Agustus 1942
Mendung. Sampai
menjelang tengah hari ini matahari masih malu-malu rupanya. Kalau kau ingin
tahu lebih jelasnya, mungkin sedikit akan ku gambarkan dengan kata-kata. Siang
ini semua aktifitas seakan berada di balik awan. Nyanyian burung tidak bersahutan
sejak pagi. Angin berhembus tak ramah kepada pepohonan hingga beberapa harus
menggugurkan daun nya. namun sekelompok manusia bodoh tetap bersuka cita,
menarik kedua sudut bibirnya berlawanan arah, bahkan beberapa meneriakkan
suara-suara gaduh propaganda. Mereka bodoh. Sekelompok pemuda itu bodoh. Pemuja
fuhrer dengan isme bodoh yang sangat bahagia dengan perang.
Begini, beberapa
dekade ini memang manusia sudah gila. Manusia dengan mudahnya menembus tubuh
manusia lain dengan timah panas. Manusia dengan mudahnya memanggang daging
bahkan seluruh tubuh manusia lain dengan bom. Kau tahu untuk apa para manusia
bodoh itu lakukan sampai mereka rela bertaruh nyawa? Jawabannya sederhana,
hanya untuk tanah. Jajahan. Kejayaan. Dan imej kuat dari manusia lain.
*neeeeeetttt*
“suara bodoh ini lagi. mengganggu
tidurku saja.” Gerutuku yang masih malas untuk bangkit dari tempat tidur.
Aku hidup
diantara perang. Hampir setiap malam sudah terbiasa dengan sirine yang
mengharuskan aku dan keluargaku serta penduduk desa lainya menunda istirahat
untuk berjalan tergesa didalam barisan orang-orang bernasib sama dalam
kepanikan untuk berlindung di bunker. Terlalu sering memang sampai aku mungkin
sudah lupa rasanya panik, dada berdebar hebat, sampai sulit bernafas didalam
bunker seperti sekitar 2 tahun lalu. Ya, 2 tahun lalu pasukan jerman menduduki kota
kecil di Denmark ini dan mengubah semuanya. Kami di jajah.
“Gracia, cepatlah turun!” ya.
Pasti. ia mengucapkan kalimat template ini lagi.
“iya, kak!” jawabku teriak dari
lantai 2. lalu Bergegas turun menghampiri kakaku.
Dia
Veranda, kakakku. Perempuan cantik dengan tubuh tinggi semampai, mata sedikit
sayu dan rambut hitam panjang serta pipi gembil itu kakakku. beberapa bulan ini
aku hanya tinggal berdua dengannya. Ibuku sudah lama meninggal. ayahku
mengikuti kelompok pemberontak di kota lain yang entah bagaimana kabarnya
sekarang. Mungkin sudah mati. Beberapa pembuat onar di sekolah bilang seperti
itu. Namun aku percaya dengan keajaiban. Aku percaya, percikan impianku pasti
dipeluk tuhan, lalu digantungkannya untuk bersinar terang di langit harapan.
Kami
berjalan menuju bunker yang disediakan pemerintah jerman untuk menghadapi
serangan udara seperti malam ini dan mungkin malam-malam berikutnya. Seperti
biasa, didalam bunker dipenuhi harapan orang-orang untuk kesempatan melanjutkan
hidupnya dan beberapa raut wajah khawatir, lelah, takut, serta ngantuk. Mungkin
hanya ngantuk yang aku rasakan mengingat walaupun seharian cuaca mendung tetapi
aku tetap bekerja di toko membantu paman. Saat seperti ini, kak Ve selalu
menggenggam erat tanganku. Bisa aku rasakan setiap berbunyi alarm seperti ini
tingkat kecepatan detak jantungnya meningkat hebat. Tangannya selalu dingin,
bergetar dan basah oleh keringat karena takut.
