Thursday, 5 March 2015

Tulip Merah : 1

ini ff pertama gue nih. dianjurkan untuk membacanya saat pikiran sedang selo wkwkwk. bacalah dengan pikiran terbuka. sekali lagi ini cuma fanfict, gaada maksud lain atau apapun itu. oke ya langsung aja.....


Agustus 1942
Mendung. Sampai menjelang tengah hari ini matahari masih malu-malu rupanya. Kalau kau ingin tahu lebih jelasnya, mungkin sedikit akan ku gambarkan dengan kata-kata. Siang ini semua aktifitas seakan berada di balik awan. Nyanyian burung tidak bersahutan sejak pagi. Angin berhembus tak ramah kepada pepohonan hingga beberapa harus menggugurkan daun nya. namun sekelompok manusia bodoh tetap bersuka cita, menarik kedua sudut bibirnya berlawanan arah, bahkan beberapa meneriakkan suara-suara gaduh propaganda. Mereka bodoh. Sekelompok pemuda itu bodoh. Pemuja fuhrer dengan isme bodoh yang sangat bahagia dengan perang.




Begini, beberapa dekade ini memang manusia sudah gila. Manusia dengan mudahnya menembus tubuh manusia lain dengan timah panas. Manusia dengan mudahnya memanggang daging bahkan seluruh tubuh manusia lain dengan bom. Kau tahu untuk apa para manusia bodoh itu lakukan sampai mereka rela bertaruh nyawa? Jawabannya sederhana, hanya untuk tanah. Jajahan. Kejayaan. Dan imej kuat dari manusia lain.

*neeeeeetttt*

“suara bodoh ini lagi. mengganggu tidurku saja.” Gerutuku yang masih malas untuk bangkit dari tempat tidur.

Aku hidup diantara perang. Hampir setiap malam sudah terbiasa dengan sirine yang mengharuskan aku dan keluargaku serta penduduk desa lainya menunda istirahat untuk berjalan tergesa didalam barisan orang-orang bernasib sama dalam kepanikan untuk berlindung di bunker. Terlalu sering memang sampai aku mungkin sudah lupa rasanya panik, dada berdebar hebat, sampai sulit bernafas didalam bunker seperti sekitar 2 tahun lalu. Ya, 2 tahun lalu pasukan jerman menduduki kota kecil di Denmark ini dan mengubah semuanya. Kami di jajah.

“Gracia, cepatlah turun!” ya. Pasti. ia mengucapkan kalimat template ini lagi.

“iya, kak!” jawabku teriak dari lantai 2. lalu Bergegas turun menghampiri kakaku.

                Dia Veranda, kakakku. Perempuan cantik dengan tubuh tinggi semampai, mata sedikit sayu dan rambut hitam panjang serta pipi gembil itu kakakku. beberapa bulan ini aku hanya tinggal berdua dengannya. Ibuku sudah lama meninggal. ayahku mengikuti kelompok pemberontak di kota lain yang entah bagaimana kabarnya sekarang. Mungkin sudah mati. Beberapa pembuat onar di sekolah bilang seperti itu. Namun aku percaya dengan keajaiban. Aku percaya, percikan impianku pasti dipeluk tuhan, lalu digantungkannya untuk bersinar terang di langit harapan.

                Kami berjalan menuju bunker yang disediakan pemerintah jerman untuk menghadapi serangan udara seperti malam ini dan mungkin malam-malam berikutnya. Seperti biasa, didalam bunker dipenuhi harapan orang-orang untuk kesempatan melanjutkan hidupnya dan beberapa raut wajah khawatir, lelah, takut, serta ngantuk. Mungkin hanya ngantuk yang aku rasakan mengingat walaupun seharian cuaca mendung tetapi aku tetap bekerja di toko membantu paman. Saat seperti ini, kak Ve selalu menggenggam erat tanganku. Bisa aku rasakan setiap berbunyi alarm seperti ini tingkat kecepatan detak jantungnya meningkat hebat. Tangannya selalu dingin, bergetar dan basah oleh keringat karena takut.

