuk.
Bukannya aku
tega atau tidak sayang dengan orang tuaku. Aku sangat amat menyayangi mereka.
Urutannya dihatiku adalah Tuhan-Ayah dan Ibu-Kakek dan Nenek-Gracia. Aku sudah
merelakan jika memang Ayah dan Ibu harus mati dengan cara yang se keji itu.
Semua orang pasti akan mati. Dan yang namanya mati tetaplah mati. Dengan cara
apapun akan tetap sama. Menuju ke tuhan.
Sore ini aku
akan menemui Gracia. Ya, dialah matahariku. Aku harus menemuinya sore ini. Aku
tidak ingin membuatnya khawatir. Langit yang pemurah, berkatilah. Ruang yang
megah, menjelajah. Waktu yang entah, berpihaklah. Gracia yang indah aku datang.
Aku berjalan
sendiri. Tidak akan menepi, tidak berhenti. Melewati keramaian pusat kota kecil
dengan hiruk-pikuk manusia di kala senja. Tak lama, aku sampai di depan toko
milik paman nya Gracia. Ku lihat sosok indah seorang Gracia dari kaca. Bunyi
lonceng terdengar nyaring seirama dengan detak jantungku ketika ia membuka
pintu. Ia keluar dari toko. Ia menatap dingin ke arahku yang berdiri tepat
didepan pintu.
Kami berdua
saling bertukar pandang dalam beberapa detik tanpa suara. Aku memberikan bunga
tulip merah yang kusimpan rapi di dalam mantel yang ku kenakan. Berharap Gracia
tidak akan menanyakan banyak hal padaku. Berharap ia akan cuek saja. Berharap
ia akan tidak perduli dengan hari saat aku tiba-tiba bolos sekolah. Aku masih
takut mengakuinya. Aku masih takut membongkar identitasku. Aku….. aku takut ia
meninggalkanku.
“ini sebagai permintaan maaf
karena meninggalkanku sendirian di perpustakaan?” my Gre membuka suara. Aku
masih diam menatap wajah cantiknya.
“kenapa kau tidak mengajak ku
bolos bersama mu?” wajahnya masih dingin. Aku yang lemah ini masih berusaha
merangkai kalimat.
“dan mengapa 3 hari ini kau tidak
masuk sekolah?” oh god! Tatapan ini….. tatapan yang membuatku luluh sekaligus
takut. Lidah ku kelu. Aaarrrgghhh ayolah nina jangan bodoh!
“ini sebagai ungkapan rasa cinta
ku kepadamu.” Ucapku pelan. Hanya itu yang tidak tersangkut di tenggorokan ku.
Gracia
tersipu malu. My Gresya tertunduk
menutupi wajahnya yang terlihat blushing dari jarak pandang ku. Ia menerima
bunga tulip merah pemberianku. Kami jalan berdua ditengah sore redup tenang
yang kami nikmati. Kebetulan jalanan sudah sepi sekarang.
“Nina, aku ingin bertanya
kepadamu” degdegan. Jangan, Gre. Jangan Tanya itu sekarang.
“a-apa, Gre?”
“mengapa tulip merah? Bukankah
tanda ungkapan cinta itu mawar merah?” ah, syukurlah ia tidak bertanya yang ku
takutkan.
“di Era Victoria, Tulip merah
adalah tanda ungkapan cinta. Lagipula, aku tidak akan memberikan hal yang
terlalu biasa untukmu. Kamu sangat istimewa di hatiku, Gre-sya.”
Kami
masih berjalan beriringan menuju rumah Gracia. Obrolan-obrolan ringan kami
layangkan. Kalimat-kalimat puitis beberapa kali aku ucapkan dan berhasil
membuat Gracia tersipu malu. Perbincangan kami sangat hangat. Dinginnya malam
kalah dengan hangatnya perbincangan kami. Tapi sial, Ditengah perjalanan
seorang gadis yang menyebalkan tiba-tiba saja muncul dari gang.
“hey, stiff. Habis dari kantor
pos ya? Pasti kau habis menanyakan apakah ada surat dari ayahmu yang barangkali
tertinggal? hahahahaha” ah, Sofia. Ia menyebut Gracia dengan sebutan Stiff
(kaku) akhir-akhir ini. *songong emang sofia*
“Shut your f*cking mouth,
Saumensch!” ucap Gracia dingin. Aku hanya menonton. Takut jadi semakin rumit
jika aku ikut campur masalah mereka berdua.