7.24 A.M
Setelah
semalam bertakut-ria (?) oleh beberapa serangan udara dadakan, pagi ini aku
masih bisa menghirup udara segar. Syukurlah. Aku juga senang, pagi ini Kak Ve berubah. Jika
biasanya setelah gempuran bom bom dari udara ia selalu terlihat kusut, pagi ini
wajahnya sangat cerah seperti semalam tak ada sumber ketakutannya. Sekali lagi,
syukurlah. Terimakasih kak, kau menguatkanku.
Seperti
pagi-pagi biasanya, aku membantu kak Ve menghabiskan sarapan yang ia buat.
Sejak ibu meninggal, ia yang dengan pintarnya menggantikan peran ibu.
Merewatku, menasehatiku, menjagaku, membimbing, dan tidak segan juga ia
memarahiku sampai kami jadi bertengkar. Tapi aku tidak kuat kalau berlama-lama
tidak akur dengan nya, pastilah diantara kami ada yang lebih dulu meminta maaf.
Biasanya sih, ya Kak Ve. Hehe. Setelah selesai sarapan, aku berangkat ke
sekolah dengan berjalan kaki. Sepeda hanya mampu dibeli oleh orang kaya seperti
anjing-anjing pengkhianat dengan ras Denmark yang setia kepada jerman hanya
demi jabatan bodoh. Huh.
“Hei, Gracia Roosevelt! Apa kau
sudah mendapat surat dari ayahmu? Aku ingin tahu seperti apa perangko dari
surga!” si bodoh ini mulutnya memang melebihi kapasitas otaknya. Biarkan saja.
Bully-an yang
mereka beri tidak pernah aku fikirkan. Bagiku, itu hanya angin lalu. Namun
bukan tidak pernah aku hampir emosi mendengar ucapannya. Satu kalimat yang
langsung meredakan emosi ku adalah ‘aku percaya, ayah masih hidup untuk
membebaskan tanah ini’
Ceria, pantang
menyerah, dan selalu berusaha meraih mimpi. Bukan. Itu bukan aku. Aku hampir
terlihat selalu datar, tidak punya harapan hidup, dan menutup diri di sekolah. Di
kelas pun aku selalu mengambil kursi di barisan pinggir, dengan beberapa anak
dikelas yang ku kenal. Bahkan mungkin ada teman sekelasku yang belum pernah
berbicara denganku. Bodo amat. Aku tak perduli.
Beberapa menit
setelah aku memilih kursi kesayangan dekat jendela, Mr. Lehmann datang dengan
seorang gadis bertubuh kurus dan tinggi. Matanya yang bulat menyisir seluruh
kelas ini dengan menyunggingkan sedikit senyuman kecil. Sepersekian detik mata
ku bertemu dengannya. ia langsung mengalihkan pandangan. Aku sih biasa saja.
“ini Nina, cucu dari keluarga
Hamelwosfh.” Mr. Lehmann memperkenalkan gadis itu, lalu menyuruhnya duduk. Ada
dua kursi kosong dikelas ini. Namun sialnya ia menempati kursi disebelahku,
satu meja denganku.
“hai….?” Ia menyapaku dengan
intonasi menggantung tanda ingin tahu namaku.
“Gracia.” Jawabku singkat padat
dan cuek.
Ia hanya
menyunggingkan senyum dan mengangguk-anggukan kepalanya sambil menyebut-nyebut
namaku lirih. Mungkin mengahafal. Ah aku tak peduli. Ku lanjutkan mengerjakan
soal matematika dihadapanku.
Nina’s POV
Ini adalah
hari pertamaku bersekolah di sebuah kota kecil di Denmark. Seperti
sekolah-sekolah biasa di daerah jajahan jerman, aku tidak perlu mendaftar
dengan menunjukan berkas-berkas untuk bisa bersekolah. Aku hanya diantar oleh
kakek ku ke sekolah, bilang pada guru bahwa aku adalah cucu dari salah satu
keluarga di desa ini cukup untuk menerima ku bersekolah.