7.24 A.M
Setelah semalam bertakut-ria (?) oleh beberapa serangan udara dadakan, pagi ini aku masih bisa menghirup udara segar. Syukurlah.  Aku juga senang, pagi ini Kak Ve berubah. Jika biasanya setelah gempuran bom bom dari udara ia selalu terlihat kusut, pagi ini wajahnya sangat cerah seperti semalam tak ada sumber ketakutannya. Sekali lagi, syukurlah. Terimakasih kak, kau menguatkanku.

Seperti pagi-pagi biasanya, aku membantu kak Ve menghabiskan sarapan yang ia buat. Sejak ibu meninggal, ia yang dengan pintarnya menggantikan peran ibu. Merewatku, menasehatiku, menjagaku, membimbing, dan tidak segan juga ia memarahiku sampai kami jadi bertengkar. Tapi aku tidak kuat kalau berlama-lama tidak akur dengan nya, pastilah diantara kami ada yang lebih dulu meminta maaf. Biasanya sih, ya Kak Ve. Hehe. Setelah selesai sarapan, aku berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Sepeda hanya mampu dibeli oleh orang kaya seperti anjing-anjing pengkhianat dengan ras Denmark yang setia kepada jerman hanya demi jabatan bodoh. Huh.

“Hei, Gracia Roosevelt! Apa kau sudah mendapat surat dari ayahmu? Aku ingin tahu seperti apa perangko dari surga!” si bodoh ini mulutnya memang melebihi kapasitas otaknya. Biarkan saja.

Bully-an yang mereka beri tidak pernah aku fikirkan. Bagiku, itu hanya angin lalu. Namun bukan tidak pernah aku hampir emosi mendengar ucapannya. Satu kalimat yang langsung meredakan emosi ku adalah ‘aku percaya, ayah masih hidup untuk membebaskan tanah ini’

Ceria, pantang menyerah, dan selalu berusaha meraih mimpi. Bukan. Itu bukan aku. Aku hampir terlihat selalu datar, tidak punya harapan hidup, dan menutup diri di sekolah. Di kelas pun aku selalu mengambil kursi di barisan pinggir, dengan beberapa anak dikelas yang ku kenal. Bahkan mungkin ada teman sekelasku yang belum pernah berbicara denganku. Bodo amat. Aku tak perduli.

Beberapa menit setelah aku memilih kursi kesayangan dekat jendela, Mr. Lehmann datang dengan seorang gadis bertubuh kurus dan tinggi. Matanya yang bulat menyisir seluruh kelas ini dengan menyunggingkan sedikit senyuman kecil. Sepersekian detik mata ku bertemu dengannya. ia langsung mengalihkan pandangan. Aku sih biasa saja.

“ini Nina, cucu dari keluarga Hamelwosfh.” Mr. Lehmann memperkenalkan gadis itu, lalu menyuruhnya duduk. Ada dua kursi kosong dikelas ini. Namun sialnya ia menempati kursi disebelahku, satu meja denganku.

“hai….?” Ia menyapaku dengan intonasi menggantung tanda ingin tahu namaku.

“Gracia.” Jawabku singkat padat dan cuek.

Ia hanya menyunggingkan senyum dan mengangguk-anggukan kepalanya sambil menyebut-nyebut namaku lirih. Mungkin mengahafal. Ah aku tak peduli. Ku lanjutkan mengerjakan soal matematika dihadapanku.

Nina’s POV

Ini adalah hari pertamaku bersekolah di sebuah kota kecil di Denmark. Seperti sekolah-sekolah biasa di daerah jajahan jerman, aku tidak perlu mendaftar dengan menunjukan berkas-berkas untuk bisa bersekolah. Aku hanya diantar oleh kakek ku ke sekolah, bilang pada guru bahwa aku adalah cucu dari salah satu keluarga di desa ini cukup untuk menerima ku bersekolah.