“wow! Apa ini? Tulip merah? Siapa
yang memberimu bunga ini? Buatku saja ya?” Sofia mengambil tulip merah yang ku
berikan dari tangan Gracia. Wajahnya sangat menyebalkan. Serius, ledekan
sekaligus ejekan nya sangat amat membuatku geram walaupun hanya sebagai
pengamat disini.
“kembalikan itu, Rassmussen. Atau
aku akan membunuhmu saat ini juga!” aku dan sofia terkejut melihat seorang
Gracia mengeluarkan sebuah revolver dari balik mantel nya. ia mendorong sofia
ke dinding di gang dengan revolver menempel tepat di tengah dahi Sofia.
“aku akan melaporkanmu, Stiff!”
si anak Walikota itu malah mengancam. Padahal posisinya sedang tidak
menguntungkan untuk melayangkan ancaman seperti omong kosong yang biasa ia
ucapkan.
“laporlah ketika aku sudah
menempelkan timah panas ini tepat di otakmu yang tidak terpakai itu!” tatapan
Gracia menusuk. Insting membela diri nya sudah terlalu jauh. Ia menarik hammer revolver nya. mendekatkan jarinya
ke pelatuk. Bersiap menembak.
“Gre! Gre! Stop, Gre! Apa yang
kau lakukan?!” aku tidak bisa terus diam melihat Gracia yang semakin menekan sofia.
ku lihat peluh mulai mengalir di pelipis sofia. Gracia masih tenang menekan
bahu Sofia dengan lengan nya.
“aku tau apa yang sedang ku
lakukan, Nina. Diam saja dan nikmati pertunjukan nya, oke?” ucap gracia lembut
padaku tanpa melepaskan tatapan dan revolvernya dari sofia.
“Gresya, tolonglah. Hentikan perbuatan bodohmu itu. Kau hanya akan
membahayakan hidupmu, menghancurkan masa depanmu, dan mempersulit kak Ve!
Tolong simpan pistol itu! Aku mohon!” aku masih takut atas apa yang aku ucapkan
barusan. Kalimat itu keluar begitu saja tanpa berpikir. Aku paham betul watak
Gracia. Semakin ditentang ia malah akan semakin menjadi. Tuhan, jangan biarkan
aku kehilangan Gracia….
Gracia
terdiam untuk beberapa detik. Tatapan dingin membunuh perlahan hilang oleh satu
kedipan pelan dari kelopak matanya. Ia menarik napas panjang lalu melepaskan
pistol dari dahi sofia. Lengan nya tidak lagi menekan bahu si anak walikota
itu.
Sofia
mendorong pelan Gracia untuk mendapat ruang agar dapat melepaskan diri. Ia
menjatuhkan begitu saja Tulip merah yang tadi ia rebut dari Gracia. Tubuhnya
terlihat bergetar hebat. Wajahnya pucat pasi. Ia berlari keluar gang tanpa
mengatakan apapun kepada Gracia. Menembus gelapnya malam yang sudah jatuh di
ujung hari.
Gracia masih
tertunduk lemas memburu nafas. Revolver yang sudah basah oleh keringat masih
berada di tangan kanan nya. Tulip merah pemberianku ia genggam erat di tangan
kirinya. Tatapan nya kosong. Ia menjatuhkan pistol manual itu lalu jatuh lemah
bertumpu pada lututnya. Aku reflek memapahnya, lalu membuatnya merasa nyaman di
pelukan ku. Buliran air terasa hangat di bahu depanku. Gracia menangis. Aku
mengusap lembut kepalanya masih terus berusaha membuang semua resah dan
perasaan bersalah dari dalam dirinya.
Beberapa menit
pelukan ini berlangsung. Gracia sudah sedikit lebih tenang. Tangisannya sudah
bisa di reda. Aku menatap matanya dalam-dalam, menyeka poni yang menutupi wajah
indahnya, dan menghapus air mata yang membasahi wajah cantiknya. Aku melepaskan
pelukan, lalu mengambil revolver yang ia jatuhkan tadi dan menyimpannya di
kantong dalam mantelku.
Aku
mengantarnya pulang. Raut kekhawatiran sudah terlihat dari wajah kak Ve.
Apalagi ketika melihat Gracia dengan wajah pucat dan mata sembab habis
menangis. Pertanyaan-pertanyaan bak seorang ibu keluar dari mulutnya. Aku jawab
sekena nya. aku tak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Aku pikir biar gracia
saja yang menceritakan besok, ketika Gracia sudah beristirahat. Beruntung ada
kak kinal yang mencoba membantu menenangkan kak Ve.