Mr. Lehmann
membawaku masuk ke kelas lalu mengenalkanku kepada kelas baru ku di sekolah
ini. Ada dua bangku kosong di kelas ini. Kursi paling pojok belakang dan
didekat jendela. Sudah pasti aku memilih kursi didekat jendela. Aku suka
matahari, aku bersyukur bila kulitku tersentuh sinar mentari. Selain itu, aku
bisa melihat keluar kelas dari jendela dimana dapat melihat langsung ke arah
lapangan.
Gadis
disampingku ini namanya Gracia. Shania Gracia Roosevelt. Aku bukan stalker,
tapi nama itu tertulis di cover depan buku catatan nya. jadi aku pikir itu
adalah nama lengkapnya. Gracia cukup pendiam. Ia tidak banyak bicara. Bahkan
selama hampir beberapa jam pelajaran ini ia baru satu kali berucap padaku,
yaitu saat ku Tanya namanya. Itupun ia sangat dingin menjawabnya, padahal ku
pikir aku cukup hangat. Mungkin karena belum kenal. Gracia itu cantik. Matanya
sipit, kulitnya kuning langsat. Rambutnya juga hitam lurus. Terurai panjang
dengan poni ia kesampingkan menutup sediki matanya jika dilihat dari samping.
Ku kira ia memiliki garis darah keturunan jepang.
“hei, Hamelwosfh! Kau sudah cukup
lama melihat Gracia. Mau ke cafeteria untuk makan siang?”
Ini
membuyarkan lamunanku. Gracia yang sedari tadi asik membaca novelnya ketika Mr.
Lehmann meninggalkan kelas langsung menoleh kearahku. Reflek ku cukup lambat
ternyata. Aku tak sempat membuang muka. Mata kami kembali bertemu. Ia
mengerutkan dahi nya. Mungkin risih. That awkward moment.
“ah, tidak. Aku melihat ke arah
luar jendela.” Aku menyangkal ringan. Aku sadar bahwa memang melihat wajah
samping Gracia sedari tadi. Tapi aku tak mungkin berterus terang soal ini. Aku
takut Gracia malah risih dan tidak mau berteman denganku.
“jadi? Mau ikut ke cafetaria atau
tidak?”
“ya, tentu. Aku juga lapar.” Aku
bangkit dari bangku menuju beberapa anak yang tadi mengajakku makan siang.
Cafetaria di
sekolah ini cukup ramai walaupun lapangan tak kalah ramai saat ku lihat dari
jendela kelas tadi. Sebenarnya aku lebih ingin mengeluarkan keringat di
lapangan, tapi aku harus berterimakasih kepada beberapa anak ini karena
mengeluarkanku dari awkward moment bersama Gracia walaupun sebenarnya mereka
lah yang menciptakan awkward moment itu sendiri.
Makanan di
cafetaria ini lebih parah dari sekolahku sebelumnya. Disini sama sekali tidak
ada olahan daging. Aku hanya memakan sup dan kentang tumbuk yang rasanya
memprihatinkan. Memang seperti inilah situasi negeri jajahan, apalagi ini hanya
kota kecil di pinggir Denmark jadi pasti suplai makanan terbatas. Sistem
Ekonomi perang yang ditetapkan jerman membuat petani di daerah harus menanam
tanaman obat-obatan, rempah-rempah, dan yang berguna untuk tentara nazi. Di
kota ku dulu bahkan para peternak harus menjual hewan ternaknya kepada jerman
walaupun dengan harga murah. Namun di cafetaria sekolah ku dulu setidaknya
setiap hari kami bisa memakan olahan daging walaupun sangat sedikit.
***
Sepulang
sekolah aku tidak bisa berdiam diri saja sementara nenek dan kakek ku sibuk di
kebun belakang rumah. Setelah berganti baju, aku ikut membantu mereka di kebun.
Ya setidaknya bisa mengurangi sedikit beban mereka di kebun, mengingat juga
usia kakek dan nenek yang tidak muda lagi. di belakang rumah ada kebun anggur,
memasuki musim gugur seperti ini kebun-kebun anggur di beberapa rumah yang aku
lewati hari ini memang sedang panen. Kebun kami juga.