Mr. Lehmann membawaku masuk ke kelas lalu mengenalkanku kepada kelas baru ku di sekolah ini. Ada dua bangku kosong di kelas ini. Kursi paling pojok belakang dan didekat jendela. Sudah pasti aku memilih kursi didekat jendela. Aku suka matahari, aku bersyukur bila kulitku tersentuh sinar mentari. Selain itu, aku bisa melihat keluar kelas dari jendela dimana dapat melihat langsung ke arah lapangan.

Gadis disampingku ini namanya Gracia. Shania Gracia Roosevelt. Aku bukan stalker, tapi nama itu tertulis di cover depan buku catatan nya. jadi aku pikir itu adalah nama lengkapnya. Gracia cukup pendiam. Ia tidak banyak bicara. Bahkan selama hampir beberapa jam pelajaran ini ia baru satu kali berucap padaku, yaitu saat ku Tanya namanya. Itupun ia sangat dingin menjawabnya, padahal ku pikir aku cukup hangat. Mungkin karena belum kenal. Gracia itu cantik. Matanya sipit, kulitnya kuning langsat. Rambutnya juga hitam lurus. Terurai panjang dengan poni ia kesampingkan menutup sediki matanya jika dilihat dari samping. Ku kira ia memiliki garis darah keturunan jepang.

“hei, Hamelwosfh! Kau sudah cukup lama melihat Gracia. Mau ke cafeteria untuk makan siang?”

Ini membuyarkan lamunanku. Gracia yang sedari tadi asik membaca novelnya ketika Mr. Lehmann meninggalkan kelas langsung menoleh kearahku. Reflek ku cukup lambat ternyata. Aku tak sempat membuang muka. Mata kami kembali bertemu. Ia mengerutkan dahi nya. Mungkin risih. That awkward moment.

“ah, tidak. Aku melihat ke arah luar jendela.” Aku menyangkal ringan. Aku sadar bahwa memang melihat wajah samping Gracia sedari tadi. Tapi aku tak mungkin berterus terang soal ini. Aku takut Gracia malah risih dan tidak mau berteman denganku.

“jadi? Mau ikut ke cafetaria atau tidak?”

“ya, tentu. Aku juga lapar.” Aku bangkit dari bangku menuju beberapa anak yang tadi mengajakku makan siang.
                 
Cafetaria di sekolah ini cukup ramai walaupun lapangan tak kalah ramai saat ku lihat dari jendela kelas tadi. Sebenarnya aku lebih ingin mengeluarkan keringat di lapangan, tapi aku harus berterimakasih kepada beberapa anak ini karena mengeluarkanku dari awkward moment bersama Gracia walaupun sebenarnya mereka lah yang menciptakan awkward moment itu sendiri.

Makanan di cafetaria ini lebih parah dari sekolahku sebelumnya. Disini sama sekali tidak ada olahan daging. Aku hanya memakan sup dan kentang tumbuk yang rasanya memprihatinkan. Memang seperti inilah situasi negeri jajahan, apalagi ini hanya kota kecil di pinggir Denmark jadi pasti suplai makanan terbatas. Sistem Ekonomi perang yang ditetapkan jerman membuat petani di daerah harus menanam tanaman obat-obatan, rempah-rempah, dan yang berguna untuk tentara nazi. Di kota ku dulu bahkan para peternak harus menjual hewan ternaknya kepada jerman walaupun dengan harga murah. Namun di cafetaria sekolah ku dulu setidaknya setiap hari kami bisa memakan olahan daging walaupun sangat sedikit.
***
                Sepulang sekolah aku tidak bisa berdiam diri saja sementara nenek dan kakek ku sibuk di kebun belakang rumah. Setelah berganti baju, aku ikut membantu mereka di kebun. Ya setidaknya bisa mengurangi sedikit beban mereka di kebun, mengingat juga usia kakek dan nenek yang tidak muda lagi. di belakang rumah ada kebun anggur, memasuki musim gugur seperti ini kebun-kebun anggur di beberapa rumah yang aku lewati hari ini memang sedang panen. Kebun kami juga.