Aku memapah
Gracia menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Walaupun aku sudah sering
berkunjung kerumah Gracia, tapi ini kali pertama aku masuk kamarnya. Waktu itu
Ia bilang, kamarnya adalah tempat privasi yang hanya orang-orang kepercayaannya
yang boleh masuk. Dan seingatku hanya Ayahnya, Kak ve dan aku. Kamarnya bagus.
Novel-novel tertata rapi di rak buku kecil. Tempat tidur kayu dengan selimut
merah jambu membuat sentuhan lembut di kamarnya. Jendela dengan kusen putih
yang cukup besar memperlihatkan lengkungan bulan malam ini. Sebuah meja belajar
lengkap dengan kursi nya berada di samping tempat tidur.
Aku
membaringkan tubuh Gracia di tempat tidur dan menyelimutinya. Ku usap lembut
kepalanya lalu mengecup keningnya. Aku duduk di sisinya dengan genggaman taman
yang sedari tadi enggan ia lepaskan. Beberapa menit kemudian Peri-peri tidur
mulai meniup lembut matanya yang sayup sayup akan terpejam membawanya menuju
alam mimpi. Genggaman tangannya mulai melemah. Aku melepaskannya. Aku mengecup
bibirnya sebentar lalu keluar dari kamarnya.
Di ruang
keluarga, aku melihat kak ve yang sudah tertidur pulas di bahu kak kinal. Aku
melihat ke arah kak kinal sebagai tanda aku izin pulang. Ia tersenyum kepadaku.
Aku memakai mantel yang tergantung didekat pintu rumah Gracia lalu bergegas
keluar menjauhi rumah gracia.
Beberapa blok
dari rumah Gracia, aku teringat akan kata-kata sofia tadi. Kalimat ancaman
dalam gencatan yang sofia lontarkan akan melaporkan Gresya-ku. Hampir sepertiga
perjalanan aku seakan dihantui oleh ucapan ancaman dari sofia. Aku tak tahan
membayangkan hal yang buruk jika terjadi pada Gracia akibat ulahnya tadi.
Sekarang masih pukul 9 malam. Aku putuskan ke rumah sofia untuk meminta maaf
dan mencabut kemungkinan tuntutannya.
Aku berlari
sekuat tenaga. Tanpa memperhatikan beberapa orang yang melihatku. Aku berlari
sekuat tenaga. Berharap aku belum terlambat untuk memohon kepada sofia. Aku
berlari sekuat tenaga. Berdoa kepada tuhan agar tidak membiarkan sofia menuntut
hukuman untuk Gracia. Gresya-ku.
“Sofia!” aku berteriak ketika
sudah berada di depan pagar rumah besarnya.
“Sofia! Keluarlah!” tidak ada
reaksi dari dalam.
“Sofia! Aku mohon, Keluarlah!”
aku memanjat pagarnya untuk sekedar lebih dekat dengan rumahnya agar suara ku
yang mulai habis dapat terdengar. Suara gonggongan anjing dari kegelapan di
sudut kanan rumahnya mulai menguji adrenalin ku. Aku berjongkok untuk mengikat
tali sepatu ku jika anjing yang tak terlihat itu akan mengejarku.
*Cklek*
Suara kunci
yang berputar terdengar dari balik pintu. Sedikit cahaya terpancar keluar. Sofia
yang membuka pintu. Sepertinya aku membangunkan tidurnya. Ia sudah mengenakan
piyama. Ia melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Aku mengiba.
“untuk apa kau kesini?” Tanya sofia
dengan kali ini seperti mode biasanya. Tengil.
“aku ingin meminta maaf atas nama
Gracia.”
“setelah ia hampir membunuhku?
Sekarang ku Tanya kau. Jika kau jadi aku, apa kau akan memaafkan orang yang
hampir menembus kepalamu dengan peluru?”
“tolonglah, Sofia. Aku mohon,
maafkan Gracia. Jangan laporkan dia!”
“kau terlambat. Jika aku sudah
melaporkan kepada ayahku, kau bisa apa, Nina?” sofia menyilangkan lengannya
didepan dada. Wajahnya semakin tengil saja.
Aku melihat
sekeliling halaman rumahnya. Mataku mencari sebuah mobil hitam namun tidak ada
sebuah mobil pun yang terparkir di halaman rumahnya. Itu berarti Ayahnya sedang
tidak dirumah. Beberapa kamar juga terlihat kosong dengan lampu yang tidak
menyala dan jendela kamar yang gorden nya tidak tertutup. Memang, ada dua
kemungkinan. Kamar itu memang kosong atau keluarga Sofia sudah tertidur. Tapi
insting ku berkata bahwa rumah ini sedang kosong, hanya ada sofia dan dua orang
asisten rumah tangga nya. insting ku diperkuat dengan keadaan dimana sofia yang
membuka pintu dan tidak ada seorang pun anggota keluarga sofia yang keluar
bahkan hanya untuk sekedar tau siapa yang sedari tadi berteriak didepan rumah.