“jika kau memang ingin sekali
membantu nenek, kau bisa mengantarkan anggur yang ada di keranjang itu,
sayang.” Ucap kakek ketika melihatku hendak membantu memanen anggur. Aku
menghentikan aktifitasku sebelumnya. hanya cengo dan tak tahu harus melakukan
apalagi.
“kau datang dari jauh bukan untuk
berkebun kan, sayang? Kau satu-satunya cucuku, nina. Tak akan ku biarkan kau
kelelahan.” Nenek mendekatiku. Ia melepaskan sarung tangannya, lalu mengusap
lembut pipiku. Aku hanya mengerutkan dahi dan mengatupkan bibir. Susah memang
nenek-nenek.
“tapi kalau kau merasa bosan
berada dirumah, aku akan kurangi beban anggur di keranjang untuk kau bawa.” Ia
melangkah menuju keranjang anggur di sudut kebun.
“tidak apa, Nek! Aku bisa kok,
aku kan gadis tangguh!” aku langsung berlari kecil menuju keranjang sambil
menghalangi langkah nenek. Ia hanya tersenyum.
Ah,
sial. Memang berat ternyata keranjang ini. Untung saja kakek menawariku membawa
anggur-anggur ini dengan sepeda yang biasa ia gunakan. Sepeda dengan keranjang
cukup besar didepannya. Ia juga memberitahu kemana aku harus mengantar
anggur-anggur ini.
Aku
mulai menyukai desa ini. Tidak ada emblem bintang dengan 6 sudut lancip
berwarna kuning di pakaian yang dikenakan orang-orang. Sungguh, emblem itu
membuatku takut. Semoga aku akan lama disini. Suasananya juga nyaman. Ya
walaupun ada beberapa tentara jerman yang berlalu-lalang mengotori damainya
desa ini. Ku kayuh sepeda dengan cepat karena langit senja sudah terlihat
ditutupi oleh Mega.
Gracia’s POV
Dimana
mentari? Menjelang senja begini kok malah mendung? Harusnya kan aku menikmati
sandikala indah ciptaan tuhan. Ah, tapi tak apa. Setidaknya tadi siang
langitnya cerah, aktifitas semua orang juga tidak berada di balik awan.
Toko
ini juga tidak begitu ramai hari ini, jadi aku bisa sedikit beristirahat. Aku
bekerja membantu paman di toko jam miliknya. Pamanku seorang watchmaker. Aku
membantu menjaga toko serta menjualkan hasil kerjasama kecerdasan otak,
ketelitian mata, dan kecekatan tangan paman.
“sayang sekali ya, Gracia. Sore
ini langitnya mendung. Kau kehilangan lukisan senja lagi.” ucap paman
memecahkan kesunyian toko. Aku hanya tersenyum melihat paman yang juga sibuk
dengan mesin kecil namun rumit dihadapannya.
“bagaimana kakak mu? ku dengar ia
ditawari pekerjaan di pemerintahan sipil?” Tanya paman yang masih berkutat
dengan jam milik pelanggan yang harus diperbaiki.
“kak ve tidak mungkin menerima
pekerjaan itu, paman. Ia bukan pengkhianat bangsa.” Jawabku datar masih fokus
pada novel yang ku baca. Sudah ku bilang bukan kalau aku memang pendiam?
Kesunyian
kembali menguasai toko. Paman mencoba menyetel radio yang usang untuk menghapus
kesunyian. Sebuah lagu lawas masa renaissance menjadi backsound di dalam toko
saat ini. Tak seberapa lama sejak percakapan paman dan aku tadi, seseorang
masuk dengan membawa sebuah keranjang yang dipenuhi anggur.
“maaf, Tuan. Aku cucu Alex
Hamelwosfh. Aku mengantarkan anggur ini.” Nina? Kita bertemu lagi. sebenarnya
aku kurang suka jika bertemu teman sekolah ku diluar sekolah. Bukan apa-apa,
aku hanya malas.