“jika kau memang ingin sekali membantu nenek, kau bisa mengantarkan anggur yang ada di keranjang itu, sayang.” Ucap kakek ketika melihatku hendak membantu memanen anggur. Aku menghentikan aktifitasku sebelumnya. hanya cengo dan tak tahu harus melakukan apalagi.

“kau datang dari jauh bukan untuk berkebun kan, sayang? Kau satu-satunya cucuku, nina. Tak akan ku biarkan kau kelelahan.” Nenek mendekatiku. Ia melepaskan sarung tangannya, lalu mengusap lembut pipiku. Aku hanya mengerutkan dahi dan mengatupkan bibir. Susah memang nenek-nenek.

“tapi kalau kau merasa bosan berada dirumah, aku akan kurangi beban anggur di keranjang untuk kau bawa.” Ia melangkah menuju keranjang anggur di sudut kebun.

“tidak apa, Nek! Aku bisa kok, aku kan gadis tangguh!” aku langsung berlari kecil menuju keranjang sambil menghalangi langkah nenek. Ia hanya tersenyum.

                Ah, sial. Memang berat ternyata keranjang ini. Untung saja kakek menawariku membawa anggur-anggur ini dengan sepeda yang biasa ia gunakan. Sepeda dengan keranjang cukup besar didepannya. Ia juga memberitahu kemana aku harus mengantar anggur-anggur ini.

                Aku mulai menyukai desa ini. Tidak ada emblem bintang dengan 6 sudut lancip berwarna kuning di pakaian yang dikenakan orang-orang. Sungguh, emblem itu membuatku takut. Semoga aku akan lama disini. Suasananya juga nyaman. Ya walaupun ada beberapa tentara jerman yang berlalu-lalang mengotori damainya desa ini. Ku kayuh sepeda dengan cepat karena langit senja sudah terlihat ditutupi oleh Mega.

Gracia’s POV

                Dimana mentari? Menjelang senja begini kok malah mendung? Harusnya kan aku menikmati sandikala indah ciptaan tuhan. Ah, tapi tak apa. Setidaknya tadi siang langitnya cerah, aktifitas semua orang juga tidak berada di balik awan.

                Toko ini juga tidak begitu ramai hari ini, jadi aku bisa sedikit beristirahat. Aku bekerja membantu paman di toko jam miliknya. Pamanku seorang watchmaker. Aku membantu menjaga toko serta menjualkan hasil kerjasama kecerdasan otak, ketelitian mata, dan kecekatan tangan paman.

“sayang sekali ya, Gracia. Sore ini langitnya mendung. Kau kehilangan lukisan senja lagi.” ucap paman memecahkan kesunyian toko. Aku hanya tersenyum melihat paman yang juga sibuk dengan mesin kecil namun rumit dihadapannya.

“bagaimana kakak mu? ku dengar ia ditawari pekerjaan di pemerintahan sipil?” Tanya paman yang masih berkutat dengan jam milik pelanggan yang harus diperbaiki.

“kak ve tidak mungkin menerima pekerjaan itu, paman. Ia bukan pengkhianat bangsa.” Jawabku datar masih fokus pada novel yang ku baca. Sudah ku bilang bukan kalau aku memang pendiam?

                Kesunyian kembali menguasai toko. Paman mencoba menyetel radio yang usang untuk menghapus kesunyian. Sebuah lagu lawas masa renaissance menjadi backsound di dalam toko saat ini. Tak seberapa lama sejak percakapan paman dan aku tadi, seseorang masuk dengan membawa sebuah keranjang yang dipenuhi anggur.

“maaf, Tuan. Aku cucu Alex Hamelwosfh. Aku mengantarkan anggur ini.” Nina? Kita bertemu lagi. sebenarnya aku kurang suka jika bertemu teman sekolah ku diluar sekolah. Bukan apa-apa, aku hanya malas.