“jika tidak ada yang akan kau
ucapkan lagi, kalau begitu selamat malam.” Sofia mulai bergerak menutup pintu.
“kau bohong kan? Kau belum
melaporkan Gracia kepada ayahmu atau bahkan anggota keluarga Rassmussen lainnya.
Keluarga mu sedang tidak dirumah, benar?” ucapku menghentikan langkah Sofia.
“jangan sok tau, Hamelwosfh!” ia
berbalik. Kembali berhadapan denganku.
“mobil ayahmu tidak terparkir di
halaman ini. Beberapa kamar lampunya tidak menyala dan gorden nya terbuka,
kecuali kamarmu. Aku berteriak di depan
rumah cukup lama, tetapi tidak ada seorang pun yang menyahut. Kamar orang tua
mu berada di kamar utama yang tempatnya cukup dekat dengan pagar, seharusnya
bisa mendengar teriakanku. Kau baru menyadari kalau ada seseorang yang masuk
rumahmu karena gonggongan anjingmu. Kau mengira orang itu adalah orang yang
akan berbuat jahat, makanya kau menuruni tangga dari lantai dua yang merupakan
kamarmu berada dengan agak tergesa namun tetap berhati-hati. Terlihat dari
keringat yang muncul di pelipismu dan stik softball yang berada di balik pintu
ini. Dan…. Kau menyalakan semua lampu agar ‘orang jahat’ itu mengurungkan
niatnya karena ia akan mengira bahwa rumah mu ramai.” Aku mengucapkan deduksi
ku.
“kenapa kau sangat yakin?” Tanya nya
yang sudah bersender di pintu
“karena kau mengucapkan kata
‘jika’ dalam kalimat ‘Jika aku sudah melaporkan kepada ayahku’ itu berarti kau
belum melaporkan Gracia kepada ayahmu.” Sepertinya mengiba tidak akan mempan
untuk orang seperti Sofia. Maka kali ini aku nyengir kuda.
“kau pintar juga.” Ia melihat
kedalam rumahnya. Mungkin melihat jam karena sebelumnya ia menguap dan melihat
kearah langit. “by the way, mengapa kau sangat ingin ‘melepaskan’ Gracia?”
“a-aku hanya tidak ingin ia
mendapat masalah besar….”
“Keberuntungan berpihak juga ya
pada si Roosevelt itu. Ia sangat beruntung memiliki teman sepertimu, dan malam
ini ia beruntung Ayahku sedang tidak ada dirumah. Kalau begitu, Aku tidak akan
melaporkannya.” Ini senyuman pertama yang aku lihat dari seorang Sofia.
ternyata Ia lebih manis dengan senyuman daripada tampang tengil yang selama ini
ia perlihatkan di sekolah.
Aku
sangat bahagia mendengarnya. Sangat amat bahagia. Gresya-ku bebas dari masalah ini. Sofia tidak seburuk yang aku dan
Gracia pikir selama ini. Dan benar apa yang aku yakini selama ini bahwa setiap
orang jahat tidak selalu jahat, ia pasti memiliki kebaikan walaupun hanya
secuil. Dan begitu sebaliknya. Aku reflek memeluk Sofia. Setelah beberapa detik
aku baru sadar ia tidak membalas pelukanku. Namun anehnya ia tidak melepas
pelukanku. Karena itulah, aku yang melepas pelukannya.
“pulanglah. Sudah jam 10 malam.
Kakek dan nenek mu pasti khawatir.” Ia berjalan membukakan pintu pagar yang ternyata
tidak terkunci sedari tadi. *Bego emang
kalo orang panik. Pake lompat segala nina*
“terimakasih!
terimakasih, sofia!” aku bergegas pulang. Berjalan dengan dada yang tidak sesak
lagi. dengan perasaan terasa sangat lega. Dengan kabar baik yang akan ku
berikan kepada Gracia.
to be continue.....
hiyaaaaaak. segitu dulu ye. kependekan gak sih?
tunggu Tulip Merah : 4 yaaa hahahaha abis uts tapi :p
Always so interested anything about Gremids >.<
ReplyDeleteLanjutkan! heheh
Btw semangat buat uts nya yaaaa