“oh ya ya, sini. Sebentar ya,
kuambil uang bayaran nya dulu ke dalam. Silahkan duduk! Gracia, tolong temani
gadis ini, oke!” paman menyambut Nina dengan ramah lalu membawa keranjang itu
ke dalam rumah yang berada di belakang toko ini.
Sekarang
awkward lagi. lagu yang dimainkan radio ini berganti menjadi lagu romansa. Ah
apa-apaan ini? Ya, mau gimana lagi? aku tidak boleh terlihat awkward. Ku
kembalikan fokus ku kepada novel di tangan ini.
“kau sangat suka membaca, ya?
Gracia?” ia membuka suara.
“lumayan….” Aku tidak tahu harus
menjawab apa. Aku tidak pandai menjadi hangat didepan orang yang baru ku kenal.
“jadi, apa saja yang kau baca?
Novel saja? Atau Koran? Yang lain kah? Lalu apa saja novel yang sudah kau baca?”
ia masih saja berusaha membuka suaraku lebih banyak. Aku tidak menjawab
pertanyaan sok kenal nya. memang siapa dia bisa seenaknya ingin tahu tentangku.
Aku kembali fokus ke novel yang ku pegang.
“oh, begitu. Aku juga suka.
Apalagi ketika Sherlock sudah bertingkah konyol dan aneh. Padahal dia sosok
pria sempurna.” Nina melanjutkan kalimatnya seakan aku sudah menjawab rentetan
pertanyaan yang ia ucapkan.
Apa? Perasaan
kan aku diam saja daritadi. Lucu juga sih gadis ini. Gak jelas, tapi lucu. Hehe.
Aku sebenarnya ingin ternsenyum kepadanya yang sok kenal ini, tapi masa aku
luluh begitu saja. Ku alihkan pandanganku dari novel ke arahnya. Ia menatapku
tersenyum menunggu respon dariku. Ku pasang tampang serius. Namun, bukannya
takut si Nina ini malah nyengir terus cengo gak jelas. Kali ini aku kalah. Aku
tertawa cukup renyah melihat wajahnya yang lucu. Ekspresinya sangat epic.
Hahahahaha! Kami berdua tertawa bersama lalu berhenti seiring dengan datangnya
paman dengan beberapa lembar uang kertas dan beberapa sen uang logam.
“ini. Terimakasih ya. Oh ya,
jangan panggil aku Tuan. Aku bukan bangsawan. Panggil paman saja. Aku dan
kakekmu sudah seperti saudara. Sampaikan juga terimakasih ku kepada kakekmu.
Anggurnya sangat enak!” ucap paman sambil memberikan uang ke Nina. Nina hanya
tersenyum dan mengangguk saat menerima uang dari paman.
“kau boleh sesekali datang ke
rumahku untuk meminum anggur bersama kakek dan nenekmu. Itupun jika kau sudah
cukup umur. Hahahaha. Omong-omong, berapa usiamu? Kau masih terlihat muda.”
Lanjut paman.
“15 tahun, Paman.” Jawab Nina
singkat
“wah berarti kalian seumuran? Apa
kau satu sekolah dengan gadis ini, Gracia?” kali ini paman melemparkan
pertanyaan kepadaku.
“namanya Nina, paman. Kami
sekelas.” Kali ini aku sedikit hangat, ya masih terbilang dingin sih
sebenarnya. Tapi lumayan lah untuk bicara didepan orang asing yang sok kenal
ini. Hehe.
“aku baru masuk hari ini, paman.
Jadi kami belum terlalu kenal. Mungkin akan saling mengenal nantinya. Hehehe.
Yasudah paman, diluar sudah gelap. See ya, Gracia!” hih apa ini? Dikasih hati
sedikit malah jadi kepedean.
Gadis
dengan tubuh tinggi itu akhirnya pergi meninggalkan toko. Ia mengayuh sepedanya
cukup kencang. Mungkin takut akan gelap. Aku tahu rumah keluarga hamelwosfh
berada agak jauh dari pemukiman warga desa dan melewati sebuah gedung kosong
bekas hantaman serangan udara. Memang agak menyeramkan, sih. Eh iya, by the way
Sudah waktunya aku pulang juga. Lagipula pasti kak ve sudah menunggu dirumah.