“oh ya ya, sini. Sebentar ya, kuambil uang bayaran nya dulu ke dalam. Silahkan duduk! Gracia, tolong temani gadis ini, oke!” paman menyambut Nina dengan ramah lalu membawa keranjang itu ke dalam rumah yang berada di belakang toko ini.

                Sekarang awkward lagi. lagu yang dimainkan radio ini berganti menjadi lagu romansa. Ah apa-apaan ini? Ya, mau gimana lagi? aku tidak boleh terlihat awkward. Ku kembalikan fokus ku kepada novel di tangan ini.

“kau sangat suka membaca, ya? Gracia?” ia membuka suara.

“lumayan….” Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku tidak pandai menjadi hangat didepan orang yang baru ku kenal.

“jadi, apa saja yang kau baca? Novel saja? Atau Koran? Yang lain kah? Lalu apa saja novel yang sudah kau baca?” ia masih saja berusaha membuka suaraku lebih banyak. Aku tidak menjawab pertanyaan sok kenal nya. memang siapa dia bisa seenaknya ingin tahu tentangku. Aku kembali fokus ke novel yang ku pegang.

“oh, begitu. Aku juga suka. Apalagi ketika Sherlock sudah bertingkah konyol dan aneh. Padahal dia sosok pria sempurna.” Nina melanjutkan kalimatnya seakan aku sudah menjawab rentetan pertanyaan yang ia ucapkan.

Apa? Perasaan kan aku diam saja daritadi. Lucu juga sih gadis ini. Gak jelas, tapi lucu. Hehe. Aku sebenarnya ingin ternsenyum kepadanya yang sok kenal ini, tapi masa aku luluh begitu saja. Ku alihkan pandanganku dari novel ke arahnya. Ia menatapku tersenyum menunggu respon dariku. Ku pasang tampang serius. Namun, bukannya takut si Nina ini malah nyengir terus cengo gak jelas. Kali ini aku kalah. Aku tertawa cukup renyah melihat wajahnya yang lucu. Ekspresinya sangat epic. Hahahahaha! Kami berdua tertawa bersama lalu berhenti seiring dengan datangnya paman dengan beberapa lembar uang kertas dan beberapa sen uang logam.

“ini. Terimakasih ya. Oh ya, jangan panggil aku Tuan. Aku bukan bangsawan. Panggil paman saja. Aku dan kakekmu sudah seperti saudara. Sampaikan juga terimakasih ku kepada kakekmu. Anggurnya sangat enak!” ucap paman sambil memberikan uang ke Nina. Nina hanya tersenyum dan mengangguk saat menerima uang dari paman.

“kau boleh sesekali datang ke rumahku untuk meminum anggur bersama kakek dan nenekmu. Itupun jika kau sudah cukup umur. Hahahaha. Omong-omong, berapa usiamu? Kau masih terlihat muda.” Lanjut paman.

“15 tahun, Paman.” Jawab Nina singkat

“wah berarti kalian seumuran? Apa kau satu sekolah dengan gadis ini, Gracia?” kali ini paman melemparkan pertanyaan kepadaku.

“namanya Nina, paman. Kami sekelas.” Kali ini aku sedikit hangat, ya masih terbilang dingin sih sebenarnya. Tapi lumayan lah untuk bicara didepan orang asing yang sok kenal ini. Hehe.

“aku baru masuk hari ini, paman. Jadi kami belum terlalu kenal. Mungkin akan saling mengenal nantinya. Hehehe. Yasudah paman, diluar sudah gelap. See ya, Gracia!” hih apa ini? Dikasih hati sedikit malah jadi kepedean.