Aku pun mengambil mantel lalu berpamitan kepada paman untuk pulang.
Nina’s POV
Haduh.
Sial. Aku lupa harus ke arah mana di pertigaan. Tadi sore pertigaan ini masih
ramai oleh para pedagang jadi aku menghafal dengan patokan penjual koran, namun
sekarang malah sudah sepi bersih. Gimana nih pulangnya?
Cukup
lama aku bimbang memilih kanan atau kiri. Dua-duanya sama. Sama-sama gelap,
sama-sama sepi. Iya, aku memang takut gelap. Terang lebih baik daripada gelap.
Aku duduk di tengah jalan dengan sepeda disebelahku. Berharap ada seseorang
yang lewat lalu dapat ku mintai bantuan untuk sekedar menunjukan arah agar
sampai ke rumah. Aku takut membuat khawatir kakek dan nenek.
“sedang kau apa duduk di tengah
jalan? Ingin bunuh diri?” suara itu. Suara yang baru aku dengar pertama kali di
hari ini.
“Gracia? Oh syukurlah!”
terimakasih ya Tuhan, kau mengirimkan malaikat kepada ku. Aku sangat senang,
artinya aku akan pulang kerumah malam ini. Kakek dan nenek tidak perlu
mencariku. Aku berniat memeluk Gracia yang menatapku aneh. namun belum sempat
memeluk, ia berjalan mundur beberapa langkah menjauhiku.
“aku tidak tahu kau orang baik
atau bukan.” Ucapnya dingin
“maaf. Aku hanya senang bisa
menemukan orang yang lewat sini. Aku lupa kemana arah rumah. Kau tahu?”
“kesana.” Ia menunjuk ke arah
kanan lalu kembali melihatku. Kali ini dengan tatapan dingin.
Aku
memang sudah tahu ke arah mana aku harus pulang, tapi aku malah mematung tak
bergeming. Adrenalin ku tak berjalan jika dihadapkan dengan gelap. Gracia
berjalan melewatiku ke arah kiri tanpa sekedar berkata selamat malam, sampai
jumpa, atau hati-hati. Lah? Aku siapa nya ya lagipula. Beberapa langkah ia
berjalan melewatiku, ia membalikkan tubuhnya lalu berjalan ke arah kanan. Ke
arah rumah kakek dan nenek. Aku masih bingung mematung melihatnya.
“Ayo! Tunggu apalagi? Jangan
sampai aku berubah pikiran.” Ucap Gracia yang masih cuek tidak melihat kearahku
sambil berjalan menuju rumah. Aku menuntun sepedaku menyusul Gracia. Berjalan
disebelahnya, melihat wajah sampingnya sambil sesekali menanyakan pertanyaan
tidak penting untuk ditanyakan. Tidak jarang juga Gracia hanya diam
menghiraukan ocehanku, tapi sesekali ia menanggapi dengan hangat. Lucu juga ya
kamu, Gracia.
Tidak
jauh dari rumahku, seorang laki-laki paruh baya berjalan ke arah kami. Aku tak
tahu siapa, agak takut juga sih. Namun karena ada Gracia jadi berani. Entah
kenapa gracia memiliki keberanian yang hebat untuk ukuran gadis yang terlihat
lebih feminim dariku. Pria itu semakin dekat, bayangannya mulai memanjang
setiap ia melewati lampu jalan. Jarak 5 meter dari kami dan pria itu berhenti
tepat dibawah lampu jalan. Memperlihatkan wajahnya.
“yaampun, Kakek!” Aku berlari
menghampiri kakek. Kali ini aku memunggungi Gracia. Ia menghentikan langkanya
saat aku membalikkan badan ke arahnya. Aku berjalan agak cepat menghampirinya.
“aku pulang dulu. See ya, Nina!”
ini serius? Kali ini Gracia memang hangat. Aku tidak menyangka bisa meluluhkan
keangkuhan nya.
“Gracia!” ia baru membalikan
tubuhnya, belum sempat melangkahkan kaki aku memanggilnya. “apa kamu tidak apa
pulang sendiri? Aku dan kakek bisa menemani mu sampai rumah!” kata ku
sumringah.
“kau sudah merepotkanku, lalu
sekarang mau merepotkan kakekmu?” Gracia kembali lagi ke mode menyebalkan minta
dikejar. “aku sudah biasa Pulang sendirian di malam hari.” Ucapnya lalu pergi
begitu saja meninggalkanku.
“terimakasih, Gracia!” aku
sedikit berteriak. Ia hanya memberikan jempol ke arah ku sambil terus berjalan
menembus gelapnya malam.
***
Hangatnya
sinar mentari pagi menembus kulitku. Membuatku harus memulai hidup baru,
berusaha agar tidak ‘lari’ lagi. Nenek membuka tirai dari kamarku yang berada
di lantai dua rumah ini.
“bangun, sayang. Ini memang hari
minggu, tetapi sangat disayangkan jika kau hanya bersembunyi dari cerahnya
mentari pagi ini.” Nenek membangunkanku dengan senyuman penuh kasih darinya,
lalu pergi turun ke bawah meninggalkan kamar.
Aku bangkit
dari tempat tidur, berjalan gontai menuju jendela kamar. Menghirup napas
panjang lalu membuangnya. Udara pagi ini terasa amat segar. Terimakasih Tuhan,
pagi ini cerah. Langitnya biru membentang sejauh mata memandang. Orang-orang
berlalu lalang memulai aktifitas di hari bermalas-malasan ini.
Setelah mandi
dan sarapan, aku membantu nenek mencuci piring. Nenek selalu melarang ku untuk
melakukan suatu pekerjaan rumah, ia selalu beralasan bahwa tubuhnya akan kaku
jika tidak digunakan untuk melakukan pekerjaan rumah. Padahal aku tahu ia hanya
tidak ingin aku sakit karena kelelahan. Namun aku merasa iba karena usia nenek
yang tidak muda lagi. Aku selalu memaksa untuk membantu. Ya paling tidak
mencuci piring setelah kami makan bersama. Hehe.
Kakek sejak
selesai sarapan langsung berada di kebun. Entah apa yang dia kerjakan. selalu
saja sibuk. Aku ingin membantu berkebun, tapi kakek memang baik sekali. Ia
melarangku, sama dengan alasan nenek. Yah, ada senangnya juga sih bisa
bersantai di hari minggu.
08.48 AM
Bosan
sekali hanya berada di rumah tanpa melakukan hal apapun. Kuputuskan untuk
berkeliling desa dengan sepeda usang milik kakek ini. Kayuhan ku kali ini cukup
pelan. Aku ingin menikmati suasana desa ini, merekamnya dalam pandangan mataku,
dan menaruhnya dalam ingatan memori dalam otak.
Minggu
pagi yang cerah ini anak-anak bermain dengan riangnya seperti tidak ada rezim
jerman yang menekan desa ini. Anak-anak bermain sepak bola didepan rumah
mereka. Tidak ada taman bermain atau taman kota seperti di tempat ku tinggal
dulu. Tanah lapang disini telah dirubah menjadi camp tentara dengan pagar
berduri, meriam dan senjata-senjata keperluan perang. Beberapa sudut desa ini
juga dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan perang seperti tank, truk, dan lainnya.
Namun dibalik
itu semua, gema tawa renyah anak-anak yang bermain sepak bola seakan
menampakkan bahwa mereka hidup baik-baik saja berdampingan dengan tentara
jerman. Tidak seperti tempat tinggalku dulu yang sejak kedatangan jerman
atmosfer desa berubah menjadi kecaman, ketakutan, bahkan rasa risau setiap
harinya. Aku harap aku tidak akan ‘lari’ lagi.
“gracia?
Itu gracia kan?”
to be continue....
to be continue....
No comments:
Post a Comment