                Gadis dengan tubuh tinggi itu akhirnya pergi meninggalkan toko. Ia mengayuh sepedanya cukup kencang. Mungkin takut akan gelap. Aku tahu rumah keluarga hamelwosfh berada agak jauh dari pemukiman warga desa dan melewati sebuah gedung kosong bekas hantaman serangan udara. Memang agak menyeramkan, sih. Eh iya, by the way Sudah waktunya aku pulang juga. Lagipula pasti kak ve sudah menunggu dirumah. Aku pun mengambil mantel lalu berpamitan kepada paman untuk pulang.

Nina’s POV

                Haduh. Sial. Aku lupa harus ke arah mana di pertigaan. Tadi sore pertigaan ini masih ramai oleh para pedagang jadi aku menghafal dengan patokan penjual koran, namun sekarang malah sudah sepi bersih. Gimana nih pulangnya?

                Cukup lama aku bimbang memilih kanan atau kiri. Dua-duanya sama. Sama-sama gelap, sama-sama sepi. Iya, aku memang takut gelap. Terang lebih baik daripada gelap. Aku duduk di tengah jalan dengan sepeda disebelahku. Berharap ada seseorang yang lewat lalu dapat ku mintai bantuan untuk sekedar menunjukan arah agar sampai ke rumah. Aku takut membuat khawatir kakek dan nenek.

“sedang kau apa duduk di tengah jalan? Ingin bunuh diri?” suara itu. Suara yang baru aku dengar pertama kali di hari ini.

“Gracia? Oh syukurlah!” terimakasih ya Tuhan, kau mengirimkan malaikat kepada ku. Aku sangat senang, artinya aku akan pulang kerumah malam ini. Kakek dan nenek tidak perlu mencariku. Aku berniat memeluk Gracia yang menatapku aneh. namun belum sempat memeluk, ia berjalan mundur beberapa langkah menjauhiku.

“aku tidak tahu kau orang baik atau bukan.” Ucapnya dingin

“maaf. Aku hanya senang bisa menemukan orang yang lewat sini. Aku lupa kemana arah rumah. Kau tahu?”

“kesana.” Ia menunjuk ke arah kanan lalu kembali melihatku. Kali ini dengan tatapan dingin.

                Aku memang sudah tahu ke arah mana aku harus pulang, tapi aku malah mematung tak bergeming. Adrenalin ku tak berjalan jika dihadapkan dengan gelap. Gracia berjalan melewatiku ke arah kiri tanpa sekedar berkata selamat malam, sampai jumpa, atau hati-hati. Lah? Aku siapa nya ya lagipula. Beberapa langkah ia berjalan melewatiku, ia membalikkan tubuhnya lalu berjalan ke arah kanan. Ke arah rumah kakek dan nenek. Aku masih bingung mematung melihatnya.

“Ayo! Tunggu apalagi? Jangan sampai aku berubah pikiran.” Ucap Gracia yang masih cuek tidak melihat kearahku sambil berjalan menuju rumah. Aku menuntun sepedaku menyusul Gracia. Berjalan disebelahnya, melihat wajah sampingnya sambil sesekali menanyakan pertanyaan tidak penting untuk ditanyakan. Tidak jarang juga Gracia hanya diam menghiraukan ocehanku, tapi sesekali ia menanggapi dengan hangat. Lucu juga ya kamu, Gracia.

                Tidak jauh dari rumahku, seorang laki-laki paruh baya berjalan ke arah kami. Aku tak tahu siapa, agak takut juga sih. Namun karena ada Gracia jadi berani. Entah kenapa gracia memiliki keberanian yang hebat untuk ukuran gadis yang terlihat lebih feminim dariku. Pria itu semakin dekat, bayangannya mulai memanjang setiap ia melewati lampu jalan. Jarak 5 meter dari kami dan pria itu berhenti tepat dibawah lampu jalan. Memperlihatkan wajahnya.

“yaampun, Kakek!” Aku berlari menghampiri kakek. Kali ini aku memunggungi Gracia. Ia menghentikan langkanya saat aku membalikkan badan ke arahnya. Aku berjalan agak cepat menghampirinya.

“aku pulang dulu. See ya, Nina!” ini serius? Kali ini Gracia memang hangat. Aku tidak menyangka bisa meluluhkan keangkuhan nya.

“Gracia!” ia baru membalikan tubuhnya, belum sempat melangkahkan kaki aku memanggilnya. “apa kamu tidak apa pulang sendiri? Aku dan kakek bisa menemani mu sampai rumah!” kata ku sumringah.

“kau sudah merepotkanku, lalu sekarang mau merepotkan kakekmu?” Gracia kembali lagi ke mode menyebalkan minta dikejar. “aku sudah biasa Pulang sendirian di malam hari.” Ucapnya lalu pergi begitu saja meninggalkanku.

“terimakasih, Gracia!” aku sedikit berteriak. Ia hanya memberikan jempol ke arah ku sambil terus berjalan menembus gelapnya malam.
***

                Hangatnya sinar mentari pagi menembus kulitku. Membuatku harus memulai hidup baru, berusaha agar tidak ‘lari’ lagi. Nenek membuka tirai dari kamarku yang berada di lantai dua rumah ini.

“bangun, sayang. Ini memang hari minggu, tetapi sangat disayangkan jika kau hanya bersembunyi dari cerahnya mentari pagi ini.” Nenek membangunkanku dengan senyuman penuh kasih darinya, lalu pergi turun ke bawah meninggalkan kamar.

Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan gontai menuju jendela kamar. Menghirup napas panjang lalu membuangnya. Udara pagi ini terasa amat segar. Terimakasih Tuhan, pagi ini cerah. Langitnya biru membentang sejauh mata memandang. Orang-orang berlalu lalang memulai aktifitas di hari bermalas-malasan ini.

Setelah mandi dan sarapan, aku membantu nenek mencuci piring. Nenek selalu melarang ku untuk melakukan suatu pekerjaan rumah, ia selalu beralasan bahwa tubuhnya akan kaku jika tidak digunakan untuk melakukan pekerjaan rumah. Padahal aku tahu ia hanya tidak ingin aku sakit karena kelelahan. Namun aku merasa iba karena usia nenek yang tidak muda lagi. Aku selalu memaksa untuk membantu. Ya paling tidak mencuci piring setelah kami makan bersama. Hehe.

Kakek sejak selesai sarapan langsung berada di kebun. Entah apa yang dia kerjakan. selalu saja sibuk. Aku ingin membantu berkebun, tapi kakek memang baik sekali. Ia melarangku, sama dengan alasan nenek. Yah, ada senangnya juga sih bisa bersantai di hari minggu.

08.48 AM

                Bosan sekali hanya berada di rumah tanpa melakukan hal apapun. Kuputuskan untuk berkeliling desa dengan sepeda usang milik kakek ini. Kayuhan ku kali ini cukup pelan. Aku ingin menikmati suasana desa ini, merekamnya dalam pandangan mataku, dan menaruhnya dalam ingatan memori dalam otak.

                Minggu pagi yang cerah ini anak-anak bermain dengan riangnya seperti tidak ada rezim jerman yang menekan desa ini. Anak-anak bermain sepak bola didepan rumah mereka. Tidak ada taman bermain atau taman kota seperti di tempat ku tinggal dulu. Tanah lapang disini telah dirubah menjadi camp tentara dengan pagar berduri, meriam dan senjata-senjata keperluan perang. Beberapa sudut desa ini juga dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan perang seperti tank, truk, dan lainnya.

Namun dibalik itu semua, gema tawa renyah anak-anak yang bermain sepak bola seakan menampakkan bahwa mereka hidup baik-baik saja berdampingan dengan tentara jerman. Tidak seperti tempat tinggalku dulu yang sejak kedatangan jerman atmosfer desa berubah menjadi kecaman, ketakutan, bahkan rasa risau setiap harinya. Aku harap aku tidak akan ‘lari’ lagi.


“gracia? Itu gracia kan?”

to be continue....

No comments:

Post a Comment